Apa yang dimaksud dengan Eksistensialisme ?

eksistensialisme

Ajaran yang pokok dari eksistensialisme ialah bahwa manusia adalah apa yang diciptakannya sendiri. Manusia tidak ditakdirkan oleh Tuhan. Jika ia menolak memilih atau membiarkan dirinya dipengaruhi oleh kekuatan luar, itu adalah kesalahannya sendiri.

Apa yang dimaksud dengan Eksistensialisme ?

Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa dikelompokkan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi meskipun begitu terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis. Pertama, eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Dalam satu segi esksistensialisme merupakan suatu protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari filsafat, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan Hegel.

Dalam sistem-sistem tersebut, jiwa individu atau si pemikir, hilang dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal. Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep akal dan alam yang ditekankan pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18. Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan, semua itu adalah pokok dari eksistensialisme.

Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan terhadap gerakan massa pada zaman sekarang. Masyarakat industri cenderung untuk menundukkan orang seorang kepada mesin; begitulah gambaran faham eksistensialis, manusia adalah dalam bahaya menjadi alat, komputer atau obyek. Saintisme hanya melihat tindakan luar dari manusia dan menginterpretasikan manusia hanya sebagai suatu bagian dari proses fisik. Eksistensialisme juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis atau lain-lainnya yang condong untuk menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.

Diagnosis: Tentang Predikmen (Kedudukan Sulit) dari Manusia

Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa kedudukan manusia yang sulit. Dalam hal ini, eksistensialisme merupakan penekanan kembali terhadap beberapa pikiran yang terdahulu. Beberapa pengikut eksistensialisme mengatakan bahwa gerakan tersebut bukan hanya bersifat lama dan modern akan tetapi bersifat abadi. Eksistensialisme sebagai suatu unsur yang universal dalam segala pemikiran adalah usaha manusia untuk melukiskan eksistensinya serta konflik-konflik eksistensi tersebut, asal mula konflik tersebut, serta upaya untuk mengatasinya. Di mana saja kedudukan manusia sulit dilukiskan baik secara teologi maupun secara filsafat, baik secara puitis atau secara seni, di situlah didapatkan unsur-unsur eksistensialis.

Sebagai gerakan modern, eksistensialisme terkenal pada abad ke-20. Pada abad ke-19, beberapa pemikir yang kesepian seperti Kierkegaard dan Nietzsche meneriakkan protes mereka dan mencatatkan perhatian mereka kepada kondisi manusia. Selama abad ke-20, ekspresi perhatian terhadap perasaan keterasingan manusia serta kehilangan arti hidup, menjadi teriakan umum. Dalam istilah mereka, manusia tidak merasa berada di rumah di dalam alam di mana ia harus membuat rumah.

Keyakinan Bahwa Eksistensi Adalah Yang Terpenting

Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong adalah untuk hidup dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang manusia diakui seperti itu, ia akan memperoleh arti dan makna dalam kehidupan. Tempat bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya yang langsung, dan kesadaran tersebut tak dapat dimuat dalam sistem atau dalam abstraksi. Pemikiran yang abstrak condong untuk menjadi impersonal dan menjauhkan seorang dari rasa manusia yang kongkrit dan rasa berada dalam siatuasi manusia.

Realitas atau wujud (being) adalah eksistensi yang terdapat dalam ‘I’ dan bukan dalam ‘it’. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah dalam eksistensi seorang pemikir. Bagi filosof Denmark, Soren Kierkegaard umpamanya, manusia yang menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan oleh akalnya adalah orang yang meletihkan dan tidak berpandangan jauh; ia gagal untuk memahami fakta yang elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni, akan tetapi ia adalah seorang-orang yang ada (existing individual).

Kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi.

  • Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; eksistensi menunjukkan kepada ‘suatu benda yang ada di sini dan sekarang’. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Tetapi bagi kelompok eksistensialis, kata kerja ‘to exist’ mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada kata kerja ‘to live’. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong dan tanpa arti bahwa ‘ia tidak hidup, ia hanya ada’. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan ‘orang itu tidak ada, ia hanya hidup’. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang.

  • Esensi adalah sebaliknya dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh macam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu. Kita membedakan antara benda itu apa?, dan itukah benda itu?. Yang pertama adalah esensi, yang kedua adalah eksistensi. Benda yang saya pegang di tangan saya, esensinya adalah pensil; dan pensil ini, yang saya rasakan dengan indra saya, ada (exist).

Jika seseorang telah memahami ide atau konsep esensi suatu benda, ia akan dapat memikirkannya tanpa memperdulikan tentang adanya. Bagi Plato dan beberapa pemikir lainnya konsep ‘mansia’ mempunyai realitas yang lebih daripada seorang manusia yang bernama John Doe; mereka mengatakan partisipasi dalam ide atau bentuk (form) atau esensi, yakni kemanusiaan, adalah menjadikan seseorang itu manusia. Para eksistensialis menolak pandangan Plato tersebut dan mengatakan bahwa ada suatu hal yang tak dapat dikonsepsikan, yaitu tindakan pribadi untuk ada (personal act of existing). Mereka menegaskan bahwa eksistensi adalah keadaan yang pertama.

Jean Paul Sartre, penulis dan filosof Prancis mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan ‘eksistensi sebelum esensi’ (existence comes before essence) adalah dasar bersama bagi kaum eksistensialis, tetapi filosof eksistensialis lainnya tidak mengatakan begitu. Apakah arti eksistensi sebelum esensi?

Sartre menerangkan:

Jika kita melihat sebuah pisau kertas, kita tahu bahwa pisau tersebut telah dibuat oleh seseorang yang mempunyai konsep pisau. Jadi sebelum pisau itu jadi, pisau tersebut telah dikonsepsikan sebagai suatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan suatu proses tertentu pula. Dengan begitu maka esensi pisau kertas telah ada sebelum pisu itu ada. Mengenai manusia, keadaannya berlainan, ia ada dan baru kemudian eksistensinya tampak.

Eksistensialisme Jean Paul Sarte

Tekanan Kepada Pengalaman Subyektif dari Manusia

Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subyektif. Eksistensialis berkata: Tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran dan keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang segala bentuk obyektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia.

Obyektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung untuk menganggap manusia sebagai nomor dua sesudah benda. Kehidupan pada umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara obyektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tidak berarti. Sebaliknya, eksistensialisme menekankan kehidupan dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalamannya yang subyektif.

Eksistensialis mengatakan bahwa kebenaran adalah pengalaman subyektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang watak manusia dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi (pernyataan).

Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang kongkrit dan intim dari pengalaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau benda-benda seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati manusia.

Pengakuan Terhadap Kemerdekaan dan Pertanggungjawaban

Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subyektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung- jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau lingkungan, tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya, atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan dan keputusan keputusannya.

Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya.

Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan, kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat mema- haminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta mengeksresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan serta bertanggung jawab tentang semua itu. Di atas semua itu, manusia harus menerima tanggung jwab tentang keputusan-keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang.

Eksistensialisme muncul sebagai gerakan pemikiran yang menentang rezim rasionalisme dan intelektualisme yang mengakar kuat dalam tradisi filsafat Barat. Hal tersebut dikarenakan filsafat Barat sebelumnya didominasi oleh anggapan bahwa kebenaran dapat disamakan dengan akal. “Eksistensialisme menolak bahwa kebenaran selamanya dapat disamakan dengan akal, sebuah tema sentral dalam pemikiran Plato, Kant, Hegel”, demikian kata St. Elmo Nauman.

Baik Plato, Kant, maupun Hegel sebagaimana disebut oleh Nauman di atas mempunyai kontribusi besar kepada doktrin esensialisme di dalam Abad Pencerahan. Reaksi dan protes eksistensialisme memang ditujukan kepada esensialisme Hegel, akan tetapi reaksi dan respons tersebut juga ditujukan terhadap aliran filsafat dan pemikiran yang mengarah kepada kolektivisme dan sistem.

Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) sendiri mambangun pemikirannya dengan melukiskan kenyataan sebagai dialektika Roh (Geist), Hegel mengabstraksi segala sesuatu menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan manusia konkret atau individu. Yang merupakan kenyataan adalah ide abstrak atau Roh, dan bukan pengalaman individual. Dalam sistem abstrak itu bahkan kesadaran manusia konkret hanyalah sebuah momen dalam dialektika Roh. Bukan manusia yang sadar diri, melainkan Roh menyadari dirinya dalam manusia konkret itu. Oleh karena itu juga, Hegel memandang tinggi ide-ide kolektif, sebab semakin objektif sebuah ide semakin benar dan semakin real-lah ide itu. Dengan demikian yang makin benar adalah “kita”, “ras”, “zaman kita”, “abad kita”, “roh dunia”, dan bukan “aku” atau “pikiranku”.

Tesis Hegel di atas inilah yang melatarbelakangi dua mazhab eksistensialisme teistik dan ateistik untuk mendekonstruksi padangan Hegelianisme. Misalnya keberatan Søren Kierkegaard (1813-1855) terhadap Hegelianisme yang dapat kita sebut sebagai “kritik atas abstraksionis”. Dengan sistem abstrak tersebut, Hegel dipandang Kierkegaard sudah mereduksi manusia menjadi “kawanan” (crowd) yang anonim. Kemampuan subjektif manusia untuk mengambil keputusan yang sangat pribadi dan berkomitmen dianggap tidak autentik dalam sistem itu, sebab yang real itu bukan individu melainkan Roh yang menjadi semakin sadar diri melalui individu itu. Bagi Kierkegaard, manusia secara individu memiliki kemampuan untuk membuat keputusan bebas secara personal dan menunaikan komitmen yang bermakna. Dengan jalan itu, menurut Kierkegaard, “manusia individual menerima martabatnya.”

Sedang Karl Jespers (1883-1969), menolak sikap objektif seperti yang digambarkan oleh Hegel. Jesper tidak menghendaki ontologi yang berlaku umum. Akan tetapi “ada” Yang Melingkupi (das Umgreifende), ini merupakan kunci metafisikanya untuk melangkapi pemikirannya tentang transendensi. Yang dimaksud transendensi adalah Yang Melingkupi (das Umgreifende) bukanlah sesuatu yang kongkret, melainkan sesuatu yang tersembunyi.

Bagi Martin Heidegger (1889-1976 ), bahwa filsafat yang sekian lama menggumuli realitas sudah lupa akan “adanya”. Dalam segala yang ada dan nyata, yang paling dekat dan bisa diselidiki oleh filsafat adalah dirinya sendiri. Di dalam diri manusia timbullah pertanyaan tentang “ada” itu, karena ia makhluk yang ada dan mampu bertanya tentang itu, dan sekaligus akan menjawabnya. Dan itulah yang di dalam terminologi Heidegger disebut “Dasein”, ini berarti jargon esensialisme dalam tesis Hegel “Apa yang nyata dapat dipikirkan, dan apa yang dapat dipikirkan adalah nyata”, tidak dapat diterima oleh Heidegger.”

Lebih jauh negasi Heidegger terhadap Hegel adalah dengan menempatkan verstehen (mengerti, memahami) sebagai cara berada manusia yang dikaitkan dengan kebebasan manusia.

Adapun Jean-Paul Sartre (1905-1980) seperti dua mata sisi uang yang berlawanan dengan Hegel. Sebagai eksistensialis, Sartre berminat pada pada inner experience, sedang Hegel atau Hegelianisme berminat pada objektive truth suatu sistem. Sartre berminat pada emosi-emosi, Hegel pada akal murni. Minat fenomenologis Sartre berbicara masalah meaning, sedang obsesi rasionalis Hegel menghendaki integibility. Sartre memandang bahwa manusia merupakan bagian dari proses yang di dalamnya ia sedang berpartisipasi. Karena baginya, sejarah diindividualisasikan, masing-masing mempunyai kisahnya sendiri. Namun bagi Hegel, sejarah dimutlakkan dengan sejarah individu- individu yang ditelan dalam Roh manusia.

Bentuk pemikiran dekonstruksi terhadap bangunan pemikiran esensialisme terutama esensialisme ala Hegel di atas, memunculkan term yang dikenal dengan eksistensialisme. Eksistensialisme sendiri merupakan pola dari akar kata “eksistensi” yang berasal dari kata eks yang berarti keluar dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja sisto berarti berdiri, menempatkan. Oleh karena itu eksistensi berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri yang sadar bahwa dirinya ada.

Dengan keluar dari dirinya maka manusia secara individual menjadi sadar bahwa dia ada dan bebas. Kebalikan dari eksistensi adalah esensi. Esensi adalah yang menjadikan sesuatu benda apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan esensi dapat dibicarakan secara berarti walaupun tak ada contoh bendanya pada suatu waktu.

Ciri umum dari eksistensialisme antara lain:

  1. Eksistensi mendahului esensi.

  2. Motif pokok yang disebut eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi.

  3. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, dan merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.

  4. Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesama manusia.

  5. Filsafat eksistensialime memberi tekanan kepada pangalaman yang kongkret dan eksistensial. Hanya saja, arti pengalaman itu yang berbeda-beda.

Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensialisme adalah bentuk kebebasan manusia untuk membuat kehidupan dirinya sesuai dengan yang ia inginkan.

Pada umumnya, Søren Kierkegaard dinyana sebagai sumber pertama filsafat eksistensialisme. Søren Kierkegaard menyebut eksistensi dengan “diri autentik”. Hanya “diri autentik” atau aku yang konkret yang bisa mengambil keputusan eksistensial. Sebagai eksistensi, aku ini bertindak. “Aku ini”, dengan istilah Kierkegaard, “Aktor” kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah bagi arah hidupku sendiri, bukan “spectator” kehidupanku belaka.

Dengan menggemakan kematian Tuhan, Friedrich Nietzsche menempatkan manusia menjadi bebas dan terbuka kesempatan yang seluas-luasnya baginya untuk menentukan diri. Martin Heidegger mengatakan bahwa eksistensi itu nampak pada ketiadaan dan ia sama sekali bukan hanya proyeksi manusia, melainkan sesungguhnya eksistensi manusia itu mendahului proyeksinya. Heidegger juga mengungkapkan bahwa “kita adalah eksistensi tanpa esensi”. Selanjutnya, manusia yang tidak memiliki eksistensi menghadapi hidup yang semu.

Jean-Paul Sartre adalah eksistensialis yang paling jelas menerangkan slogan existence precedes essence (eksistensi mendahului esensi) ini. Sartre menerangkan pengertian ini dengan analogi bahwa manusia tidak dapat disamakan dengan pisau kertas. Karena pisau kertas dibuat seseorang yang mempunyai konsep tentang pisau itu. Nampak sebelum jadi, pisau itu telah dikonsepsikan sebagai sesuatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan proses tertentu pula. Ini berarti esensi pisau telah ada. Menurutnya, manusia ada tanpa didahului esensi. Ia ada kemudian bereksistensi membentuk esensinya.

Bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda lain yang keberadaanya sekaligus berarti esensinya. Hanya manusia saja yang memahami dan membentuk dirinya sendiri. Manusia mendefinisikan dirinya dengan tindakan-tindakannya. Karena Sartre berpandangan bahwa asas pertama bereksistensi adalah “manusia tidak lain kecuali dirinya yang ia buat sendiri.

Setiap eksistensialis, dengan penekanan yang berbeda, berbicara masalah kebebasan. Nietzsche memandang kebebasan sebagai jiwa yang agung. Baginya kebebasan adalah will to power. Kehendak berkuasa secara hahiki adalah seorang manusia yang kreatif; tetapi sang pencipta tidaklah mungkin diam dengan ditentukannya oleh hukum-hukum sebelumnya. Suatu tindakan kreatif yang unggul berisi norma-normanya sendiri, dan setiap penciptaan adalah suatu penciptaan norma-norma baru.

Berbeda dengan Nietzsche, Karl Jespers menegaskan, bahwa kebebasan dan eksistensi adalah konsep-konsep yang bisa saling tukar. Sebagaimana diungkapkan oleh Jasper, “eksistensi ditampilkan dan direalisasikan dalam komunikasi; dan komunikasi itu hanya mungkin jika seandainya aku dan tetanggaku masing-masing tidak saling menjadikannya sebagai alatnya, akan bertemu dalam pengakuan timbal balik dengan menghormati kebebasan masing-masing.”

Existence is revealed and realized in communication is only possible if I and my neighbour do not each make the orther his tool, but meet in mutual affirmation of our respective freedom.

Apa yang dikembangkan Jasper tersebut dikenal dengan “Existential Communication”.

Di dalam komunikasi tersebut orang lain tidak dianggap sebagai objek, atau sebagai alat semata-mata, namun secara positif ditangkap sebagai pribadi yang berkembang dalam eksistensinya. Sehingga eksistensiku nampak dan riil berkat kehadiran orang lain.

Sedang Gabriel Marcel (l. 1889) menyatakan bahwa kebebasan manusia meliputi cinta kasih abadi. Apa yang dimaksudkan Marcel berhubungan dengan “ada” sebagaimana mata dengan cahaya. Marcel menekankan bahwa manusia menjumpai “yang ada”, ini berarti dia menjadi “aku” karena menjumpai “engkau.” Dengan demikian inter-subjektivitas mendapat perhatian karena dia adalah makhluk bebas dan menjumpai “yang ada” karena cinta.

Cinta kasih ini bersifat kreatif untuk menciptakan suatu dimensi eksistensial baru. Sebab di dalam cinta kasih inilah hubungan “aku-engkau” terjadi secara sempurna, dimana “aku” benar-benar menjadi “aku” dan orang lain benar-benar menjadi “engkau”. Keduanya dipersatukan dalam satu kesatuan yang baru yang tidak dapat dirumuskan, tetapi hanya dapat dipahami di dalam kehadiran (presence), sebagai rahasia yang harus dipercaya. Realisasi yang istimewa dari kehadiran adalah dengan cinta. “aku” dan “engkau” di sini mencapai taraf “kita”. Dalam cinta ini, “aku” mengikat diri dan tetap setia.

Lain halnya dengan Søren Kierkegaard beranggapan bahwa hanya dengan kembali kepada kehidupan batinnya manusia akan menemukan kebebasannya. Apa yang diungkapkan Kierkegaard merupakan refleksi puncak petualangan pemikirannya yang berakhir pada Tuhan. Bagi Kierkegaard, Tuhan adalah tempat untuk menyerahkan segala kesejatian dan hidupnya. Dengan demikian, kehidupan batin manusia yang dituntun oleh Tuhan telah membawa pada sebuah kebebasan.

Adapun kebebasan bagi Heidegger hanya terjadi ketika kita memilih satu kemungkinan. Dalam situasi yang dibatasi oleh “nasib”, segera manusia memilih satu kemungkinan, dirinya atau tidak memilih kemungkinan-kemungkinan yang lain, lalu mengadalah kebebasan. Kebebasan baru mengada dalam hal memilih satu kemungkinan, artinya menanggung bahwa kemungkinan-kemungkinan lain tidak dipilih dan tidak dapat dipilihnya. Situasi inilah yang oleh Heidegger disebut Schuld.

Sedangkan kebebasan manusia menurut Sartre adalah mutlak. Tidak ada batas bagi kebebasan manusia. Dibalik kebebasan itu, manusia dituntut bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab itu meliputi kemanusiaan secara umum sebab dia dituntut memilih berbagai kemungkinan yang tersedia. Bagi Sartre, Tuhan tidak dapat dimintai tanggung jawab dan tidak bisa dijadikan tempat untuk menggantungkan tanggung jawab. Tuhan tidak terlibat dalam keputusan yang diambil manusia. Manusia adalah kebebasan dan hanya sebagai kebebasan ia bisa bertanggung jawab.

Sebagai eksistensialis yang ateistik, Sartre sangat vokal menentang gagasan tentang Tuhan dan menggantinya dengan gagasan the absolute freedom. Sartre sering dan berulang-ulang menyebut Tuhan dalam tulisannya, tetapi tetap saja untuk ditolak kehadirannya ditengah-tengah kehidupan manusia. Di dalam karyanya Existentialism and Human Emotions, Sartre mempersoalkan Tuhan Sebagai pencipta God as Creator.

Referensi
  • Ignace Lepp, Ateisme Dewasa Ini, terj. Sayyid Umar & Edy Sunaryo (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985).
  • St. Elmo Nauman, The New Dictionary of Existentialism (New York: The Philosophical Library, 1971).
  • F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004).
  • Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002)
  • K. Bartens, Filsafat dalam Abad XX (Jakarta: Gramedia, 1988).
  • Muzairi, Eksistensialisme Jean-Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
  • H. J. Blackham, Six Existentialist Thinkers (London: Routledge & Kegan Paul, 1952).
  • Harold Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
  • Fuad Hasan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme (Jakarta, Pustaka Jaya, 1989).
  • Jean-Paul Sartre, Existentialism and Human Emotions, terj. Bernard Frectman (New York: The Philosophical Library, 1948).
  • Walter A. Kaufmann, “Friederich Nietzsche” dalam The Encyclopedia of Philosophy (New York: Macmillan Publishing Co, Inc & The Free Press, 1967).
1 Like