Fobia spesifik merupakan kondisi di mana individu mengalami ketakutan berlebihan dan persis- ten akan objek atau situasi spesifik yang umumnya tidak mengancam tetapi da- pat menyebabkan individu secara sengaja mengindari objek atau situasi tersebut ( The National Alliance on Mental Illness , 2013). Ada empat jenis fobia spesifik yang paling umum terjadi, yaitu: a) fobia hewan; b) fobia lingkungan natural; c) fobia darah-injeksi-luka serta d) fobia situasional (Durand & Barlow, 2006; Kring, Sheri, Gerald & John, 2012).
Fobia spesifik dapat menyerang siapa saja dan di mana saja. Fobia tidak memandang jenis kelamin, usia, status pendidikan maupun status sosial sese- orang. Sekitar 12,5% populasi di Amerika telah dinyatakan mengalami fobia spesifik (Kessler, Chiu, Jin, Rusio, Shear & Walters, 2006). Berdasarkan rentang usi- anya, ada sekitar 13,3% penderita fobia spesifik berusia di antara 18-29 tahun, 13,9% berusia antara 30-44 tahun, 14,1% berusia antara 45-59 serta 7,5% ber- usia di atas 60 tahun. Data tahun 2010 juga menunjukkan bahwa fobia spesifik bukan hanya terjadi pada orang dewasa saja tetapi juga mulai menyerang anak-anak dan remaja. Ada sekitar 15,1% kasus fobia yang ditemukan pada anak dan remaja. Di Indonesia sendiri, sebanyak 6,3% kasus fobia sekolah juga ditemukan pada anak berusia antara 3-5 tahun (Kessler, Chiu, Demler & Walter, 2005; Merikangas, dkk, 2010; Melianawati, 2016).
Penderita fobia spesifik biasanya cenderung lebih meremehkan gangguan yang dialaminya dibandingkan penderita fobia lainnya, padahal fobia spesifik memiliki dampak negatif yang dapat membuat individu terhambat dalam melakukan aktivitas kesehariannya.
Penderita fobia spesifik biasanya akan mengalami ketakutan yang disertai gejala fisik seperti: lelah, lemas, keringat dingin, jantung berdebar, pusing, mual, tremor atau ingin pingsan saat bertemu langsung deng- an objek atau situasi yang ditakutinya (Maramis, 1994), sedangkan pada anak- anak fobia biasanya ditandai dengan perilaku mengamuk, menangis, menjadi agresif serta berusaha melarikan diri dari objek atau situasi yang ditakutinya (Ginsburg & Walkup dalam Ollendick & March, 2004).
Menurut Durand dan Barlow (2006), dalam kasus yang berat fobia spesifik juga dapat menyebabkan serangan panik, perasaan malu, perasaan tidak berharga serta perasaan tidak berdaya pada individu yang mengalaminya.
Muschalla (2009) telah membuktikan bahwa terdapat sekitar 80% kasus fobia tempat kerja yang akhirnya menyebabkan pekerja sakit bahkan kehilangan pekerjaannya. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa kecemasan pada penderita fobia dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan keselamatan kerja.
Selain itu, Jenkins (2014) juga mencatat 23 kasus kematian yang disebabkan oleh fobia terhadap jarum suntik. Sekitar 3,5%-10% individu dengan fobia jarum mengalami kecemasan yang membuat individu menghindari situasi yang berkaitan dengan layanan kesehatan.
Berdasarkan hal di atas, dapat dinyatakan bahwa fobia spesifik bukanlah gangguan yang sederhana sehingga membutuhkan penanganan yang tepat bagi penderitanya. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa fobia spesifik memiliki keterkaitan yang erat dengan kecemasan.
Gangguan kecemasan tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kecemasan seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: struktur otak yang dimiliki, tingkat kecemasan orang tua, kondisi kesehatan fisik maupun psikis individu, riwayat penggunaan obat-obatan terlarang serta kondisi ekonomi maupun pendidikan individu. The British Psychological Society (2008).
Pada kasus fobia spesifik, jenis kecemasan yang terjadi merupakan jenis kecemasan state anxiety. Menurut Spielberger (1989), jenis kecemasan ini terjadi ketika individu menghadapi situasi tertentu yang dianggap sebagai ancaman.
Oleh karena itu, individu dengan fobia spesifik seringkali mengalami kecemasan ketika akan atau sedang berhadapan dengan objek atau situasi yang ditakuti. Sebelum berkembang menjadi kecemasan, awalnya individu hanya mengalami ketakutan normal yang disebabkan oleh pengalaman traumatis secara langsung, melihat pengalaman traumatis orang lain, stres akibat masalah sehari-hari atau pun adanya informasi yang bersifat menakut-nakuti. Sebelumnya, ketakutan yang dialami bersifat wajar. Namun, ketakutan tersebut kemudian menjadi berlebihan dan dapat menyebabkan kecemasan ketika individu sering terpapar dengan objek atau situasi yang menyebabkan ia takut. Saat individu mulai mengalami kecemasan, ia akan memiliki pikiran yang buruk mengenai objek atau situasi yang ditakuti tersebut serta mengupayakan segala cara untuk menghindar (Durand & Barlow, 2006; The British Psychological Society, 2008).
Menurut Maramis (2009), pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi secara berulang kali dapat menyebabkan fiksasi dalam diri seseorang. Individu yang mengalami fiksasi cenderung sulit untuk mengontrol perasaan takutnya. Oleh karena itu, penderita fobia seringkali tidak dapat mengatasi kecemasannya dan lebih memilih untuk menghindari objek atau situasi yang membuatnya takut tersebut. Dengan melarikan diri dari sumber ketakutannya, berarti individu tidak mampu melepaskan emosinya dengan cara yang tepat dan memungkinkan terjadinya penumpukan kecemasan yang ditekan ke dalam dirinya. Oleh karena itu, kecemasan memiliki pengaruh yang penting pada penderita fobia. Jika kecemasan tidak segera diatasi, penderita fobia akan selalu menyimpan energi negatif yang dapat membuat kondisi fobia yang dialaminya semakin rentan dan lama kelamaan dapat menyebabkan individu menjadi tidak produktif.
Menurut Chaerani (2010), ruang gerak penderita fobia spesifik menjadi terbatas akibat kecemasan yang dialami. Oleh karena objek atau situasi yang ditakuti dianggap sebagai ancaman yang harus dihindari, pikiran penderita fobia menjadi terpusat hanya pada perasaan cemas yang terjadi sehingga ia akan kesulitan dalam mengontrol pikiran, mengatur emosi, serta menentukan tindakan yang harus dilakukan. Hal tersebutlah yang menyebabkan individu menjadi hilang kendali dan tidak terhubung dengan kenyataan. Dalam teori psikosintesis, terbatasnya ruang gerak manusia dalam mengekspresikan dirinya serta hilangnya koneksi individu dengan dunia merupakan hambatan bagi pertumbuhan jiwa yang sehat (Firman & Gila, 2007).