Dalam pengertian sederhana, sesungguhnya kita pada waktu-waktu tertentu mempraktikkan fenomenologi dalam keseharian hidup kita. Kita mengamati fenomena, kita membuka diri, kita membiarkan fenomena itu tampak pada kita, lalu kita memahaminya. Kita memahaminya dalam perspektif fenomena itu sendiri, bagaimana ia “bercerita” kepada kita.
Menurut Brouwer (1984), seorang fenomenolog senang melihat gejala (fenomena). Melihat gejala merupakan dasar dan syarat mutlak untuk semua aktivitas ilmiah. Ia bukan ilmu, tetapi merupakan cara pandang, metode pemikiran, a way of look- ing at things. Untuk meyakinkan orang atas suatu fenomena, seorang fenomenolog akan mengajak orang untuk menyaksikan langsung fenomena yang bersangkutan, atau menujukkannya melalui bahasa. Untuk memahami suatu gejala, maka tak ada jalan lain, kita harus sabar menyaksikannya, mendengarkannya, menyelami bahasa yang diungkapkannya.
Bagi Brouwer, fenomenologi tidak bisa hilang dan menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang mau memikirkan dasar dari usaha ilmiah atau dasar dari hidupnya sendiri. Lebih jauh, fenomenologi mengajarkan kita untuk membiasakan diri, tidak lagi melihat benda-benda, melainkan melihat fenomena. Fenomenologi, dengan demikian, secara sederhana dapat dipandang sebagai sikap hidup dan sebagai metode ilmiah. Sebagai sikap hidup, fenomenologi mengajarkan kita untuk selalu membuka diri terhadap berbagai informasi dari mana pun berasal, tanpa cepat-cepat menilai, menghukumi, atau mengevaluasi berdasarkan prakonsepsi kita sendiri. Kita berdialog dengan fenomena yang kita hadapi. Kita membiarkan fenomena itu “membuka mulutnya”, bercerita tentang dirinya: kita bertanya, mendengarkan, dan menangkap pola serta maknanya. Sebagai metode ilmiah, fenomenologi menunjukkan jalan perumusan ilmu pengetahuan melalui tahap-tahap tertentu, di mana suatu fenomena yang dialami manusia menjadi subjek kajiannya. Tulisan ini membatasi diri hanya akan menguraikan fenomonlogi sebagai metode ilmiah dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.
Historis Fenomenologi
Pada awalnya, istilah fenomenologi diperkenalkan oleh J.H. Lambert, tahun 1764, untuk menunjuk pada Teori Kebenaran. Setelah itu, istilah ini diperluas pengertiannya. Menurut Kockelmans, fenomenologi digunakan dalam filsafat pada tahun 1765, yang kadang-kadang ditemukan dalam karya-karya Immanuel Kant, yang kemdian didefinisikan secara baik dan dikonstruksikan sebagai makna secara teknis oleh Hegel.
Menurut Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan yang muncul dalam kesadaran, sains yang mendeskripsikan apa yang dipahami seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya.
Fenomenologi dicetuskan secara intens sebagai kajian filsafat pertama kali oleh Edmund Husserl (1859-1938), sehingga Husserl sering dipandang sebagai Bapak Fenomenologi. Filsafatnya sangat populer sekitar tahun 1950-an. Tujuan utama filsafat ini adalah memberi landasan bagi filsafat agar dapat berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom (Kuper dan Kuper, ed., 1996). Pada awal perekembangannya, fenomenologi merupakan seperangkat pendekatan dalam studi filosofis dan sosiologis, serta studi tentang seni (Edgar dan Sedgwick, 1999).
Kemunculan fenomenologi oleh Husserl dilatarbelakangi oleh kenyataan terjadinya krisis ilmu pengetahuan. Dalam krisis ini, ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan nasihat apa- apa bagi manusia. Ilmu pengetahuan senjang dari praktik hidup sehari-hari. Hal ini, menurut Husserl, konsep teori sejati telah banyak dilupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam kebudayaan ilmiah dewasa ini. Sehubungan dengan itu, Husserl mengajukan kritik terhadap ilmu pengetahuan sebagai berikut:
-
Ilmu pengetahuan telah jatuh pada objektivisme, yaitu cara memandang dunia sebagai susunan fakta objektif dengan kaitan-kaitan niscaya. Bagi Husserl, pengetahuan seperti itu berasal dari pengetahuan prailmiah sehari-hari, yang disebut lebenswelt.
-
Kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh tafsiran-tafsiran objektivistis itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan-kepentingan dunia kehidupan sehari-hari itu.
-
Teori yang dihasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan-kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami tradisi pemikiran Barat.
Dengan demikian, menurut Husserl, krisis ilmu pengetahuan itu disebabkan oleh kesalahpahaman disiplin-disiplin ilmiah itu terhadap konsep teori sejati itu. Melalui fenomenologi, Husserl berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia- kehidupan yang dihayati, yang tujuan akhirnya untuk menghasilkan teori murni yang dapat diterapkan pada praktik (Hardiman, 1993). Dengan kata lain, fenomenologi Husserl ini berangkat dari filsafat ilmu. Dalam hal ini, ia mengsusulkan bahwa fenomena-fenomena itu, untuk dipahami, harus didekati dengan cara-cara yang khas.
Edmund Husserl menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah sebenarnya telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dari kegiatan-kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan itu berakar. Maka itu, ia menawarkan fenomenologi. Konsep fenomenologi Husserl dipengaruhi oleh konsep verstehen dari Max Weber. Verstehen adalah pemahaman. Realitas adalah untuk dipahami, bukan untuk dijelaskan.
Menurut Bertens (1981), apa yang disebut “metode fenomenologi” saat ini kerap kali hampir tidak berkaitan lagi dengan fenomenologi menurut konsepsi Husserl. Ia memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung. Fokus filsafat, baginya, adalah lebenswelt (dunia kehidupan) dan erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Bagi Husserl, fenomenologi merupakan kajian filosofis yang melukiskan segala bidang pengalaman manusia. Manusia mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah kesadaran. Baginya, fenomenolgi merupakan sebuah kajian yang tak pernah berakhir, sehingga ia menjuluki dirinya sebagai pemula yang abadi. Oleh karena itu, fenomenologi, kini, telah banyak dikupas, dan diberi penjelasan yang begitu luas dan beragam. Husserl sendiri bercita-cita, fenomenologi menjadi ilmu rigorous, yakni ilmu yang “ketat” yang penjelasannya punya batasan, tidak meragukan. Setiap konsep terdefinisikan dengan jelas.
Husserl mengembangkan sistem filosofis yang berakar dari keterbukaan subjektif, sebuah pendekatan radikal terhadap sains yang terus dikritisi. Fenomenologi, bagi Husserl, tak berguna bagi mereka yang berpikiran tertutup.
Seorang fenomenolog adalah orang yang terbuka pada realitas dengan segala kemungkinan rangkaian makna di baliknya, tanpa tendensi mengevaluasi atau menghukumi.
Fenomenologi Husserl, menurut Bertens, pada akhirnya berdimensi sejarah. Suatu fenomena tidaklah sebagai sesuatu yang statis, tetapi dinamis. Fenomena itu memiliki sejarah. Sejarah berkaitan dengan riwayat individual manusia, juga manusia secara keseluruhan. Kesadaran kita mengalami perkembangan; sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Setiap fenomena mengandung muatan sejarah. Suatu fenomena tidak beridiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Setelah Husserl, fenomenologi berkembang, antara lain, dalam pemikiran Morleau-Ponty, Alfred Schutz, Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann. Pandangan Husserl berbeda dengan padangan para fenomenolog berikutnya. Bagi Husserl, pengalaman merupakan sesuatu yang bersifat objektif, terpisahkan dari individu.
Maurice Morleau-Ponty banyak dipengaruhi pemikiran Husserl. Tetapi, ia menolak idealisme Husserl. Bagi Morleau-Ponty, manusia adalah kesatuan dari dimensi fisik dan nonfisik yang menciptakan makna dalam dunia. Seseorang, sebagai subjek pengamat, memiliki relasi dengan sesuatu di dunia ini. Ia dipengaruhi oleh dunia dan pada gilirannya ia pun memaknai dunia itu.
Dunia yang kita alami merupakan hasil ciptaan kesadaran kita. Fenomenologi memang mengakui adanya realitas eksternal sebagai hal yang benar- benar ada, tetapi hal ituhanya bisa dipahami melalui kesadaran yang kita miliki.
Menurut Alfred Schutz, proses pemaknaan diawali dengan proses penginderaan, suatu proses pengalaman yang terus berikesinambungan. Arus pengalaman inderawi ini, pada awalnya, tidak memiliki makna. Makna munculketika dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya serta melalui proses interaksi dengan orang lain. Karena itu, ada makna individual, dan ada pula makna kolektif tentang sebuah fenomena. Kesadaran kita memproses data inderawi. Bagi Schutz, tindakan manusia selalu punya makna – menurut Weber makna itu identik dengan motif tindakan. Namun, makna itu tidak ada yang bersifat aktual dalam kehidupan.
Lebih jauh, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa manusia mengonstruksi realitas sosial melalui proses subjektif, tetapi dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruksi terjadi melalui pembiasaan di antara para aktor. Hubungan antarindividu dengan institusi terjadi secara dialektik. “Masyarakat adalah produk manusia, masyarakat adalah realitas objektif, dan manusia produk masyarakat.” Proses itu terjadi melalui hubungan memori dari pengalaman dan peran individu. Manusia adalah produk dari masyarakat yang diciptakannya sendiri.
Selain itu, fenomenologi berfokus pada pengalaman personal, termasuk bagaimana para individu mengalami satu sama lain (Littlejohn, 2002:13). Oleh karena itu, komunikasi dipandang sebagai hubungan antarpribadi secara bersama melalui dialog.
Kosep Dasar Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phaenesthai, berarti menunjukkan dirinya sendiri, menampilkan. Fenomenologi juga berasal dari bahasa Yunani, pahainomenon, yang secara harfiah berarti “gejala” atau apa yang telah menampakkan diri” sehingga nyata bagi si pengamat. Metode fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl bersemboyan: Zuruck zu den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri) (Dister Ofm).
Fenomenologi, sesuai dengan namanya, adalah ilmu (logos) mengenai sesuatu yang tampak ( phenomenon ). Dengan demikan, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakan dari apa saja merupakan fenomenologi (Bertens, 1987). Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia (Bagus, 2002). Fenomenologai adalah studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesaradan, atau cara memahami suatu objek atau peristiwsa dengan mengalaminya secara sadar (Littlejohn, 2003). Namun, bagi Brouwer (1984), fenomenologi itu bukan ilmu, tetapi suatu metode pemikiran ( a way of looking at things ). Dalam fenomenologi tidak ada teori, tidak ada hipotesis, tidak ada sistem.
Fenomenologi bukan realisme, juga bukan idealisme. Di satu sisi, fenomenologi percaya bahwa dunia itu ada, real . Dunia, dengan segala isinya, itu nyata ada, tanpa pengaruh kehadiran pikiran kita. Ada atau tidak ada kita, kita berpikir atau tidak, dunia itu hadir sebagaimana adanya. Tetapi fenomenologi tidak sama dengan realisme yang hanya percaya atas realitas sebagai hal objektif terpisah dari kesadaran. Di sisi lain, fenomenologi juga mengajarkan bahwa realitas itu muncul dalam proses aktif dalam kesadaran, tetapi tidak sama seperti idealisme yang menafikan realitas objektif. Jadi, fenomenologi menempati kedudukan sebelum terdapatnya pembedaan antara realisme dengan idealisme. Namun, Husserl secara berangsur-angsur berpaling ke arah idealisme. Sementara, murid- muridnya lebih menuju ke bandul realisme.
Fenomenologi juga berupaya mengungkapkan tentang makna dari pengalaman seseorang. Makna tentang sesuatu yang dialami seseorang akan sangat tergantung bagaimana orang berhubungan dengan sesuatu itu. Sejalan dengan itu, menurut Littlejohn dan Foss (2005), fenomenologi berkaitan dengan penampakan suatu objek, peristiwa, atau suatu kondisi dalam persepsi kita. Pengetahuan berasal dari pengalaman yang disadari, dalam persepsi kita. Dalam hal ini, fenomenologi berarti membiarkan sesuatu datang mewujudkan dirinya sebagaimana adanya. Dengan demikian, di satu sisi, makna itu muncul dengan cara membiarkan realitas/fenomena/pengalaman itu membuka dirinya. Di sisi lain, makna itu muncul sebagai hasil interaksi antara subjek dengan fenomena yang dialaminya.
Berikut adalah bebeapa pengertian fenomenologi lainnya:
-
Fenomenologi adalah studi tentang esensi-esensi, misalnya esensi persepsi, esensi kesadaran, dsb.
-
Fenomenlogi merupakan filsafat yang menempatkan kembali esensi-esensi dalam eksistensi; bahwa manusia dan dunia tak dapat dimengerti kecuali dengan bertitik tolak pada aktivitasnya.
-
Fenomenologi adalah suatu filsafat transendental yang menangguhkan sikap natural dengan maksud memahaminya secara lebih baik.
-
Fenomenologi merupakan filsafat yang menganggap dunia selalu “sudah ada”, mendahului refleksi, sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan, yang berusaha memulihkan kembali kontak langsung dan wajar dengan dunia sehingga dunia dapat diberi status filosofis.
-
Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secara langsung melukiskan pengalaman kita sebagaimana adanya, tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan kausal yang dapat disajikan oleh ilmuwan, sejarawan, dan sosiolog (Merleau-Ponty).
Lebih jauh, berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Merleau-Ponty menulis:
Saya tidak dapat mengerti diri saya sebagai sebagian dari dunia saya atau sebagai semata-mata objek penyelidikan biologi, psikologi, dan sosiologi. Saya juga tidak dapat membiarkan diri saya terkurung dalam dunia ilmu pengetahuan. Apa saja yang saya ketahui tentang dunia, bahkan melalui ilmu pengetahuan, saya mengetahuinya dari sudut pandangan saya yang khas atau berdasarkan pengalaman saya tentang dunia. Dan tanpa pengalaman-pengalaman itu, simbol-simbol pengetahuan takkan mempunyai arti apa pun. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun atas di atas dunia yang dialami. Dan kalau kita ingin merefleksikan ilmu pengetahuan secara mendalam dan menentukan dengan tepat makna serta jangkauannya, maka terlebih dahulu perlu kita menghidupkan kembali pengalaman kita tentang dunia. Ilmu pengetahuan hanyalah pengungkapan kedua tentang dunia. Ilmu pengetahuan belum pernah dan tidak akan pernah mempunyai arti yang sama seperti dunia yang kita alami secara langsung, karena ilmu pengetahuan itu hanya sekadar penentuan dan keterangan lebih lanjut dari pengalaman kita.
Intisari fenomenologi dikemukakan Stanley Deetz, yaitu :
-
Pertama , pengetahuan adalah hal yang disadari. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan langsung dalam pengalaman kesadaran.
-
Kedua , makna dari sesuatu terdiri dari potensi-potensi dalam kehidupan seseorang. Bagaimana hubungan seseorang dengan suatu objek akan menentukan bagaimana makna objek itu bagi yang bersangkutan.
-
Ketiga , bahasa merupakan sarana bagi munculnya makna. Kita mengalami dunia dan mengekspresikannya melalui bahasa.
Untuk memahami fenomenologi, terdapat beberapa konsep dasar yang perlu dipahami, antara lain konsep fenomena, epoche , konstitusi, kesadaran, dan reduksi.
-
Fenomena
Secara etimologis, istilah fenomena berasal dari kata Yunani: phaenesthai, artinya memunculkan, meninggikan, menunjukkan dirinya sendiri. Menurut Heidegger, istilah fenomena, yang juga dibentuk dari istilah phaino , berarti membawa pada cahaya, menempatkan pada terang-benderang, menunjukkan dirinya sendiri di dalam dirinya, totalitas dari apa yang tampak di balik kita dalam cahaya.
Objek yang muncul dalam kesadaran berbaur dengan objek yang ada secara alamiah, sehingga makna diciptakan dan pengetahuan dikembangkan. Suatu hubungan berada antara yang ada dalam kesadaran yang disadari dan apa yang berada dalam dunia. Apa yang muncul dalam kesadaran adalah realitas absolut sedangkan apa yang muncul di dunia adalah suatu produk belajar (Moustakas, 1994).
Fenomena adalah suatu tampilan objek, peristiwa, dalam persepsi. Sesuatu yang tampil dalam kesadaran. Bisa berupa hasil rekaan atau kenyataan. Menurut Moustakas (1994), fenomena adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran. Fenomena, dalam konsepsi Huesserl, adalah realitas yang tampak, tanpa selubung atau tirai antara manusia dengan realitas itu. Fenomena adalah realitas yang menampakkan dirinya sendiri kepada manusia. Sementara itu, dalam mengahadapi fenomena itu manusia melibatkan kesadarannya, dan kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu (realitas) (Bertens, 1981).
Perlu dipahami, bahwa fenomena, menurut Brouwer (1984), bukanlah suatu benda, bukan suatu objek di luar diri kita, dan lepas dari kita sendiri. Ia adalah suatu aktivitas. Bila saya melihat sebuah rumah, maka terdapat aktivitas akomodasi, konvergensi, dan cerapan dari mata saya, sehingga rumah itu tampak terlihat, sehingga ia muncul sebagai fenomena. Secara sederhana, maka terjadi dialektis antara subjek dan objek. Tak mungkin ada yang dilihat jika tidak ada yang melihat.
Lebih lanjut, setiap fenomena merepresentasikan titik permulaan yang pas bagi suatau investigasi (Moustakas, 1994). Fenomena menjadi sesuatu yang menjadi objek yang dikaji dalam studi fenomenologi.
-
Kesadaran
Kesadaran adalah pemberian makna yang aktif. Kita selalu mempunyai pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang kesadaran yang identik dengan diri kita sendiri. Dunia sebagai kebertautan fenomena-fenomena diantisipasi dalam kesadaran akan kesatuan kita dan bahwa dunia itu merupakan sarana bagi kita untuk merealisasikan diri kita sebagai kesadaran.
Kesadaran adalah kemampuan untuk memperlakukan subjek untuk menjadi objek bagi dirinya sendiri, atau menjadi objektif tentang dirinya sendiri (Bagus, 2002). Saya menjumpai hakikat kesadaran, bila saya menemukan kembali kehadiran saya pada diri saya sendiri, kenyataan kesadaran yang akhirnya mau ditunjukkan oleh kata dan pengertian “kesadaran” (Bertens, 1987). Dunia adalah apa yang kita persepsi akan sesuatu. Dalam hal ini, Merleau-Ponty menekankan bahwa kesadaran tidak berfungsi di atas, melainkan di dalam dunia yang dimengertinya, dalam arti prareflektif dan praobyektif (Bertens, 1987).
Kesadaran, tak lain, adalah keterbukaan dan kelangsungan hubungan dengan yang lain, di mana dirinya dengan yang lainnya tidak memiliki pemisahan yang tegas.
-
Intensionalitas
Menurut Husserl, kesadaran bersifat intensionalitas, dan intensionalitas merupakan struktur hakiki kesadaran manusia. Oleh karena itu, fenomena harus dipahami sebagai hal yang menampakkan dirinya (Bertens, 1981). Dalam fenomenologi, intensionalitas mengacu pada keyakinan bahwa semua tindakan ( aktus ) kesadaran memiliki kualitas; atau seluruh kesadaran akan objek-objek. Tindakan kesadaran disebut tindakan intensional dan objeknya disebut objek intensional (Bagus, 2002). Menurut konsep ini, manusia menampakkan dirinya sebagai yang transenden, sintesis dari subjek dan objek. Manusia mengada dalam alam, menjadi satu dalam alam. Oleh karena itu, kata Brouwer (1984), tidak ada bedanya antara saya-mengalami-alam dengan alam-yang saya-alami. Intensi sendiri berarti orientasi pikiran pada suatu objek. Intensionalitas berkaitan dengan kesadaran, pengalaman internal mengenai kesadaran akan sesuatu.
-
Konstitusi
Konstiusi adalah proses tampaknya fenomena ke dalam kesadaran (Bertens, 1981). Ia merupakan aktivitas kesadaran, sehingga realitas itu tampak. Dunia nyata itu dikonstitusi oleh kesadaran. Kenyataan real bukan berarti ada karena diciptakan oleh kesadaran, tetapi kehadiran aktivitas kesadaran ini diperlukan agar penampakan fenomena itu dapat berlangsung. Bertens (1981) menegaskan:
Tidak ada kebenaran-pada-dirinya, lepas dari kesadaran. Dan karena yang disebut “realitas” itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas itu harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi itu berlangsung dalam proses penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.
Dengan kata lain, konstitusi itu semacam proses konstruksi dalam kesadaran manusia. Ketika kita melihat satu bentuk benda, yang tampak pada indra kita selalu hanya sebagian. Ia tampak dari mana kita melihat. Tetapi, kesadaran kita melakukan konstitusi, sehingga kita menyadarinya tentang (kemungkinan) bentuk benda itu bila dilihat dari sisi lain. Konstiusi adalah hal yang dilihat dari sudut pandang subjek, memaknakan dunia dan alam semesta yang dialami.
-
Epoche
Epoche merupakan konsep yang dikembangkan oleh Husserl, yang terkait dengan upaya mengurangi atau menunda penilaian ( bracketing ) untuk memunculkan pengetahuan di atas setiap keraguan yang mungkin. Sejalan dengan Descartes dan Kant, Husserl berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari intuisi, dan esensi mendahului pengetahuan empiris.
Epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti menahan diri untuk menilai. Dalam sikap alamiah sehari-hari, kita memperoleh pengetahuan melalui penilaian terhadap sesuatu. Epohe merupakan cara pandang lain yang baru dalam melihat sesuatu. Kita belajar menyaksikan apa yang tampak sebelum mata kita memandang, kita menyaksikan apa yang dapat kita bedakan dan deskripsikan.
Dalam epoche , menurut Moustakas (1994), pemahaman, penilaian, dan pengetahuan sehari- hari dikesampingkan dahulu, dan fenomena dimunculkan dan direvisi secara segar, apa adanya, dalam pengertian yang terbuka, dari tempat yang menguntungkan dari ego murni atau ego transendental.
-
Reduksi
Reduksi merupakan kelanjutan dari epoche . Bagi Husserl, manusia memiliki sikap alamiah yang mengandaikan bahwa dunia ini sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Namun, untuk memulai upaya fenomenoloogis, kita harus menangguhkan kepercayaan ini. Inilah yang dimaksud dengan reduksi fenomenologis, atau disebut pula reduksi transendental, atau epoche itu sendiri. Melalui reduksi ini, kita melakukan semacam netralisasi, bahwa ada tidaknya dunia bukanlah hal yang relevan (Bertens, 1981).
Reduksi dilukiskan sebagai gerak kembali kepada suatu kesadaran transendental. Di depan kesadaran transendental itu, dunia terentang dengan kejernihan tanpa kegelapan apa pun. Dunia adalah dunia-sebagai- makna dan reduksi fenomenologis adalah idealistis dalam arti suatu idealisme transendental yang menganggap dunia sebagai suatu kesatuan-nilai tak terpisahkan yang dimiliki bersama oleh dua orang, di mana perspektif-perspektif mereka bercampur baur. Dengan demikian, mereka bisa saling berkomunikasi.
Reduksi fenomenologis. Kita harus memilah pengalaman-pengalaman kita untuk mendapatkan fenomena dalam wujud semurni-murninya. Segala sesuatu tampak pada kita … Fenomena yang menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu saja… Keputusan itu harus ditangguhkan. … Setelah itu kita harus memandang atau menilik apa yang kita alami di dalam kesadaran kita. Apa yang kita tunda itu adalah berbagai pandangan kita yang sudah kita miliki sebelum kita menyelidiki apa yang tampak itu (Bagus, 2002:940-941).
Reduksi-fenomenologis-transendental . Dalam istilah ini, digunakan kata transendental karena hal itu berlangsung di luar keseharian menuju ego-murni di mana segala sesuatudipahami secara segar, seolah-oleh untuk pertama kalinya. Reduksi ini juga disebut fenomenologis karena hal ini mentransformasikan dunia ke dalam suatu fenomena. Disebut reduksi, karena hal ini mengarahkan kita ke belakang pada sumber makna dan eksistensi dunia yang dialami (Schmitt, 1967).
Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan, serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya (Delfgaauw, 2001).
-
Intersubjektivitas
Kita hidup bersama orang lain. Kita berada dalam orang lain, dan orang lain pun berada dalam kita. Dengan demikian, hal ini memungkinkan kita salingberkomunikasi untuk terus saling memahami. Pengalaman saya tentang orang lain muncul sejalan dengan pengalaman orang lain tentang saya. Dan segala sesuatu yang saya pahami tentang orang lain didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman masa lalu saya.
Sumber : O. Hasbiansyah, Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi