Empirisme berasal dari bahasa Yunani, empirea, diterjemahkan Latin menjadi experientia, yang darinya diturunkan kata dalam bahasa Inggris experience (pengalaman). Dalam kajian filsafat, empirisme adalah sebuah aluran filsafat yang meyakini bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman. Pengalaman memainkan peranan penting dalam proses terciptanya pemahaman; munculnya pengetahuan didapat dari hasil observasi inderawi; kebenaran didapat dari analisis dan penelusuran fakta-fakta. Di zaman klasik, pandangan semacam ini dijelaskan secara sistematis dalam pemikiran Aristoteles (384- 322 SM).
Kendati telah menjadi murid Plato selama 20 tahun, landasan berpikir Aristoteles sangat berbeda dari gurunya. Filsuf kelahiran Stagira ini memiliki pandangan yang justru sangat bertolak belakang dari Plato. Aristoteles lebih meminati bidang biologi ketimbang matematika. Aristoteles sama sekali tidak terpengaruh-bahkan mengkritik-pemikiran Plato. Bagi Aristoteles, gagasan Plato dengan alam ide yang transenden adalah sebuah kekeliruan. Konsep alam ide hanyalah sebuah “omong kosong”. Tidak ada pembuktian memadai tentang hal itu. Kekeliruan Plato sama persis dengan kekeliruan para pemikir sebelumnya.
Aristoteteles menganggap bahwa pengetahuan bersifat universal. Sama halnya dengan kebenaran dan kesalahan. Pengetahuan manusia sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Ia dapat diperoleh siapa saja, tanpa memandang status, dan lepas dari unsur- unsur adikodrati.
Bagi Aristoteles, pengetahuan dirumuskan dalam suatu keputusan yang berkaitan dengan penangkapan hubungan esensial. Mengetahui tentang sesuatu berarti mengetahui sesuatu dapat dimasukkan dalam genus, dan secara lebih spesifik dalam spesies tertentu, serta hal esensial darinya. Hal yang esensial ini adalah sebuah tata tertib (order), yang menjadikannya berbeda dari sesuatu yang bukan pengetahuan.
Genus dan spesies merupakan istilah yang digunakan Aristoteles, guna merujuk seperangkat dalam tata tertib tersebut.
Pengetahuan ilmiah meniscayakan adanya hubungan sebab akibat antara suatu keadaan, dengan keadaan lainnya. Aristoteles membagi sebab dalam penyelidikan ilmiah menjadi empat:
- bentuk yang dapat didefinisikan;
- bagian yang mengharuskan adanya sebab akibat (bisa diartikan juga sebagai sebab material);
- sebab efisien;
- tujuan.
Keempat sebab ini menjadi dasar kokoh suatu kaidah pengetahuan ilmiah, dalam berbagai macam disiplin keilmuan.
Bagi Aristoteles, pengetahuan diperoleh lewat daya tangkap jiwa terhadap bentuk benda-benda partikular. Jiwa itu sendiri bukanlah sebuah entitas spiritual.Tetapi, sebuah substansi dalam pengertian yang berkesesuaian dengan formula definitive esensi sesuatu. Jiwa adalah ke-apa-an yang paling esensial dari sesuatu. Setiap makhluk bernyawa memiliki jiwa. Jiwa mengatur seperangkat aturan fakultas yang dimiliki tubuh, misalnya mata. Penglihatan adalah jiwanya, atau esensi mata, sedangkan wujud mata adalah materi. Mata berkesesuaian dengan formula yang mengaturnya. Jika tanpa jiwa, maka mata tidak dapat melihat. Tanpa jiwa, mata hanya menjadi sebuah nama, tanpa kemampuan daya lihat.
Tubuh memiliki organ-orga indera yang cukup beragam, tidak hanya penglihatan. Dengan kemampuan indera, jiwa dapat memperoleh tangkapan partikular atas bentuk beragam macam benda. Jiwa tidak mungkin berpikir tanpa sebuah gambaran atau imajinasi. Aristoteles menjelaskan bahwa proses munculnya imajinasi ibarat udara yang membatasi pergerakan pupil mata, dalam suatu cara tertentu dalam penglihatan. Setelah itu pupil mentransmisikan hasil modifikasi tersebut pada jiwa, di mana tujuan utamanya adalah mendapatkan suatu makna tertentu. Hal yang hampir sama berlaku pada kemampuan indera lainnya, dengan perangkatanya masing-masing.
Kemampuan indera adalah sebuah potensial organ tubuh. Organ ini bekerja dengan aturan yang ada dalam tubuh manusia. Setiap indera memiliki objek dan kemampuannya sendiri. Indera tidak dapat diberlakukan layaknya sebuah alat yang tidak memiliki perangkat dan objek yang jelas. Setiap indera memiliki fungsi tertentu, dengan objek yang berbeda-beda dan pasti. Indera penglihatan memiliki kemampuan khusus untuk dapat memperoleh pencerapan terhadap objek warna, ukuran dan bentuk.
Tokoh empirisme yang berpengaruh cukup signifikan di abad modern adalah Joh Locke (1632-1704 M). Locke tidak setuju dengan pandangan rasionalis, misalnya tentang ide-ide bawaan dan daya inderawi yang kurang diperhatikan. Bagi Locke, pikiran manusia ketika dilahirkan adalah dalam keadaan kosong, tabula rasa. Ide bawaan mengandung sejumlah persoalan, semisal perbedaan antara si cerdas dan si idiot yang keduanya sejak lahir memiliki kesempatan sama dalam menggapai pengetahuan. Pengetahuan manusia berkembang seiring dengan interaksi dan pendidikan yang diraih. Menurutnya, pikiran manusia ketika lahir semacam kertas putih, kosong. Pikiran mendapat pengetahuan setelah manusia mulai menggunakan inderanya.
Locke memandang bahwa ruang adalah hasil penyusunan ide-ide abstrak dari penginderaan yang sangat rumit, bersifat partikular, yang kemudian menjadi sebuah bentuk kompleks. Ide dengan begitu dibentuk dalam ruang yang berasal dari faktor eksternal. Menurut Locke, manusia mendapat ide lewat sensasi dan refleksi. Dengan sensasi manusia bisa mengetahui hal-hal semacam warna, suara, cuaca, dan sebagainya.
Melalui refleksi, manusia dapat menjadi sadar terhadap keadaan internalnya, semisal keinginan, keraguan, pemikiran, dan seterusnya. Kedua hal itu menjalankan fungsi bersama membentuk pengetahuan; kombinasi kedua unsur tersebut dapat menghasilkan pemahaman yang mendalam. Melalui penyatuan itu, manusia dapat menerima ide-ide kesatuan, keteraturan, kesakitan, dan lain-lain. Hal itu semuanya dibentuk dalam susunan kerja pikiran.
Pikiran bekerja dalam hal menerima dan mengolah informasi apa adanya. Hasil kerja pikiran tersebut disebut ide. Apa yang diterima pikiran, tetap tidak sama dengan sesuatu yang sebenarnya. Hasil pencerapan indera, menjadi sumber utama dalam proses pengetahuan. Ide dalam pandangan Locke, terbagi menjadi dua: ide sederhana dan kompleks.
-
Ide sederhana adalah informasi yang dihasilkan pencerapan inderawi, atas fakta-fakta partikular. Data partikular ini kemudian menjadi sumber bagi suatu skema yang lebih luas, yakni ide kompleks.
-
Ide kompleks berasal dari sejumlah kumpulan ide-ide particular yang diangkat menjadi skala luas, misalnya fakta-fakta tertentu tentang manusia. Manusia terdiri dari kelompok-kelompok, dan tipe yang berbeda-beda. Ada tipe kurus, gemuk, tinggi dan pendek. Ini disebut fakta-fakta partikular. Dari data itu kemudian dirumuskan suatu benang merah, yang menggambarkan konsep manusia secara umum. Hasil terakhir ini disebut ide kompleks.
Dalam kinerja untuk menghasilkan ide, pikiran didorong oleh suatu kekuatan tersmbunyi yang bersifat metafisik. Kekuatan ini disebut dengan kualitas. Locke membagi kualitas primer dan kualitas skunder.
-
Kualitas primer merupakan sesuatu yang melekat pada objek, tidak bisa dipisahkan dan diubah.
-
Kualitas skunder adalah kekuatan yang muncul dari dalam diri manusia berupa berbagai macam sensasi, yang dihasilkan oleh kualitas skunder.
Pembagian Locke atas ide dan kualitas, tidak bisa diterima oleh George Berkeley (1685- 1753 M)—salah satu tokoh empiris. Bagi Berkeley, ide dan pengalaman adalah sama. Tidak ada perbedaan antara persepsi, kualitas, ide, dan pengalaman. Objek-objek disebut ada, karena keberadaannya yang bisa dipersepsi indera. Segala bentuk hal-hal metafisik, pada dasarnya tidak berwujud, karena tidak bisa diketahui lewat indera. terkenal dictum dari Berkeley : Esse est percipi (to be is tobe perceived).
Pandangan Berkeley di atas diradikalkan oleh tokoh empiris lainnya, David Hume (1711- 1776 M). Gaya pemikiran Hume menggambarkan sikap skeptik. Ia sepakat dengan kedua tokoh empiris Inggris terkait tidak adanya ide-ide bawaan. Namun, Hume mengarahkan kritik terhadap kecenderungan yang masih menyelimuti pandangan empiris pada umumnya, semisal masalah substansi, istilah-istilah metafisika, dan kausalitas. Mengenai masalah substansi yang masih diyakini Locke, Hume memandangnya tidak lebih dari sekedar persepsi. Konsep substansi yang diketahui manusia, sebenarnya hanyalah persepsi atas benda-benda material. Yang mampu diketahui pikiran hanyalah persepsi-persepsi tersebut, dan tidak lebih. Objek di luar kesadaran manusia tidak termasuk yang dipikirkan.
Di samping itu, menurut Hume tidak ada hubungan yang jelas antara persepsi dengan objek-objek yang diindera. Bukti-bukti keterkaitan antara objek dengan persepsi subjek tidak bisa ditemukan secara jelas. Yang kemudian dijelaskan Hume adalah bagaimana sebenarnya mekanisme kerja pikiran dalam menghasilkan keberadaan konsep-konsep substansi.
Bagi Hume, pemahaman tentang substansi didapat ketika terjadi interaksi dengan benda-benda, misalnya bola billiard berbentuk bulat, merah, dan padat. Dari situ pikiran menangkap kesatuan konsep tentang bola tersebut.Pada dasarnya keberadaan substansi bola itu sebatas ada dalam pikiran. Persepsi yang yang dialami subjek bersifat khayali. Susbtansi adalah kumpulan persepsi atas benda. Begitu pula misalnya dengan keadaan manusia.Ke-aku-an dipahami sebagai faktor penunjang keberadaan manusia yang sadar. Kesadaran ini pada gilirannya bermasalah.Kesadaran hanya dialami ketika keadaan tertentu, yakni saat persepsi-persepsi bekerja.Kesadaran hanya keadaan sementara.Ketika tidur, atau setelah meninggal, orang tidak lagi menyadari keberadaannya, karena persepsi-persepsi menghilang.
Hume memandang bahwa kesadaran manusia pun termasuk kumpulan dari persepsi, a bundle of perceptions.
Referensi :
- D.W Hamlyn,”Empiricism,” in PaulEdward, ed., The Encyclopedia of Philosophy
- McKeon (ed), Introduction to Aristotle
- John Locke, An Essay Concerning Human Understading in Focus, Garry Fuller, etc.m ed., (London: Routledge, 2000)