Apa yang dimaksud dengan fear of missing out (FOMO)?

fear of missing out - FOMO

Sindrom FOMO atau kepanjangan dari fear of missing out berasal dari bahasa Cina yang artinya takut kehilangan orang lain (Hondkison & Poropat, 2014). Fear of missing Out adalah suatu bentuk ketakutan individu ketika individu tersebut tertinggal update terbaru yang muncul melalui media sosial. Sindrom FOMO adalah salah satu jenis kecanduan internet baru, yang khususnya terlihat di kalangan generasi muda, sebagian karena popularisasi smartphone.

Menurut Przyblyski, dkk (2012), Fear of missing out adalah suatu ketakutan yang dialami seseorang saat kehilangan sesuatu yang berharga dan tidak dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain di media sosial. Oleh karena itu, individu ingin selalu terhubung dengan media sosial.

Setara dengan pendapat JWTIntelligence (2012) Sindrom FOMO merupakan ketakutan pada individu yang apabila individu lainnya mengikuti suatu kejadian yang dianggap menyenangkan, namun individu tersebut tidak bisa mengikuti suatu kejadian tersebut. Sindrom FOMO mencakup dengan emosi negatif yang mempengaruhi perilaku, yang mana berhubungan dengan keterlibatan sosial yang membuat individu selalu terhubung dengan media sosial (Hetz et al, 2015).

Sindrom FOMO terkait dengan kecemburuan sosial dan pengucilan sosial (Reagle, 2015), bagaimana individu melebih-lebihkan pengalaman emosional positif dan meremehkan pengalaman emosional negatif yang dihadapi oleh individu lainnya daripada apa yang mereka alami sendiri (Jorden et al, 2011).
Dengan demikian, individu yang hanya memandang emosional positif yang dialami individu lainnya seperti bagaimana inidvidu tersebut bahagia, lebih sukses daripada dirinya sendiri (Chou & Edge, 2012) yang berakibat individu bermunculan perasaan cemas, gelisah dan perasaan tidak mampu (Przybylski et al, 2015).

Terdapat pendapat dari Self Detemination Theory (SDT), Sindrom FOMO merupakan suatu keadaan dimana kebutuhan psikologis yang mencakup pada self dan relatdness pada individu tidak terpenuhi . Terdapat juga penelitian yang dilakukan bahwa Sindrom FOMO menyebabkan perasaan kehilangan, stress, dan merasa tertinggal dengan update terbaru (Przybylski, Murayama, Dehann, & Gladwell, 2013).

Dengan media sosial individu memiliki kemampuan untuk melihat bagiamana kehidupan yang dilakukan oleh individu lainnya. Hal ini yang menyebabkan individu untuk terus terhubung dengan media sosial yang akan membuat individu mengalami kecemasan dan perasaan tidak puas (Miller, 2012)

Sindrom FOMO adalah ketakutan individu saat tertinggal update terbaru mengenai suatu kejadian sementara orang lain mengikutinya sehingga menyebabkan individu untuk selalu terhubung dengan media sosial.

Aspek-aspek Sindrom FOMO (Fear of Missing Out)


Menurut Przybylski et al (2013) menyatakan bahwa intensitas tinggi rendahnya kebutuhan psikologis berhubungan dengan sindrom FOMO (fear of missing out) ). Berikut merupakan aspek-aspek ari sindrom FOMO (fear of missing out) , diantaranya:

  • Kebutuhan psikologis relatdness yang tidak terpenuhi, yaitu suatu keinginan yang dialami inidvidu untuk memiliki hubungan dekat dengan individu yang lainnya. Jika individu tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, maka akan muncul perasaan cemas. Hal inilah yang akan mengarahkan individu untuk mencari tahu kegiatan atau kejadian apa yang dilakukan oleh individu yang lainnya.

  • Kebutuhan psikologis self (diri sendiri) yang tidak terpenuhi, kebutuhan ini mempunyai kaitan dengan dua hal, yang pertama competence merupakan suatu keinginan individu untuk beradaptasi serta berinterkasi dengan lingkungan sekitarnya untuk mencapai suatu tantangan. Yang kedua, autonomy merupakan individu bebas mengintegrasikan apa yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa ada dorongan dari orang lain. Hal inilah yang menjadi pemicu individu untuk melampiaskan pada media sosial ketika kebutuhan psikologis akan self ini tidak terpenuhi.

Menurut JWTIntellegence (2012) berikut merupakan aspek- aspek sindrom FOMO (fear of missing out) , diantaranya:

  • Perasaan takut kehilangan terhadap informasi terbaru yang ada di internet. Perasaan ini akan muncul ketika individu tidak mendapatkan infromasi apapun di internet maupun media sosial.

  • Perasaan gelisah atau gugup ketika tidak menggunakan internet sedangkan orang lain menggunakannya. Jika individu yang mengalami sindro FOMO maka ia tidak ingin ketinggalan apapun melebihi individu yang lainnya.

  • Perasaan tidak aman karena tertinggal informasi yang tersebar di internet. Individu pada aspek ini akan tergantung terhadap media sosial atau internet, yang mana iniviu sudah menyerah pada kenyamanan tersebut.

Dari apa yang dipaparkan di atas dua aspek ini dijadikan sebagai acuan untuk mengukur individu yang mengalami kecanduan pada media sosial atau disebut dengan sindrom FOMO (fear of missing out).

Faktor-faktor yang Memengaruhi Sindrom FOMO (Fear of Missing Out)


Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi sindrom FOMO (Fear of Missing Out) , yang pertama gender, trait kepribadian, tidak adanya komunikasi face to face, dan terdapat faktor need (Rosdaniar, 2008). Menurut Pervin (1975) trait merupakan sifat permanen perilaku yang terletak pada individu. Sedangkan menurut Marshal (2015) salah satu faktor yang memengaruhi munculnya ketakutan atau kecemasan pada individu saat tertinggal update terbaru melalui media sosial adalah the big five personality.

Sindrom FOMO dikatakan sebagai mediator yang menghubungkan kebutuhan psikologis dengan sosial (Przbylski et al, 2013). FOMO juga menjadi perantara antara faktor motivasi dan keterlibatan media sosial (Alt, 2015).

Disamping itu, Sindrom FOMO juga digunakan sebagai prediktor pada pecandu smartphone (Chotpitayasunondh & Douglos, 2016). Individu memiliki kebutuhan psikologis dasar termasuk kompetensi dan keterkaitan yang harus dipenuhi (Deci & Ryan, 2014). Sindrom FOMO telah terbukti memediasi kebutuhan- kebutuhan itu tidak terpenuhi dan keterlibatan media sosial. Billieux et al (2015) mangungkapkan indvidu merasa tidak aman dan cemas secara sosial untuk memuaskan penggunaan media sosial.

Alt (2015) menemukan bahwa Sindrom FOMO memediasi hubungan antara motivasi dan penggunaan media sosial, dengan individu motivasi ekstrinsik yang tinggi memiliki Sindrom FOMO yang lebih tinggi dan penggunaan media sosial yang lebih tinggi. Sindrom FOMO ditemukan menjadi prediktor penggunaan smartphone yang bermasalah dengan Sindrom FOMO yang lebih besar terkait dengan yang lebih bermasalah penggunaan smartphone (Elhai et al , 2016).

Fear of missing out (FoMO) adalah kecemasan konstan akan tertinggalnya atau kehilangan sesuatu yang berharga, individu dengan fear of missing out (FoMO) tidak akan mengetahui secara spesifik mengenai apa yang hilang tetapi akan merasakan kehilangan orang lain memiliki momen yang berharga (JWTIntelligence, 2012), dalam kamus Oxford (dalam Santika, 2015) didefinisikan sebagai kecemasan akan adanya peristiwa menarik atau mungkin menarik yang terjadi di tempat lain, kecemasan ini terstimulasi oleh hal yang ditulis di dalam social media seseorang.

Secara teoritis, Przyblylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013) mendefinisikan fear of missing out (FoMO) merupakan ketakutan akan kehilangan momen berharga individu atau kelompok lain di mana individu tersebut tidak dapat hadir di dalamnya dan ditandai dengan keinginan untuk tetap terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui internet atau dunia maya.

Sedangkan menurut JWTIntelligence (2012) fear of missing out (FoMO) merupakan ketakutan yang dirasakan oleh seseorang bahwa orang lain mungkin sedang mengalami suatu hal atau kejadian menyenangkan, namun orang tersebut tidak ikut merasakan hal tersebut.

Fear of Missing Out (FoMO) adalah ketakutan akan kehilangan momen berharga individu atau kelompok lain di mana individu tersebut tidak dapat hadir didalamnya dan ditandai dengan keinginan untuk tetap terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui internet atau dunia maya.

Aspek-Aspek Fear of Missing Out (FoMO)

Aspek-aspek dari fear of missing out (FoMO) menurut Przybylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013) dipengaruhi oleh perspektif Self Determinant Theory atau SDT. Dalam perspektif Self Determinan Theory (dalam Przybylski, Murayama, DeHaan & Gladwell, 2013) regulasi diri dan kesehatan psikologis yang efektif dapat dicapai berdasarkan bentuk kepuasan pada tiga kebutuhan dasar psikologi yaitu:

  1. Competence, kemampuan untuk secara efektif dalam bertindak dan berinteraksi dengan lingkungannya.
  2. Autonomy, individu adalah inisiator dan sumber dari perilakunya (inisiatif pribadi).
  3. Relatedness, kecenderungan yang melekat pada individu untuk merasa terhubung dengan orang lain (kedekatan atau keinginan untuk berhubungan dengan orang lain).

Menurut Przybylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013) rendahnya level dari kebutuhan dasar psikologi tersebut yang berhubungan dengan fear of missing out (FoMO) karena berdasarkan perspektif tersebut menganggap bahwa fear of missing out (FoMO) sebagai keadaan situasional saat tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis pada self dan relatedness, maka aspek-aspek dari Fear of Missing Out menurut dalam Przybylski, Murayama, DeHaan dan Gladwell (2013) yaitu :

  1. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan relatedness
    Relatedness (kedekatan atau keinginan untuk berhubungan dengan orang lain) adalah kebutuhan seseorang untuk merasakan perasaan tergabung, terhubung, dan kebersamaan dengan orang lain. Kondisi seperti pertalian yang kuat, hangat dan peduli dapat memuaskan kebutuhan untuk pertalian, sehingga individu merasa ingin memiliki kesempatan lebih dalam berinteraksi dengan orang-orang yang dianggap penting dan terus mengembangkan kompetensi sosialnya. Dan apabila kebutuhan psikologis akan relatedness tidak terpenuhi menyebabkan individu merasa cemas dan mencoba mencari tahu pengalaman dan apa yang dilakukan oleh orang lain, salah satunya melalui internet.

  2. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan self
    Kebutuhan psikologis akan self (diri sendiri) berkaitan dengan competence dan autonomy. Competence didefinisikan sebagai keinginan yang melekat pada individu untuk merasa efektif dalam berinteraksi dengan lingkungannya mencerminkan kebutuhan untuk melatih kemampuan dan mencari tantangan yang optimal (Reeve & Sickenius dalam Tekeng, 2015). Kebutuhan competence ini berkaitan dengan keyakinan individu untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu secara efisien dan efektif. Rendahnya kepuasan terhadap competence akan memungkinkan individu merasa frustasi dan putus asa.

    Sementara autonomy adalah pengalaman merasakan adanya pilihan, dukungan dan kemauan yang berkaitan dengan memulai, memelihara dan mengakhiri keterlibatan perilaku (Niemic, Lynch, Vansteenkistec, Bernstein, Deci & Ryan dalam Tekeng, 2015). Autonomy bermakna bahwa individu bebas mengintegrasikan tindakan yang dijalankan dengan diri sendiri tanpa terikat atau mendapat kontrol dari orang lain (individu adalah inisiator dan sumber dari perilakunya).

    Apabila kebutuhan psikologis akan self tidak terpenuhi, maka individu akan menyalurkannya melalui internet untuk memperoleh berbagai macam informasi dan berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut akan menyebabkan individu terus berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi pada orang lain melalui internet.

Sementara aspek-aspek dari Fear of Missing Out (FoMO) menurut JWTIntellegence (2012) diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Merasa takut kehilangan informasi-informasi terbaru yang ada dalam internet
  2. Gelisah atau gugup ketika tidak menggunakan internet sedangkan orang lain sedang menggunakan internet
  3. Merasa tidak aman karena karena internet dan merasa sangat mudah tertinggal informasi yang tersebar di internet.

Hodkinson & Poropat (2014) mendefinisikan Fear of Missing Out sebagai ketakutan individu untuk tertinggal dan kehilangan seseorang. Fear of Missing Out dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai kecemasan akan adanya peristiwa menarik atau mungkin hal menarik yang terjadi di tempat lain, kecemasan ini terstimulasi oleh hal yang ditulis di dalam media sosial seseorang. Fear of Missing Out (FoMO) adalah sindrom modern bagi masyarakat modern yang terobsesi untuk terhubung sepanjang waktu.

Alt (2015) menjelaskan bahwa Fear of Missing Out (FoMO) merupakan fenomena dimana individu merasa ketakutan orang lain memperoleh pengalaman yang menyenangkan namun tidak terlibat secara langsung sehingga menyebabkan individu berusaha untuk tetap terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui media dan internet. Secara lebih sederhananya, Fear of Missing Out (FoMO) dapat diartikan sebagai ketakutan ketinggalan hal-hal menarik di luar sana dan atau takut dianggap tidak eksis dan up to date.

Aspek-aspek Fear of Missing Out

Dimensi sebuah konstruk dapat berbentuk unidimensional atau multidimensional. Model ukuran Fear of Missing Out menurut Przybylski dkk (2013) menggunakan model unidimensional. Dalam konteks pengukuran, model ini mengembangkan aitem-aitem yang bersifat bebas dari konteks (exclusive of context free life satisfaction items). Sebagai contoh Przybylski dkk (2013) mengembangkan skala Fear of Missing Out sebagai ukuran secara menyeluruh dalam mengukur Fear of Missing Out seseorang. Di dalam Fear of Missing Out terdapat tiga komponen untuk mengungkapkan kepuasan hidup, yaitu:

  1. Ketakutan kehilangan peristiwa atau aktivitas berharga.

  2. Ketakutan kehilangan pengalaman berharga

  3. Ketakutan kehilangan percakapan dalam lingkaran sosial.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fear of Missing Out

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Fear of Missing Out (FoMO) diantaranya:

1. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan relatedness

Relatedness (kedekatan atau keinginan untuk berhubungan dengan orang lain) adalah kebutuhan seseorang untuk merasakan perasaan tergabung di dalam kelompok, terhubung, dan kebersamaan dengan orang lain.

2. Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologi akan self

Kebutuhan psikologis akan self (diri sendiri) berkaitan dengan competence dan autonomy. Competence didefinisikan sebagai keinginan yang melekat pada individu untuk merasa efektif dalam berinteraksi dengan lingkungannya mencerminkan kebutuhan untuk melatih kemampuan dan mencari tantangan yang optimal (Reeve & Sickenius, 1994).

3. Jenis kelamin

Dalam hal ini terdapat perbedaan yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat Fear of Missing Out laki-laki dengan perempuan. Penelitian Reer, Tang dan Quandt (2019) menunjukkan partisipan dengan jenis kelamin laki-laki memiliki tingkat Fear of Missing Out lebih tinggi dibandingkan jenis kelamin perempuan.

4. Usia

Beberapa penelitian seperti penelitian Reer, Tang dan Quandt (2019) serta Tomczyk (2018) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa partisipan dengan usia lebih muda (rata-rata 13 tahun) menunjukkan tingkat FoMO lebih tinggi daripada peserta yang lebih tua.

5. Komunikasi orang tua dengan anak

Faktor komunikasi orang tua dengan anak (ibu-anak atau ayah-anak) sangat berkaitan dengan faktor FoMO. Keterbukaan dan hubungan komunikasi yang erat antara orang tua dengan anak dapat mengurangi tingkat Fear of Missing Out pada remaja (Alt & Boniel-Nissim, 2018).