Apa yang dimaksud dengan filsafat Idealisme ?

filsafat Idealisme

Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh. Istilah idealisme diambil dari kata idea, yakni seseuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme.

Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh (sukma) atau jiwa, ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato, yang menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua alat pikir adalah dasar idelaisme ini.

Puncak zaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19, yaitu saat Jerman sedang memiliki pengaruh besar di Eropa. Tokoh-tokoh aliran ini adalah : Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677 M), Liebniz (1685-1753 M), Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant(1724-1881 M), J. Fichte (1762-1814 M), F.Schelling (1755-1854 M), dan G. Hegel (1770-1831 M).


Apa yang dimaksud dengan filsafat Idealisme ?

Idealisme merupakan pandangan yang menyimpulkan bahwa alam merupakan ekspresi dari pikiran, juga mengatakan bahwa subtansi dari dunia ini adalah dari alam pikiran serta berpandangan bahwa hal-hal yang bersifat materi dapat dijelaskan melalui jiwa.

“Idealism is the conclusion that the universe is an expression of intelligence and will, that the enduring subtance of the world is of the nature of mind, that the material is explamed by the mental”. Herman Home

Senada dengan itu, Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa dalam kajian filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam ketergantungannya pada jiwa (mind) dan ruh (spirit). lstilah ini diambil dari “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.

Lebih lanjut George R. Knight menguiaikan bahwa idealisme pada mulanya, adalah suatu penekanan pada realitas ide gagasan, pemikiran, akal pikir daripada suatu penekanan pada objek-objek dan daya-daya materi. Idealisme menekankan akal pikir (mind) sebagai hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal pikir. Menurutnya, ini sangat berlawanan dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata ada, sedangkan akal pikir (mind) adalah sebuah fenomena pengiring.

Dari ketiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa idealisme merupakan suatu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu ada pada tataran ide. Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam realitas ide dan pikiran dan bukan pada hal-hal yang bersifat materi. Meskipun demikian, idealisme tidak mengingkari adanya materi. Materi merupakan bagian luar dari apa yang disebut hakekat terdalam, yaitu akal atau ruh, sehingga materi merupakan bungkus luar dari hakekat, pikiran, akal, budi, ruh atau nilai. Dengan demikian, idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal-hal yang abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme percaya bahwa watak sesuatu objek adalah spritual, non material dan idealistik.

Pemikiran idealisme ini selalu identik dengan Plato. Platolah yang sering dihubungkan dengan filsafat idealisme. Pandangan seperti ini muncul, mengingat bahwa pada dasarnya Plato merupakan bapak filsafat idealisme atau pencetus filsafat idealisme. Menurut Plato hakekat segala sesuatu tidak terletak pada yang bersifat materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada dibalik materi itu, yakni ide. Ide bersifat kekal, immaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide tidak ikut musnah.

Dalam mencari kebenaran, Plato berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat ditemukan dalam dunia nyata, sebab dunia nyata ternyata tidak permanen dan selalu mengalami perubahan. Artinya bahwa dunia materi bukanlah dunia yang sebenarnya, tetapi hal itu merupakan analogi atau ilusi semata yang dihasilkan oleh panca indera.

Walaupun idealisme selalu dihubungkan dengan Plato, lahirnya idealisme sebagai mazhab atau aliran filsafat bukanlah pada zaman Plato masih hidup. Istilah idealisme untuk menunjukkan suatu aliran filsafat, baru dipakai pada abad ke-19 M.

Aliran filsafat idealisme dalam abad ke-19 M, merupakan kelanjutan dan pemikiran filsafat rasionalisme yang berkembang pada abad ke- 17 M. Para pengikut aliran idealisme ini pada umumnya, filsafatnya bersumber dari filsafat kritisismenya Immanuel Kant. Fichte (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut idealisme subjektif adalah merupakan murid Kant. Demikian juga dengan Schelling yang filsafatnya disebut dengan idealisme objektif. Kemudian kedua filsafat idealisme ini (subjektif dan objektif) disintesiskan dalam filsafat idealisme mutlaknya Hegel (1770-1831).

Penamaan idealisme subjektif itu sendiri diberikan oleh Schelling karena ia menganggap bahwa dunia bagi Fichte adalah suatu tempat memahami subjek. Solipsisme, suatu pandangan metafisika mengatakan bahwa yang dapat dipahami hanyalah diri sendiri dapat digolongkan dalam idealisme subjektif.

Schelling menyebut idealisme objektif demikian karena menurutnya, alam adalah sekedar inteligensi yang dapat dilihat (visible intelligence)". Seluruh filosof yang berusaha mengidentifikasi realitas dengan idea, rasio atau sprit seperti Barkeley dapat digolongkan kedalam idealisme objektif.

Filosofis Idealisme

Pandangan Filosofis Idealisme

Pandangan filosofis idealisme dapat dilihat pada cabang-cabang filsafat yaitu ontologi, epistemologi dari aksiologi.

1. Realitas Akal Pikiran (Kajian Ontologi)

George Knight mengemukakan bahwa realitas bagi idealisme adalah dunia penampakan yang ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang ditangkap melalui kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus pada ide gagasan yang lebih dulu ada dan lebih penting daripada dunia empiris indrawi. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide gagasan yang lebih dulu ada dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan kontruksi sebuah kursi. Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah telah mempunyai ide tentang kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat membuat kursi untuk diduduki. Metafisika idealisme nampaknya dapat dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan.

Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun idealisme berpandangan yang terfokus pada dunia ide yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak menafikan unsur materi yang bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme tidak memisahkan antara sesuatu yang bersifat abstrak yang ada dalam tataran ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan adalah bahwa yang utama adalah dunia ide, karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa terlebih dulu ada dalam tataran ide.

2. Kebenaran sebagai Ide dan Gagasan (Kajian Epistemologi)

Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada metafisika mereka. Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa teori mengetahui (epistemologi)nya pada dasarnya adalah suatu penjelajahan secara mental mencerap ide-ide, gagasan dan konsep-konsep. Dalam pandangannya, mengetahui realitas tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba, tetapi lebih sebagai tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran.

Berdasarkan itu, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan pada sesuatu yang datang dari luar, tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran. Berkaitan dengan ini Gerald Gutek mengatakan ;

In idealism, the process of knowmg is that of recognition or remmisence of latent ideas that are preformed and already present in the mind. By reminiscence, the human mind may discover the ideas of the Macrocosmic Mind in one’s own thoughts … Thus, knowing is essentially a process of recognition, a recall and rethinking of ideas that are latently present in the mind. What is to be known is already present in the mind.

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses untuk mengetahui dapat dilakukan dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide tersembunyi yang telah terbentuk dan telah ada dalam pikiran. Dengan mengenang kembali, pikiran manusia dapat menemukan ide-ide tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi, pada dasarnya mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan memikirkan kembali ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya telah ada dalam pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada dalam pikiran.

Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan. Beberapa penganut idealisme mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang secara terus menerus memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut dengan Tuhan. Dengan demikian, banyak pemikir keagamaan mempunyai corak pemikiran demikian.

Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan koherensi. Para penganut idealisme memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem kebenaran yang mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan keharmonisan hakikat alam semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal alam semesta harus ditolak karena sebagai sesuatu yang salah.

Dalam idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta, dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman. Dengan demikian, cara yang digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik. Penganut idealisme mempercayai intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan mengembangkan pengetahuan. Metode-metode inilah yang paling tepat dalam menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia merupakan pendidikan epistemologi dasar dari idealisme.

3. Nilai-nilai dari Dunia Ide (Kajian Aksiologi)

Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut George Knight, jagat raya ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia Akar Pikir Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang sebagai bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan terbukti bahwa baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan itu berada di luar diri manusia, berada pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada prinsip- prinsip yang abadi dan baku.

Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan yang dijalani dalam keharmonisan dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam kacamata makrokosmos, maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri mikrokosmos. Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling akhir dan paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai yang sempurna sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang perilaku etis penganut idealisme terletak pada “peniruan” Diri Absolut. Manusia adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral Universal yang merupakan suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.

Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang dan sudut Diri Absolut. Ketika manusia dapat menyeleraskan diri dan mampu mengejewantahkan diri dengan Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka kehidupan etik telah diperolehnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Gutek mengemukakan bahwa pengalaman yang punya nilai didasarkan pada kemampuan untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang Absolut, sehingga nilai etik itu sendiri merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah dan bersifat universal.

Estetika idealisme juga diihat dalam kerangka makrokosmos dan mikrokosmos. Penganut idealisme berpandangan bahwa keindahan itu ada ketika direfleksikan sesuatu yang ideal. Seni yang berupaya Mengekspresikan Yang Absolut, maka dikategorikan sesuatu yang memuaskan secara estetik.

Referensi
  • Herman Horne, An Idealistic Philosophy of Education dalam, Nelson B. Henry, Philosophies of Education (Illmois: University of Chicago: 1942).
  • Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: Remaja Rosdakarya: 2004).
  • George R. Knight, Issue and Alternatives in Education Philosophy, Terj. Mahmud Arif, Filsafat Pendidikan, Isu-Isu Kontemporer dan Solusi Alternatif, (Yogyakarta: Idea Press, 2004).
  • Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
  • Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Persfektif on Education (Chicago: Loyoia University of Chicago: 1988).