Apa yang dimaksud dengan Epistemologi?

Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang bertujuan untuk menemukan makna dari pengetahuan, dan menyebutnya ‘awal yang sesungguhnya’ dari filsafat. Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani klasik epistēmē yang berarti “pengetahuan” dan akhiran -logi, yang berarti “wacana” (berasal dari kata yunani logos yang berarti “wacana”).

Apa yang dimaksud dengan Epistemologi ?

Epistemologi adalah salah satu kajian filsafat yang berkaitan dengan pengetahuan.Secara sederhana, epistemologi berarti teori pengetahuan.

Dilihat dari segi bahasa, epistemologi merupakan istilah yang berasal dari dua bahasa Yunani, episteme, berarti pengetahuan, dan logos, berarti ilmu. Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan. Penekanan epistemologi adalah pengetahuan manusia, sebagai makhluk berakal dan berperadaban. Kajian epistemologi meliputi pembahasan dan penelusuran wilayah pengetahuan secara rasional. Pembahasan dimaksudkan untuk membedah batas-batas pengetahuan, serta bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Sedangkan proses penelusuran pengetahuan diartikan sebagai upaya mencari akar permasalahan terkait ide dan gagasan yang berhubungan dengannya, seperti indera, memori, persepsi, bukti-bukti, kepercayaan dan kepastian.

Epistemologi merupakan sebuah penelusuran rasional, berkaitan dengan kemungkinan dan kepastian isi pengetahuan, menguji validitas, menentukan batas-batas, dan memberikan kritik berkaitan dengan ciri-ciri umum yang hakiki dari pengetahuan. Epistemologi juga menentukan aspek kesadaran manusia ketika berinteraksi dengan lingkungan, alam sekitar, dan terutama dengan diri pribadi manusia itu sendiri.

Dalam waktu yang cukup lama, masalah epistemologi menduduki porsi signifikan dalam wacana filsafat Barat.Perdebatan sistem-sistem yang dimajukan para filsuf, sejak zaman klasik ribuan tahun silam seolah tidak menemukan kepastian. Perbedaan itu kiranya menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang menandai nuansa zamannya. Meskipun menjadi masalah yang cukup menguras energi selama ribuan tahun, namun epistemologi bukanlah hal pertama yang dikaji dalam kajian filsafat Barat.

Dalam sejarahnya, epistemologi tidak menjadi persoalan yang pertama kali diperbincangkan oleh bapak filsafat Barat. Seperti Thales (645-545 SM) yang konsen pada ranah ontologi yaitu tentang pokok penyusun alam semesta. Dia berusaha untuk menemukan suatu realitas primordial, yang disebutnya arche.

Sedangkan Parmenides (lahir 540 SM.) yang dianggap sebagai pionerr kelompok rasionalis dan Heraklitos (540-480 SM.) termasuk kelompok empiris, akan tetapi masih belum menjadi perdebatan epistemologi pada saat itu karena penalaran mendalam terkait dengannya dianggap belum terbentuk secara utuh. Akan tetapi mereka memainkan peranan yang cukup signifikan dalam wacana filsafat dikemudian hari.Mereka kerap dianggap mewakili dua kecenderungan yang saling berlawanan. Pemahaman tentang pengetahuan tersebut tetap terpelihara dan terjamin seutuhnya dalam pola pikir masyarakat Yunani sampai berabad-abad berikutnya. Sampai akhirnyadi abad ke-5 SM., kemapanan pandangan itu diserang oleh kritikan tajam kaum Sofis.

Kaum Sofis adalah kalangan terpelajar yang memulai penyebarluasan filsafat ke tengah-tengah masyarakat; keluar dari sekolah menuju pasar. Mereka adalah para guru dan teladan berilmu. Seni berdebat adalah salah satu yang diajarkan Sofis, dan menjadi mata pelajaran favorit. Meskipun tidak memunculkan terobosan baru menyangkut pengembangan ilmu pengetahuan, kaum Sofis berjasa menyebarluaskan dan memelihara ide-ide besar dalam bidang saintifik yang sudah ada di Yunani. Mereka dianggap sebagai pembawa pertama dan terutama terjadinya pencerahan Yunani.

Kaum Sofis memelopori perdebatan dan pengujian sejumlah tradisi yang sudah taken for granted oleh masyarkat. Mereka juga mempersoalkan hakikat pengetahuan manusia.

Kaum Sofis tidak memberikan kaidah baku terkait masalah epistemologi, sehingga apa yang diajukan terjerumus ke dalam relativisme. Inilah batu sandungan kaum Sofis. Persoalan epistemologi yang menjadi perdebatan filosofis berkepanjangan, dipelopori oleh perdebatan ini. Perdebatan antara yang universal dan yang relatif. Salah satu contoh ekstrem terlihat misalnya dari Gorgias (483-375 SM.), yang tidak mengakui bahwa manusia bisa mendapatkan pengetahuan. Ia beranggapan tiadanya realitas, dan jika pun ada, manusia sama sekali tidak mampu memahami realitas; jika pun bisa, maka manusia tidak bisa membicarakan pengetahuan tentang realitas itu. Namun ia pun pada akhirnya tidak memberikan penyelesaian terkait persoalan ini.

Karena sikap dan pendirian kaum Sofis yang demikian, masyarakat Yunani berangsur-angsur beralih memihak Socrates (470-399 SM.), dan para muridnya. Sebuah perjuangan yang melelahkan dengan harga yang teramat mahal—bahkan harus mengorbankan nyawa Socrates sendiri dengan meminum racun. Wacana epistemologi pada babak berikutnya dirumuskan lebih jelas oleh Plato (428-347 SM.)—murid Socrates yang paling setia. Plato-lah orang pertama kali mengajukan pertanyaan mendasar tentang epistemologi: “apa yang bisa kita ketahui?

Pertanyaan sederhana ini yang menandai babak baru diskursus filosofis. Di kemudian hari, pertanyaan akan jauh lebih kompleks dan rumit. Munculnya beragam gagasan dan ide bermuara untuk memecahkan kerumitan seputar pertanyaan tentang di manakah pengetahuan itu benar-benar dapat diperoleh, dan sebanyak apa pengetahuan itu benar-benar dapat diperoleh, dan sebanyak apa pengetahuan itu bisa kita pikirkan? Apakah indera menyediakan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan yang benar? Sederetan pertanyaan inilah yang dibahas Plato dan para filsuf dalam diskursus filosofis di masa-masa berikutnya.

Paparan epistemologi dalam pembahasan selanjutnya, lebih diarahkan kepada masa tertentu sejak perumusan awalnya, dan langsung dilarikan ke zaman modern. Periodesasi ini dipilih, mengingat akar kemunculannya sangat diperlukan guna memetakan perkembangannya dari awal, dan zaman di saat perdebatan itu begitu ramai ketika Immanuel Kant hidup. Tidak dijelaskannya perdebatan epistemologi di zaman pertengahan, karena perhatian pemikir pada masa itu yang kurang memberi ruang pada pengembangan filsafat secara mandiri.

Sebagaimana disebutkan Bertrand Russel, filsafat pada masa itu berada di bawah kendali agama Kristen.Filsafat digunakan untuk membentengi agama, sebagai alat penalaran yang memperkokoh iman. Kebanyakan pemikir modern kerapkali mengritik hal itu, karena reduksi filsafat sebagai kajian dogmatis tidak membawa kebaikan sama sekali.

Referensi :

  • Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Book Ltd., 2000)
  • W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman (New York: Dover Publication Inc., 1956).
  • D. W. Hamlyin, “Epistemology,” in Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, vol., III (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972).
  • Robert Ackermann, Theories of Knowledge: A Critical Introduction (New York: McGraw-Hill Company, 1965).
  • Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: Geoege Allen and Unwin Ltd., 1961).

Epistemologi atau teori pengetahuan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar- dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.

Epistemologis membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan fondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung pada ilmu tertentu dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar.

Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat. Dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.

Namun, epistemologi (teori pengetahuan) karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan fondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, tetapi ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.

Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu, meainkan pada dua abad sebelumnya, khususnya di Barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam, permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, tetapi begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, non materi jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoretis dan praktis, wujud pikiran, serta tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi.

“Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap “kebenaran”. Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik nadir peradaban karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung pada pengenalan kita terhadap kebenaran.

Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud Anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu?

Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia acap kali dihadapkan pada persoalan- persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran, penyusuran, serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya. Perjalanan sejarah umat manusia sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia acap kali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara- perkara eksistensial. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini karena metodologi ilmu-ilmu tersebut bercorak empirikal.

Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini karena baik dari sisi metodologi maupun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional. Sebelum memasuki gerbang filsafat, terlebih dahulu instrumen yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas.

Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti adanya. Pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat.

Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin. Pembahasan epistemologi sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “ Episteme ” dan “ logos ”. “ Episteme ” berarti pengetahuan ( knowledge ), “ logos ” berarti teori. Dengan demikian, epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan (Rizal 2001). Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld dalam Mohammad Noor Syam (1984) mendefinisikan epistomologi sebagai “ it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student ”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai “epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Di samping itu, banyak sumber yang mendefinisikan pengertian epistomologi di antarannya:

a. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
b. Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas, dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
c. Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan, yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau kebenaran pengetahuan.
d. Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber- sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
  1. hakikat itu ada dan nyata;
  2. kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
  3. hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami; serta
  4. manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu.

Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya dan jalan menuju ilmu serta pengetahuan tidak tertutup bagi manusia. Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia? Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, tetapi pada persoalan- persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan.

Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini, misalnya ‘kursi’ adalah cara kerja pikiran untuk menangkap substansi sebuah kursi. Dalam realita konkret, kita selalu menemui berbagai macam kursi dalam jenis, sifat, bentuk, dan perujudannya. Menurut jenis bentuk, posisi, dan fungsinya ada kursi makan, kursi belajar, kursi goyang, kursi tamu, dan sebagainya. Namun, terlepas dari hal itu semua ‘kursi’ adalah kursi bukan ‘meja’ meskipun bisa difungsikan sebagai meja atau sebagai alat (benda buatan) dalam bentuk tertentu, yang berfungsi sebagai ‘tempat duduk’. Sementara duduk adalah suatu kegiatan seseorang dalam posisi meletakkan seluruh badan dengan macam jenis, sifat, bentuk hal atau benda dalam keadaan seperti apa pun, di mana, serta kapan pun berada dan yang biasanya difungsikan sebagai tempat duduk.

Contoh lain, melakukan abstraksi tentang ‘mahasiswa’, misalnya kegiatan berpikir untuk mengungkap apa substansi dari mahasiswa itu, Menurut ukuran sepuluh kategori Aristoteles, mahasiswa adalah manusia dewasa yang menurut sifatnya berpikir kritis, berpenampilan penuh selidik hidup di dalam komunitas kampus, dengan tanggung jawab belajar, selama kurun waktu tertentu serta selalu berada di dalam budaya berpikir, bersikap, dan berperilaku inovatif .

Namun, apakah ketika mereka melakukan aktivitas di luar kampus, substansi, atau jati dirinya sebagai mahasiswa tetap berfungsi? Jika ‘kampus’ dipahami sebagai suatu tempat, substansi kemahasiswaan berubah menjadi komponen sosial lain. Namun, jika kampus dipahami sebagai suatu sistem dinamika sosial, kehadiran mahasiswa dengan jati dirinya justru ditunggu oleh masyarakat luas luar kampus. Jadi, substansi atau jati diri ‘mahasiswa’ bisa berada di dalam kegiatan apa pun, berlangsung di mana, dan kapan pun, di dalam kehidupan sosial seluas-luasnya, tidak terikat sebatas sosialitas kampus.

Epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini, epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran, mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:

  • Dari manakah saya berasal?
  • Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
  • Apa hakikat manusia?
  • Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?
  • Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?
  • Mana pemerintahan yang benar dan adil?
  • Mengapa keadilan itu ialah baik?
  • Pada derajat berapa air mendidih?
  • Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?
  • dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal- hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa: hakikat itu ada dan nyata dan hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami. Keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhadap objek dan realitas eksternal, tolak ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia.

Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, serta terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Pokok bahasan epistemologi dengan memerhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat, dan pengetahuan.