Apa yang dimaksud dengan filsafat Strukturalisme ?

filsafat Strukturalisme

Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subjek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.

Apa yang dimaksud dengan filsafat Strukturalisme ?

Tokoh filsafat Strukturalisme adalah Claude Levi Strauss, dimana beliau dikenal sebagai bapak Struktuaisme.

Manusia pada dasarnya merupakan animal Symbolicum di mana manusia tidak bisa hidup dalam dunia yang berupa fakta-fakta kasar atau dunia fisik semata dan tidak pula hidup menurut kebutuhan dan dorongan seketika, namun manusia hidup dalam emosi, imajiner, kerinduan dan kecemasan, ilusi, delusi, fantasi dan impian. Keseluruan tersebut adalah benang yang membentuk jaring-jaring semacam mite, bahasa, seni dan agama di mana masing-masing saling berkait berkesinambungan dan membentuk lingkaran fungsional manusia yang bisa kita sebut sebagai system simbolis.

Sistem inilah yang membedakan antara organisme dan manusia. Organisme memiliki sistem efektor (menerima rangsang) dan reseptor (bereaksi) di mana keduanya bekerja sama dan saling terkait membentuk mata rantai atau yang desebut sebagai lingkaran fungsional pada binatang. Sedangkan pada manusia, terdapat mata rantai ketiga yaitu sistem simbolis sebab lingkaran fungsional manusia tidak hanya berkembang secara kuantitatif, namun juga mengalami perubahan-perubahan kualitatif.

Mitos itu sendiri bukanlah semata-mata tumpukan tahayul atau hayalan karena sebenarnya mitos mempunyai bentuk yang sistematis dan konseptual. Pada hakikatnya, mitos terdiri dari pengiasan cerita. Mitos-mitos tersebut menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada kejadian-kejadian itu sendiri dan dalam detail yang menyertainya. Hal tersebut menjadikan mitos memiliki sifat terbuka dan
bisa dikisahkan ulang dalam kata-kata lain, diperluas maupun dielaborasi.

Keberadaan mitos dalam suatu masyarakat, menurut Levi Strauss adalah dalam rangka mengatasi atau memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat yang secara empiris tidak terpahami dalam nalar manusia. Ia yakin bahwa mitos bukan satu produk spontan dari fantasi yang bebas, sewenang-wenang dan tak beraturan, melainkan perwujudan murni akal tak sadar yang menerapkan seluruh aturan dan prinsip mental apriori pada berbagai isi bahan cerita mitos.

Strukturalisme dipandang sebagai salah satu penelitian kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya sastra yang bersangkutan. Strukturalisme Levi Strauss secara implisit menganggap teks naratif, seperti mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan dua hal. Pertama, teks merupakan kesatuan yang bermakna (meaningful Whole), yang dapat dianggap mewujudkan atau mengekspresikan, pemikiran pengarang, seperti kalimat yang mengejawantahkan pemikiran seseorang pembicara.

Apa yang diekspresikan atau ditampilkan oleh sebuah teks adalah lebih dari yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat yang membentuk teks tersebut, seperti halnya makna sebuah kalimat adalah lebih dari sekedar makna diekspresikan kata-kata membentuk kalimat tersebut. Kedua, sebuah teks adalah kumpulan peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang bersama- sama membentuk sebuah cerita serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak.

Strukturalisme Levi Strauss sangat berkaitan erat dengan masalah antropologi budaya yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena dalam kebudayaan. Pada analisis struktural, struktur dibedakan menjadi dua macam yaitu struktur lahir atau struktur luar (surface structure) dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure).

  • Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat dibuat atau bangun berdasarkan ciri empiris dari relasi-relasi tersebut.

    Struktur luar misalnya saja mitos, sistem kekerabatan, kostum, tata cara memasak dan sebagainya. Berbeda dengan struktur dalam yang merupakan struktur dari struktur permukaan. Struktur permukaan mungkin dapat disadari, tetapi struktur dalam berada dalam tataran tidak disadari.

  • Struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil dibuat serta dipelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil diketemukan atau dibangun.

Dengan menggunakan analisis struktural, maka makna yang ditampulkan dari fenomena-fenomena sutau kebudayaan diharapakan akan menjadi utuh. Dengan mengkaji mitos, Levi Strauss, dengan menggunakan paradigm structural dapat mengungkapkan logika yang ada di balik mitos-mitos yang nampak dari struktural luar tersebut. Logika dasar tersebut terwujud dari aktifitas kehidupan sehari-sehari manusia. Berbagai fenomena budaya merupakan wujud dari nalar tersebut.

Levi Strauss memberikan perhatian terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun fragmentaris. Menurutnya mitos adalah naratif sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu. Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat.

Strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng. Mitos dalam konteks, Levi Strauss sebagaimana dinyatakan dalam bukunya yang terkenal Structural Antropology, struktur bukanlah representasi atau substitusi realitas. Struktur dengan demikian adalah realitas empiris itu sendiri, yang di tampilkan sebagai organisasi logis, yang disebut sebagai isi.

Menurut Levi Strauss sebuah mitos selalu terkait dengan masa lalu. Nilai intrinsic dalam mitos yang ditaksir terjadi pada waktu tertentu juga membentuk sebuah struktur yang permanen. Struktur ini terkait dengan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Mitos menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada kejadian-kejadian itu sendiri dan detail yang menyertainya. Dengan demikian, mitos selalu terbuka untuk digunakan ulang dan khususnya menyadarkan diri pada terjemahan.

Strukturalisme Claude Levi Strauss :


1. Structure of Language

Structure of language adalah struktur bahasa yang digunakan dalam penyampaian cerita dalam suatu kebuadayaan. Struktur bahasa juga bisa identitas masyarakat pada suatu periode tertentu. Suatu bahasa pada hakikatnya adalah sebagai suatu sistem perlambangan yang disusun secara sewenang/arbiter. Jika ditinjau sebagai suatu sistem bunyi, unit-unit konstituen bahasa ialah fonem-fonemnya, yakni kelompok signifikan yang memuat unsur-unsur bunyi.

Menurut Levi Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau konfigurasi system perlambangan. Lebih lanjut, untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan system keseluruhan tempat system perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika Levi Strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan referen atau arti lambang secara empiric. Yang ia perhatikan adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara logis untuk membentuk system keseluruhan.

Menurut Levi Strauss, bahasa dan kebudayaan pada dasarnya hasil dari aktivitas yang mirip atau sama. Aktivitas ini berasal adri apa yang disebutnya sebagai “tamu tak diundang” yakni nalar manusia. Adanya korelasi antar bahasa dan kebudayaan bukanlah karena adanya semacam hubungan kausal antara bahasa dan kebudayaan, tetapi karena keduanya merupakan produk dari aktivitas nalar manusia.

Levi Strauss berpendapat bahwa linguistic merupakan disiplin yang perlu dilirik oleh ahli antropologi adalah bahwa pada masa itu ahli bahasa yang memiliki masalah dapat meminta bantuan seseorang insinyur komunikasi untuk membuat suatu peralatan yang memungkinkan dilakukannya semacam eksperimen berkenan dengan masalah tersebut. Eksperimen ini menurut Levi Strauss sangat mirip dengan eksperimen dalam ilmu alam. Di sinilah Levi Strauss melihat peranan penting dari Linguistik bagi antropologi, karena ia menginginkan antropologi dapat mencapai posisi ilmiah sebagaimana yang telah di capai oleh ilmu pasti dan alam.

Linguistic yang mencapai posisi ilmiah yang kuat tersebut sangat menarik bagi Levi Strauss dalam pengembangan antropologi. Sebab pada saat itu, kajian antropologi, terutama kajian mitologi, belum menemukan alat analisis yang dapat memberikan kejelasan bagi mitologi yang jumlahnya cukup besar dan berserakan. Tidak seorangpun ahli mitologi ketika itu yang mahu tahu bagaimana cara menyusun, menghimpun, dan memahaminya dalam suatu kesatuan yang bermakna.

Dengan pendekatan linguistic structural ini, Levi Strauss berusaha merumuskan metode analisis yang kemudian dengannya ia mampu menghimpun kembali ratusan mitos yang berserakan dan menempatkannya dalam sebuah bangunan besar di mana masing-masing mitos memperoleh tempatnya serta memilki keterkaitan dengan mitos-mitos yang lain. Dengan kata lain, ia ingin mengungkap tatanan logika dasar yang berada di balik segala kekayaan dan keanekaragaman budaya manusia. Metode analisis structural Levi Strauss tersebut meminjam gagasan dari banyak tokoh linguistic.

Ahli-ahli linguistic structural yang sangat berpengaruh pada Levi Strauss antara lain adalah Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan Nikola Troubetzkoy. Salah satunya pemikiran yang Levi Strauss ambil dari Ferdinan de Saussure, Levi Strauss mengambil paling tidak lima pandangan yaitu 1) tinanda dan penanda, 2) bentuk (form) dan (contens) isi, 3) langue dan parole, 4) sinkronis dan diakronis, dan 5) sintagmatik dan paradigmatic.

2. Structural Atas Mitos

Claude Levi Strauss mengembangkan analisis mitos dengan memanfaatkan model-model linguistic. Menurutnya, ada kesamaan antara mitos dengan bahasa persamaannya, yakni pertama, bahasa adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan dari satu individu ke individu yang lain, atau kelompok satu ke kelompok yang lain. Mitos sendiri juga disampaikan melalui bahasa dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat disampaikan. Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan parole, sinkronis dan diaktronis, sintagmatik dan juga paradigmatic. Aspek langue inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia karena langue dimiliki bersama.

Langue merupakan sebuah fenomena kolektif yaitu system, fakta sosial atau aturan-aturan, norma-norma yang tidak disadari. Pada tataran langue-lah struktur dalam sebuah mitos dapat ditunjukkan. Sedangkan parode adalah tuturan yang bersifat individual yang merupakan cerminan kebebasan seseorang.

Sebagaimana bahasa tersusun atas elemen-elemen seperti fonem-fonem, mitos pun terdiri atas unit-unit lebih kecil yang disebutnya mitem (mythems). Makna dari sebuah mitos diperoleh dari mitem-mitem dan sekaligus merefleksikan bagaimana mitem-mitem tersebut tersusun menjadi satu kesatuan yang utuh.

Myth dalam bahasa Indonesia adalah mitos, Mitos dalam konteks strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng.

Meskipun hanya khayalan, mitos dipandang mendapatkan tempat ekspresinya yang paling bebas dalam dongeng. Menurut Heddy Shri Ahimsa Putra dongeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur- unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Mitos merupakan hasil kreativitas psyche manusia yang secara tak sadar menaati hukum-hukum tertentu (relasi-relasi dan oposisi-oposisi dalam alam). Psyche memang selalu didetrminasi oleh struktur-struktur tak sadar dalam segala aktivitas mentalnya. Dalam interpretasinya terhadap berbagai mitos, ia juga memperlihatkan bahwa mitos juga terdiri atas relasi-relasi dan oposisi-oposisi.

Mitos-mitos merupakan hasil dari kreativitas psike manusia yang sama sekali bebas. Kalau sekiranya dapat di buktikan bahwa dibidang itu pun psike manusia tetap taat pada hukum-hukum tertentu, maka kesimpulannya ialah bahwa psike selalu dideterminasi oleh struktur-struktur tak sadar dalam segala pekerjaannya. Dan dalam interpretasinya tentang mitologi itu Levi Strauss memang memperlihatkan bahwa mitos juga sendiri atas relasi-relasi serta oposisi-oposisi dan bahwa dengan cara demikian pemikiran liar berhasi menciptakan keteraturan dalam dunianya.

Menurut Levi Srauss, mite harus berlangsung seperti analisis mengenai bahasa. Unsur-unsur mite, seperti unsur-unsur bahasa, dalam dirinya sendiri tidaklah mengandung arti. Arti itu barulah muncul bila unsur-unsur tadi bergabung membentuk suatu struktur. Mite mengandung semacam amanat yang dikodekan, dan tugas penganalisa ialah menemukan dan mengurai kode itu serta menyingkapkan amanatnya.

Mite memiliki muatan naratif. Akan tetapi hal itu bukanlah makna utama, karena mite menembus hingga melampaui (mentransendensi) narasi. Yang maknawi adalah pola mite yang sepenuhnya formal itu, hubungan-hubungan logis antara elemen-elemen yang terkandung didalamnya. Jika dipandang dalam skala global, variasi mite yang tampak nyata itu di pandang sebagai transformasi logis dari seperangkat hubungan structural yang bertahan lama. Penemuan inti struktur yang mendasar inilah yang menjadi perhatian pokok Levi Strauss dalam menganalisis mite.

Levi Strauss mengembangkan teori strukturalnya dalam analisis mitos. Ia menggabungkan fungsi-fungsi secara fertikal dan menerangkan paradigmatic yang tumpang tindih menggunakan varian-varian mitos dengan model structural yang tidak linear. Levi Strauss menarik kesimpulan bahwa mitos-mitos yang ada diseluruh dunia tersebut pada hakikatnya bersifat semena atau arbiter. Levi Straus menarik sebuah kesimpulan bahwa mitos-mitos yang ada diseluruh dunia tersebut pada hakikatnya dalam relasi-relasi atau keterkaitan antara elemen-elemen adalam mitos dengan mengombinasikan elemen-elemennya. Mitos dapat dikategorikan seperti dalam bahasa. Mitos bersifat seperti bahasa yang tersusun atas satuan-satuan unit serupa dengan elemen-elemen lingual bahasa.

Namun, mitos tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan bahasa bila dilihat dari factor waktu. Bahasa memang dapat diteliti pada factor waktu tertentu atau pada waktu yang sama atau yang di istilahkan dengan sifat singkronik dan diakronik sesuai pada konsep langue dan parole. Mitos ternyata memiliki sifat kombinasi antara reversible time dan non revesible time. Hal ini berarti bahwa mitos sepanjang sejarah akan selalu sama meskipun dari waktu kewaktu penampilannya berbeda.

Ada tiga landasan yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis mitos.

  • Pertama, bila mitos dianggpa sebagai sesuatu yang bermakna, maka makna ini tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah satu dengan yang lain, tetapi pada cara unsur-unsur tersebut dikombinasika.

  • Kedua, walaupun mitos termasuk dalam kategori bahasa, namun mitos bukanlah sekedar bahasa. Artinya hanya ciri-ciri tertentu saja dari mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa.

  • Ketiga, ciri-ciri tersebut dapat ditemukan bukan pada tingkat bahasa itu sendiri tapi di atasnya. Ciri-ciri tersebut lebih kompleks, lebih rumit daripada ciri-ciri pada wujud kebahasaan lainnya. Berdasarkan tiga landasan ini, dua langkah dalam menganalisis mitos: menemukan miteme atau ceriteme, dan menyusun miteme secara sintagmatis dan paradigmatis.

3. Structure of Kinship

Levi Strauss menggolongkan beberapa antara hubungan kekerabatan, salah satu yang dikaji adalah hubungan anak kepada orang tuanya. Biasanya digunakan sebagai jargon, lihatlah perubahan yang terjadi antata perempuan dengan suatu kelompok. Pada tahun 1950 Claude Levi Strauss terinspirasi dari sekolah yang dibentuknya yaitu “Alliance Theorists” bisa mengubah antropologi di Inggris yang lebih dominan, berdasarkan sudut pandang yang utama dan persatuan makna yang kedua dari reproducing the liniage. Sebelumnya Levi Strauss menganalisis dari hubungan harus lebih menarik dari sekedar antropologisnya, pada dasarnya hubungan kekerabatan merupakan kajian humanis dan harus menjadi penggerak suatu ketertarikan manusia.

Titik singgung lain adalah sama seperti bahasa, kekerabatan pun merupakan suatu system komunikasi, karena informasi atau pesan- pesan disampaikan oleh satu indiviu kepada individu lain. Kekerabatan adalah system komunikasi, karena klien-klien atau famili-famili atau grup-grup sosial lain tukar menukar wanita-wanita mereka.

Sebagaimana bahasa merupakan pertukaran, komunikasi, dialog, demikian pun kekerabatan. Dan karena bahasa serta kekerabatan boleh dianggap sebagai dua fenomena yang dapat disetarafkan, maka kedua-duanya dapat diselidiki menurut metode yang sama. Boleh ditambah lagi bahwa seperti halnya dalam bahasa system kekerabatan pun dikuasai oleh aturan-aturan yang tidak disadari.

Asumsi Dasar Strukturalisme


Strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut antara:

  1. Dalam strukturalisme ada anggapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa- bahasa atau tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Oleh karena itu terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut.

  2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri semua manusia terdapat kemampuan untuk mentrukstur, menyusun suatu struktur, atau adalah kemampuan untuk menstrukstur, menyusun suatu struktus, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi. Akan tetapi perwujudan ini tidak pernah komplit.

    Suatu struktur hanya mewujud secara parsial pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari struktur bahasa Indonesia. Kemampuan ini terdesain sedemikian rupa sehingga berbagai macam kemungkinan penstrukturan tersebut tidak lantas menjadi tanpa batas. Setiap gejala dengan demikian dipandang memilki strukturnya sendiri- sendiri, baik sebagai surface structure maupun deep Structure. Surface structur adalah struktur yang Nampak dan disadari keberadaannya. Deep structure adalah struktur yang berada dibalik struktur yang tampak dan tidak disadari keberadaannya.

  3. Mengikuti pandangan de Saussure bahwa suatu istilah maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (Regularities) yang tampak, melalui suatu konfigurasi structural berganti menjadi konfigursi structural yang lain. Transformasi yang berulang-ulang akan menunjukkan hukum-hukum transformasi yang mengikuti struktur tertentu, bukan hukum sebab akibat.

  4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat di tanggapi dengan cara seperti diatas.

    Dengan metode analisis structural makna-makna yang ditampilakan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh. Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbil, fenomena budaya dapat juga diproses menjadi oposisi berpasangan, yang dengannya analisis antropologis tidak hanya akan diarahkan untuk mengungkapkan makna- makna refrensialnya saja, tetapi juga menyusun tatabahasa yang ada dibalik proses munculnya budaya itu sendiri, atau hukum-hukum yang mengatur proses perwujudan berbagai macam fenomena semiotic dan simbolis yang bersifat tidak disadari.

Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri-ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat disimpulkan juga bahwa strukturalime Levi Strauss menekankan pada aspek bahasa.

Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu kebudayaan juga diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.

Referensi
  • Dr. P.M. Laksono. Teori Budaya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
  • Ernest Cassirer. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai Tentang Manusia. (Jakarta: PT Gramedia, 1987).
  • Djohn Desanto, Agus Cremers. Mitos Dukun & Sihir Claude Alfa Strauss. (Yogyakarta: Kanisius, 1997).
  • Prof. Dr. I.B. Wirawan. “Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial”. (Jakarta: Kencana, 2007).
  • Lechte, John. 50 Filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas”.
  • Yogyakarta: Kanisius, 2001
  • Claude Levi Strauss, Antropologi Struktural (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007).
  • Mudji Sutrisno, Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 121
  • Heddy Shri Ahimsa Putra, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel Press, 2006).
  • Christopher R. Badcock, Levi Strauss: Strukturalisme dan teori sosiologi terj. Robby Habiba Abror (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).
  • Agus Cremers, Antara Alam dan Mitos: Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Levi Strauss (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1997).