Apa yang dimaksud dengan Filsafat Romantisme ?

Filsafat Romantisme

Romantisisme didefinisikan sebagai suatu gerakan perlawanan atas rasionalisme dengan membuat suatu negativitas atas keunggulan rasio itu, kelompok ini menentukan “yang alamiah”, pengalaman sehari-hari sebagai sumber kebijaksanaan dan kebenaran. Lalu, memilih intuisi sebagai cara memahami dan mendekati realitasnya.

Seseorang yang berpaham romanistem memakai intuisi untuk menjadi dasar epistemologisnya dalam mendekati realitas, bersama-sama dengan meyakini alam sebagai sumber kebenarannya. Kaum romantik, selalu gelisah, tidak puas serta penasaran bila ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi atau ada kenyataan yang membuatnya terobsesi. Mereka lalu mencari jawaban yang paling memuaskan.

Apa yang dimaksud dengan Filsafat Romantisme ?

Secara genealogis, romantisisme lahir sebagai reaksi perlawanan atas rationalisme (Enlightenment). Kebenaran itu tidak hanya (bahkan tidak dapat) diperoleh melalui pikiran (ratio). Rationalisme telah membuat kepengapan vitalitas hidup, menekan perasaan dan mematikan emosi, pikiran menindas perasaan.

Romantisime lalu mencari sumber-seumber yang dapat memulihkan kembali kedalaman, kekayaan dan makna hidup dengan belajar pada alam. Alam sebagai kenyataan penyelenggaraan Ilahi, rencana Ilahiah menjadi sebagai “inner source”. Hukum alam mesti dituruti secara sadar, karena suara alam adalah “suara hati”, suara jiwa manusia juga. Daya kekuatan alam harus dan telah menyerap dalam setiap denyut nadi dan hati sehingga kita dapat mempersepsi alam secara intuitif yang berarti secara asali dan sejati. Pertemuan dengan yang alam itu akan membuat manusia lebih meningkatkan kwalitas hidupnya. Alam mengangkat harkat dan martabat manusia.

Memang kita tergelitik bertanya, apakah karena ratio itu memiliki tempat yang lebih tinggi dari perasaan, emosi, dsb, sehingga menjadi conditio sine qua non untuk tetap menindas yang lemah oleh yang kuat dan berkuasa?

Penindasan bukan hanya dalam tataran sosiologis, tapi dalam tataran struktur ontologis tubuh/self manusia juga. Tak tersangkalkan bila sejarah filsafat telah mencatat perdebatan panjang untuk menentukan mana lebih unggul dan paling menentukan, pikiran (ratio) atau kehendak (will) atau hasrat (desire).

Apakah kehendak mendahului pikiran? Apakah pikiran hanya berperan melaksanakan apa yang menjadi kehendak?

Sering dikatakan bahwa spirit yang kuat dalam romantisisme adalah kembali pada pemikiran mitik, mitis bukan logis.

Mithos melampaui logos, Passion melampaui raison. Keyakinan yang teguh pada pengalaman pribadi mengandaikan intuisi, insting dan emosi mendapat tempat istimewa dalam menjudge sesuatu.

Estetika, sentimen, emosi, sensasi, ungkapan diri yang heroik, perasaan, imaginasi, intuisi, dsb adalah jalan lurus menuju kebenaran sejati atau ke Yang Mutlak. “Emotion is a certain way of apprehending the world”, kata Sartre sebagai seorang eksistensialis, ketika mengkritisi rationalisme.

Dalam Romantisisme filsafat tercampur aduk dengan seni (baik sastra, puisi, seni rupa, seni plastis, drama, arsitektural, dsb.). Seperti pada Abad Pertengahan ketika berbicara filsafat selalu sekaligus sedang berbicara teologi, vice versa. Ketika romantisisme berbicara tentang atau mengekspresikan apa yang terpendam dalam hati dan gelisah dalam jiwanya dalam bentuk karya seni, pada dasarnya ia sedang berfilsafat. Boleh juga dikatakan disini bahwa seni itu melampaui filsafat. Terutama ketika diyakini bahwa sumber dari seni itu adalah intuisi. Kalau memakai pernyataan Benedetto Croce, seni itu intuisinya intuisi.

Pada masa itu estetika mengalami masa kejayaannya. Kini dalam trend berfilsafat ala postmodernisme juga memilih kembali estetika sebagai kendaraan berfilsafatnya. Seperti pernyataan Wordsworth, seorang eksponen romantisisme, bahwa sebuah judul puisi itu adalah tulisan yang paling filosofis. Bukan hanya objeknya adalah kebenaran yang bersifat universal yang menjadi perhatiannya, tapi juga tidak pernah bersifat individual atau lokal. Sebuah syair yang sejati selalu merupakan kesaksian yang berasal dari hati yang terdalam. Passi jiwa yang membawa ke dalam dan keluar dari hati. Sebuah puisi itu selalu saintifik. Bahkan puisi itu merupakan sosok sejarah atau ilmu perasaan.

Romantisisme itu merindukan sesuatu yang murni, sejati, dan fitri. Orang-orang ini menemukannya dalam kebijaksanaan alam; “back to nature, back to noble savage”, kembali ke masa lalu yang masih polos tak bercela, tak tercemar oleh polusi moral, dan terkontaminasi oleh kesesatan intelektual. Rationalisme telah memilah “The Big Three”, istilah dari Ken Wilber ; yakni Self/diri (Aku), kebudayaan (Kita), dan Alam (IT).

Harusnya ketiganya merupakan satu kesatuan yang integral yang saling tergantung. Memisahkan satu dengan lainnya mengakibatkan “Aku” terpisah dari “kultur” menjadi teralienasi dan menguasai “alam”; terjadi represi dan disosiasi. Romantisime berihtiar untuk mengharmoniskan antara diri, sesama dan alam. Dengan kata lain, romantisisme berihtiar agar manusia merasa kerasan dan betah tinggal di dunianya kembali. Manusia harus membalikan “egologi” menjadi “ekologi”, dari “logologi” menjadi “imagologi”. Sikap dasar pada realitas bukanlah memahami tetapi mengagumi atau mengkontemplasi.

Romantisisme meyakini kodrat awal manusia pada dasarnya baik. Bahwa dalam diri orang-orang yang sederhana itu tersimpan kearifan sejati. Begitu juga dalam bentuk-bentuk karya seni seperti folkrole, dongeng- dongeng dan mitologi-mitologi lokal tersimpan nilai-nilai luhur dan kebenaran. Pemikir Romantis (seperti Rousseau, Herder, Schlegel, Schiller, Novalis, Coleridge, Keats, Wordsworth) berihtiar untuk mengatasi kondisi ketertindasan psikologis, oleh kaum rasionalis (Pencerahan, modernitas) yang menyeragamkan manusia dan mengerdilkan keunikan dan kelebihan dan kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki oleh seseorang. Begitu pula etika kewajiban ala Kantian yang membuat manusia tidak bebas. Rousseau (+1778) yang sering disebut sebagai Bapa perggerakan romantisisme, yang paling semangat revolusioner melawan konsep-konsep kaum rasionalis.

Manusia yang ‘tercerahkan’ itu bisa juga berasal dari cara pendidikan populer biasa. Tidak mesti formal dan berdasarkan konsep-konsep rasionalitas yang ketat dan penuh disiplin yang keras. Dalam diri seorang anak yang tak terpelajarpun sudah memiliki pengetahuan dan kearifan. Secara ekstrim Rousseau mengatakan, “the primitive savagery is superior to civilized life”. Pada dasarnya Romantisisme melihat masyarakat primitif itu memiliki nilai-nilai luhur bagi mereka sendiri. Secara implisit dalam romantisisme sudah mulai tunas konsep pluralisme dan tidak sangat respek, paling tidak curiga pada kebenaran universal. Romantisisme berihtiar menundukkan sekularisme (materialisme) dan rasionalisme. Di sisi ini kita melihat bayang-bayang obsesi kaum postmodernisme.

Senada dengan jalan pikiran Rousseau, Herder (+1803) melihat kehidupan manusia yang erat hubungannya dengan alam. Secara biologik-organik, manusia itu vegetasi dan/atau binatang yang menyempurna. Suatu pernyataan esktrim untuk menunjukkan bahwa manusia itu mahluk alamiah, “human nature is the perfection of the plant nature”. Jangan dicabut atau dijauhkan dari kodratnya yang natural itu. Rasionalisme (Enligtenment) membuat pemisahan tersebut. Secara teleologis, alam itu mempunyai tujuan dan rancang-bangunnya sendiri. Kesadaran diri akan hakekat manusia yang merupakan bagian dari alam semesta dan memasrahkan dirinya secara sadar dan mau dan lebur secara spiritual ke dalamnya adalah kebahagiaan yang dijanjikan.

Manusia adalah mahluk alam, maka harus kembali ke yang alamiah. Menyatu dengan alam menyarankan kebetahan tinggal dan hidup dalam alam semesta ini. Cultura yang contra natura, harus ber-metanoia. Heboh masalah ‘panas bumi’ (global warming, telah menjadi global warning) itu bukan permasalahan politik tetapi masalah moral dan etis. Lebih persis lagi masalah kultural. Pertobatan kultural dan mengambil inspirasi spiritual dari kaum romantis sikap yang netral tanpa bias agama. Permasalahan ‘panas bumi’ sudah melampaui masalah terorisme atau nuklir Iran dan Korea Utara, tanpa harus menunjukan fakta-fakta yang sudah dan sedang terjadi. Suatu apocalypse baru yang lebih menakutkan. Kaum romantis menyarankan pembalikan dari egologi ke ekologi.

Sumber : Fabianus Heatubun, Romantisisme dan Intuisionisme, Universitas Katolik Parahyangan.