Apa yang dimaksud dengan Fenomenologi ?

Fenomenologi

Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.

Apa yang dimaksud dengan Fenomenologi ?

Fenomenologi adalah aliran filsafat yang dikembangkan oleh seorang filodof berkebangsaan Jerman, Edmund Husserl. Kata fenomenologi terdiri dari dua kata bentukan yaitu fenomenon dan logos. Kata feomenon mempunyai arti yang hampir sama dengan fantasi, fantom, fosfor, foto yang artinya sinar atau cahaya. Akar kata itu jika dibentuk menjadi kata kerja berarti: nampak, terlihat karena cahaya, bersinar. Fenomenon, dengan demikian, dapat diartikan sesuatu yang nampak, yang terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia ada juga kata yang digunakan untuk mengartikan fenomena yaitu: gejala.

Fenomenologi berarti uraian atau pembahasan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampakkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala. Fenomenologi hakekatnya ingin mencapai pengertian yang benar, yaitu pengertian yang menangkap realitas seperti dikehendaki oleh realitas itu sendiri.

Menurut feomenologi, realitas dapat ditangkap oleh pengertian manusia. Pengertian adalah tempat bertemu dan bersatunya manusia dengan realitas. Dalam pertemuan itu realitas menampakkan diri, menggejala, akan tetapi ia juga menyembunyikan diri. Pengertian manusia tentang susuatu hal bisa bertambah, menjadi lebih sempurna. Bertambah dan sempurnanya pengertian itu karena manusia selalu menyelidiki, bertanya, dan terus bertanya.

Bertanya adalah kegiatan manusia untuk menghilangkan kabur yang menyelimuti realitas. Realitas menampakkan diri, akan tetapi bersama itu juga ia berkerudung (onthulling–verhulling). Manusia berusaha menghilangkan atau menyingkap kerudung itu untuk dapat melihat realitas.

Kabut yang menyelimuti realitas bukan semata-mata dari pihak realitas saja, melainkan juga dari pihak yang melihat realitas. Konsepsi-konsepsi manusia, cara berfikir, suasana hidup dan latar belakangnya sering menjadi kabut tebal dalam melihat realitas.

Konsepsi-konsepsi, cara berfikir, suasana hidup dan latar belakang yang menjadi kabut orang melihat realitas itu ternyata tidak hanya dari dirinya sendiri, tetapi kadang ditanam, dimasukkan ke dalam sanubari oleh zaman yang dialami. Husserl menyarankan agar manusia sampai kepada realitas maka harus melepaskan diri dari berbagai kegelapan itu dan menerobos kabut. Istilah Husserl, “Nach den Sachen Selbst”, artinya kita harus menerobos kabut sampai ke realitas yang sesungguhnya.

Fenomenologi

Fenomenologi Sebagai Metode Filsafat

Fenomenologi sebagai metode filsafat yang digunakan Husserl bertujuan menerangkan bahwa pengetahuan manusia betul-betul mempunyai, “Rechtsanspruch auf Gegestanliehkeit”, artinya kita mengerti dan dalam pengertian itu kita dapat mengatakan bahwa pengertian itu mempunyai obyek (Gegenstand). Tetapi benarkah begitu? Inilah sebenarnya yang dipersoalkan, yaitu kebenaran pengertian manusia pada umumnya, dan kemudian Husserl mempersoalkan kebenaran ilmu pada khususnya.

Untuk mencarai pemecahan persoalan tersebut harus dilihat pengalaman manusia sehari-hari dalam mengalami pengertian. Seringkali manusia menjumpai hal-hal yang menggelapkan, yang mempersukar atau merintangi tercapainya kebenaran. Manusia mempunyai pendirian yang biasa atau spontan, istilah husserl “Naturliche Einstellung”. Manusia sadar akan dunia, karena memang bisa dilihat, didengar, diraba, dan sebagainya. Semua itu secara spontan diakui manusia sebagai obyektif. Itulah pengertian biasa.

Bagi filsuf pengertian biasa saja belum cukup. Untuk memperoleh pengertian yang sempurna ia harus berfikir, ia harus berkontemplasi, sebab dalam pendirian yang spontan itu terkandung juga unsur-unsur subyektif. Bagi siapa yang menghendaki berjumpa dengan realitas yang sebenarnya, menurut Husserl, harus berani meninggalkan pendirian yang biasa itu. Kesibukan ini oleh Husserl disebut “Phänomenologische Reduktion”. Reduksi artinya penyaringan, yang disaring adalah “Erlebnisse”, yaitu pengalaman-pengalaman kita. Jika sudah disaring yang tinggal adalah fenomenon dalam wujud yang murni.

Selain yang tersebut di atas, Husserl juga menawarkan cara lain. Fenomena biasanya selalu menunjuk barang di luar kesadaran kita. Kita biasanya tertarik begitu saja kepada realitas, dan karena “hanyut” maka kita begitu saja mengakui ini dan itu. Dalam kondisi demikian sebetulnya pengertian tidak murni. Kita mempunyai banyak prasangka (assumptions), kita banyak mempunyai perasaan yang kesemuanya masuk begitu saja dalam pengertian kita. Untuk mencapai pengertian yang murni kita harus berani hanya melihat fenomen qua fenomen.

Agar manusia dapat melihat fenomena sebagaimana adanya maka tidak boleh tergesa-gesa mengambil penilaian dan kesimpulan. Manusia pada umumnya cenderung mengadakan afirmasi atau mengakui, misalnya ini memang ada, itu memang begitu, dan sebagainya. Penilaian dan penyimpulan itulah yang harus ditahan. Tahanlah semua keputusan, tundalah tiap-tiap pikiran yang muncul mengenai realitas yang kita pandang.

Perkataan menahan atau menunda dipakai untuk mengartikan istilah Husserl “Einklammern” yang mempunyai arti mengurung. Misalnya, ketika kita membaca sebuah teks yang sukar, maka untuk mengerti intisarinya, kita banyak memasang tanda kurung. Hal-hal yang dianggap kurang perlu dikurung dulu, sebab yang akan dicarai adalah intisari teks terlebih dahulu. Kegiatan ini oleh Husserl disebut penyaringan fenomenologis.

Selesaikah jalan yang ditawarkan Husserl untuk mengetahui realitas? Ternyata belum, masih ada pembersihan kedua, yang oleh Husserl disebut ideation atau membuat ide. Kegiatan ini disebut juga reduction, akan tetapi sekarang bukan lagi phänomenologisch melainkan “eidetisch”, artinya penyaringan yang sampai ke eidos-nya, sampai ke intisarinya, atau wesen-nya. Oleh karena itu hasil penyaringan ini disebut “wesenchau”, maksudnya kita melihat hakikat dari sesuatu.

Fenomenologi Sebagai Ajaran

Husserl mengemukakan bahwa kata yang dipakai manusia mempunyai dua arti, yaiutu arti yang menunjuk dari jauh disebut intendeirende bedeutung, kata yang digunakan ketika orang tidak melihat barangnya. Arti yang lain adalah erfullende bedeutung, digunakan ketika manusia melihat langsung barang yang dimaksudkan.

Obyek yang kita lihat sesungguhnya unik, karena ia menghubungkan dengan sesuatu yang diluar dirinya, yang disebut sifat “intentional” maksudnya menuju ke suatu obyek lain. Obyek yang nampak dalam kesadaran manusia disebut oleh Husserl dengan Noema. Noema hanya satu meskipun penangkapan manusia berubah-ubah.

Obyek yang sesungguhnya menurut Husserl adalah noema. Ia terdiri dari beberapa unsur (noemata), tetapi unsur-unsur tidaklah sentral. Obyek bisa betul-betul ada, tetapi bisa juga tidak ada. Jika betul-betul ada disebut obyek transenden, artinya da betul diluar pikiran. Lebih dari itu intelek manusia sangat konstruktif, ia membuat obyek. Maka menurut Husserl ketika kesadaran kita menangkap (Wahrnemung) berarti membuat atau mengkonstruksi.

Husserl mengatakan bahwa tidak ada kepastian tentang pengertian realitas. Sebab, barang-barang dunia (Dingwelt) tidak ada satupun yang dapat kita mengerti secara penuh, artinya tidak ada satupun realitas yang nampak secara definitif. Untuk menghadapi kesulitan ini maka kita harus mengadakan penyaringan yang terakhir.

Semua yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak tentu harus kita “kurung” dulu. Termasuk “aku” yang terkungkung oleh jasmani atau “aku” yang empiris harus dikurung dulu. Jika semua sudah dikurung yang tinggal adalah kesadaran yang tidak empiris lagi, aku yang berada di atas segala pengalaman. Dengan demikian kita mengerti “das ich” yang transcendental atau di atas segala yang tidak tentu, maka ditemukanlah “absolute apodiktische voraussetzung” atau dasar yang pasti dan tidak dapat dibantah lagi.

Fenomenologi

Catatan Penutup

Fenomenologi Husserl sesungguhnya merupakan reaksi terhadap beberapa pemikiran dan gaya hidup yang berkembang ketika Husserl hidup. Skeptisisme, yang berpandangan bahwa pengertian yang sebenarnya tidak ada, oleh sebab itu segala sesuatu mestilah diragukan. Idealisme, yang beranggapan bahwa manusia tidak mengerti realitas, melainkan hanya dalam ide atau pikiran.Relativisme, yang beranggapan bahwa kebenaran umum itu tidak ada.
Fenomenologi ada yang cenderung kepada idealisme adan ada yang cenderung kepada realisme, kadang-kadang dipakai oleh theisme tetapi juga oleh atheisme. Sekarang ini fenomenologi sebagai metode tidak hanya digunakan dalam filsafat, tetapi juga digunakan dalam bidang lain seperti psikologi dan sosiologi.

Adalah Franz Brentano pada tahun 1874 mempublikasikan buku Psychology Froman Empirical Point of View, orang yang pertama memakai fenomenologi Husserl dalam bidang psikologi, khususnya mengenai teori intensional.

Fenomenologi yang dikembangkan Husserl bercorak idealisme transcendental karena ia akui sebagai realitas adalah “das ich” yang transcendental. Iin adalah pendapat eigen Fink, seorang Profesor di Freiburg, Jerman yang telah bertahun-tahun menjadi asisten Husserl. Pendapat ini didukung oleh Igarden ahli fenomenologi dari Krakau dan Alfred Schut dari New York.

Berbeda dengan pendapat diatas, Pater H. Van Breda, Direktur Husserlarchief dari Louvain-Belgia, berpendapat bahwa Husserl justru masuk dalam kelompok realisme. Hal ini menurut Breda karena reduction yang menjadi salah satu kegiatan fenomenologi Husserl menyebabkan manusia sadar akan dirinya dan sadar akan obyek. Dibicarakan pula tentang hubugan subyek- obyek. Singkatnya hubunbgan subyek-obyek itu berkaitan dengan realitas, yang senantiasa berhubungan dengan dunia riil manusia.

Terlepas dari perdebatan idealisme-realisme di atas, Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta instrospektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung: religius, moral, estetis, konseptual serta inderawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Lebenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebinsse (kehidupan subyektif-batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan ciri intensional yang terdapat pada kesadaran, tanpa mengandaikan berbagai praduga konseptual.

Fenomenologi Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai kepada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dengan melukiskan ciri-ciri intrinsic dari gejala sebagaimana gejala itu menyingkapkan dirinya pada kesadaran. Kita harus bertolak dari subyek (manusia) dari kesadarannya dan berupaya kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau hal ini sudah dikerjakan, akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki atau intuisi esensi.

Sumber : Sudarman, Fenomenologi Husserl sebagai metode filsafat eksistensial, IAIN Raden Intan

Referensi
  • Dermot Moran and Timothy Mooney (ed), The Phenomenology Reader. New York: Routledge, 2002
  • Leonard Lawlor, Derrida, and Husserl: The Basic Problem of Phenomenology Bloomington: Indiana University Press, 2002
  • Mary Warnock, Existensialism . Oxford&New York: Oxford University Press, 1989
  • Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama. Terj. Kelompok Studi Agama Drijarkara. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
  • N. Drijarkara, Percikan Filsafat,. Jakarta: PT Pembangunan,1989 Richard Feist, Husserl and The Sciences . Canada: University of
  • Ottawa, 2004
  • The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III. Ed. Paul Edward. (London & New York: Collier Macmillan Publisher, 1972

Fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos . Fenomena berasal dari kata kerja Yunani ― phainesthai yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.

Teori-teori dalam tradisi fenomenologis berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya. Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologi, yaitu :

  • Pertama, Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar, kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya.

  • Kedua, makna benda terdiri atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain, bagaimana anda berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi anda.

  • Ketiga adalah bahwa bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.

Dari ketiga prinsip fenomenologi yang dikemukakan oleh Stanley Deetz ini dapat diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang diperoleh dari pengalaman yang telah dialami dan bahasa merupakan alat komunikasi untuk memaknai sesuatu. Proses pemaknaan tersebut dapat disebut interpretasi, interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam teori fenomenologi.

Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman. Menurut tradisi fenomenologi, interpretasi merupakan realitas bagi seorang indvidu. Dengan demikian proses interpretasi akan terus berkembang dan berubah-ubah sepanjang manusia itu hidup antara pengalaman dengan makna yang diberikan setiap kali menemui pengalaman baru.

Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial.

Fenomenologi merupakan cara yang digunakan manusia untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung.

Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data utama dalam memahami realitas. Apa yang dapat diketahui seseorang adalah apa yang dialaminya. Orang mengetahui pengalaman atau peristiwa dengan cara mengujinya secara sadar melalui perasaan dan persepsi yang dimiliki orang bersangkutan.

Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu, interpretasi merupakan proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu tindakan kreatif yakni tindakan menuju pemaknaan. Fenomenologi yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya adalah agar kembali ke bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan menyampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain, fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada waktu khusus lebih dari pernyataan abstrak tentang kealamiahan dunia secara umum.

Tahapan-tahapan penelitian fenomenologi menurut Husserl.

  • Pertama, epoche , Husserl menggunakan istilah ini untuk term bebas dari prasangka. Dengan epoche kita menyampingkan penilaian, bias, dan pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki sebelumnya. Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan, kesadaraan, dan pemahaman yang baru.

  • Kedua, reduksi. Reduksi akan membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami sesuatu. Memunculkan kembali asumsi awal dan mengembalikan sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, numun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan hati-hati. Singkatnya, reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya. Maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat.

  • Ketiga, variasi imajinasi, tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman. Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena.

  • Keempat, sintesis makna dan esensi. Sintetis makna dan esensi merupakan tahap terakhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah integrasi intuitif dasar- dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam satu pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan. Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu, dan sudut pandang imajinatif dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.

Fenomenologi

Keragaman dalam Tradisi Fenomenologis

Terdapat tiga hal pemikiran tradisi fenomenologis yang secara umum dikaji oleh para ilmuan, yaitu: fenomenologi klasik; fenomenologi persepsi; dan fenomenologi hermenetik.

  • Pertama, Fenomenologi klasik.
    Fenomenologi klasik selalu dikaitkan dengan tokoh Edmund Husserl, salah satu pendiri fenomenologi modern. Husserl yang menulis selama pertengahan abad ke-20, berusaha mengembangkan metode yang meyakinkan kebenaran melalui kesadaran yang terfokus. Baginya, kebenaran dapat diyakinkan melalui pengalaman langsung dengan catatan harus disiplin dalam mengalami segala sesuatu. Pendapat ini menunjukkan dengan pengalaman dan perhatian sadar yang dialami oleh manusia kebenaran dan pengetahuan dapat diperoleh seseorang. Akan tetapi syarat untuk dapat melakukan perhatian sadar ( conscious attention ) seseorang harus menyingkirkan bias yang ada pada dirinya. Kita harus meninggalkan barbagai kategori berpikir dan kebiasaan kita melihat sesuatu agar dapat merasakan pengalaman sebagaimana apa adanya. Melalui cara ini, berbagai objek di dunia dapat hadir ke dalam kesadaran kita.

    Pandangan Husserl ini dinilai sebagai sangat objektif karena the world can be experienced without the knower bringing his or her own categories to bear on the process. Pandangan ini menyatakan bahwa dunia dapat dirasakan atau dialami tanpa harus membawa serta berbagai kategori yang dimiliki orang yang ingin mengetahui pengalaman itu ( knower ), karena hal itu dapat memengaruhi proses merasakan pengalaman itu.

    Para ahli fenomenologi saat ini menganut ide bahwa pengalaman itu subjektif bukan objektif dan percaya bahwa subjektivitas merupakan bentuk penting sebuah pengetahuan, tokoh yang berbeda pendapat dengan Husserl ini adalah Maurice Merleau Ponty yang memiliki hubungan dengan tradisi fenomenologi persepsi.

  • Kedua, Fenomenologi persepsi
    Fenomenologi persepsi adalah sebuah reaksi yang menentang objektivitas sempit milik Husserl. Baginya, manusia merupakan sosok gabungan antara fisik dan mental yang menciptakan makna di dunia. Dewasa ini para pendukung tradisi fenomenologis menolak pandangan Hussells. Mereka justru mendukung gagasan bahwa pengalaman adalah subjektif, tidak objektif sebagaimana pandangan Husserls. Para pendukung tradisi fenomenologis ini percaya bahwa subjektivitas justru sebagai pengetahuan yang penting.

    Tokoh penting dalam tradisi ini adalah Maurice Merleau-Pontry yang pandangannya dianggap mewakili gagasan mengenai fenomenologi persepsi ( Phenomenology of perception ) yang dinilai sebagai penolakan terhadap pandangan objektif namun sempit dari Husserl. Menurut Ponty, manusia ialah mahkluk yang memiliki kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya.Menurut pandangan ini bahwa manusia itu saling mengisi dan mempengaruhi dengan lingkungannya. Dengan kata lain, suatu objek atau peristiwa yang terjadi itu ada dalam suatu proses yang timbal balik ( take and give ).

    Persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi ( sensory stimuli ). Persepsi kita keliru bisa berbeda-beda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, personal, situasional, fungsional dan struktural. Di antara faktor yang besar pengaruhnya dalam mempersepsi sesuatu adalah perhatian, konsep fungsional dan konsep struktural.

  • Ketiga, Fenomenologi hermeneutik
    Tradisi yang ini agak mirip dengan fenomenologi persepsi, akan tetapi tradisinya lebih luas dalam bentuk penerapan yang lebih lengkap pada komunikasi. Fenomenologi hermeneutik dihubungkan dengan Martin Heidegger, utamanya dikenal karena karyanya dalam philoshophical hermeneutics (nama alternatif bagi pergerakannya). Filosofinya juga dikenal dengan Hermenuetics of Dasein yang berarti ―interpretasi keberadaan.

    Hal yang paling penting bagi Heidegger adalah pengalaman alami yang tidak terelakkan terjadi dengan hanya tinggal di dunia. Baginya, realitas sesuatu itu tidak diketahui dengan analisis yang cermat atau pengurangan, melainkan oleh pengalaman alami yang diciptakan oleh penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi adalah salah satu cara yang digunakan untuk menunjukkan makna dari pengalaman yang diterima dan dirasakan. Pemikiran adalah hasil dari bicara ( speech ) karena makna itu sendiri tercipta dari kata-kata. Ketika anda berkomunikasi maka anda tengah mencoba cara-cara baru dalam melihat dunia.

    Kita berinterakasi satu sama lainnya akan terjadi saling mempengaruhi dengan mendengar kata-kata yang diucapkan orang setiap harinya secara terus menerus di setiap peristiwa, situasi dan kondisi yang kita alami.

Referensi :

  • Stephen W. Littlejohn, Karen A. Foss, Teori Komunikasi Theories of Human Communication, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012).
  • Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007).
  • Stefanus Nindito, Fenomenologi Alfred Schutz: Studitentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 2, No 1 (Juni 2005).

Dalam pengertian sederhana, sesungguhnya kita pada waktu-waktu tertentu mempraktikkan fenomenologi dalam keseharian hidup kita. Kita mengamati fenomena, kita membuka diri, kita membiarkan fenomena itu tampak pada kita, lalu kita memahaminya. Kita memahaminya dalam perspektif fenomena itu sendiri, bagaimana ia “bercerita” kepada kita.

Menurut Brouwer (1984), seorang fenomenolog senang melihat gejala (fenomena). Melihat gejala merupakan dasar dan syarat mutlak untuk semua aktivitas ilmiah. Ia bukan ilmu, tetapi merupakan cara pandang, metode pemikiran, a way of look- ing at things. Untuk meyakinkan orang atas suatu fenomena, seorang fenomenolog akan mengajak orang untuk menyaksikan langsung fenomena yang bersangkutan, atau menujukkannya melalui bahasa. Untuk memahami suatu gejala, maka tak ada jalan lain, kita harus sabar menyaksikannya, mendengarkannya, menyelami bahasa yang diungkapkannya.

Bagi Brouwer, fenomenologi tidak bisa hilang dan menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang mau memikirkan dasar dari usaha ilmiah atau dasar dari hidupnya sendiri. Lebih jauh, fenomenologi mengajarkan kita untuk membiasakan diri, tidak lagi melihat benda-benda, melainkan melihat fenomena. Fenomenologi, dengan demikian, secara sederhana dapat dipandang sebagai sikap hidup dan sebagai metode ilmiah. Sebagai sikap hidup, fenomenologi mengajarkan kita untuk selalu membuka diri terhadap berbagai informasi dari mana pun berasal, tanpa cepat-cepat menilai, menghukumi, atau mengevaluasi berdasarkan prakonsepsi kita sendiri. Kita berdialog dengan fenomena yang kita hadapi. Kita membiarkan fenomena itu “membuka mulutnya”, bercerita tentang dirinya: kita bertanya, mendengarkan, dan menangkap pola serta maknanya. Sebagai metode ilmiah, fenomenologi menunjukkan jalan perumusan ilmu pengetahuan melalui tahap-tahap tertentu, di mana suatu fenomena yang dialami manusia menjadi subjek kajiannya. Tulisan ini membatasi diri hanya akan menguraikan fenomonlogi sebagai metode ilmiah dalam penelitian ilmu-ilmu sosial.

Historis Fenomenologi


Pada awalnya, istilah fenomenologi diperkenalkan oleh J.H. Lambert, tahun 1764, untuk menunjuk pada Teori Kebenaran. Setelah itu, istilah ini diperluas pengertiannya. Menurut Kockelmans, fenomenologi digunakan dalam filsafat pada tahun 1765, yang kadang-kadang ditemukan dalam karya-karya Immanuel Kant, yang kemdian didefinisikan secara baik dan dikonstruksikan sebagai makna secara teknis oleh Hegel.

Menurut Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan yang muncul dalam kesadaran, sains yang mendeskripsikan apa yang dipahami seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya.

Fenomenologi dicetuskan secara intens sebagai kajian filsafat pertama kali oleh Edmund Husserl (1859-1938), sehingga Husserl sering dipandang sebagai Bapak Fenomenologi. Filsafatnya sangat populer sekitar tahun 1950-an. Tujuan utama filsafat ini adalah memberi landasan bagi filsafat agar dapat berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom (Kuper dan Kuper, ed., 1996). Pada awal perekembangannya, fenomenologi merupakan seperangkat pendekatan dalam studi filosofis dan sosiologis, serta studi tentang seni (Edgar dan Sedgwick, 1999).

Kemunculan fenomenologi oleh Husserl dilatarbelakangi oleh kenyataan terjadinya krisis ilmu pengetahuan. Dalam krisis ini, ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan nasihat apa- apa bagi manusia. Ilmu pengetahuan senjang dari praktik hidup sehari-hari. Hal ini, menurut Husserl, konsep teori sejati telah banyak dilupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam kebudayaan ilmiah dewasa ini. Sehubungan dengan itu, Husserl mengajukan kritik terhadap ilmu pengetahuan sebagai berikut:

  • Ilmu pengetahuan telah jatuh pada objektivisme, yaitu cara memandang dunia sebagai susunan fakta objektif dengan kaitan-kaitan niscaya. Bagi Husserl, pengetahuan seperti itu berasal dari pengetahuan prailmiah sehari-hari, yang disebut lebenswelt.

  • Kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh tafsiran-tafsiran objektivistis itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan-kepentingan dunia kehidupan sehari-hari itu.

  • Teori yang dihasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan-kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami tradisi pemikiran Barat.

Dengan demikian, menurut Husserl, krisis ilmu pengetahuan itu disebabkan oleh kesalahpahaman disiplin-disiplin ilmiah itu terhadap konsep teori sejati itu. Melalui fenomenologi, Husserl berusaha menemukan hubungan antara teori dengan dunia- kehidupan yang dihayati, yang tujuan akhirnya untuk menghasilkan teori murni yang dapat diterapkan pada praktik (Hardiman, 1993). Dengan kata lain, fenomenologi Husserl ini berangkat dari filsafat ilmu. Dalam hal ini, ia mengsusulkan bahwa fenomena-fenomena itu, untuk dipahami, harus didekati dengan cara-cara yang khas.

Edmund Husserl menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah sebenarnya telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dari kegiatan-kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan itu berakar. Maka itu, ia menawarkan fenomenologi. Konsep fenomenologi Husserl dipengaruhi oleh konsep verstehen dari Max Weber. Verstehen adalah pemahaman. Realitas adalah untuk dipahami, bukan untuk dijelaskan.

Menurut Bertens (1981), apa yang disebut “metode fenomenologi” saat ini kerap kali hampir tidak berkaitan lagi dengan fenomenologi menurut konsepsi Husserl. Ia memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung. Fokus filsafat, baginya, adalah lebenswelt (dunia kehidupan) dan erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Bagi Husserl, fenomenologi merupakan kajian filosofis yang melukiskan segala bidang pengalaman manusia. Manusia mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah kesadaran. Baginya, fenomenolgi merupakan sebuah kajian yang tak pernah berakhir, sehingga ia menjuluki dirinya sebagai pemula yang abadi. Oleh karena itu, fenomenologi, kini, telah banyak dikupas, dan diberi penjelasan yang begitu luas dan beragam. Husserl sendiri bercita-cita, fenomenologi menjadi ilmu rigorous, yakni ilmu yang “ketat” yang penjelasannya punya batasan, tidak meragukan. Setiap konsep terdefinisikan dengan jelas.

Husserl mengembangkan sistem filosofis yang berakar dari keterbukaan subjektif, sebuah pendekatan radikal terhadap sains yang terus dikritisi. Fenomenologi, bagi Husserl, tak berguna bagi mereka yang berpikiran tertutup.

Seorang fenomenolog adalah orang yang terbuka pada realitas dengan segala kemungkinan rangkaian makna di baliknya, tanpa tendensi mengevaluasi atau menghukumi.

Fenomenologi Husserl, menurut Bertens, pada akhirnya berdimensi sejarah. Suatu fenomena tidaklah sebagai sesuatu yang statis, tetapi dinamis. Fenomena itu memiliki sejarah. Sejarah berkaitan dengan riwayat individual manusia, juga manusia secara keseluruhan. Kesadaran kita mengalami perkembangan; sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Setiap fenomena mengandung muatan sejarah. Suatu fenomena tidak beridiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Setelah Husserl, fenomenologi berkembang, antara lain, dalam pemikiran Morleau-Ponty, Alfred Schutz, Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann. Pandangan Husserl berbeda dengan padangan para fenomenolog berikutnya. Bagi Husserl, pengalaman merupakan sesuatu yang bersifat objektif, terpisahkan dari individu.

Maurice Morleau-Ponty banyak dipengaruhi pemikiran Husserl. Tetapi, ia menolak idealisme Husserl. Bagi Morleau-Ponty, manusia adalah kesatuan dari dimensi fisik dan nonfisik yang menciptakan makna dalam dunia. Seseorang, sebagai subjek pengamat, memiliki relasi dengan sesuatu di dunia ini. Ia dipengaruhi oleh dunia dan pada gilirannya ia pun memaknai dunia itu.

Dunia yang kita alami merupakan hasil ciptaan kesadaran kita. Fenomenologi memang mengakui adanya realitas eksternal sebagai hal yang benar- benar ada, tetapi hal ituhanya bisa dipahami melalui kesadaran yang kita miliki.

Menurut Alfred Schutz, proses pemaknaan diawali dengan proses penginderaan, suatu proses pengalaman yang terus berikesinambungan. Arus pengalaman inderawi ini, pada awalnya, tidak memiliki makna. Makna munculketika dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya serta melalui proses interaksi dengan orang lain. Karena itu, ada makna individual, dan ada pula makna kolektif tentang sebuah fenomena. Kesadaran kita memproses data inderawi. Bagi Schutz, tindakan manusia selalu punya makna – menurut Weber makna itu identik dengan motif tindakan. Namun, makna itu tidak ada yang bersifat aktual dalam kehidupan.

Lebih jauh, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menyatakan bahwa manusia mengonstruksi realitas sosial melalui proses subjektif, tetapi dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruksi terjadi melalui pembiasaan di antara para aktor. Hubungan antarindividu dengan institusi terjadi secara dialektik. “Masyarakat adalah produk manusia, masyarakat adalah realitas objektif, dan manusia produk masyarakat.” Proses itu terjadi melalui hubungan memori dari pengalaman dan peran individu. Manusia adalah produk dari masyarakat yang diciptakannya sendiri.

Selain itu, fenomenologi berfokus pada pengalaman personal, termasuk bagaimana para individu mengalami satu sama lain (Littlejohn, 2002:13). Oleh karena itu, komunikasi dipandang sebagai hubungan antarpribadi secara bersama melalui dialog.

Kosep Dasar Fenomenologi


Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phaenesthai, berarti menunjukkan dirinya sendiri, menampilkan. Fenomenologi juga berasal dari bahasa Yunani, pahainomenon, yang secara harfiah berarti “gejala” atau apa yang telah menampakkan diri” sehingga nyata bagi si pengamat. Metode fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl bersemboyan: Zuruck zu den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri) (Dister Ofm).

Fenomenologi, sesuai dengan namanya, adalah ilmu (logos) mengenai sesuatu yang tampak ( phenomenon ). Dengan demikan, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakan dari apa saja merupakan fenomenologi (Bertens, 1987). Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia (Bagus, 2002). Fenomenologai adalah studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesaradan, atau cara memahami suatu objek atau peristiwsa dengan mengalaminya secara sadar (Littlejohn, 2003). Namun, bagi Brouwer (1984), fenomenologi itu bukan ilmu, tetapi suatu metode pemikiran ( a way of looking at things ). Dalam fenomenologi tidak ada teori, tidak ada hipotesis, tidak ada sistem.

Fenomenologi bukan realisme, juga bukan idealisme. Di satu sisi, fenomenologi percaya bahwa dunia itu ada, real . Dunia, dengan segala isinya, itu nyata ada, tanpa pengaruh kehadiran pikiran kita. Ada atau tidak ada kita, kita berpikir atau tidak, dunia itu hadir sebagaimana adanya. Tetapi fenomenologi tidak sama dengan realisme yang hanya percaya atas realitas sebagai hal objektif terpisah dari kesadaran. Di sisi lain, fenomenologi juga mengajarkan bahwa realitas itu muncul dalam proses aktif dalam kesadaran, tetapi tidak sama seperti idealisme yang menafikan realitas objektif. Jadi, fenomenologi menempati kedudukan sebelum terdapatnya pembedaan antara realisme dengan idealisme. Namun, Husserl secara berangsur-angsur berpaling ke arah idealisme. Sementara, murid- muridnya lebih menuju ke bandul realisme.

Fenomenologi juga berupaya mengungkapkan tentang makna dari pengalaman seseorang. Makna tentang sesuatu yang dialami seseorang akan sangat tergantung bagaimana orang berhubungan dengan sesuatu itu. Sejalan dengan itu, menurut Littlejohn dan Foss (2005), fenomenologi berkaitan dengan penampakan suatu objek, peristiwa, atau suatu kondisi dalam persepsi kita. Pengetahuan berasal dari pengalaman yang disadari, dalam persepsi kita. Dalam hal ini, fenomenologi berarti membiarkan sesuatu datang mewujudkan dirinya sebagaimana adanya. Dengan demikian, di satu sisi, makna itu muncul dengan cara membiarkan realitas/fenomena/pengalaman itu membuka dirinya. Di sisi lain, makna itu muncul sebagai hasil interaksi antara subjek dengan fenomena yang dialaminya.

Berikut adalah bebeapa pengertian fenomenologi lainnya:

  • Fenomenologi adalah studi tentang esensi-esensi, misalnya esensi persepsi, esensi kesadaran, dsb.

  • Fenomenlogi merupakan filsafat yang menempatkan kembali esensi-esensi dalam eksistensi; bahwa manusia dan dunia tak dapat dimengerti kecuali dengan bertitik tolak pada aktivitasnya.

  • Fenomenologi adalah suatu filsafat transendental yang menangguhkan sikap natural dengan maksud memahaminya secara lebih baik.

  • Fenomenologi merupakan filsafat yang menganggap dunia selalu “sudah ada”, mendahului refleksi, sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan, yang berusaha memulihkan kembali kontak langsung dan wajar dengan dunia sehingga dunia dapat diberi status filosofis.

  • Fenomenologi adalah ikhtiar untuk secara langsung melukiskan pengalaman kita sebagaimana adanya, tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan kausal yang dapat disajikan oleh ilmuwan, sejarawan, dan sosiolog (Merleau-Ponty).

Lebih jauh, berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Merleau-Ponty menulis:

Saya tidak dapat mengerti diri saya sebagai sebagian dari dunia saya atau sebagai semata-mata objek penyelidikan biologi, psikologi, dan sosiologi. Saya juga tidak dapat membiarkan diri saya terkurung dalam dunia ilmu pengetahuan. Apa saja yang saya ketahui tentang dunia, bahkan melalui ilmu pengetahuan, saya mengetahuinya dari sudut pandangan saya yang khas atau berdasarkan pengalaman saya tentang dunia. Dan tanpa pengalaman-pengalaman itu, simbol-simbol pengetahuan takkan mempunyai arti apa pun. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun atas di atas dunia yang dialami. Dan kalau kita ingin merefleksikan ilmu pengetahuan secara mendalam dan menentukan dengan tepat makna serta jangkauannya, maka terlebih dahulu perlu kita menghidupkan kembali pengalaman kita tentang dunia. Ilmu pengetahuan hanyalah pengungkapan kedua tentang dunia. Ilmu pengetahuan belum pernah dan tidak akan pernah mempunyai arti yang sama seperti dunia yang kita alami secara langsung, karena ilmu pengetahuan itu hanya sekadar penentuan dan keterangan lebih lanjut dari pengalaman kita.

Intisari fenomenologi dikemukakan Stanley Deetz, yaitu :

  • Pertama , pengetahuan adalah hal yang disadari. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan langsung dalam pengalaman kesadaran.

  • Kedua , makna dari sesuatu terdiri dari potensi-potensi dalam kehidupan seseorang. Bagaimana hubungan seseorang dengan suatu objek akan menentukan bagaimana makna objek itu bagi yang bersangkutan.

  • Ketiga , bahasa merupakan sarana bagi munculnya makna. Kita mengalami dunia dan mengekspresikannya melalui bahasa.

Untuk memahami fenomenologi, terdapat beberapa konsep dasar yang perlu dipahami, antara lain konsep fenomena, epoche , konstitusi, kesadaran, dan reduksi.

  • Fenomena

    Secara etimologis, istilah fenomena berasal dari kata Yunani: phaenesthai, artinya memunculkan, meninggikan, menunjukkan dirinya sendiri. Menurut Heidegger, istilah fenomena, yang juga dibentuk dari istilah phaino , berarti membawa pada cahaya, menempatkan pada terang-benderang, menunjukkan dirinya sendiri di dalam dirinya, totalitas dari apa yang tampak di balik kita dalam cahaya.

    Objek yang muncul dalam kesadaran berbaur dengan objek yang ada secara alamiah, sehingga makna diciptakan dan pengetahuan dikembangkan. Suatu hubungan berada antara yang ada dalam kesadaran yang disadari dan apa yang berada dalam dunia. Apa yang muncul dalam kesadaran adalah realitas absolut sedangkan apa yang muncul di dunia adalah suatu produk belajar (Moustakas, 1994).

    Fenomena adalah suatu tampilan objek, peristiwa, dalam persepsi. Sesuatu yang tampil dalam kesadaran. Bisa berupa hasil rekaan atau kenyataan. Menurut Moustakas (1994), fenomena adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran. Fenomena, dalam konsepsi Huesserl, adalah realitas yang tampak, tanpa selubung atau tirai antara manusia dengan realitas itu. Fenomena adalah realitas yang menampakkan dirinya sendiri kepada manusia. Sementara itu, dalam mengahadapi fenomena itu manusia melibatkan kesadarannya, dan kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu (realitas) (Bertens, 1981).

    Perlu dipahami, bahwa fenomena, menurut Brouwer (1984), bukanlah suatu benda, bukan suatu objek di luar diri kita, dan lepas dari kita sendiri. Ia adalah suatu aktivitas. Bila saya melihat sebuah rumah, maka terdapat aktivitas akomodasi, konvergensi, dan cerapan dari mata saya, sehingga rumah itu tampak terlihat, sehingga ia muncul sebagai fenomena. Secara sederhana, maka terjadi dialektis antara subjek dan objek. Tak mungkin ada yang dilihat jika tidak ada yang melihat.

    Lebih lanjut, setiap fenomena merepresentasikan titik permulaan yang pas bagi suatau investigasi (Moustakas, 1994). Fenomena menjadi sesuatu yang menjadi objek yang dikaji dalam studi fenomenologi.

  • Kesadaran

    Kesadaran adalah pemberian makna yang aktif. Kita selalu mempunyai pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang kesadaran yang identik dengan diri kita sendiri. Dunia sebagai kebertautan fenomena-fenomena diantisipasi dalam kesadaran akan kesatuan kita dan bahwa dunia itu merupakan sarana bagi kita untuk merealisasikan diri kita sebagai kesadaran.

    Kesadaran adalah kemampuan untuk memperlakukan subjek untuk menjadi objek bagi dirinya sendiri, atau menjadi objektif tentang dirinya sendiri (Bagus, 2002). Saya menjumpai hakikat kesadaran, bila saya menemukan kembali kehadiran saya pada diri saya sendiri, kenyataan kesadaran yang akhirnya mau ditunjukkan oleh kata dan pengertian “kesadaran” (Bertens, 1987). Dunia adalah apa yang kita persepsi akan sesuatu. Dalam hal ini, Merleau-Ponty menekankan bahwa kesadaran tidak berfungsi di atas, melainkan di dalam dunia yang dimengertinya, dalam arti prareflektif dan praobyektif (Bertens, 1987).

    Kesadaran, tak lain, adalah keterbukaan dan kelangsungan hubungan dengan yang lain, di mana dirinya dengan yang lainnya tidak memiliki pemisahan yang tegas.

  • Intensionalitas

    Menurut Husserl, kesadaran bersifat intensionalitas, dan intensionalitas merupakan struktur hakiki kesadaran manusia. Oleh karena itu, fenomena harus dipahami sebagai hal yang menampakkan dirinya (Bertens, 1981). Dalam fenomenologi, intensionalitas mengacu pada keyakinan bahwa semua tindakan ( aktus ) kesadaran memiliki kualitas; atau seluruh kesadaran akan objek-objek. Tindakan kesadaran disebut tindakan intensional dan objeknya disebut objek intensional (Bagus, 2002). Menurut konsep ini, manusia menampakkan dirinya sebagai yang transenden, sintesis dari subjek dan objek. Manusia mengada dalam alam, menjadi satu dalam alam. Oleh karena itu, kata Brouwer (1984), tidak ada bedanya antara saya-mengalami-alam dengan alam-yang saya-alami. Intensi sendiri berarti orientasi pikiran pada suatu objek. Intensionalitas berkaitan dengan kesadaran, pengalaman internal mengenai kesadaran akan sesuatu.

  • Konstitusi

    Konstiusi adalah proses tampaknya fenomena ke dalam kesadaran (Bertens, 1981). Ia merupakan aktivitas kesadaran, sehingga realitas itu tampak. Dunia nyata itu dikonstitusi oleh kesadaran. Kenyataan real bukan berarti ada karena diciptakan oleh kesadaran, tetapi kehadiran aktivitas kesadaran ini diperlukan agar penampakan fenomena itu dapat berlangsung. Bertens (1981) menegaskan:

    Tidak ada kebenaran-pada-dirinya, lepas dari kesadaran. Dan karena yang disebut “realitas” itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas itu harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi itu berlangsung dalam proses penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.

    Dengan kata lain, konstitusi itu semacam proses konstruksi dalam kesadaran manusia. Ketika kita melihat satu bentuk benda, yang tampak pada indra kita selalu hanya sebagian. Ia tampak dari mana kita melihat. Tetapi, kesadaran kita melakukan konstitusi, sehingga kita menyadarinya tentang (kemungkinan) bentuk benda itu bila dilihat dari sisi lain. Konstiusi adalah hal yang dilihat dari sudut pandang subjek, memaknakan dunia dan alam semesta yang dialami.

  • Epoche

    Epoche merupakan konsep yang dikembangkan oleh Husserl, yang terkait dengan upaya mengurangi atau menunda penilaian ( bracketing ) untuk memunculkan pengetahuan di atas setiap keraguan yang mungkin. Sejalan dengan Descartes dan Kant, Husserl berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari intuisi, dan esensi mendahului pengetahuan empiris.

    Epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti menahan diri untuk menilai. Dalam sikap alamiah sehari-hari, kita memperoleh pengetahuan melalui penilaian terhadap sesuatu. Epohe merupakan cara pandang lain yang baru dalam melihat sesuatu. Kita belajar menyaksikan apa yang tampak sebelum mata kita memandang, kita menyaksikan apa yang dapat kita bedakan dan deskripsikan.

    Dalam epoche , menurut Moustakas (1994), pemahaman, penilaian, dan pengetahuan sehari- hari dikesampingkan dahulu, dan fenomena dimunculkan dan direvisi secara segar, apa adanya, dalam pengertian yang terbuka, dari tempat yang menguntungkan dari ego murni atau ego transendental.

  • Reduksi

    Reduksi merupakan kelanjutan dari epoche . Bagi Husserl, manusia memiliki sikap alamiah yang mengandaikan bahwa dunia ini sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Namun, untuk memulai upaya fenomenoloogis, kita harus menangguhkan kepercayaan ini. Inilah yang dimaksud dengan reduksi fenomenologis, atau disebut pula reduksi transendental, atau epoche itu sendiri. Melalui reduksi ini, kita melakukan semacam netralisasi, bahwa ada tidaknya dunia bukanlah hal yang relevan (Bertens, 1981).

    Reduksi dilukiskan sebagai gerak kembali kepada suatu kesadaran transendental. Di depan kesadaran transendental itu, dunia terentang dengan kejernihan tanpa kegelapan apa pun. Dunia adalah dunia-sebagai- makna dan reduksi fenomenologis adalah idealistis dalam arti suatu idealisme transendental yang menganggap dunia sebagai suatu kesatuan-nilai tak terpisahkan yang dimiliki bersama oleh dua orang, di mana perspektif-perspektif mereka bercampur baur. Dengan demikian, mereka bisa saling berkomunikasi.

    Reduksi fenomenologis. Kita harus memilah pengalaman-pengalaman kita untuk mendapatkan fenomena dalam wujud semurni-murninya. Segala sesuatu tampak pada kita … Fenomena yang menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu saja… Keputusan itu harus ditangguhkan. … Setelah itu kita harus memandang atau menilik apa yang kita alami di dalam kesadaran kita. Apa yang kita tunda itu adalah berbagai pandangan kita yang sudah kita miliki sebelum kita menyelidiki apa yang tampak itu (Bagus, 2002:940-941).

    Reduksi-fenomenologis-transendental . Dalam istilah ini, digunakan kata transendental karena hal itu berlangsung di luar keseharian menuju ego-murni di mana segala sesuatudipahami secara segar, seolah-oleh untuk pertama kalinya. Reduksi ini juga disebut fenomenologis karena hal ini mentransformasikan dunia ke dalam suatu fenomena. Disebut reduksi, karena hal ini mengarahkan kita ke belakang pada sumber makna dan eksistensi dunia yang dialami (Schmitt, 1967).

    Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan, serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya (Delfgaauw, 2001).

  • Intersubjektivitas

    Kita hidup bersama orang lain. Kita berada dalam orang lain, dan orang lain pun berada dalam kita. Dengan demikian, hal ini memungkinkan kita salingberkomunikasi untuk terus saling memahami. Pengalaman saya tentang orang lain muncul sejalan dengan pengalaman orang lain tentang saya. Dan segala sesuatu yang saya pahami tentang orang lain didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman masa lalu saya.


Sumber : O. Hasbiansyah, Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi