Peradaban manusia sudah lama meyakini bila pikiran (intelectus) akan membebaskan, dan akan memberikan kebahagiaan serta dapat menentukan nasib manusia. “Knowledge means power”. Pengetahuan yang akan dapat menjawab segala masalah. Pengetahuan adalah pahlawan. Beranilah untuk mengetahui (sapere aude), jangan jadi pengecut dan pemalas berpikir, kata Kant (+1804).
Jangan hanya taat dan takut pada otoritas, lawan dengan argumen rasional. Itu semangat kaum rasionalis dan modernis. Jauh hari sebelumnya ditegaskan Sokrates (+399 Seb.M) bahwa adanya penderitaan itu pun semata-mata karena kebodohan manusia belaka. Pengetahuan dapat mengatasi penderitaan.
“Widya is moksa: avidya is samsara” (pengetahuan itu surga: ketidaktahuan itu neraka) Radhakrisnan
Pengetahuan macam apa? Itu yang jadi masalah. Kata kaum intuisionis, bukan pengetahuan intelek yang dapat mengatasi, tetapi pengetahuan intuitif. Pengetahuan yang diyakini lebih tinggi kualitas dan kemampuannya.
Ada dua macam pengetahuan; pengetahuan intelektif dan pengetahuan intuitif. Kedua macam jalan pengetahuan itu secara utilitaristik memberi jaminan kepuasan dan keselamatan. Secara eksistensial dan esensialpun, kedua macam pengetahuan itu yang membedakan manusia dengan binatang. Namun secara gradual antara manusia yang satu dengan yang lainnya juga ditentukan oleh macam pengetahuan mana yang digunakan sebagai parameter kehidupannya. Seorang yang mengutamakan pengetahuan intelektif itu berbeda dengan orang yang menempatkan pengetahuan intuitifnya.
Intuisi, sebagai pengetahuan langsung, memberi ‘keselamatan’ secara langsung dan segera. Pengetahuan intuitif, yang bersifat insight itu identik dengan kebebasan dan pembebasan. Kompasi adalah pengetahuan sejati, masuk dan melebur dalam realitas. Disebut juga sebagai pengetahuan yang kudus atau kebijaksanaan intuitif (intuitive wisdom). Jenis pengetahuan dan pemahaman yang tertinggi. Bukan hanya clara et distincta, tetapi juga gamblang dan pasti serta langsung. Pengetahuan akan realitas sejati itu hanya dapat diraih secara spiritual, yakni bukan hanya dengan mengetahuinya dari satu sisi atau dari satu sudut pandang, tetapi dengan mencemplungkan diri ke dalamnya dan hanya dengan menghidupinya.
Dalam Budhisme, prajna yang artinya ‘intuitif insight’ mengungkapkan aktifitas tertinggi dari pikiran manusia. Rasionalisme Barat mengutamakan dan menekankan daya pikir kritis (critical intteligence), berbeda dengan Timur lebih intuisi kreatif (creative intuition). Pemikiran Pitagorean yang matematis, Aristotelean yang menempatkan bangunan berpikir dengan dasar-dasar argumen induktif dan definisi-definisi universal (deduktif) telah mempengaruhi pemikiran Barat. Bahwa apapun yang nyata harus memiliki bentuk yang dapat didefinisikan, dikategorisasikan. Yang berifat moralpun (yang amorph), misalnya, harus dapat ditunjukkan dalam fakta aktual. Geometri adalah model bagi ilmu apapun juga. Pada gilirannya realitas Ilahipun digeometrikan. Menyalahi hukum geometri berarti salah dan tidak rasional.
Aristoteles (+322 SM) yang menulis tentang Logika sebagai ilmu (Organon), mensyaratkan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah animal rationale. Kebajikan yang terhormat dalam masyarakat adalah kemampuan berdebat dan berargumen. Dalam retorika, gramatika dan logika dibangun bahasa sebagai sumber peradaban, pengetahuan.
Tentunya pemikiran Yunani tidak dapat dimutlakan seperti itu. Ajaran Plato menunjukan sisi lain dari pengetahuan yang non-matematis atau non- geometris. Noesis adalah jenis atau tingkatan pengetahuan yang tertinggi, langsung dan bersifat ‘supra-intelllectual’. Demikian pula Plotinos meyakini bahwa pengetahuan logis itu sendiri tidak adekuat. Pemikiran skolastik tentu terbagi dua kutub antara Aristotelean dan Neo-Platonian. Meski defacto Aristotelean lebih mendapat tempat istimewa. Kebenaran ilmu harus diuji dalam pengalaman dan verifikasi. Realisme Aristotelean nyatanya mengungguli sejarah pencarian kebenaran dan kebijaksanaan itu.
Bagi Descartes keilmiahan dan kebenaran semakin dipertajam dengan prinsip clara et distincta-nya. Mulai dengan meragukan segalanya untuk mendapat kepastian dan kebenaran universal yang tahan uji. Yakni adanya relasi antara logika dan matematika, keduanya sebagai kebenaran tertinggi. Pengetahuan harus bertumpu, berasal dan teruji oleh keduanya. Descartes menyingkirkan kesadaran diri secara intuitif. Untuk membuktikan eksistensi Allah-pun hanya bisa oleh rasio. Melulu pikiran. Padahal dalam kesadaran diri pikiran dan eksistensi itu bersatu tak terpisahkan.
Dalam pernyaataan cogito ergo sum terjadi penyangkalan atau melupakan suatu yang memungkinkan ‘aku berpikir’. Siapa, kalau bukan “kesadaran diri” itu sendiri. Kata Max Müller, seorang fenomenolog agama Inggris, mengatakan bahwa berfikir itu hanyalah masalah bahasa dan cara pengungkapannya. Ada hubungan antara berfikir dan berbicara; “To think is to speak low. To speak is to think aloud”. Jangan terlalu memuja pikiran. Kira-kira dia mengingatkan.
Ada beberapa cara untuk mengetahuinya :
-
Sense experience yakni untuk mengetahui dunia yang ada diluar diri, dengan cara bergaul dgn akrab dengan kenyatan hidup. Data menjadi sumber penyimpulan dan penggambaran.
-
Discursive reasoning atau pengetahuan logis lebih berkiprah dalam proses analisis dan sintesis secara sistematis. Pengetahuan ini disebut pengetahuan tidak langsung karena mesti ada pengujian terlebih dahulu dan bersifat simbolik. Kebenaran penyimpulan dari “reasoning” (ratiocination) ini amat tergantung pada keadaan si pengamat. Kapasitas, perhatian dan persepsi yang bersangkutan amat menentukan dalam membuat penyimpulan.
Pengetahuan yang berasal dari sense dan pengetahuan logis itu menempatkan diri manusia untuk memahami dunianya (understanding). Tersirat sifat menguasai alam. Masih ada kesan pengetahuan macam ini belum menyentuh yang paling hakiki. Seperti mendiskusikan apa itu “tidur” atau “mabuk”; orang bisa berdiskusi panjang lebar dengan berbagai argumen untuk memberi penjelasan apa itu “tidur” atau “mabuk”. Padahal cukup dengan tidur atau mabuk sendiri akan mengetahui atau menyadari hakekat tidur atau esensi kemabokan. Analisis intelektual selalu cenderung memfalsifikasi yang real, kata Francis Bradley (+1924).
Realitas itu selalu kontradiktif satu dengan yang lain, sementara prinsip kebenaran mengandaikan pupusnya kontradiksi. Simbol-simbol intelektual itu bukan pengganti realitas yang dipersepsi. Ingatlah bahwa emosi dan perasaan, rasa senang atau sedih dalam jiwa itu ada di luar pikiran. Bahkan bisa di luar tubuh itu sendiri. Bradley meyakini bahwa kesatuan struktur realitas itu lebih nampak utuh dalam perasaan dari pada dalam kehendak dan pikiran. Tapi yang ideal adalah bila adanya kesatuan utuh dari ketiganya untuk mencapai pengetahuan yang sejati.
Henri Bergson mengkritisi pengetahun konseptual. Intelektual itu mudah untuk memilah-milah dan membedakan atau mengkategorisasi, tetapi pada waktu mensinteisis sering jadi kacau dan tidak harmonis hasilnya. Sains, menurut dia, pada hakekat dan mulanya bersifat utilitaris saja. Intelek itu lebih berurusan dengan pengamatan praktis dalam lingkup kehidupan sehari-hari dan bermanfaat untuk menentukan tindakan praktis. Sementara bila kita menginginkan pengetahuan yang menyangkut hakekat terdalam sesuatu, misalnya “waktu”, “ruang”, “yang ilahi”, dsb, kita membutuhkan intuisi, membutuhkan pengetahuan langsung.
Misalnya seorang ahli listrik mengetahui hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu kelistrikan melalui sainsnya, tetapi dia tidak tahu persisnya apa itu listrik. Energi listrik itu ada di luar batas kemungkinan untuk mengerti. Hanya intuisinya yang dapat mengetahui hakekat terdalam dari energi listrik tersebut. Biasanya pengetahuan intuitif yang langsung itu bersifat individual dan karenanya sulit dikomunikasikan (selalu solipsis?).
Orang seperti Benedetto Croce (+1952) juga lebih menekankan pengetahuan yang bersifat intuitif daripada pengetahuan logis analitis. Pengetahuan logis membuat jarak dari pengetahuan yang bersifat individual dan aktual dan menarik ke tingkat yang abstrak. Pengetahuan intuitif lebih masuk pada yang bersifat individual dan singgular. Pengetahuan yang langsung tanpa refleksi. Karya seni adalah prototype-nya. Seni itu ekspresi intuisi dalam bentuk tertentu. Kualitas baik buruk, indah dan jelek itu tergantung pada kualitas intuisinya. Begitu pula sebuah putusan dan tindakan. Imajinasi dapat membentuk sesuatu yang bersifat individual, dan melalui pikiran kita menghubungkan imaji-imaji itu menjadi pengetahuan universal. Aktifitas artistik itu upaya untuk memahami kehidupan dan menghidupkan realitas, meski kadang para seniman tidak menyadari dan tidak memahaminya. Seni itu tidak dapat salah dan seni itu pun tidak tahu bila ia tidak dapat salah.
Bradley, Bergson dan Croce meyakini bahwa intelek itu membuat realitas kehidupan menjadi kaku dan memborgolnya dalam konsep-konsep. Berbeda dengan intuisi dan imajinasi “membikin hidup lebih hidup” (kata sebuah iklan rokok).
Perbedaan antara Intuisi dan Imajinasi? Sederhananya intuisi itu dapat diartikan juga sebagai “indra”. Sebuah fakultas dalam diri manusia untuk mempersepsi sesuatu. Hanya indra ini tidak ada dalam struktur tubuh kita. Ada yang mengatakan intuisi itu sebagai “indra ke enam”. Mungkin sekedar membuat gradasi atau konstelasi “panca indra” di tambah satu.
Tempatnya dianggap lebih tinggi dari panca indra. Atau dapatkah kita katakan bila intuisi itu merupakan titik convergensi dari panca indra? Yakni ketika ke limanya mencapai titik intensitasnya? Atau mungkinkah intuisi itu muncul dan berperan dalam mempersepsi ketika panca indra itu menjadi “nol”? Konon seorang tunanetra itu memiliki ketajaman indrawi lebih dari ke empat indra yang lainnya. Paling tidak dia lebih tajam dalam mendengar atau mengidentifikasi objek dengan rasa sentuhan tongkatnya.
Masalahnya tentu menjadi lain ketika yang menjadi sasaran objeknya adalah sesuatu yang tidak real nyata. Radhakrisnan memahami intuisi sebagai perpanjangan persepsi pada daerah-daerah diluar batas jangkauan panca indra. Pengetahuan intuitif tidak berdasarkan dan tidak berasal dari pengalaman, sehingga untuk menangkap realitas noumenal (dalam terminologi Kantian) yang di luar realitas fenomenal intuisi dibutuhkan. Pengetahuan intuitif itu berproses tanpa abstraksi, tanpa kategorisasi dan tanpa diskriminasi.`Menjadi semacam pengalaman mistik. Pengalaman mistik sering disebut sebagai pengalaman dekategorisasi.
Perbedaan Imajinasi dengan intuisi pertama-tama terletak pada fokus kesadaran. Imajinasi lebih berfokus (terminus a quo, dan terminus ad quem) pada emosional, pada hasrat, passion, ketertarikan yang bersifat indrawi. Oleh karenanya ada sebagian orang yang mencurigai imajinasi sering tercemar dan jatuh ke dalam fantasi ilusi.
Intuisi itu bersifat spiritual. Intuisi berperan justru ketika tubuh bersih dari emosi, hasrat dan nafsu. Suatu tingkatan yang biasa kita menyebutnya tubuh yang tanpa dosa. Intuisi sebagai pengetahuan langsung dan dari dalam itu bukan datang dari diri sendiri, bukan datang dari pengalaman ataupun dari banyaknya pengetahuan kognitif, pengetahuan intuitif itu datang dari jiwa. Yang asali dan alamiah. Intuisi itu suatu kemampuan yang berisifat alamiah, sehingga secara somatik sering disebut “gut feeling” (perasaan usus?). Suatu metafor yang hendak menunjukkan pengetahuan yang bukan berasal dari otak atau pikiran. Seperti yang sudah kita kenal dengan pernyataan dari Blaise Pascal, “logika hati”.
Dalam hal inilah berbagai disiplin tubuh berguna untuk mengolah dan menyediakan wadah bagi intuisi yang bersifat spiritual. Meditasi sering dianggap cara yang baik untuk mempertajam dan memperjelas pengetahuan atau kebijaksanaan intuitif. Hasil dari aktifitas meditasi itu membuat personalitas dan jiwa menjadi kuat dan utuh. “Split personality” juga dapat dianggap bukan hanya keterpecahan jiwa tapi kurang padu-padannya antara tubuh dengan jiwa. Lebih dari itu dalam paham Timur meditasi itu membuat kepadanan antara jiwa dan pikiran. Meditasi menciptakan keheningan, kebeningan dan kejelasan dalam menyatakan, menyimpulkan dan membuat putusan dan tindakan kreatif.
Hannah Arendt mencatat istilah “moment of illumination” (saat pencerahan) yang dipakai oleh Heidegger itu sepadan dengan ‘saat kontemplasi’. Peristiwa yang menjadi semacam “the ringing sound of silence” (suara keheningan). Saat itulah pengetahuan mencapai intensitasnya. Tubuh yang bersih, lepas dari iri, dengki, benci, amarah, nafsu dan segala hawa negatif memungkinkan intuisi bekerja sebagaimana mestinya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa intuisi itu datang dari “loving understanding”, pemahaman yang penuh kasih. Oleh karenanya sebuah putusan yang berasal dari pengetahuan atau kebijaksanaan intuitif itu bersifat “infallible”, tidak pernah keliru. Benjamin Crane, seorang dari kelompok New Age, menegaskan tentang kekuatan intuisi,
“You know because you know because you know directly, without even thinking about it” [sic].
Bagi Sartre (+1980) imajinasi itu, sebagai suatu bentuk tindakan kesadaran dan bersifat intensional. Jadi bukan sesuatu yang ada secara objektif dalam kesadaran. Kesadaran itu menciptakan imajinasi. Struktur kesadaran itu selalu sadar akan sesuatu yang diproses dalam imajinasi. Persepsi itu menempatkan objek-objeknya sebagai suatu “ada” dan “hadir” dalam ruang dan waktu tertentu. Sedangkan imajinasi tidak mesti menunjukkan pada suatu objek tertentu. Imajinasi bisa menempatkan suatu objek sebagai yang tidak ada dan tidak hadir. Rupanya kesadaran itu sendiri dibagi menjadi dua macam: pertama, kesadaran pra-reflektif; kedua, kesadaran reflektif. Dalam kesadaran reflektif itu sudah ada aktifitas intelektual.
Apakah kesadaran pra-reflektif dipahami kedudukannya sejajar dengan “intuisi” (?).
Suatu pertanyaan. Dalam kesadaran reflektif diri/self/ego menjadi objek kesadaran. Sartre berbicara dalam kerangka mengkritisi kosep cogito ergo sum-nya Descartes. Bahwa cogito tidak dapat (atau paling tidak lemah) untuk dijadikan landasan pengetahuan. Aktifitas cogito sudah mengandaikan refleksi dan memikirkan suatu objek. Padahal objek itu “ada” atau “sudah ada” sebelum ada refleksi. Pra-refleksi sudah memampukan orang untuk mengetahui.
Wordsworth (+1850), seorang romantis menjunjung setinggi- tingginya peran dan hakekat imajinasi. Dia mengatakan bahwa imajinasi adalah ‘absolute power’, kekuatan yang mutlak. Juga William Blake (+1827), seorang romantik, mengatakan bahwa imajinasi itu sebagai “sumber mata air yang ilahi dan kekal”. Lebih radikal lagi Shelley (+1851), eksponen romantisme juga, membandingkan pikiran (reason) dengan imaginasi itu seperti bayangan dengan substansi. Pikiran itu cuma ‘kalangkang’ bagi sosok sejati imajinasi. Lebih lanjut Shelley18 (+1851) meyakini bila kebaikan moral itu hanya dapat diukur dan ditentukan oleh imajinasi.
Sumber : Fabianus Heatubun, Romantisisme dan Intuisionisme, Universitas Katolik Parahyangan.