Apa yang dimaksud dengan Fabel?

Fabel

Fabel adalah cerita yang menceritakan kehidupan hewan yang berperilaku menyerupai manusia. Cerita tersebut tidak mungkin kisah nyata. Fabel adalah cerita fiksi, maksudnya khayalan belaka (fantasi). Kadang fabel memasukkan karakter minoritas berupa manusia.

Apa yang dimaksud dengan fabel?

Pengertian Fabel


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fabel yang berasal dari bahasa Inggris fable adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang. Dongeng binatang (fabel) adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptillia), ikan, dan serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia (Danandjaja, 2002).

Sejarah Fabel


Sugiarto (2009) berpendapat bahwa, fabel awalnya muncul di India, pengarang fabel menggunakan tokoh binatang sebagai pengganti manusia, atas dasar kepercayaan bahwa binatang bersaudara dengan manusia. Adapun tujuan dongeng fabel ini untuk memberi nasehat secara halus (secara ibarat) kepada Raja Dabsyalim, Raja India masa itu. Raja tersebut memerintah secara zalim kepada rakyatnya. Sehingga rakyat membuat nasehat untuk rajanya dengan bercerita yang menggunakan binatang sebagai tokohnya, dimana jika nasehat itu jika ditunjukkan langsung kepada raja, maka rakyat tersebut akan mendapatkan ancaman dari raja.

Bertepatan dengan masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia, maka fabel masuk kesustraan Melayu Lama Indonesia dan berkembang pada zaman tersebut. Ini dibuktikan oleh salah satu peneliti Dixon, menurut Dixon (seperti dikutip Danandjaja, 2002) dongeng tokoh penipu sang Kancil terdapat di Indonesia pada daerah-daerah yang paling kuat mendapat pegaruh Hinduisme, yang erat hubungannya dengan kerajaan Jawa Hindu dari abad VII sampai dengan abad XIII. Hipotesanya diperkuat dengan buktibukti bahwa dongeng sang Kancil juga terdapat di Melanesia dan Asia Tenggara ke Timur, yang tidak mempunyai hubungan dengan kebudayaan Hindu.

Menurut Sir Richard Windsted (seperti dikutip Danandjaja, 2002) bahwa pada abad II Sebelum Masehi pada suatu Stupa di Barhut Allahabad India telah diukirkan orang adegan-adegan dongeng binatang (fabel) yang berasal dari cerita agama Budha, yang terkenal sebagai Jatakas.

Berdasarkan rekonstruksi Windsted dongeng binatang itu menyebar keluar India, bukan saja kearah barat menuju ke Afrika, tetapi juga kearah timur menuju ke Indonesia dan Malaysia bagian barat. Bukti-bukti yang dikemukakan Windsted telah memperkuat hipotesisnya bahwa persamaan dongeng-dongeng di Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia), Afrika dan India adalah sebagai akibat difusi, bukan merupakan penemuan yang berdiri sendiri (independent invention), atau penemuan sejajar (parallel invention).

Selanjutnya masuknya agama Islam pada abad XIII bersamaan dengan ikut masuknya tulisan Arab (Kristantohadi, 2010), masyarakat pribumi mulai menggunakan budaya tulis dan digunakan secara menyeluruh. Oleh karena itu, dongeng binatang (fabel) ditulis menggunakan bahasa Arab dan diubah dari cerita-cerita Hindu menjadi bentuk hikayat dalam Islam, dengan tujuan untuk menyebarluaskan agama Islam dikalangan pribumi. Salah satu contohnya yaitu Hikayat Khalilah dan Daninah.

Hikayat ini merupakan sebuah terjemahan dari bahasa Arab. Meskipun demikian, karya sastra ini bukanlah karangan asli dalam bahasa Arab, melainkan sebuah terjemahan dari bahasa Persia. Karangan dalam bahasa Persia ini merupakan terjemahan dari bahasa Sansakerta. Karya ini merupakan kumpulan fabel karya Baidaba, seorang filsuf yang hidup pada abad ke-3 masehi, nama asli karya tersebut yaitu Karna dan Damantaka (Sugiarto, 2009).

Nilai Dongeng Binatang (Fabel)


Atmaja (2010) menjelaskan “sebuah karya sastra tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung didalamnya, yaitu:

  • Nilai Moral, sebuah karya sastra secara umum membawa pesan dan amanat, pesan moral dapat disampaikan langsung atau tidak langsung oleh seorang pengarang, dan pesan moral dapat diketahui dari perilaku tokoh-tokohnya.

  • Nilai Estetis, nilai estetis merupakan nilai keindahan yang melekat pada dongeng tersebut, seperti rima, diksi, atau gaya.

  • Nilai Budaya, nilai budaya dan sosial tidak terlepas dari karya sastra tersebut bercerita tentang daerah tertentu. Aspek budaya tersebut dapat diketahui dari latar atau setting, tokoh, corak masyarakat, kesenian ataupun kebudayaan.

Aliran Dongeng Binatang (Fabel) dalam Karya Sastra


Ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya dikalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu, bahkan menjadi ciri khas pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta (Elyusra, 2009).

Ada dua aliran yang terdapat dalam dongeng binatang (fabel) yaitu:

  • Aliran Simbolisme
    Simbolisme adalah aliran kesustraan yang penyajian tokohtokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Perilaku tersebut dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, dimana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat disalurkan melalui bentuk bentuk peribahasa dan dongeng binatang (fabel) (Elyusra, 2009). Dalam aliran ini, seorang pengarang membuat karakter dengan sifat-sifat dan perilaku hewan, sama dengan sifat dan perilaku manusia yang dijadikan objek mengarang. Seperti perilaku raja yang kejam dan serakah, maka karakter hewan yang dibat bersifat kejam dan serakah. Contohnya raja yang disimbolkan menggunakan hewan buaya, karena buaya sendiri merupakan hewan yang terlihat kejam.

  • Aliran Realisme
    Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya, pengarang berperan secara objektif. Gustaf Flaubert (seperti dikutip Elyusra, 2009), seorang pengarang realisme Prancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai inspirasinya (Elyusra, 2009). Aliran realisme seperti seorang pengarang menggambar binatang untuk dijadikan karakter, dan hewan dalam gambar tersebut baik bentuk dan fisiknya sesuai dengan hewan yang aslinya. Jadi, penggambaran hewan yang terdapat dicerita sesuai dengan hewan yang aslinya yang dijadikan objek cerita.

Fabel adalah sebuah cerita binatang (Tiergechichte), yang tidak hanya ditujukan kepada
anak-anak saja, tetapi juga ditujukan kepada manusia dewasa. Setelah membaca dan melakukan kegiatan apresiasi terhadap fabel, mahasiswa dapat belajar dari karakter-karakter binatang yang muncul di dalam Fabel, yang dapat dianalogkan dengan karakter manusia yang sesungguhnya.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fabel yang berasal dari bahasa Inggris fable adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang.

Dongeng binatang (fabel) adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptillia), ikan, dan serangga. Binatang- binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia (Danandjaja, 2002).

Dengan demikian dongeng binatang menyimbolkan binatang dalam setiap ceritanya, dimana binatang-binatang itu memiliki watak seperti manusia, berbicara, dan berakal budi. Seolah-olah binatang itu hidup dan memiliki kebudayaan masyarakat.

Nilai Dongeng Binatang (Fabel)


Atmaja (2010) menjelaskan sebuah karya sastra tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung didalamnya, yaitu :

1. Nilai Moral, sebuah karya sastra secara umum membawa pesan dan amanat, pesan moral dapat disampaikan langsung atau tidak langsung oleh seorang pengarang, dan pesan moral dapat diketahui dari perilaku tokoh-tokohnya.

2. Nilai Estetis, nilai estetis merupakan nilai keindahan yang melekat pada dongeng tersebut, seperti rima, diksi, atau gaya.

3. Nilai Budaya, nilai budaya dan sosial tidak terlepas dari karya sastra tersebut bercerita tentang daerah tertentu. Aspek budaya tersebut dapat diketahui dari latar atau setting, tokoh, corak masyarakat, kesenian ataupun kebudayaan.

Aliran Dongeng Binatang (Fabel) dalam Karya Sastra


Ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya dikalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu, bahkan menjadi ciri khas pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta (Elyusra, 2009).

Ada dua aliran yang terdapat dalam dongeng binatang (fabel) yaitu:

1. Aliran Simbolisme

Simbolisme adalah aliran kesustraan yang penyajian tokoh- tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Perilaku tersebut dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, dimana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan
pendapat disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa dan dongeng binatang (fabel) (Elyusra, 2009).

Dalam aliran ini, seorang pengarang membuat karakter dengan sifat-sifat dan perilaku hewan, sama dengan sifat dan perilaku manusia yang dijadikan objek mengarang. Seperti perilaku raja yang kejam dan serakah, maka karakter hewan yang dibat bersifat kejam dan serakah. Contohnya raja yang disimbolkan menggunakan hewan buaya, karena buaya sendiri merupakan hewan yang terlihat kejam.

2. Aliran Realisme

Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya, pengarang berperan secara objektif. Gustaf Flaubert (seperti dikutip Elyusra, 2009), seorang pengarang realisme Prancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai inspirasinya (Elyusra, 2009).

Aliran realisme seperti seorang pengarang menggambar binatang untuk dijadikan karakter, dan hewan dalam gambar tersebut baik bentuk dan fisiknya sesuai dengan hewan yang aslinya. Jadi, penggambaran hewan yang terdapat dicerita sesuai dengan hewan yang aslinya yang dijadikan objek cerita.

Manfaat Dongeng Binatang (Fabel) Pada Anak


Membacakan cerita atau dongeng pada anak adalah salah satu cara berkomunikasi dengan anak kecil, melalui cerita orang tua dapat menyampaikan pesan-pesan moral baik yang secara umum maupun yang diselipkan.

Manfaat dongeng binatang (fabel) dapat diketahui sebagai berikut:

  1. Mengasah daya pikir dan imajinasi

  2. Menanamkan berbagai nilai dan etika kepada anak, bahkan untuk menumbuhkan rasa empati. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras.

  3. Menumbuhkan minat baca anak

  4. Mengembangkan intelektual

  5. Kemampuan bahasa meningkat

  6. Mengenal budaya, seorang anak akan menjumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan suatu kelompok masyarakat dengan budayanya.

Mendongeng tidak harus menjelang tidur, mendongeng dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, dapat sambil belajar atau bermain atau bahkan sambil memasak bersama ibu di dapur dan hal itu akan semakin memperkuat ikatan antara orang tua dan anak. Dengan rasa kasih sayang, seorang ibu atau ayah pasti akan mengajari anaknya sebaik mungkin disela-sela waktunya, walaupun sedang sibuk bekerja.

Berdasarkan sumber data yang didapat dari Amindjaja manfaat dongeng fabel yaitu:

  • Anak-anak pada dasarnya suka hewan, dongeng dengan tokoh hewan membuat anak lebih menikmati membaca. Jika kesan pertama akan buku itu menyenangkan, lebih besar kemungkinan anak akan tumbuh jadi orang yang suka membaca.

  • Anak bisa belajar dari moral yang terkandung dalam dongeng binatang (fabel).

  • Jika ceritanya fantasi, anak bisa melatih imajinasi. Dalam hal ini sebah cerita lebih banyak menggambarkan kehidupan yang mengedepankan imajinasi anak.

  • Jika ceritanya berdasarkan realita, anak bisa menerapkan dalam hidup sehari-hari. Cerita-cerita yang didasari kehidupan realita, dimana dalam cerita tersebut memiliki pola kehidupan hampir sama dengan kehidupan manusia khususnya anak. Seperti menceritakan berbuat baik atau saling menolong.

Fabel merupakan cerita mengenai kehidupan binatang. Hal ini sesuai dengan pendapat L. T. Tjahjono, yang membatasi istilah fable sebagai dongeng yang mengangkat kehidupan binatang sebagai bahan ceritanya (1988:167), misalnya cerita kancil cerdik. Pendapat lain yang dikemukakan Huck (1987) menyebutkan bahwa fable merupakan dongeng mengenai binatang atau unsur-unsur atau yang lain, misalnya hujan, angin, laut, mentari, rembulan, dan sebagainya, misalnya dalam cerita “The Hare and The Tortoise” atau “The Sun and The North Wind” (1987:303). Hewan atau unsur-unsur alam lain itu dalam cerita dapat hidup bermasyarakat dan berbicara layaknya ebagai manusia.

Di Indonesia, fabel diciptakan karena nenek moyang kita amat dekat dengan alam, sehingga binatang pun mereka anggap sebagai mahluk Tuhan yang memiliki kemampuan seperti manusia. Pada masing-masing daerah, fabel hadir dengan tokoh binatang yang berbeda. Di Jawa dan Melayu , tokoh kancil atau pelanduk dikenal sebagai tokoh fabel, orang Sunda mengenal kura-kura dan kera, di Toraja dikenal tokoh fabel yang berupa monyet hantu, di Bali dikenal ayam hitam yang setia memelihara anak-anaknya sebelum pandai terbang (mengepak-ngepakkan sayap dan mencari makanan). Di negeri lain , misalnya Tiongkok, sebagi tokoh dalam fabel-fabelnya adalah juga kelinci atao terwelu, sementara di Eropa, tokoh rubah atau srigala (Fox) sebagai tokoh fabelnya (Tjahjono, 1988:168).

Salah satu alasan mengapa cerita binatang dapat memiliki daya tarik ialah karena banyak jenis binatang dan banyak hal yang dapat ditulis tentang binatang-binatang itu. Jenis umum kedua tentang cerita binatang ialah cerita yang menyatakan bahwa binatang itu bertindak seperti binatang namun bisa berpikir dan berbicara seperti manusia.

Terakhir ialah binatang yang asli yaitu bertingkah laku secara ilmiah sebagai binatang. Di dalam cerita ini pengarang sangat cermat dalam menentukan suatu pelaku utama yang konsisten sebagai binatang dari awal hingga akhir. Segala sesuatu yang terjadi, setiap tindakan yang dilakukan oleh pelaku itu masuk akal sesuai dengan tingkah laku yang kita ketahui tentang binatang itu. Pengarang bahkan sangat cermat menghindari untuk memberikan tanda-tanda emosi manusia, seperti kecemburuan terhadap binatang itu. Di dalam cerita yang paling baik dalam jenis ini, pengarang berhasil meningkatkan minat dan mengembangkan empati kepada pelaku tersebut. Binatang-binatang tersebut tidaklah mengenakan pakaian atau berbicara, dan banyak yang tidak memiliki nama. Selain itu dalam jenis ini juga terdapat binatang yang tidak nyata (imaginary). Dan tidak semua cerita binatang itu diceritakan dalam bentuk prosa. Ada yang dalam bentuk gambar dengan diberi keterangan puisi humor singkat.

Seperti dipaparkan di muka bahwa fabel meripakan dongeng yang mengangkat kehidupan binatang atau unsur alam lain sebagai bahan ceritanya. Dalam fabel, binatang atau unsure alam lain itu mampu bermasyarakat dan berkomunikasi (berbicara) layaknya sebagai manusia. Dalam fabel, tokoh-tokoh binatang atau unsure alam lain itu digunakan sebagai symbol atau perlambang yang mewakili sifat manusia, misalnya seekor singa, macan, atau matahari untuk kekuasaan, rubah atau srigala untuk kelicikan, domba untuk kepolosan atau keluguan dan kesederhanaan, kancil untuk kecerdikan, dan sebagainya. Dalam fabel terkandung nilai didaktis dan moralistis karena pada awalnya fabel diciptakan sebagai dongeng sebelum tidur bagi anak-anak. Alur fabel biasanya berpijak pada satu peristiwa kejadian, oleh karena itu fabel muncul cukup ringkas dan sederhana (Huck, 1987:303).

Dari uraian di atas dapatlah diidentifikasi karekteristik (ciri-ciri) fabel sebagai berikut: (1) berkisah tentang binatang atau unsure alam lain yang mampu berbicara (berkomunikasi) layaknya sebagai manusia, (2) bersifat simbolis, (3) bersifat didaktis dan moralistis, dan (4) ringkas dan sederhana.

Fabel adalah salah satu dongeng yang menampilkan binatang sabagai tokoh utama. Tokoh tersebut dapat berpikir, berperasaan, berbicara, bersikap, dan berinteraksi seperti manusia. Fabel bersifat didaktis atau mendidik. Fabel digunakan sebagai kiasan kehidupan manusia dan untuk mendidik masyarakat.

Pada umumnya cerita fabel terdiri atas tiga bagian sebagai berikut:

  1. Orientasi, yaitu bagian awal berisi pengenalan tokoh, latar tempat dan waktu, dan awalan masuk ke tahap berikutnya.
  2. Komplikasi, yaitu tokoh utama berhadapan dengan masalah. Bagian ini menjadi inti cerita. Bagian ini harus ada. Jika tidak ada masalah, harus diciptakan masalah.
  3. Resolusi, yaitu kelanjutan dari komplikasi, yaitu pemecahan masalah. Masalah harus diselesaikan dengan cara kreatif.
  4. Koda, yaitu berisi perubahan yang terjadi pada tokoh dan pelajaran yang dapat dipetik dari cerita tersebut.

Ciri-ciri fabel sebagai berikut:

  • Tokoh utama binatang
  • Alur ceritanya sederhana
  • Cerita singkat dan bergerak cepat
  • Karakter tokoh tidak diuraikan secara terperinci
  • Gaya penceritaan secara lisan
  • Pesan atau tema kadang-kadang dituliskan dalam cerita
  • Pendahuluan sangat singkat dan langsung.