Apa yang dimaksud dengan Filsafat Transendental ?

Transendental

Transendental dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan transenden atau sesuatu yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah. Hal-hal yang transenden bertentangan dengan dunia material. Dalam pengertian tersebut, filsafat transendental dapat disamakan dengan metafisika.

Apa yang dimaksud dengan Filsafat Transendental ?

Filsafat transendental oleh Immanuel Kant disebut juga “Kritik Rasio Murni” di mana “transendental” berarti “tidak membicarakan objek” melainkan “cara”. Dalam “Kritik Rasio Murni”, Kant tidak membicarakan “objek-objek” pengetahuan (mis, organ-organ tubuh, struktur materi, gerak benda, sifat-sifat cahaya, dan sebagainya) melainkan “cara” bagaimana objek-objek tersebut “diketahui” oleh subjek.

Menurut Kant, cara subjek mengetahui objek adalah dengan merepresentasikannya. Representasi terjadi melalui intuisi dan rasio dan pengetahuan adalah representasi “sintetis” keduanya.

  • Representasi intuisi adalah representasi data-data pengalaman kepada subjek secara langsung (immediate representation), subjek berhubungan langsung dengan objek-objek pengalaman, sementara representasi rasio adalah representasi determinatif atas data-data yang dihadirkan intuisi untuk membentuk konsep-konsep, karenanya disebut representasi tak langsung (mediate representation).

  • Sintesis, berarti momen diterapkannya konsep-konsep rasio pada objek-objek yang diintuisi. Sebagai filsafat transendental, apa yang menjadi perhatian Kant dalam “Critique”-nya adalah problem sintesis murni atau sintesis a priori, yaitu, sintesis antara intuisi murni dan pikiran murni, karena menurut Kant dalam momen sintesis ini kita dapat mengetahui secara esensial “cara” subjek membentuk seluruh pengetahuannya (matematika, sains, bahkan metafisika), suatu tahap di mana subjek memperlihatkan kapasitas transendentalnya (transendensi).

A priori berati “mendahului pengalaman” sementara “murni” berarti “tidak didapat dari pengalaman”.

kata bijak immanuel kant

Filsafat transendental Kant sebagai penyelidikan terhadap “cara” subjek mengetahui objek (modus pengetahuan subjek), dengan demikian, menemukan arah penyelidikannya pada kemungkinan sintesis a priori. Pemikiran Kant tentang sintesis a priori ini merupakan gagasan yang bisa dikatakan cukup baru pada masanya karena dalam pemahaman tradisional, sintesis selalu berarti a posteriori (setelah pengalaman atau hasil dari pengalaman); bahwa semua konsep yang diterapkan pada pengalaman (sintesis) adalah berasal dari pengalaman.

Apa yang memungkinkan saya memahami konsep batu, misalnya, dan menerapkan konsep tersebut dalam pengalaman adalah karena saya sebelumnya telah terlatih atau terbiasa mengalami (melihat dan merasakan) berbagai jenis batu. Semua konsep itu berasal dari pengalaman, dan karenanya, tidak ada sintesis yang mendahului pengalaman. Dalam pandangan ini, rasio ditempatkan sebagai penerima data-data pengalaman (impressions) dan hanya berperan merefleksikan data-data tersebut menjadi ide-ide atau konsep-konsep, termasuk konsep kausalitas juga lebih merupakan refleksi rasio atas pengalaman; bukan sesuatu yang “secara niscaya” terjadi dalam pengalaman.

Salah satu konsekuensi fatal dari pandangan ini adalah bahwa semua gagasan keniscayaan, baik menyangkut “substansi” suatu objek atau pun “relasi kausal” antar objek, karena tidak memiliki dasarnya dalam pengalaman, maka ide keniscayaan itu tidak lain semata-semata kebiasaan (custom). Pengalaman hanya memperlihatkan kepada kita fakta-fakta yang bergantian berupa kesan-kesan (impressions), tidak lebih dari itu.

Dalam “Critique”, Kant menolak pandangan di atas dan menunjukkan bahwa tidak semua konsep itu berasal dari pengalaman. Kant melakukan analisis “deduktif” untuk memperlihatkan bagaimana ketika subjek merepresentasikan secara langsung objek-objek pengalaman melalui intuisi, momen representasi tersebut selalu diikuti oleh determinasi rasio yang cara kerjanya tidak ditentukan oleh pengalaman melainkan berdasarkan “aturan- aturan” yang dia sebut konsep-konsep murni.

Kant menyebutkan dua belas konsep murni dalam “Critique”-nya yang terhimpun dalam empat kategori: kesatuan, pluralitas, keseluruhan (kategori kuantitas), realitas, negasi, limitasi (kategori kualitas), substansi, kausalitas, komunitas (kategori relasi), kemungkinan, eksistensi, keniscayaan (kategori modalitas).

Konsep-konsep ini menurut Kant tidak didapat dari pengalaman (pure) karena tidak satu pun dari konsep-konsep ini menyatakan ciri fisik suatu objek. Sebaliknya, konsep-konsep ini mendahului (prior) pengalaman dan menjadi syarat (conditions of possibility) bagi terbentuknya pengetahuan. Kant sepakat bahwa pengalaman itu hanya mengajarkan kepada kita fakta-fakta (matters of fact). Namun, karena itu pula Kant berpendirian bahwa mesti ada aturan-aturan normatif yang menstruktur pikiran (atau rasio) subjek yang dengannya aktivitas determinasi (determinasi rasio atas pengalaman) memiliki “bentuk” (form). Keniscayaan mungkin tidak dapat ditemukan dalam fakta-fakta pengalaman tetapi ia dapat ditemukan dalam struktur rasio subjek yang menyertainya. Struktur rasio yang berisikan konsep- konsep murni itulah menurut Kant yang memungkinkan terbentuknya sintesis a priori.

Namun demikian, gagasan sintesis adalah gagasan keterikatan konsep pada pengalaman. Suatu konsep dapat dikatakan sah jika konsep tersebut dapat diterapkan pada pengalaman. Karena itu, bagi Kant, walaupun konsep-konsep a priori itu adalah konsep-konsep yang mendahului pengalaman, konsep-konsep tersebut hanya memiliki “arti” sejauh mereka dapat diterapkan pada pengalaman (pada objek-objek pengalaman). Dengan kata lain, konsep-konsep murni tersebut tidak memiliki validitasnya ketika mereka dipisahkan dari pengalaman.

Pada titik ini, Kant menegaskan batas-batas rasio, dan itulah yang dia maksud dengan “kritik” rasio murni. Rasio murni, fakultas yang mensuplai konsep-konsep murni, dieksplorasi secara menyeluruh untuk dipertimbangkan (kritik) kemampuan dan batas-batasnya dalam membentuk pengetahuan. Sebagai kritik rasio murni, filsafat transendental Kant memperlihatkan antinomi-antinomi rasio untuk melihat mungkin tidaknya rasio memiliki pengetahuan tentang hal-hal di luar pengalaman (meta-fisika). Kant menemukan dalam analisis antinominya, bahwa ketika rasio dibiarkan berspekulasi tentang hal-hal di luar pengalaman, tesis-tesis rasio menyangkut hal-hal tersebut akan selalu menemukan anti- tesisnya, yang keduanya (tesis dan antitesis) sah secara rasional. Dari sudut pandang inilah, Kant berkesimpulan bahwa metafisika sebagai salah satu produk kerja rasio tidak dapat dikatakan “ilmiah” karena konsep-konsep yang dikemukakannya tidak dapat diterapkan dalam pengalaman.

Tentang sikapnya terhadap metafisika, Kant sejak awal dalam pengantarnya sudah menunjukkan sikap ketidakpuasan. Baginya metafisika adalah spekulasi sembarang atas kenyataan-kenyataan di luar pengalaman yang tidak bisa dibuktikan dan selalu berakhir pada antinomi, sebagaimana yang dia uraikan di beberapa sub-bab terakhir “Critique”-nya (The Antinomy of Pure Reason). Sikap kritis ini terutama terbangun di bawah pengaruh Hume, seorang eksponen mazhab empirisme radikal yang mempertanyakan kapasitas rasio dalam membentuk pengetahuan secara a priori, dan bahwa pengalaman merupakan sumber ultim bagi pengetahuan.

Namun demikian, walaupun Kant berpandangan kritis terhadap metafisika dan sepakat dengan empirisme dalam beberapa tesis tentang rasio dan pengalaman, dia menunjukkan bahwa metafisika merupakan gejala transendensi yang sudah selalu ada pada manusia. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang biasa diajukan: “Apakah yang dapat kita ketahui?”, “apakah yang harus kita lakukan?”, dan “apakah yang dapat kita harapkan?”.

Bagi Kant, pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengimplikasikan bahwa manusia selalu terarah pada hal-hal yang melampaui pengalaman, melampaui fakta-fakta, dan itu adalah sejenis kemampuan transendental bagi Kant.

Persoalannya bagi Kant adalah: “apakah hakikat dari transendensi tersebut?”. Dalam “Critique” kita menemukan jawabannya dalam analisis pembentukan sintesis murni di mana rasio memiliki peran krusial. Transendensi bagi Kant adalah momen terbentuknya sintesis murni (sintesis a priori), dan rasio murni adalah faktor esensial dalam proses tersebut yang berfungsi menyuplai konsep-konsep murni sebagai aturan determinasi pikiran.

kata bijak immanuel kant

Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni

Dalam “Critique” kita menemukan bahwa konsep transendensi Kant didefinisikan sebagai pengetahuan murni (disebut juga pengetahuan a priori). Pengetahuan, sementara itu, didefinisikan sebagai representasi sintetis intuisi dan pikiran. Intuisi adalah fakultas pengetahuan yang “menghadirkan” (representing) data-data pengalaman yang berciri partikular secara langsung.

Pikiran (rasio) sementara itu adalah fakultas (kemampuan mental) yang menetapkan keumuman- keumuman (generalities) dari data-data yang dihadirkan oleh intuisi, keumuman-keumuman itu Kant menyebutnya “konsep”. Pengetahuan sebagai sintesis berarti terbentuknya relasi konseptual antara pikiran dan intuisi. Prinsip ini berlaku juga dalam pengetahuan a priori sebagai pengetahuan yang tidak didapat dari pengalaman (tidak terkondisikan oleh pengalaman akan objek-objek). Dengan kata lain, pengetahuan a priori juga dinyatakan sebagai representasi sintetis antara rasio dan intuisi. Hanya saja, representasi sintetis yang terjadi adalah sintesis “intuisi murni” dan “pikiran murni” (rasio murni), sehingga sintesis dalam pengetahuan a priori disebut “sintesis murni” atau “sintesis a priori”. Pertanyaan dapat dikemukakan: jika dengan “murni” berarti “tidak diperoleh dari pengalaman” lantas pengetahuan apakah yang dihasilkan dari sintesis intuisi murni dan rasio murni?; apakah yang diketahui dalam momen transendensi sebagai pengetahuan murni?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu mengenal konsep kunci dalam pemikiran Kant tentang pengetahuan sebagai sintesis. Momen pengetahuan sebagai sintesis mengandung pengertian bahwa terbentuknya pengetahuan itu bukanlah ketika konsep itu terbentuk melainkan ketika konsep itu dapat diterapkan pada objek. Demikian halnya dalam pengetahuan murni atau transendensi sebagai hasil dari sintesis murni; ia terbentuk ketika konsep-konsep murninya dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman. Pertanyaan Kant adalah “bagaimana sintesis semacam itu mungkin?”. Upaya Kant untuk menjelaskan mungkinnya “sintesis murni” (baca: mungkinnya konsep-konsep murni diterapkan pada objek-objek pengalaman) dapat ditemukan dalam salah satu bagian penting “Critique”-nya, The Schematism of The Pure Concept of Understanding, di mana Kant menjelaskan bahwa konsep-konsep yang diterapkan pada objek selalu mengandaikan pembentukan “skema”.

Skema adalah representasi prosedur universal yang dengannya suatu konsep dapat memberikan gambaran universal tentang objek secara tidak terbatas pada objek-objek tertentu. Secara harfiah, skema berarti diagram atau rancangan yang berisikan petunjuk-petunjuk dasar tentang sesuatu.

Sementara konsep hanya menyatakan “ciri-ciri umum” (ens commun) suatu objek, skema menyatakan ciri umum tersebut sebagai aturan pemahaman (rule) bagi semua objek, yang aktual dan yang mungkin, dalam bentuk “gambaran” atau “citra” (image) skematik.

Peristiwa terbentuknya skema dapat dengan mudah ditemukan dalam ilustrasi peristiwa pemahaman sehari-hari. Ketika saya melihat meja dan memahaminya, misalnya, hal itu menunjukkan terjadinya sintesis antara konsep meja dengan sensasi-sensasi meja (warna, bentuk, kepadatan, bau dan sebagainya) yang diintuisi. Namun demikian, meja yang saya pahami sekarang ini melampaui “sekadar” penggabungan konsep dan intuisi. Saya bukan hanya dapat menggambarkan “detail-detail” dari meja tersebut atau menangkap “ciri umum” dari detail-detail tersebut tetapi juga menangkap “aturan umum” tentang bagaimana meja itu seharusnya, “aturan” yang tidak hanya berlaku bagi meja yang sedang saya lihat tetapi bagi semua meja yang “mungkin” saya lihat.

Representasi skema merupakan gagasan niscaya dalam menjelaskan proses sintesis sebagai peristiwa penerapan konsep pada objek-objek pengalaman. Tanpa skema, tidak akan ada sintesis yang itu berarti penerapan konsep-konsep ke dalam pengalaman menjadi tidak mungkin.

kata bijak immanuel kant

Dalam “Critique”, persoalan yang hendak dijawab oleh Kant adalah penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman. Penerapan konsep-konsep ini tidak seperti penerapan konsep-konsep empiris (konsep meja, batu, buku, kuda dan sebagainya) yang mengandaikan skema empiris, sebagaimana sudah dijelaskan di atas dengan contoh konsep meja.

Untuk konsep-konsep murni, penerapannya pada objek-objek pengalaman (sintesis murni) mengandaikan pembentukan skemanya sendiri yang oleh Kant disebut skema transendental. Skema ini, karena sifat murninya (transendental), tidak merepresentasikan aturan-aturan konseptual bagi objek-objek inderawi (skema empiris).

Skema transendental, menurut Kant, “tidak lain adalah determinasi waktu” berdasarkan aturan-aturan konsep murni dalam kaitannya dengan rangkaian waktu (time-series), isi waktu (time-content), urutan waktu (time-order), dan cakupan waktu (time-scope) dari suatu objek. Skema substansi, misalnya, menyatakan hubungan antara yang tetap dan yang berubah dalam waktu. Skema ini merupakan determinasi waktu suatu objek dalam kaitannya dengan tatanan waktunya (time order). Contoh lain dari kategori yang sama adalah skema kausalitas—substansi dan kausalitas berada dalam satu kategori, yaitu, kategori relasi. Skema kausalitas menyatakan hubungan urutan waktu (time order) dari dua peristiwa objek di mana ketika yang satu dialami (mis, air dimasak), yang lain menyusul (mis, air menjadi panas). Demikian, determinasi waktu merupakan wujud penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman.

Kant mengantisipasi kemungkinan pandangan bahwa konsep substansi, atau konsep-konsep murni lainnya, itu muncul dari determinasi waktu. Karena itu, dia menegaskan bahwa determinasi waktu hanya mungkin sejauh ia mengikuti aturan-aturan determinasi (konsep-konsep murni) yang sudah sejak awal (a priori) terbentuk.

Dalam contoh skema substansi misalnya, determinasi tentang apa yang bertahan dan yang berubah dalam waktu hanya mungkin dalam kaitannya dengan konsep substansi. Tanpa konsep substansi, tidak ada aturan untuk menentukan apa yang bertahan dan apa yang berubah dalam waktu. Konsep-konsep murni bagi Kant adalah aturan-aturan determinasi yang terbentuk mendahului peristiwa determinasi.

Sekarang kita sudah sampai pada posisi untuk menjawab pertanyaan “apakah yang diketahui dalam pengetahuan murni?”. Dari penjelasan di atas, pertanyaan ini dapat dinyatakan dalam bentuk lain: “apakah yang diketahui dalam skema transendental?”.

Dalam kasus skema konsep empiris (skema empiris), apa yang direpresentasikan adalah aturan-aturan konseptual bagi objek dan karena setiap konsep empiris memiliki sumbernya dalam pengalaman, maka tidak sulit untuk menemukan kesejajaran antara skema konsep empiris dengan objeknya; misalnya, “aturan” binatang berkaki empat (skema) dengan kucing yang berkaki empat (objek penerapan). Skema transendental, sementara itu, hanya merupakan determinasi waktu dan apa yang diketahui dalam determinasi waktu tersebut adalah “bukan apa pun” (nothing).

“Bukan apa pun” di sini jangan ditafsirkan “semata-mata ketiadaan” (mere nothing) karena dalam kenyataannya “nothing” di sini memiliki peran konstituif dalam pengetahuan empiris. Karena sifat murninya dan karena fungsi konstitutifnya terhadap pengetahuan empiris, Kant menyebut representasi jenis ini sebagai pengetahuan murni—kadang-kadang disebut juga pengetahuan a priori atau pengetahuan transendental.

Menarik memperhatikan gagasan Kant tentang skema. Setidaknya ada dua hal yang bisa ditekankan di sini. Pertama, representasi skema, sebagai representasi yang memediasi penerapan konsep pada pengalaman, memiliki sifat intelektual (nalar/rasional), di satu sisi, dan sensibel di sisi lain (intuitif). Kedua, sebagai representasi yang memiliki karakter ambivalen, representasi skema adalah representasi orisinal; ia bukan hasil dari penggabungan antara intuisi dan rasio. Karena itu, walaupun Kant memperkenalkan konsep sintesis dan bahwa skema adalah produk sintesis, dia tidak memaksudkan dengan kata “sintesis” itu sebagai produk kombinasi intuisi dan rasio. Sejak dalam pengantar “Critique”, Kant sudah mengantisipasi kemungkinan salah penafsiran atas konsep sintesis yang diperkenalkannya ini:

“Sebagai pengantar atau antisipasi kita hanya perlu mengatakan bahwa ada dua sumber pengetahuan manusia, yaitu, sensibilitas dan pemahaman, yang mungkin keduanya berasal dari sumber yang sama (common root) yang kita tidak mengetahuinya”.

Kant memang tidak mengatakan apakah “sumber yang sama” tersebut. Namun maksudnya cukup jelas, Kant hendak mengatakan bahwa ada kemungkinan sintesis itu tidak terbentuk sebagai hasil penggabungan intuisi-rasio; sebaliknya, rasio dan intuisi justru adalah produk atau momen ganda dari sintesis.

Sensibilitas (dari kata inggris “sensible” yang berarti “dapat terindra”) adalah kapasitas penerimaan objek secara langsung oleh subjek. Bagi Kant kapasitas ini menunjukkan bahwa subjek memiliki intuisi untuk menerima afeksi-afeksi dari objek.

Bersamaan dengan analisisnya atas skema (skematisme), Kant juga menunjukkan adanya fakultas lain, yang sebagaimana skema, memiliki karakter ambivalen. Kant menyebutnya “imajinasi” dan menurutnya fakultas (kekuatan mental) inilah yang memungkinkan terbentuknya skema, dan, karenanya sintesis. Fakultas ini niscaya terandaikan karena setiap jenis representasi selalu mengandaikan fakultasnya tersendiri. Sebagaimana representasi data-data partikular mengandaikan fakultas intuisi atau representasi konsep mengandaikan fakultas rasio, demikian halnya dengan representasi skematik yang mengandaikan fakultas imajinasi. Selanjutnya, pada level pengetahuan murni, di mana sintesis yang terbentuk adalah sintesis murni dan skema yang direpresentasikan adalah skema transendental, Kant mengasumsikan adanya fakultas imajinasi transendental, lawan dari imajinasi empiris, yang memungkinkan pembentukan skema transendental, dan karena itu, sintesis murni.

Dengan demikian, sejauh ini kita dapat membuat kesimpulan bahwa konsep transendensi Kant melibatkan tiga jenis fakultas pengetahuan: rasio murni, intuisi murni (waktu), dan imajinasi transendental.

Tiga fakultas ini secara bersamaan membentuk apa yang oleh Kant disebut sintesis murni yang tidak lain adalah transendensi atau pengetahuan murni, suatu tahap pengetahuan di mana skema transendental direpresentasikan. Konsep transendensi ini rupanya masih menyisakan banyak persoalan. Persoalan tersebut terutama berkaitan dengan hubungan antara rasio, intuisi dan imajinasi, dan hakikat imajinasi itu sendiri sebagai faktor pembentuk sintesis melalui skema

Referensi :

  • Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964).
  • Ernst Cassirer, Kant’s Life and Thought, pen. James Haden (Yale University Press, 1981).
  • David Hume, An Enquiry Cocerning Human Understanding, dalam Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997).