Apa yang dimaksud dengan Empirisme ?

Empirisme

Empirisme adalah paham ilmu pengetahuan yang beroposisi terhadap rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa rasio adalah satu-satunya sumber pengetahuan; jadi pengetahuan bersifat apriori (mendahului pengalaman). Sementara empirisme mengatakan bahwa pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan; jadi pengetahuan bersifat aposteriori (setelah pengalaman). Secara harafiah, empiris berarti berada di dalam ruang dan waktu.

Apa yang dimaksud dengan Empirisme ?

Empirisisme merupakan suatu aliran di dalam dunia filsafat yang menitikberatkan pengalaman inderawi sebagai sumber utama dan asal-usul pengetahuan manusia. Aliran yang berkembang pesat pada masa Renaisan ini dirintis oleh seorang filsuf Inggris, Francis Bacon de Verulam (1561-1626), dan kemudian dilanjutkan oleh filsuf-filsuf lain seperti John Locke, George Berkeley, Thomas Hobes dan David Hume.

Empirisisme muncul pada saat itu sebagai reaksi atas kelemahan paham rasionalisme – sebuah aliran filsafat yang berkembang lebih dahulu daripada empirisisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan manusia yang sejati hanyalah berasal dari rasio atau akal semata, sementara pengalaman inderawi hanya dianggap sebagai pengenalan dan justru sering diabaikan.

Istilah empirisisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu en (di dalam) dan peira (suatu percobaan). Dari makna awal itu kemudian empirisisme diartikan sebagai suatu cara menemukan pengetahuan berdasarkan pengamatan dan percobaan (Nasoetion, 1988).

Suatu pernyataan dianggap benar apabila isi yang dikandungnya memiliki manifestasi empiris, yaitu perwujudan nyata di dalam pengalaman. Atau dengan kata lain, pengalaman inderawi dianggap menjadi sumber utama pengetahuan atau kebenaran.

Di dalam perjalanannya, aliran ini tercatat mempunyai akselerasi perkembangan yang pesat pada abad ke-17 dan 18 khususnya di dataran Inggris dan sekitarnya. Pemicu perkembangan empirisisme yang meluas itu adalah karena ada kekecewaan, khususnya di kalangan pemikir, terhadap aliran rasionalisme yang memang telah berkembang terlebih dahulu.

Beberapa kritikan yang ditujukan atas rasionalisme adalah (Honer dan Hunt, 1985):

  1. Pengetahuan rasional dibentuk oleh ide yang abstrak – tidak dapat dilihat atau diraba, sehingga belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan keyakinan yang sama. Bahkan di kalangan tokoh rasionalis sendiri terdapat perbedaan yang nyata mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar.

  2. Banyak kalangan yang menemukan kesukaran dalam menerapkan konsep rasional ke dalam masalah kehidupan yang praktis, karena paham ini cenderung meragukan bahkan menyangkal sahnya pengalaman inderawi untuk memperoleh pengetahuan.

  3. Rasionalisme dianggap gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak ide yang tampaknya sudah mapan pada satu waktu bisa berubah drastis pada waktu yang lain, misalnya ide tentang sistem tatasurya.

Kritik-kritik yang muncul semacam di atas itulah yang kemudian mendorong beberapa pemikir pada masa itu untuk ‘berpaling’ dan menyuburkan kembali paham empirisisme yang sempat surut pada masa sebelumnya. Para tokoh empirisisme tersebut (dikenal juga sebagai kaum empiris), menolak kebenaran berdasarkan pengetahuan yang mengabaikan pengalaman sekarang atau pengalaman yang akan datang. Mereka juga menyangkal pengetahuan yang berdasarkan intuisi atau pengetahuan bawaan. Menurut kaum empiris ini, pengetahuan yang paling jelas dan sempurna adalah pencerapan inderawi yang berarti tidak hanya melihat, meraba, mendengar atau mencium, tetapi juga semacam indera batin (daya ingat, kesadaran). Mereka berpendapat bahwa akal budi hanyalah memadukan pengalaman-pengalaman inderawi (Ensiklopedi Nasional, 1980).

Tokoh-tokoh Empirisisme

  1. Francis Bacon de Verulam (1561-1626); perintis empirisisme di abad pertengahan ini mengatakan bahwa pengetahuan akan maju jika menggunakan cara kerja yang baik, yaitu melalui pengamatan, pemeriksaan, percobaan, pengaturan dan penyusunan.

  2. Thomas Hobes (1588-1679); berpandangan lebih jelas, yaitu bahwa pengalaman adalah permulaan, dasar segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lebih dari perhitungan, penggabungan data inderawi dengan cara berbeda-beda.

  3. John Locke (1632-1704); menegaskan bahwa pengalaman adalah satu-satunya sumber pengenalan. Akal budi manusia sama sekali tidak dibekali oleh ide bawaan. Akal manusia bagai sehelai kertas putih kosong yang akan terisi dan ditulisi dengan pengalaman inderawi. Ia juga membedakan antara pengalaman lahiriah dan batiniah.

  4. George Berkeley (1685-1753); seorang filsuf Irlandia yang mengungkapkan “idealisme pengamatan”, artinya segala pengetahuan manusia didasarkan atas pengamatan. Karena pengamatan itu selalu bersifat konkret, maka anggapan umum sama sekali tidak ada. Dunia luar tergantung sepenuhnya pada pengamatan subjek yang mengamati. Berkeley terkenal dengan ungkapannya “esse est percipi”, sesuatu ada karena diamati.

  5. David Hume (1711-1776); pencetus empirisisme radikal, yang juga dianggap sebagai puncak empirisisme. Hume sangat kritis terhadap masalah pengenalan dan pengetahuan manusia, sehingga ia sampai pada kesimpulan yang menolak substansi dan kausalitas (setiap perubahan karena sesuatu).

Karakter Empirisisme

Secara lebih detail, paham empirisisme dapat diindikasikan oleh pemikiran sebagai berikut (Sudaryono, 2001):

  1. Dunia merupakan suatu keseluruhan sebab akibat.

  2. Perkembangan akal ditentukan oleh perkembangan pengalaman empiris (sensual).

  3. Sumber pengetahuan adalah kebenaran yang nyata (empiris)

  4. Pengetahuan datang dari pengalaman (rasio pasif waktu pertama kali pengetahuan didapatkan)

  5. Akal tidak melahirkan pengtahuan dari dirinya sendiri

  6. Mengajukan kritik terhadap rasionalisme yang dianggap tidak membawa kemajuan apapun.

  7. Asas filsafatnya bersifat praktis (bermanfaat)

  8. Awal digunakannya prosedur ilmiah dalam penemuan pengetahuan, karena sesungguhnya hakikat ilmu pengetahuan itu adalah pengamatan, percobaan, penyusunan fakta, dan penarikan hukum- hukum umum.

  9. Metoda yang dipakai adalah metode induktif.

Sementara menurut Honer dan Hunt (1985), aspek-aspek empirisisme adalah:

  1. Adanya perbedaan antara yang mengetahui (subjek) dan yang diketahui (objek). Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau objek yang dapat ditangkap oleh seseorang.

  2. Kebenaran atau pengujian kebenaran dari objek tersebut didasarkan pada pengalaman manusia. Bagi kaum empiris, pernyataan tentang ada atau tidaknya sesuatu harus memenuhi persyaratan pengujian publik.

  3. Adanya prinsip keteraturan. Pada dasarnya alam adalah teratur. Dengan melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi di masa lalu, atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama pada saat ini, apa yang akan terjadi pada objek tersebut di masa depan akan bisa diprediksikan.

  4. Adanya prinsip keserupaan, berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka ada jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu. Jika kita mengetahui bahwa sebuah rumah dengan desain tertentu berhawa nyaman, maka rumah lain yang desainnya serupa dengan rumah yang pertama kita yakini juga memiliki penghawaan yang nyaman. Makin banyak pengalaman kita tentang desain rumah, makin banyak juga pengetahuan yang bisa diperoleh tentang rumah itu sendiri.

Derajat Empirisisme

Empirisisme, baik yang berkaitan dengan pemaknaan maupun pengetahuan, dapat dibedakan dalam beberapa tingkatan/ derajat (Britannica Encyclopedia, 1983):

  1. Empirisisme absolut; menganggap bahwa tidak ada a priori, baik dalam konsep formal maupun kategorikal, juga dalam proposisi. A priori berasal dari bahasa Latin yang artinya adalah from the former, kebalikan dari posteriori (from the latter). Beberapa ilmuwan menyebutkan a priori ini sebagai ide bawaan, yang dimiliki seseorang sebelum ia bersentuhan dengan dunia empiri. Konsep formal menunjukkan struktur dasar logika dan matematika dalam wacana ilmiah , seperti: ‘tidak’, ‘dan’, ‘jika’, ‘atau’, ‘semua’, ‘beberapa’, atau ‘kesatuan’. Sedangkan yang dimaksudkan dengan konsep kategorikal adalah pengelompokan ide atau gagasan misalnya: ‘tuhan’, ‘penyebab’, ‘pikiran’ atau ‘substansi’. Sementara proposisi adalah pernyataan atau dalil tentang suatu hal.

  2. Empirisisme substantif; empirisisme ini lebih moderat, mengakui bahwa di dalam konsep formal ada a priori, tetapi tidak mengakui adanya a priori dalam konsep kategorikal dan proposisi.

  3. Empirisisme parsial; mengakui bahwa ada konsep lain selain konsep formal yang bersifat a priori, dan bahwa kadang-kadang ada proposisi informatif substansial tentang alam yang tidak empiris.

Empirisme berasal dari bahasa Yunani, empirea, diterjemahkan Latin menjadi experientia, yang darinya diturunkan kata dalam bahasa Inggris experience (pengalaman). Dalam kajian filsafat, empirisme adalah sebuah aluran filsafat yang meyakini bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman. Pengalaman memainkan peranan penting dalam proses terciptanya pemahaman; munculnya pengetahuan didapat dari hasil observasi inderawi; kebenaran didapat dari analisis dan penelusuran fakta-fakta. Di zaman klasik, pandangan semacam ini dijelaskan secara sistematis dalam pemikiran Aristoteles (384- 322 SM).

Kendati telah menjadi murid Plato selama 20 tahun, landasan berpikir Aristoteles sangat berbeda dari gurunya. Filsuf kelahiran Stagira ini memiliki pandangan yang justru sangat bertolak belakang dari Plato. Aristoteles lebih meminati bidang biologi ketimbang matematika. Aristoteles sama sekali tidak terpengaruh-bahkan mengkritik-pemikiran Plato. Bagi Aristoteles, gagasan Plato dengan alam ide yang transenden adalah sebuah kekeliruan. Konsep alam ide hanyalah sebuah “omong kosong”. Tidak ada pembuktian memadai tentang hal itu. Kekeliruan Plato sama persis dengan kekeliruan para pemikir sebelumnya.

Aristoteteles menganggap bahwa pengetahuan bersifat universal. Sama halnya dengan kebenaran dan kesalahan. Pengetahuan manusia sama sekali tidak berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Ia dapat diperoleh siapa saja, tanpa memandang status, dan lepas dari unsur- unsur adikodrati.
Bagi Aristoteles, pengetahuan dirumuskan dalam suatu keputusan yang berkaitan dengan penangkapan hubungan esensial. Mengetahui tentang sesuatu berarti mengetahui sesuatu dapat dimasukkan dalam genus, dan secara lebih spesifik dalam spesies tertentu, serta hal esensial darinya. Hal yang esensial ini adalah sebuah tata tertib (order), yang menjadikannya berbeda dari sesuatu yang bukan pengetahuan.

Genus dan spesies merupakan istilah yang digunakan Aristoteles, guna merujuk seperangkat dalam tata tertib tersebut.

Pengetahuan ilmiah meniscayakan adanya hubungan sebab akibat antara suatu keadaan, dengan keadaan lainnya. Aristoteles membagi sebab dalam penyelidikan ilmiah menjadi empat:

  1. bentuk yang dapat didefinisikan;
  2. bagian yang mengharuskan adanya sebab akibat (bisa diartikan juga sebagai sebab material);
  3. sebab efisien;
  4. tujuan.

Keempat sebab ini menjadi dasar kokoh suatu kaidah pengetahuan ilmiah, dalam berbagai macam disiplin keilmuan.

Bagi Aristoteles, pengetahuan diperoleh lewat daya tangkap jiwa terhadap bentuk benda-benda partikular. Jiwa itu sendiri bukanlah sebuah entitas spiritual.Tetapi, sebuah substansi dalam pengertian yang berkesesuaian dengan formula definitive esensi sesuatu. Jiwa adalah ke-apa-an yang paling esensial dari sesuatu. Setiap makhluk bernyawa memiliki jiwa. Jiwa mengatur seperangkat aturan fakultas yang dimiliki tubuh, misalnya mata. Penglihatan adalah jiwanya, atau esensi mata, sedangkan wujud mata adalah materi. Mata berkesesuaian dengan formula yang mengaturnya. Jika tanpa jiwa, maka mata tidak dapat melihat. Tanpa jiwa, mata hanya menjadi sebuah nama, tanpa kemampuan daya lihat.

Tubuh memiliki organ-orga indera yang cukup beragam, tidak hanya penglihatan. Dengan kemampuan indera, jiwa dapat memperoleh tangkapan partikular atas bentuk beragam macam benda. Jiwa tidak mungkin berpikir tanpa sebuah gambaran atau imajinasi. Aristoteles menjelaskan bahwa proses munculnya imajinasi ibarat udara yang membatasi pergerakan pupil mata, dalam suatu cara tertentu dalam penglihatan. Setelah itu pupil mentransmisikan hasil modifikasi tersebut pada jiwa, di mana tujuan utamanya adalah mendapatkan suatu makna tertentu. Hal yang hampir sama berlaku pada kemampuan indera lainnya, dengan perangkatanya masing-masing.

Kemampuan indera adalah sebuah potensial organ tubuh. Organ ini bekerja dengan aturan yang ada dalam tubuh manusia. Setiap indera memiliki objek dan kemampuannya sendiri. Indera tidak dapat diberlakukan layaknya sebuah alat yang tidak memiliki perangkat dan objek yang jelas. Setiap indera memiliki fungsi tertentu, dengan objek yang berbeda-beda dan pasti. Indera penglihatan memiliki kemampuan khusus untuk dapat memperoleh pencerapan terhadap objek warna, ukuran dan bentuk.

Tokoh empirisme yang berpengaruh cukup signifikan di abad modern adalah Joh Locke (1632-1704 M). Locke tidak setuju dengan pandangan rasionalis, misalnya tentang ide-ide bawaan dan daya inderawi yang kurang diperhatikan. Bagi Locke, pikiran manusia ketika dilahirkan adalah dalam keadaan kosong, tabula rasa. Ide bawaan mengandung sejumlah persoalan, semisal perbedaan antara si cerdas dan si idiot yang keduanya sejak lahir memiliki kesempatan sama dalam menggapai pengetahuan. Pengetahuan manusia berkembang seiring dengan interaksi dan pendidikan yang diraih. Menurutnya, pikiran manusia ketika lahir semacam kertas putih, kosong. Pikiran mendapat pengetahuan setelah manusia mulai menggunakan inderanya.

Locke memandang bahwa ruang adalah hasil penyusunan ide-ide abstrak dari penginderaan yang sangat rumit, bersifat partikular, yang kemudian menjadi sebuah bentuk kompleks. Ide dengan begitu dibentuk dalam ruang yang berasal dari faktor eksternal. Menurut Locke, manusia mendapat ide lewat sensasi dan refleksi. Dengan sensasi manusia bisa mengetahui hal-hal semacam warna, suara, cuaca, dan sebagainya.

Melalui refleksi, manusia dapat menjadi sadar terhadap keadaan internalnya, semisal keinginan, keraguan, pemikiran, dan seterusnya. Kedua hal itu menjalankan fungsi bersama membentuk pengetahuan; kombinasi kedua unsur tersebut dapat menghasilkan pemahaman yang mendalam. Melalui penyatuan itu, manusia dapat menerima ide-ide kesatuan, keteraturan, kesakitan, dan lain-lain. Hal itu semuanya dibentuk dalam susunan kerja pikiran.

Pikiran bekerja dalam hal menerima dan mengolah informasi apa adanya. Hasil kerja pikiran tersebut disebut ide. Apa yang diterima pikiran, tetap tidak sama dengan sesuatu yang sebenarnya. Hasil pencerapan indera, menjadi sumber utama dalam proses pengetahuan. Ide dalam pandangan Locke, terbagi menjadi dua: ide sederhana dan kompleks.

  • Ide sederhana adalah informasi yang dihasilkan pencerapan inderawi, atas fakta-fakta partikular. Data partikular ini kemudian menjadi sumber bagi suatu skema yang lebih luas, yakni ide kompleks.

  • Ide kompleks berasal dari sejumlah kumpulan ide-ide particular yang diangkat menjadi skala luas, misalnya fakta-fakta tertentu tentang manusia. Manusia terdiri dari kelompok-kelompok, dan tipe yang berbeda-beda. Ada tipe kurus, gemuk, tinggi dan pendek. Ini disebut fakta-fakta partikular. Dari data itu kemudian dirumuskan suatu benang merah, yang menggambarkan konsep manusia secara umum. Hasil terakhir ini disebut ide kompleks.

Dalam kinerja untuk menghasilkan ide, pikiran didorong oleh suatu kekuatan tersmbunyi yang bersifat metafisik. Kekuatan ini disebut dengan kualitas. Locke membagi kualitas primer dan kualitas skunder.

  • Kualitas primer merupakan sesuatu yang melekat pada objek, tidak bisa dipisahkan dan diubah.

  • Kualitas skunder adalah kekuatan yang muncul dari dalam diri manusia berupa berbagai macam sensasi, yang dihasilkan oleh kualitas skunder.

Pembagian Locke atas ide dan kualitas, tidak bisa diterima oleh George Berkeley (1685- 1753 M)—salah satu tokoh empiris. Bagi Berkeley, ide dan pengalaman adalah sama. Tidak ada perbedaan antara persepsi, kualitas, ide, dan pengalaman. Objek-objek disebut ada, karena keberadaannya yang bisa dipersepsi indera. Segala bentuk hal-hal metafisik, pada dasarnya tidak berwujud, karena tidak bisa diketahui lewat indera. terkenal dictum dari Berkeley : Esse est percipi (to be is tobe perceived).

Pandangan Berkeley di atas diradikalkan oleh tokoh empiris lainnya, David Hume (1711- 1776 M). Gaya pemikiran Hume menggambarkan sikap skeptik. Ia sepakat dengan kedua tokoh empiris Inggris terkait tidak adanya ide-ide bawaan. Namun, Hume mengarahkan kritik terhadap kecenderungan yang masih menyelimuti pandangan empiris pada umumnya, semisal masalah substansi, istilah-istilah metafisika, dan kausalitas. Mengenai masalah substansi yang masih diyakini Locke, Hume memandangnya tidak lebih dari sekedar persepsi. Konsep substansi yang diketahui manusia, sebenarnya hanyalah persepsi atas benda-benda material. Yang mampu diketahui pikiran hanyalah persepsi-persepsi tersebut, dan tidak lebih. Objek di luar kesadaran manusia tidak termasuk yang dipikirkan.

Di samping itu, menurut Hume tidak ada hubungan yang jelas antara persepsi dengan objek-objek yang diindera. Bukti-bukti keterkaitan antara objek dengan persepsi subjek tidak bisa ditemukan secara jelas. Yang kemudian dijelaskan Hume adalah bagaimana sebenarnya mekanisme kerja pikiran dalam menghasilkan keberadaan konsep-konsep substansi.

Bagi Hume, pemahaman tentang substansi didapat ketika terjadi interaksi dengan benda-benda, misalnya bola billiard berbentuk bulat, merah, dan padat. Dari situ pikiran menangkap kesatuan konsep tentang bola tersebut.Pada dasarnya keberadaan substansi bola itu sebatas ada dalam pikiran. Persepsi yang yang dialami subjek bersifat khayali. Susbtansi adalah kumpulan persepsi atas benda. Begitu pula misalnya dengan keadaan manusia.Ke-aku-an dipahami sebagai faktor penunjang keberadaan manusia yang sadar. Kesadaran ini pada gilirannya bermasalah.Kesadaran hanya dialami ketika keadaan tertentu, yakni saat persepsi-persepsi bekerja.Kesadaran hanya keadaan sementara.Ketika tidur, atau setelah meninggal, orang tidak lagi menyadari keberadaannya, karena persepsi-persepsi menghilang.

Hume memandang bahwa kesadaran manusia pun termasuk kumpulan dari persepsi, a bundle of perceptions.

Referensi :

  • D.W Hamlyn,”Empiricism,” in PaulEdward, ed., The Encyclopedia of Philosophy
  • McKeon (ed), Introduction to Aristotle
  • John Locke, An Essay Concerning Human Understading in Focus, Garry Fuller, etc.m ed., (London: Routledge, 2000)

Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme bahwa pegetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka, di inggris. Konsep mengenai filsafat empirisme muncul pada abad modern yang lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Descartes adalah salah seorang yang berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat.

Descartes menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum yang artinya saya berpikir, maka saya ada.

Teori pengetahuan yang dikembangkan Descartes dikenal dengan rasionalisme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman atau empirisme. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme, di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume. Dalam makalah ini tidak akan membahas semua tokoh empirisme, akan tetapi akan dibahas empirisme David Hume yang dianggap sebagai puncak empirisme yang paling radikal.

Konsep Empirisme

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan mengecilkan peranan akal. Empirisme dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung.

Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Paham empirisme ini mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:

1. Teori tentang makna

Teori pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu asal usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil Est in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning Human Understanding” yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate Idea) kepada orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan keadaannya kosong laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap ide yang diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini adalah pengalaman indrawi. Hume mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya “Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan, dan kesan itu mencakup penginderaan, passion dan emosi.

2. Teori pengetahuan

Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh keluar intuisi rasional. Empirisme menolak hal demikian karena tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.

Poedjawijatna (1997) menyatakan bahwa empirisme berguna dalam filsafat pada umumnya karena dengan empirisme ini filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia sebagai keseluruhan.

Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:

  • Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.

  • Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.

  • Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.

  • Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).

  • Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.

  • Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu- satunya sumber pengetahuan.

Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu ftomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang terpenting adalah David Hume.

Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah. ftomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman indrawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data indrawi yang sama dengan cara yang berlainan. Dunia dan materi adalah objek pengenalan yang merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung tanpa hentinya atas dasar hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.

Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke. Penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan. Langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme mengenai ide-ide dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu dan akal manusia adalah pasif pada saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperoleh pengetahuan dari dirinya sendiri. Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan indrawi dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman batiniah. Pengalaman lahiriah berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan batiniah berkaitan dengan hal- hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.

Dr. Mulyadi Kartanegara mendefinisikan sumber pengetahuan adalah alat atau sesuatu dari mana manusia bisa memperoleh informasi tentang objek ilmu yang berbeda-beda sifat dasarnya. Karena sumber pengetahuan adalah alat maka Ia menyebut indra, akal, dan hati sebagai sumber pengetahuan.

Amsal Bakhtiar berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya, sumber pengetahuan merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan istilah yang berbeda, Ia menyebutkan empat macam sumber pengetahuan, yaitu emperisme, rasionalisme, intuisi, dan wahyu . Begitu juga dengan Jujun Surya Sumantri, Ia menyebutkan empat sumber pengetahuan tersebut.

Sementara John Hospers dalam bukunya yang berjudul An Intruction to Filosofical Analysis , sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo menyebutkan beberapa alat untuk memperoleh pengetahuan, antara lain pengalaman indra, nalar, otoritas, intuisi, wahyu, dan keyakinan.