Apa yang dimaksud dengan Empati?

Empati dapat diartikan sebagai respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain. empati sangat dibutuhkan masyarakat saat ini karena semakin sedikitnya seseorang yang mempunyai respon tersebut.

Empati adalah proses kejiwaan seseorang individu larut dalam perasaan orang lain baik suka maupun duka, dan seolah-olah merasakan atupun mengalami apa yang dirasakan atu dialami oleh orang tersebut. Empati merupakan kelanjutan dari sikap simpati, yaitu perbuatan nyata untuk mewujudkan rasa simpatinya itu.

Apa yang dimaksud dengan empati ?

Berikut adalah definisi empati menurut beberapa ahli :

  • Empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain (Budiono, 2005).

  • Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam keadaan psikologis orang lain dan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain ( Hurlock, 1988).

  • Empati adalah suatu respons afektif dan kognitif yang kompleks terhadap penderitaan emosional orang lain. Baron, Bryne, & Branscome (2007)

  • Empati adalah “menyelaraskan diri” (peka) terhadap apa, bagaimana dan latar belakang perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Stein

  • Empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Titchener

  • Empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang yang berempati digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh serta bersifat humanistik. Johnson

  • Empati sebagai suatu keadaan emosional yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Batson dan Coke

  • Empati berarti perasaan simpati dan perhatian kepada orang lain, khususnya pada orang yang menderita. Kesedihan personal menyebabkan kita cemas, prihatin ataupun kasihan, sedangkan empati menyebabkan kita merasa simpati dan sayang. Taylor dalam bukunya Psikologi Sosial (2009)

  • Empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain (Sears, 1991).

  • Empati adalah perilaku untuk sadar dan bereaksi secara mental dan emosional pada orang lain. Davis

  • Empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan-akan menjadi bagian dalam diri. Leiden (1997)

  • Empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Baron dan Byrne (2005)

Aspek Empati


Aspek-aspek dari empati, sebagaimana pendapat Batson dan Coke yaitu :

  1. Kehangatan
    Kehangatan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap hangat terhadap orang lain.

  2. Kelembutan
    Kelembutan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap maupun bertutur kata lemah lembut terhadap orang lain.

  3. Peduli
    Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk memberikan perhatian terhadap sesama maupun lingkungan sekitarnya.

  4. Kasihan
    Kasihan merupakan suatu perasaan yang dimiliki seseorang untuk bersikap iba atau belas asih terhadap orang lain.

Lockwood (2014) dalam penelitiannya menyebutkan lima dimensi dari empati. Perspective taking dan online simulation termasuk empati kognitif sedangkan emotion contagion, peripheral responsivity dan proximal responsivity termasuk empati afektif.

  1. Perspective taking
    Perspective taking atau pengambilan perspektif yaitu kemampuan individu memprediksi apa yang dirasaan oleh orang lain.

  2. Online simulation
    Memberikan simulasi atas apa yang dialami orang lain. Simulasi yang dimaksud yaitu menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang tersebut di posisi itu.

  3. Emotion contagion
    Emotion contagion yaitu perasaan bahwa emosi atau mood yang muncul pada diri sendiri sangat dipengaruhi oleh orang lain.

  4. Peripheral responsivity
    Kemampuan untuk merespon dan merasakan hal-hal yang ada di sekelilingya. Misalnya ikut menangis ketika menonton film dengan ending yang menyedihkan.

  5. Proximal responsivity
    Proximal responsivity yaitu kemampuan untuk memberikan respon atau merasakan emosi yang dirasakan orang terdekatnya.

Davis, menjabarkan komponen kognitif dari empati terdiri dari aspek perspective taking dan fantasy, sedangkan komponen afektifnya terdiri dari aspek emphatic concern dan personal distress.

  1. Pengambilan perspektif (perspective taking) merupakan perilaku individu untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain

  2. Fantasi merupakan perilaku untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakter khayalan pada buku, film dan permainan. Aspek ini melihat perilaku individu menempatkan diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain.

  3. Perhatian empatik (emphatic concern). Sears (1985) mengungkapkan empathic concern merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

  4. Distres pribadi (Personal distress) yang didefinisikan oleh Sears, (1991) sebagai pengendalian reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri).

Faktor-faktor Empati


Milller, Kozu & Davis sebagaimana dikutip oleh Baron (2009) menyebutkan adanya 3 faktor pendorong empati, yaitu:

  1. Individu lebih mungkin berempati pada orang yang mirip dengan dirinya.

  2. Individu cenderung berempati pada orang yang penderitaannya berasal dari faktor yang tidak bisa dikontrol atau tak terduga, seperti sakit,atau kecelakaan ketimbang karena faktor malas.

  3. Empati dapat ditingkatkan dengan fokus pada perasaan seseorang yang membutuhkan bukan dari fakta objektif.

Faktor yang mempengaruhi empati disampaikan oleh Hoffman sebagaimana yang dikutip Bilgis (2007) adalah :

Sosialisasi

Sosialisasi dapat mempengaruhi empati melalui 5 cara:

  1. Melalui sosialisasi seseorang mendapat peluang untuk mengalami sejumlah emosi orang lain karena ia telah mengalami emosi tersebut.

  2. Sosialisasi dapat menempatkan seseorang pada pengalaman-pengalaman yang mengarahkan pada perhitungan untuk melihat keadaan internal orang lain sehingga ia menjadai lebih memperhatikan orang lain dan menjadi lebih empati.

  3. Sosialisasi dapat membantu seseorang untuk lebih berpikir mengenai orang lain dan meningkatkan kemungkinan-kemungkinan untuk memberikan perhatian pada orang lain sehingga hal itu akan mempengaruhi kemampuan empati dirinya.

  4. Membuat seseorang lebih terbuka untuk kebutuhan orang lain daripada kebutuha sendiri sehingga ia lebih empatik.

  5. Melalui model atau peragaan yang diberikan pada seseorang, tidak hanya dapat menimbulkan respon prososial tetapi juga dapat mengembangkan perasaan simpati pada dirinya.

Perlakuan

Orang tua yang penuh perhatian, memberikan semangat, menunjukkan kepekaan terhadap perasaan, pikiran dan tingkah laku anaknya, serta memperlihatkan empati pada mereka cenderung mempunyai anak-anak yang kemungkinan besar akan memberikan reaksi pada kesedihan orang lain dengan cara-cara empati pula.

Perkembangan kognitif

Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif seseorang semakin meningkatnya kemampuan seseorang ke tahap yang lebih tinggi, maka kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain semakin meningkat. Hal ini akan mendorong individu untuk lebih banyak membantu orang lain dengan cara-cara yang lebih tepat.

Identifikasi dan modelling

Empati individu dipengaruhi pula dengan melihat dari cara seseorang beraksi terhadap kesusahan yang menimpa orang lain.

Mood dan feeling

Apabila seseorang dalam situasi perasaan yang baik maka dalam berinteraksi dan menghadapi orang lain akan lebih baik dan bisa menerima keadaan orang lain.

Situasi dan tempat

Pada situasi tertentu sesorang dapat berempati lebih baik dibandingkan dengan situasi yang lain.

Komunikasi dan bahasa

Empati sangat dipengaruhi oleh bahasa karena pengungkapkan empati dapat dilakukan dengan bahasa lisan disamping bahasa nonlisan.

Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan. Istilah ini, pada awalnya digunakan oleh para teoritikus estetika untuk pengalaman subjektif orang lain.

Pada tahun 1920-an seorang ahli psikologi Amerika, E. B. Tichener, untuk pertama kalinya menggunakan istilah mimikri motor untuk istilah empati. Istilah Tichener menyatakan bahwa empati berasa dari peniruan secara fisik atas beban orang lain yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri seseorang.

Karakteristik Empati


Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan orang lain sebagai dasar untuk membangun hubungan sosial yang sehat antara dirinya dengan orang lain. Bila self awareness terfokus pada pengenalan emosi sendiri, dalam empati, perhatiannya dialihkan kepada pengenalan emosi orang lain. Semakin seseorang mengetahui emosi sendiri, semakin terampil pula ia membaca emosi orang lain. Dengan demikian, empati dapat dipahami sebagai kemampuan mengindera perasaan dari perspektif orang lain.

Menurut Golleman pula, terdapat 3 ciri-ciri kemampuan empati yang harus dimiliki sebagai bagian dari kecerdasan emosional, antara lain:

  • Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik; artinya, seorang individu harus mampu memberi perhatian dan menjadi pendengar yang baik bagi segala permasalahan yang diungkapkan orang lain kepadanya.

  • Menerima sudut pandang orang lain; artinya, individu mampu memandang permasalahan dari titik pandang orang lain sehingga akan menimbulkan toleransi dan kemampuan dalam menerima segenap perbedaan.

  • Peka terhadap perasaan orang lain; artinya, individu mampu membaca perasaan orang lain dari isyarat verbal dan non-verbal, seperti nada bicara, ekspresi wajah, gerak-gerik, dan bahasa tubuh orang lain.

Inti empati adalah mendengarkan dengan telinga secara baik dan tepat. Mendengarkan dengan baik diperlukan secara mutlak demi keberhasilan suatu aktivitas. Orang yang tidak dapat mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik adalah orang yang acuh tak-acuh dan tak peduli pada orang lain, yang pada gilirannya akan menyebabkan orang lain enggan berkomunikasi lagi dengannya. Dan orang yang tampaknya mudah diajak bicara adalah orang yang bersedia mendengar lebih banyak. Mendengarkan dengan baik dan mendalam sama artinya dengan memperhatikan lebih dari pada yang dikatakan, yakni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, atau mengulang-ulang dengan kata- kata sendiri apapun yang kita dengar guna memastikan bahwa kita mengerti, dan upaya mendengar yang baik ini disebut pula dengan “mendengar aktif”. Dan tanda bahwa kita benar-benar mendengarkan orang lain dengan baik adalah menanggapi pembicaraannya dengan cermat dan tepat.

Setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda dalam berempati. Reaksi empati terhadap orang lain seringkali berdasarkan pengalaman masa lalu. Seseorang biasanya akan merespon pengalaman orang lain secara lebih empatik apabila ia memiliki pengalaman yang serupa. Keserupaan empati ini pula yang menyebabkan seseorang memiliki kemiripan pengalaman kualitas emosi.

Goleman menyebutkan bahwa ciri-ciri atau karakteristik orang yang berempati tinggi adalah sebagai berikut:

  • Ikut merasakan (sharing feeling), yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain; hal ini berarti individu mampu merasakan suatu emosi dan mampu mengidentifikasikan perasaan orang lain.

  • Dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin seseorang mengetahui emosi diri sendiri, semakin terampil pula ia membaca emosi orang lain. Dengan hal ini, ia berarti mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan meningkatkan kemampuan kognitif, khususnya kemampuan menerima perspektif orang lain dan mengambil alih perannya, seseorang akan memperoleh pemahaman terhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain yang lebih lengkap, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan kemudian lebih banyak membantu orang lain dengan cara yang tepat.

  • Peka terhadap bahasa isyarat; Karena emosi lebih sering diungkapkan melalui bahasa isyarat (non-verbal). Hal ini berarti bahwa individu mampu membaca perasaan orang lain dalam bahasa non-verbal seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gerak-geriknya.

  • Mengambil peran (role taking); empati melahirkan perilaku konkrit. Jika individu menyadari apa yang dirasakannya setiap saat, maka empati akan datang dengan sendirinya, dan lebih lanjut individu tersebut akan bereaksi terhadap isyarat-isyarat orang lain dengan sensasi fisiknya sendiri tidak hanya dengan pengakuan kognitif terhadap perasaan mereka, akan tetapi, empati juga akan membuka mata individu tersebut terhadap penderitaan orang lain; dengan arti, ketika seseorang merasakan penderitaan orang lain maka orang tersebut akan peduli dan ingin bertindak.

  • Kontrol emosi; menyadari dirinya sedang berempati; tidak larut dalam masalah yang sedang dihadapi oleh orang lain.

Referensi : D.Goleman, Kecerdasan Emosional (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1996).

Empati berasal dari kata pathos yang berarti perasaan mendalam. Empati merupakan kemampuan untuk mengenal, mengerti dan merasakan perasaan orang lain dengan ungkapan verbal dan perilaku, dan mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain.

Berikut adalah definisi empati menurut beberapa ahli :

  • Empati sebagai cara seseorang untuk memahami persepsi orang lain dari kerangka internalnya. Brammer

  • Empati merupakan cara mempersepsi kerangka internal dari referensi orang lain dengan keakuratan dan komponen emosional, seolah-olah seseorang menjadi orang lain. Rogers

  • Empati mempunyai makna bahwa seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagai mana orang tersebut mengertinya dan menyampaikan pengertian itu kepadanya. Hansen (1982)

Seseorang dapat di katakan memiliki empati jika ia dapat menghayati keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar menurut pola acuan orang tersebut, dan mengomunikasikan penghayatan bahwa dirinya memahami perasaan, tingkah laku dan pengalaman orang tersebut secara pribadi (Asri Budiningsih, 2004).

Empati berbeda dengan simpati. Perasaan simpati sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang menggambarkan perasaan seseorang kepada orang lain. Bedanya empati dengan simpati adalah, bahwa empati lebih memusatkan perasaannya pada kondisi orang lain atau lawan bicaranya dan sudah ada tindakan dari orang tersebut kepada lawan bicaranya. Sedangkan simpati lebih memusatkan perhatian pada perasaan diri sendiri bagi orang lain, sementara itu perasaan orang lain atau lawan bicaranya kurang diperhatikan dan tidak ada tindakan yang dilakukan.

Indikator Empati


Berempati tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami perasaan orang lain semata, tetapi harus dinyatakan secara verbal dan dalam bentuk tingkah laku. Tiga ciri dalam berempati menurut Gazda adalah :

  1. Mendengarkan dengan seksama apa yang di ceritakan orang lain, bagaimana perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya,

  2. Menyusun kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perasaan dan situasi orang tersebut,

  3. Menggunakan susunan kata-kata tersebut untuk mengenali orang lain dan berusaha memahami perasaan serta situasinya.

Menurut T. Safaria (2005), ciri atau indikator empati terdiri dari:

  1. Ikut merasakan, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain;

  2. Dibangun berdasarkan kesadaran diri, ada kemauan dalam diri seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain;

  3. Peka terhadap bahasa non verbal, seseorang dapat dikatakan berempati apabila orang tersebut mampu merasakan bahasa non verbal yang diperlihatkan oleh orang lain;

  4. Mengambil peran, artinya seseorang mampu mengambil tidakan atas permasalahan yang sedang dihadapinya;

  5. Tidak larut atau tetap kontrol emosi diri, artinya seseorang dapat mengendalikan diri dalam membantu memecahkan masalah.

Empati, menurut Allport, 1965, merupakan perubahan imajinasi seseorang kedalam pikiran, perasaan dan perilaku orang lain. Allport juga menitikberatkan pada peranan imitasi di dalam empati.

Sementara itu Carl Roger (1951) menawarkan dua konsepsi, yaitu :

  • Pertama , empati adalah melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat.

  • Kedua , dalam memahami orang lain tersebut individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.

    Kalimat “tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri” mengandung pengertian meskipun individu menempatkan dirinya pada posisi orang lain, namun dia tetap melakukan kontrol diri atas situasi yang ada, tidak dibuat-buat, dan tidak hanyut dalam situasi orang lain itu.

Sedangkan menurut Santrock, empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain yang disertai dengan respons emosional yang serupa dengan perasaan orang lain. Menurutnya, meskipun empati dialami sebagai kondisi emosional, perasaan empati memiliki komponen kognitif yaitu kemampuan untuk memahami kondisi psikologis dalam diri seseorang, atau yang biasa disebut sebagai pengambilan perspektif (Santrock, 2007).

Empati, menurut Goleman (2003) adalah merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, dan menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.

image

Komponen-komponen Empati


Para teoritikus kontemporer menyatakan bahwa empati terdiri atas dua komponen, kognitif dan afektif (Taufik, 2012). Selain dua komponen tersebut beberapa teoritikus lainnya menambahkan aspek komunikatif sebagai faktor ketiga. Komponen komunikatif sebagai jembatan yang menghubungkan keduanya, atau sebagai menia ekspresi realisasi dari komponen kognitif dan afektif.

Komponen Kognitif

Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa ilmuwan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam proses empati (Hoffman, 2000 dalam Taufik, 2012).

Selanjutnya Hoffman mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui pengalaman-pengalaman.

Fesbach (1997) mendefinisikan aspek kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda. Eisenberg & Strayer (1987) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu dan orang lain.

Sehubungan dengan komponen ini, Schieman & Gundy (2000) mencirikan bahwa seseorang yang empatik memiliki keahlian-keahlian yang terkait dengan persoalan komunikasi, perspektif dan kepekaan dalam pemahaman sosio-emosional orang lain. Secara garis besar bahwa aspek kognitif dari empati meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain.

Tanpa kemampuan kognitif yang memadai seseorang akan selalu meleset dalam memahami kondisi orang lain ( incongruence ). Karena realitas-realitas sosial yang dia tangkap tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.

Komponen Afektif

Menurut definisi kontemporer, pada prinsipnya empati adalah pengalaman afektif. Dua komponen afektif diperlukan untuk terjadinya pengalaman empati, yaitu kemampuan untuk mengalami secara emosi dan tingkat reaktivitas emosional yang memadai, yaitu kecenderungan individu untuk bereaksi secara emosional terhadap situasi-situasi yang dihadapi, termasuk emosi yang tampak pada orang lain.

Empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Aspek empati ini terdiri atas simpati, sensitivitas, dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri sendiri (Colley; 1998). Selanjutkan dia menambahkan, empati efektif merupakan suatu kodisi dimana pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain.

Akurasi dari empati afektif ini berbeda-beda. Ada individu yang akurasinya lebih baik dan ada yang kurang baik. Akurasi yang baik yaitu apabila observer merasakan tentang kondisi target sesuai dengan apa yang sedang dirasakan oleh target pada waktu itu. Sebaliknya, akurasi yang rendah terjadi ketika yang dirasakan berbeda atau tidak sama dengan apa yang sedang dirasakan oleh target yang sedang dialami.

Komponen Komunikatif

Munculnya komponen yang ketiga ini didasarkan pada asumsi awal bahwa komponen kognitif dan afektif akan tetap terpisah bila keduanya tidak terjalin komunikasi. Menurut Wang, dkk (2003) komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari pikiran-pikiran empatik (intellectual empathy) dan perasaan-perasaan (empathic emotions) terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata- kata dan perbuatan.

image

Aspek-aspek Empati


Fesbach dkk (Carltledge & Milburn, 1995) menyebutkan aspek-aspek kemampuan empati

tersebut, yaitu :

  • Rekognisi dan diskriminasi dari perasaan

    Rekognisi dan diskriminasi dari perasaan adalah kemampuan menggunakan informasi yang relevan untuk memberi nama dan mengidentifikasikan emosi.

  • Pengambilan perspektif dan peran

    Pengambilan perspektif adalah kemampuan memahami bahwa individu lain melihat dan mengintepretasikan situasi dengan cara yang berbeda, serta kemampuan mengambil dan mengalami sudut pandang orang lain. Kemampuan pengambilan peran kognitif dan afektif (cognitive and affective role taking ability) adalah kemampuan untuk berpikir tentang sesuatu yang dipikirkan orang lain dan menyimpulkan perasaan orang lain.

  • Responsivitas emosional

    Responsivitas emosional adalah kemampuan untuk mengalami dan menyadari emosinya sendiri.

Manfaat Empati dalam Pembelajaran

Ada beberapa manfaat yang dapat di temukan dalam kehidupan pribadi dan sosial manakala mempunyai kemampuan berempati. Menurut T. Safaria (2005) empati memiliki beberapa manfaat diantaranya yaitu:

1. Menghilangkan sikap egois, orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri).

2. Menghilangkan kesombongan, salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri kita.

3. Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri, pada dasarnya empati adalah salah satu usaha kita untuk melakukan evaluasi diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif.

Manfaat empati dalam pembelajaran menurut Daniel Goleman (1997) antara lain:

  1. Kesadaran bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda akan mendorong siswa mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan mobilitas pikirannya siswa dapat menempatkan diri pada posisi perannya sendiri maupun peran orang lain sehingga akan membantu melakukan komunikasi efektif.

  2. Mampu berempati mendorong siswa tidak hanya mengurangi atau menghilangkan penderitaan orang lain, tetapi juga ketidaknyamanan perasaan melihat penderitaan orang lain. Merasakan apa yang dirasakan individu lain akan menghambat kecenderungan perilaku agresif terhadap individu itu.

  3. Kemampuan untuk memahami perspektif orang lain membuat siswa menyadari bahwa orang lain dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Kemampuan ini membuat individu lebih melihat ke dalam diri dan lebih menyadari serta memperhatikan pendapat orang lain mengenai dirinya. Proses itu akan membentuk kesadaran diri yang baik, dimanifestasikan dalam sifat optimistis, fleksibel, dan emosi yang matang.

Jadi, konsep diri yang kuat, melalui proses perbandingan sosial yang terjadi dari pengamatan dan pembandingan diri dengan orang lain, akan berkembang dengan baik. Dapat di simpulkan beberapa manfaat empati dalam pembelajaran diantaranya:

  1. Menghilangkan sikap egois
  2. Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri
  3. Merasakan apa yang dirasakan individu lain
  4. Menghargai pendapat orang lain
  5. Peka terhadap orang lain

Menurut Goleman, empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir dengan sudut pandang mereka, serta menghargai perbedaan perasaan orang lain tentang berbagai hal. Empati adalah kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman tersebut untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain. Jadi, empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang lain. Kemampuan mengetahui sudut pandang serta menghayati perasaan orang lain inilah yang kemudian akan menciptakan sosialisasi atau interaksi positif terhadap orang lain., serta menumbuhkan rasa asih terhadap beban atau penderitaan orang lain.

Chaplin mendefinisikan bahwa empati adalah kemampuan memproyeksikan perasaan sendiri pada suatu kejadian; satu objek alamiah atau karya estetis dan realisasi dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan pibadi lain.

Empati adalah kemampuan merasakan emosi orang lain baik secara fisiologis maupun mental yang terbangun pada berbagai keadaan batin orang lain. Perubahan biologis ini akan muncul ketika individu berempati dengan orang lain. Prinsip umumnya, semakin sama keadaan fisiologis dua orang pada momen tertentu, semakin mudah pula mereka bisa merasakan perasaannya satu sama lain.

Al Barry dan Partanto berpendapat bahwa, empati adalah keadaan sikap keaktifan otot-otot atau perasaan-perasaan yang dialami manusia dalam menghadapi benda-benda atau manusia dan merasa bersatu dengan mereka dan pada waktu yang sama ketika mengadakan respon saat menyertai mereka.

Hurlock (1999) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Sears, dkk (1994) Empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

Leiden (dalam, Asih 2010) menyatakan empati sebagai kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan akan menjadi bagian dalam diri. Baron dan Byrne (2005) yang menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah dan mengambil perspektif orang lain.

Aspek Empati

Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa dalam empati juga terdapat aspek-aspek yaitu :

  1. Kognitif : Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada orang tersebut.

  2. Afektif : Individu yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan.

Faktor-Faktor Empati

Supeni (2014) menjelaskan beberapa faktor empati :

  1. Gender. Ditemukan bahwa anak perempuan memiliki kemampuan berempati lebih tinggi dari pada anak laki-laki. Sedangkan oleh dalam hal kepekaan emosi, anak perempuan juga lebih sensitif dari pada anak laki-laki. Hal ini berlanjut sampai pada masa remaja.

  2. Keluarga. Bahwa anak-anak yang memiliki tingkah laku bermasalah menunjukan skor empatinya lebih rendah dari pada anak-anak yang normal, baik untuk anak perempuan maupun anak laki-laki. Ternyata tingkah laku tersebut berhubungan dengan pengalaman hidupnya dalam keluarga, yaitu bahwa dalam keluarga mereka tidak menjumpai atau mengalami empati dari yang lain, mereka tidak saling mengenal kebutuhan emosi masing-masing individu.

  3. Lingkungan pergaulan. Lingkungan keluarga memang berperan sangat penting dalam mendasari perkembangan kepribadian, khususnya empati. Namun demikian lingkungan pergaulan sehari-hari khususnya bagi remaja pun berpengaruh sangat kuat, karena mereka memiliki dorongan kuat untuk bersama dan diterima oleh teman sebaya atau kelompoknya, sehingga mereka akan lebih mengikuti aturan yang dibuat oleh kelompok dalam keluarga.

Empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain (Davis, 2014). Selain itu, Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.

Cohen (dalam Howe, 2013) mendefinisikan empati sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi apa yang sedang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain dalam rangka untuk merespons pikiran dan perasaan mereka dengan sikap yang tepat.

Selain itu, Allport (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Taufik (2012) berpendapat bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh yang bersangkutan (observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.

Aspek-Aspek Empati

Davis (2014) mengemukakan bahwa secara global ada dua aspek dalam empati, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif terdiri dari pengambilan perspektif ( perspective taking ) dan Imajinasi ( fantacy ). Sedangkan aspek afektif terdiri dari perhatian empatik ( empathic Concern ) dan distress pribadi ( personal distress ). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut :

Aspek Kognitif

  1. Pengambilan Perspektif (Perspective Taking)
    Perspective-taking didefinisikan oleh Davis sebagai kecenderungan mengadopsi pandangan-pandangan psikologis orang lain secara spontan. Mead (dalam Davis, 1983) menekankan pentingnya kemampuan dalam pengambilan perspektif untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain.

  2. Imajinasi (Fantasy)
    Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal (membayangkan) dalam buku, film atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.

Aspek Afektif

  1. Perhatian Empatik ( Empathic Concern )
    Perasaan yang berorientasi pada orang lain berupa simpati, kasihan, peduli dan perhatian terhadap orang lain yang mengalami kesulitan.

  2. Distress Pribadi ( Personal Distress )
    Distress pribadi atau personal distress yaitu orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri yang berupa perasaan cemas dan kegelisahan dalam menghadapi setting (situasi) interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisai seseorang menjadi rendah. Sears (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan personal distress sebagai pengendalian reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri).