Apa yang dimaksud dengan filsafat Intuisionisme ?

filsafat Intuisionisme

Intuisionisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan pembenaran. Intuisi termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi, intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan.

Tokoh-tokoh aliran ini adalah Plotinos (205-270 M) dan Henri Bergson (1859-1994).

Apa yang dimaksud dengan filsafat Intuisionisme ?

Beberapa ahli bahasa mengatakan bahwa secara bahasa, intuisionisme (berasal dari bahasa Latin, intuitio yang berarti pemandangan. Sedangkan ahli yang lain mengatakan bahwa intuisionisme, berasal dari perkataan Inggris yaitu intuition yang bermakna gerak hati atau disebut hati nurani.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, intuisi diartikan dengan bisikan hati, gerak hati atau daya batin untuk mengerti atau mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir atau belajar. Perbedaannya dengan firasat atau feeling, kata intuisi lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang bersifat metafisika atau di luar jangkauan rasio, biasanya dipakai untuk menyebut indera keenam.

Jujun S. Sumantri menggambarkan intuisi pada, suatu masalah yang sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai di sana.

Pengertian diatas memberi penjelasan bahwa manusia memiliki gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia melihat secara langsung suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik, buruk atau baik secara moral. Ia dirujuk sebagai suatu proses melihat dan memahami masalah secara spontan juga merupakan satu proses melihat dan memahami suatu masalah secara intelek. Pengetahuan intuitif ini merupakan pengetahuan langsung tentang suatu hal tanpa melalui proses pemikiran rasional. Namun kemampuan seperti ini bergantung kepada usaha manusia itu sendiri.

Secara fisik organ yang berkaitan dengan gerak hati atau intusi tidak diketahui secara jelas. Sebagian ahli filsafat menyebutnya sebagai jantung dan ada juga yang menyebutnya otak bagian kanan. Pada praktiknya intuisi muncul dalam bentuk pengetahuan yang tiba-tiba hadir dalam sadar tanpa melalui penalaran yang jelas, tidak analitik dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul tanpa kita rencanakan, ketika diam ataupun bergerak. Dengan kata lain pemikiran intuisionis ialah sejenis pengetahuan yang lebih tinggi dan berbeda dengan yang diperoleh secara individu. Kemunculan ide yang meledak secara tiba-tiba dalam memberikan tafsiran terhadap sesuatu perkara boleh dikaitkan dengan aliran pemikiran ini.

Intuisi disebut juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak terjadi kepada semua orang melainkan hanya jika seseorang itu sudah berfikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu dia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah intuisi berkemungkinan akan muncul. Bahkan intuisi sering disebut separo rasional atau kemampuan yang berbeda pada tahap yang lebih tinggi dari rasional dan hanya berfungsi jika rasio telah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.

Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme, menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi.

Hati bekerja pada tempat yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu penggalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal adalah karena ia ditutupi oleh banyak perkara. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) akal tidak pernah mampu mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.

Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yaitu pengalaman hidup manusia yang dirasakan langsung, bukan yang telah ditafsir oleh akal. Akal tidak dapat mengetahui rasa cinta, tetapi hatilah yang merasakannya.

Dalam tradisi Islam, mengenal juga istilah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui intuisi dan kontemplasi atau dikenal dengan istilah ma‘rifat al-qalb setelah melewati proses riyadhah dan mujahadah sehingga terjadi mukasyafah, atau yang lebih dikenal dengan metode ‘irfani. Secara tekstual, kata al-‘irfan berasal dari kata ‘arafa-ya‘rifu-‘irfaanan wa ma‘rifatan, yang berarti “tahu atau mengetahui atau pengetahuan”.

Dalam filsafat Yunani, istilah ‘irfani ini disebut “gnosis”, yang artinya sama dengan ma‘rifat, yaitu pengetahuan yang didapat dari pancaran hati nurani. Istilah ma‘rifat kemudian banyak digunakan oleh kaum sufi dalam pengertian sebagai: “ilmu yang diperoleh melalui bisikan hati atau ilham ketika manusia mampu membukakan pintu hatinya untuk menerima pancaran cahaya dari Tuhan”. Keadaan hati yang terbuka terhadap cahaya kebenaran dari Tuhan ini disebut al-kasysyaaf atau al-mukaasyafah.

Memang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa mencapai mukaasyafah dan memperoleh ma‘rifat, ia harus melewati beberapa station atau maqaamaat, yaitu beberapa tahapan perjalanan spiritual yang panjang dan berat, berupa riyaadhah dan mujaahadah untuk mensucikan jiwa dan mengasah hati dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggunakan lafadz al-`irfan dengan berbagai bentuk. Lafadz-lafadz tersebut secara umum digunakan dalam konteks pengertian, pengetahuan yang mendalam, pengetahuan tentang kebenaran, pengetahuan tentang kebaikan, dan pengetahuan tentang kebenaran yang bersemayam di kedalaman jiwa.

Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya dikembangkan oleh filosof Muslim, yang paling terkenal diantaranya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631).

Intuisionisme Sebagai Sumber Pengetahuan

Intuisionisme dipelopori dan dipopulerkan oleh Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam beberapa hal. intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari indera dan akal.

Secara epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek. Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan dengan persepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas.perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana pengetahuan rasional melainkan dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual yang prima.

Henry Bergson (1859-1941), seorang filosof Perancis modern yang beraliran intuisionisme, membagi pengetahuan menjadi dua macam; “pengetahuan mengenai” (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of).

  • Pengetahuan Mengenai” (knowledge about) disebut dengan pengetahuan diskursif atau simbolis. Pengetahuan diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba menyatakan kepada kita “mengenai” sesuatu dengan jalan berlaku sebagai terjemahan bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, ia tergantung kepada pemikiran dari sudut pandang atau kerangka acuan tertentu yang dipakai dan sebagai akibat maupun kerangka acuan yang digunakan itu.

  • Pengetahuan Tentang” (knowledge of) disebut dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan intuitif karena diperoleh secara langsung. Pengetahuan intuitif adalah merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun lewat perantara. Ia mengatasi sifat -lahiriah- pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis dan memberikan pengetahuan tentang obyek secara keseluruhan. Maka dari itu menurut Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.

    Bergson menyatakan bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri (instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan “elan vital” atau dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung, bukan dengan intelek.

Douglas V. Steere dalam Mysticism, mengatatakan bahwa pengetahuan intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung dan mengatasi (transcend) pengatahuan yang kita peroleh dengan akal dan indera. Mistisisme atau mistik diberi batasan sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang maha riil (the condition of being overwhelmingly aware of the presence of the ultimately real). Kata Steere pula, intuisi dalam mistik bahkan memiliki implikasi yang lebih jauh sebab mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dan Tuhan pribadi (al-ittihad) atau kesadaran kosmis (wahdah al-wujud).

Menurut William James, mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab bagi para penganutnya, mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman dan pengetahuan, di mana dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan ilham yang bersifat intuitif dan bukan merupakan pengetahuan demonstratis. Sejalan dengan James, Bertrand Russell setelah menganalisa kondisi-kondisi mistisisme kemudian berkesimpulan, bahwa di antara yang membedakan antara mistisisme dengan filsafat-filsafat yang lain adalah adanya keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, kebalikan dari pengetahuan rasional analitik.

Kritik dan Kelemahan Aliran Intuisionisme

Intusionis mengklaim bahwa matematika berasal dan berkembang di dalam pikiran manusia. Ketepatan dalil-dalil matematika tidak terletak pada simbol-simbol di atas kertas, tetapi terletak dalam akal pikiran manusia. Hukum-hukum matematika tidak ditemukan melalui pengamatan terhadap alam, tetapi Matematika ditemukan dalam pikiran manusia.

Keberatan terhadap aliran ini adalah bahwa pandangan kaum intuisionis tidak memberikan gambaran yang jelas bagaimana matematika sebagai pengetahuan intuitif bekerja dalam pikiran. Konsep-konsep mental seperti cinta dan benci berbeda-beda antara manusia yang satu dengan yang lain. Apakah realistis bila menganggap bahwa manusia dapat berbagi pandangan intuitif tentang matematika secara persis sama.

Apa yang diketahui secara intuitif bagi seseorang belum tentu sama bagi orang lain. Artinya cara seseorang mendapatkan pengetahuan yang pasti itu, tidak atau belum tentu berlaku bagi orang lain.

Pengetahuan intuisi ini kebenarannya sulit diukur. Karena berasal dari lapisan hati nurani seseorang yang terdalam. Benar tidaknya sangat tergantung kepada keyakinan orang tersebut. Oleh karenanya sulit diterangkan kepada orang lain. Orang lain maksimum hanya bisa meniru perilakunya yang dianggap sesuai dengan hati nuraninya sendiri.

Pengetahuan ini tergolong pengetahuan langsung. Tetapi tidak setiap orang mempunyai pengalaman yang sama.

Referensi
  1. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosda karya, 2001
  2. Aqa, Rasionalisme dan Intuisionisme, Makalah, 23 Oktober 2009
  3. Douglas V. Steere, “Mysticism” a Handbook of Christian Theology, New York: World, 1958
  4. Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007
  5. Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,1984
  6. Jujun S.Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1990
  7. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat : Intuisionisme, Yogyakarta: Tiara wacana yogya, 2004
  8. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993
  9. WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2006
  10. William James, The Varieties of Religious Experience, New York: The Modern Liberty, 1932

Peradaban manusia sudah lama meyakini bila pikiran (intelectus) akan membebaskan, dan akan memberikan kebahagiaan serta dapat menentukan nasib manusia. “Knowledge means power”. Pengetahuan yang akan dapat menjawab segala masalah. Pengetahuan adalah pahlawan. Beranilah untuk mengetahui (sapere aude), jangan jadi pengecut dan pemalas berpikir, kata Kant (+1804).

Jangan hanya taat dan takut pada otoritas, lawan dengan argumen rasional. Itu semangat kaum rasionalis dan modernis. Jauh hari sebelumnya ditegaskan Sokrates (+399 Seb.M) bahwa adanya penderitaan itu pun semata-mata karena kebodohan manusia belaka. Pengetahuan dapat mengatasi penderitaan.

“Widya is moksa: avidya is samsara” (pengetahuan itu surga: ketidaktahuan itu neraka) Radhakrisnan

Pengetahuan macam apa? Itu yang jadi masalah. Kata kaum intuisionis, bukan pengetahuan intelek yang dapat mengatasi, tetapi pengetahuan intuitif. Pengetahuan yang diyakini lebih tinggi kualitas dan kemampuannya.

Ada dua macam pengetahuan; pengetahuan intelektif dan pengetahuan intuitif. Kedua macam jalan pengetahuan itu secara utilitaristik memberi jaminan kepuasan dan keselamatan. Secara eksistensial dan esensialpun, kedua macam pengetahuan itu yang membedakan manusia dengan binatang. Namun secara gradual antara manusia yang satu dengan yang lainnya juga ditentukan oleh macam pengetahuan mana yang digunakan sebagai parameter kehidupannya. Seorang yang mengutamakan pengetahuan intelektif itu berbeda dengan orang yang menempatkan pengetahuan intuitifnya.

Intuisi, sebagai pengetahuan langsung, memberi ‘keselamatan’ secara langsung dan segera. Pengetahuan intuitif, yang bersifat insight itu identik dengan kebebasan dan pembebasan. Kompasi adalah pengetahuan sejati, masuk dan melebur dalam realitas. Disebut juga sebagai pengetahuan yang kudus atau kebijaksanaan intuitif (intuitive wisdom). Jenis pengetahuan dan pemahaman yang tertinggi. Bukan hanya clara et distincta, tetapi juga gamblang dan pasti serta langsung. Pengetahuan akan realitas sejati itu hanya dapat diraih secara spiritual, yakni bukan hanya dengan mengetahuinya dari satu sisi atau dari satu sudut pandang, tetapi dengan mencemplungkan diri ke dalamnya dan hanya dengan menghidupinya.

Dalam Budhisme, prajna yang artinya ‘intuitif insight’ mengungkapkan aktifitas tertinggi dari pikiran manusia. Rasionalisme Barat mengutamakan dan menekankan daya pikir kritis (critical intteligence), berbeda dengan Timur lebih intuisi kreatif (creative intuition). Pemikiran Pitagorean yang matematis, Aristotelean yang menempatkan bangunan berpikir dengan dasar-dasar argumen induktif dan definisi-definisi universal (deduktif) telah mempengaruhi pemikiran Barat. Bahwa apapun yang nyata harus memiliki bentuk yang dapat didefinisikan, dikategorisasikan. Yang berifat moralpun (yang amorph), misalnya, harus dapat ditunjukkan dalam fakta aktual. Geometri adalah model bagi ilmu apapun juga. Pada gilirannya realitas Ilahipun digeometrikan. Menyalahi hukum geometri berarti salah dan tidak rasional.

Aristoteles (+322 SM) yang menulis tentang Logika sebagai ilmu (Organon), mensyaratkan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah animal rationale. Kebajikan yang terhormat dalam masyarakat adalah kemampuan berdebat dan berargumen. Dalam retorika, gramatika dan logika dibangun bahasa sebagai sumber peradaban, pengetahuan.

Tentunya pemikiran Yunani tidak dapat dimutlakan seperti itu. Ajaran Plato menunjukan sisi lain dari pengetahuan yang non-matematis atau non- geometris. Noesis adalah jenis atau tingkatan pengetahuan yang tertinggi, langsung dan bersifat ‘supra-intelllectual’. Demikian pula Plotinos meyakini bahwa pengetahuan logis itu sendiri tidak adekuat. Pemikiran skolastik tentu terbagi dua kutub antara Aristotelean dan Neo-Platonian. Meski defacto Aristotelean lebih mendapat tempat istimewa. Kebenaran ilmu harus diuji dalam pengalaman dan verifikasi. Realisme Aristotelean nyatanya mengungguli sejarah pencarian kebenaran dan kebijaksanaan itu.

Bagi Descartes keilmiahan dan kebenaran semakin dipertajam dengan prinsip clara et distincta-nya. Mulai dengan meragukan segalanya untuk mendapat kepastian dan kebenaran universal yang tahan uji. Yakni adanya relasi antara logika dan matematika, keduanya sebagai kebenaran tertinggi. Pengetahuan harus bertumpu, berasal dan teruji oleh keduanya. Descartes menyingkirkan kesadaran diri secara intuitif. Untuk membuktikan eksistensi Allah-pun hanya bisa oleh rasio. Melulu pikiran. Padahal dalam kesadaran diri pikiran dan eksistensi itu bersatu tak terpisahkan.

Dalam pernyaataan cogito ergo sum terjadi penyangkalan atau melupakan suatu yang memungkinkan ‘aku berpikir’. Siapa, kalau bukan “kesadaran diri” itu sendiri. Kata Max Müller, seorang fenomenolog agama Inggris, mengatakan bahwa berfikir itu hanyalah masalah bahasa dan cara pengungkapannya. Ada hubungan antara berfikir dan berbicara; “To think is to speak low. To speak is to think aloud”. Jangan terlalu memuja pikiran. Kira-kira dia mengingatkan.

Ada beberapa cara untuk mengetahuinya :

  • Sense experience yakni untuk mengetahui dunia yang ada diluar diri, dengan cara bergaul dgn akrab dengan kenyatan hidup. Data menjadi sumber penyimpulan dan penggambaran.

  • Discursive reasoning atau pengetahuan logis lebih berkiprah dalam proses analisis dan sintesis secara sistematis. Pengetahuan ini disebut pengetahuan tidak langsung karena mesti ada pengujian terlebih dahulu dan bersifat simbolik. Kebenaran penyimpulan dari “reasoning” (ratiocination) ini amat tergantung pada keadaan si pengamat. Kapasitas, perhatian dan persepsi yang bersangkutan amat menentukan dalam membuat penyimpulan.

Pengetahuan yang berasal dari sense dan pengetahuan logis itu menempatkan diri manusia untuk memahami dunianya (understanding). Tersirat sifat menguasai alam. Masih ada kesan pengetahuan macam ini belum menyentuh yang paling hakiki. Seperti mendiskusikan apa itu “tidur” atau “mabuk”; orang bisa berdiskusi panjang lebar dengan berbagai argumen untuk memberi penjelasan apa itu “tidur” atau “mabuk”. Padahal cukup dengan tidur atau mabuk sendiri akan mengetahui atau menyadari hakekat tidur atau esensi kemabokan. Analisis intelektual selalu cenderung memfalsifikasi yang real, kata Francis Bradley (+1924).

Realitas itu selalu kontradiktif satu dengan yang lain, sementara prinsip kebenaran mengandaikan pupusnya kontradiksi. Simbol-simbol intelektual itu bukan pengganti realitas yang dipersepsi. Ingatlah bahwa emosi dan perasaan, rasa senang atau sedih dalam jiwa itu ada di luar pikiran. Bahkan bisa di luar tubuh itu sendiri. Bradley meyakini bahwa kesatuan struktur realitas itu lebih nampak utuh dalam perasaan dari pada dalam kehendak dan pikiran. Tapi yang ideal adalah bila adanya kesatuan utuh dari ketiganya untuk mencapai pengetahuan yang sejati.

Henri Bergson mengkritisi pengetahun konseptual. Intelektual itu mudah untuk memilah-milah dan membedakan atau mengkategorisasi, tetapi pada waktu mensinteisis sering jadi kacau dan tidak harmonis hasilnya. Sains, menurut dia, pada hakekat dan mulanya bersifat utilitaris saja. Intelek itu lebih berurusan dengan pengamatan praktis dalam lingkup kehidupan sehari-hari dan bermanfaat untuk menentukan tindakan praktis. Sementara bila kita menginginkan pengetahuan yang menyangkut hakekat terdalam sesuatu, misalnya “waktu”, “ruang”, “yang ilahi”, dsb, kita membutuhkan intuisi, membutuhkan pengetahuan langsung.

Misalnya seorang ahli listrik mengetahui hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu kelistrikan melalui sainsnya, tetapi dia tidak tahu persisnya apa itu listrik. Energi listrik itu ada di luar batas kemungkinan untuk mengerti. Hanya intuisinya yang dapat mengetahui hakekat terdalam dari energi listrik tersebut. Biasanya pengetahuan intuitif yang langsung itu bersifat individual dan karenanya sulit dikomunikasikan (selalu solipsis?).

Orang seperti Benedetto Croce (+1952) juga lebih menekankan pengetahuan yang bersifat intuitif daripada pengetahuan logis analitis. Pengetahuan logis membuat jarak dari pengetahuan yang bersifat individual dan aktual dan menarik ke tingkat yang abstrak. Pengetahuan intuitif lebih masuk pada yang bersifat individual dan singgular. Pengetahuan yang langsung tanpa refleksi. Karya seni adalah prototype-nya. Seni itu ekspresi intuisi dalam bentuk tertentu. Kualitas baik buruk, indah dan jelek itu tergantung pada kualitas intuisinya. Begitu pula sebuah putusan dan tindakan. Imajinasi dapat membentuk sesuatu yang bersifat individual, dan melalui pikiran kita menghubungkan imaji-imaji itu menjadi pengetahuan universal. Aktifitas artistik itu upaya untuk memahami kehidupan dan menghidupkan realitas, meski kadang para seniman tidak menyadari dan tidak memahaminya. Seni itu tidak dapat salah dan seni itu pun tidak tahu bila ia tidak dapat salah.

Bradley, Bergson dan Croce meyakini bahwa intelek itu membuat realitas kehidupan menjadi kaku dan memborgolnya dalam konsep-konsep. Berbeda dengan intuisi dan imajinasi “membikin hidup lebih hidup” (kata sebuah iklan rokok).

Perbedaan antara Intuisi dan Imajinasi? Sederhananya intuisi itu dapat diartikan juga sebagai “indra”. Sebuah fakultas dalam diri manusia untuk mempersepsi sesuatu. Hanya indra ini tidak ada dalam struktur tubuh kita. Ada yang mengatakan intuisi itu sebagai “indra ke enam”. Mungkin sekedar membuat gradasi atau konstelasi “panca indra” di tambah satu.

Tempatnya dianggap lebih tinggi dari panca indra. Atau dapatkah kita katakan bila intuisi itu merupakan titik convergensi dari panca indra? Yakni ketika ke limanya mencapai titik intensitasnya? Atau mungkinkah intuisi itu muncul dan berperan dalam mempersepsi ketika panca indra itu menjadi “nol”? Konon seorang tunanetra itu memiliki ketajaman indrawi lebih dari ke empat indra yang lainnya. Paling tidak dia lebih tajam dalam mendengar atau mengidentifikasi objek dengan rasa sentuhan tongkatnya.

Masalahnya tentu menjadi lain ketika yang menjadi sasaran objeknya adalah sesuatu yang tidak real nyata. Radhakrisnan memahami intuisi sebagai perpanjangan persepsi pada daerah-daerah diluar batas jangkauan panca indra. Pengetahuan intuitif tidak berdasarkan dan tidak berasal dari pengalaman, sehingga untuk menangkap realitas noumenal (dalam terminologi Kantian) yang di luar realitas fenomenal intuisi dibutuhkan. Pengetahuan intuitif itu berproses tanpa abstraksi, tanpa kategorisasi dan tanpa diskriminasi.`Menjadi semacam pengalaman mistik. Pengalaman mistik sering disebut sebagai pengalaman dekategorisasi.

Perbedaan Imajinasi dengan intuisi pertama-tama terletak pada fokus kesadaran. Imajinasi lebih berfokus (terminus a quo, dan terminus ad quem) pada emosional, pada hasrat, passion, ketertarikan yang bersifat indrawi. Oleh karenanya ada sebagian orang yang mencurigai imajinasi sering tercemar dan jatuh ke dalam fantasi ilusi.

Intuisi itu bersifat spiritual. Intuisi berperan justru ketika tubuh bersih dari emosi, hasrat dan nafsu. Suatu tingkatan yang biasa kita menyebutnya tubuh yang tanpa dosa. Intuisi sebagai pengetahuan langsung dan dari dalam itu bukan datang dari diri sendiri, bukan datang dari pengalaman ataupun dari banyaknya pengetahuan kognitif, pengetahuan intuitif itu datang dari jiwa. Yang asali dan alamiah. Intuisi itu suatu kemampuan yang berisifat alamiah, sehingga secara somatik sering disebut “gut feeling” (perasaan usus?). Suatu metafor yang hendak menunjukkan pengetahuan yang bukan berasal dari otak atau pikiran. Seperti yang sudah kita kenal dengan pernyataan dari Blaise Pascal, “logika hati”.

Dalam hal inilah berbagai disiplin tubuh berguna untuk mengolah dan menyediakan wadah bagi intuisi yang bersifat spiritual. Meditasi sering dianggap cara yang baik untuk mempertajam dan memperjelas pengetahuan atau kebijaksanaan intuitif. Hasil dari aktifitas meditasi itu membuat personalitas dan jiwa menjadi kuat dan utuh. “Split personality” juga dapat dianggap bukan hanya keterpecahan jiwa tapi kurang padu-padannya antara tubuh dengan jiwa. Lebih dari itu dalam paham Timur meditasi itu membuat kepadanan antara jiwa dan pikiran. Meditasi menciptakan keheningan, kebeningan dan kejelasan dalam menyatakan, menyimpulkan dan membuat putusan dan tindakan kreatif.

Hannah Arendt mencatat istilah “moment of illumination” (saat pencerahan) yang dipakai oleh Heidegger itu sepadan dengan ‘saat kontemplasi’. Peristiwa yang menjadi semacam “the ringing sound of silence” (suara keheningan). Saat itulah pengetahuan mencapai intensitasnya. Tubuh yang bersih, lepas dari iri, dengki, benci, amarah, nafsu dan segala hawa negatif memungkinkan intuisi bekerja sebagaimana mestinya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa intuisi itu datang dari “loving understanding”, pemahaman yang penuh kasih. Oleh karenanya sebuah putusan yang berasal dari pengetahuan atau kebijaksanaan intuitif itu bersifat “infallible”, tidak pernah keliru. Benjamin Crane, seorang dari kelompok New Age, menegaskan tentang kekuatan intuisi,

“You know because you know because you know directly, without even thinking about it” [sic].

Bagi Sartre (+1980) imajinasi itu, sebagai suatu bentuk tindakan kesadaran dan bersifat intensional. Jadi bukan sesuatu yang ada secara objektif dalam kesadaran. Kesadaran itu menciptakan imajinasi. Struktur kesadaran itu selalu sadar akan sesuatu yang diproses dalam imajinasi. Persepsi itu menempatkan objek-objeknya sebagai suatu “ada” dan “hadir” dalam ruang dan waktu tertentu. Sedangkan imajinasi tidak mesti menunjukkan pada suatu objek tertentu. Imajinasi bisa menempatkan suatu objek sebagai yang tidak ada dan tidak hadir. Rupanya kesadaran itu sendiri dibagi menjadi dua macam: pertama, kesadaran pra-reflektif; kedua, kesadaran reflektif. Dalam kesadaran reflektif itu sudah ada aktifitas intelektual.

Apakah kesadaran pra-reflektif dipahami kedudukannya sejajar dengan “intuisi” (?).

Suatu pertanyaan. Dalam kesadaran reflektif diri/self/ego menjadi objek kesadaran. Sartre berbicara dalam kerangka mengkritisi kosep cogito ergo sum-nya Descartes. Bahwa cogito tidak dapat (atau paling tidak lemah) untuk dijadikan landasan pengetahuan. Aktifitas cogito sudah mengandaikan refleksi dan memikirkan suatu objek. Padahal objek itu “ada” atau “sudah ada” sebelum ada refleksi. Pra-refleksi sudah memampukan orang untuk mengetahui.

Wordsworth (+1850), seorang romantis menjunjung setinggi- tingginya peran dan hakekat imajinasi. Dia mengatakan bahwa imajinasi adalah ‘absolute power’, kekuatan yang mutlak. Juga William Blake (+1827), seorang romantik, mengatakan bahwa imajinasi itu sebagai “sumber mata air yang ilahi dan kekal”. Lebih radikal lagi Shelley (+1851), eksponen romantisme juga, membandingkan pikiran (reason) dengan imaginasi itu seperti bayangan dengan substansi. Pikiran itu cuma ‘kalangkang’ bagi sosok sejati imajinasi. Lebih lanjut Shelley18 (+1851) meyakini bila kebaikan moral itu hanya dapat diukur dan ditentukan oleh imajinasi.

Sumber : Fabianus Heatubun, Romantisisme dan Intuisionisme, Universitas Katolik Parahyangan.