Eksistensialisme muncul sebagai gerakan pemikiran yang menentang rezim rasionalisme dan intelektualisme yang mengakar kuat dalam tradisi filsafat Barat. Hal tersebut dikarenakan filsafat Barat sebelumnya didominasi oleh anggapan bahwa kebenaran dapat disamakan dengan akal. “Eksistensialisme menolak bahwa kebenaran selamanya dapat disamakan dengan akal, sebuah tema sentral dalam pemikiran Plato, Kant, Hegel”, demikian kata St. Elmo Nauman.
Baik Plato, Kant, maupun Hegel sebagaimana disebut oleh Nauman di atas mempunyai kontribusi besar kepada doktrin esensialisme di dalam Abad Pencerahan. Reaksi dan protes eksistensialisme memang ditujukan kepada esensialisme Hegel, akan tetapi reaksi dan respons tersebut juga ditujukan terhadap aliran filsafat dan pemikiran yang mengarah kepada kolektivisme dan sistem.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) sendiri mambangun pemikirannya dengan melukiskan kenyataan sebagai dialektika Roh (Geist), Hegel mengabstraksi segala sesuatu menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan manusia konkret atau individu. Yang merupakan kenyataan adalah ide abstrak atau Roh, dan bukan pengalaman individual. Dalam sistem abstrak itu bahkan kesadaran manusia konkret hanyalah sebuah momen dalam dialektika Roh. Bukan manusia yang sadar diri, melainkan Roh menyadari dirinya dalam manusia konkret itu. Oleh karena itu juga, Hegel memandang tinggi ide-ide kolektif, sebab semakin objektif sebuah ide semakin benar dan semakin real-lah ide itu. Dengan demikian yang makin benar adalah “kita”, “ras”, “zaman kita”, “abad kita”, “roh dunia”, dan bukan “aku” atau “pikiranku”.
Tesis Hegel di atas inilah yang melatarbelakangi dua mazhab eksistensialisme teistik dan ateistik untuk mendekonstruksi padangan Hegelianisme. Misalnya keberatan Søren Kierkegaard (1813-1855) terhadap Hegelianisme yang dapat kita sebut sebagai “kritik atas abstraksionis”. Dengan sistem abstrak tersebut, Hegel dipandang Kierkegaard sudah mereduksi manusia menjadi “kawanan” (crowd) yang anonim. Kemampuan subjektif manusia untuk mengambil keputusan yang sangat pribadi dan berkomitmen dianggap tidak autentik dalam sistem itu, sebab yang real itu bukan individu melainkan Roh yang menjadi semakin sadar diri melalui individu itu. Bagi Kierkegaard, manusia secara individu memiliki kemampuan untuk membuat keputusan bebas secara personal dan menunaikan komitmen yang bermakna. Dengan jalan itu, menurut Kierkegaard, “manusia individual menerima martabatnya.”
Sedang Karl Jespers (1883-1969), menolak sikap objektif seperti yang digambarkan oleh Hegel. Jesper tidak menghendaki ontologi yang berlaku umum. Akan tetapi “ada” Yang Melingkupi (das Umgreifende), ini merupakan kunci metafisikanya untuk melangkapi pemikirannya tentang transendensi. Yang dimaksud transendensi adalah Yang Melingkupi (das Umgreifende) bukanlah sesuatu yang kongkret, melainkan sesuatu yang tersembunyi.
Bagi Martin Heidegger (1889-1976 ), bahwa filsafat yang sekian lama menggumuli realitas sudah lupa akan “adanya”. Dalam segala yang ada dan nyata, yang paling dekat dan bisa diselidiki oleh filsafat adalah dirinya sendiri. Di dalam diri manusia timbullah pertanyaan tentang “ada” itu, karena ia makhluk yang ada dan mampu bertanya tentang itu, dan sekaligus akan menjawabnya. Dan itulah yang di dalam terminologi Heidegger disebut “Dasein”, ini berarti jargon esensialisme dalam tesis Hegel “Apa yang nyata dapat dipikirkan, dan apa yang dapat dipikirkan adalah nyata”, tidak dapat diterima oleh Heidegger.”
Lebih jauh negasi Heidegger terhadap Hegel adalah dengan menempatkan verstehen (mengerti, memahami) sebagai cara berada manusia yang dikaitkan dengan kebebasan manusia.
Adapun Jean-Paul Sartre (1905-1980) seperti dua mata sisi uang yang berlawanan dengan Hegel. Sebagai eksistensialis, Sartre berminat pada pada inner experience, sedang Hegel atau Hegelianisme berminat pada objektive truth suatu sistem. Sartre berminat pada emosi-emosi, Hegel pada akal murni. Minat fenomenologis Sartre berbicara masalah meaning, sedang obsesi rasionalis Hegel menghendaki integibility. Sartre memandang bahwa manusia merupakan bagian dari proses yang di dalamnya ia sedang berpartisipasi. Karena baginya, sejarah diindividualisasikan, masing-masing mempunyai kisahnya sendiri. Namun bagi Hegel, sejarah dimutlakkan dengan sejarah individu- individu yang ditelan dalam Roh manusia.
Bentuk pemikiran dekonstruksi terhadap bangunan pemikiran esensialisme terutama esensialisme ala Hegel di atas, memunculkan term yang dikenal dengan eksistensialisme. Eksistensialisme sendiri merupakan pola dari akar kata “eksistensi” yang berasal dari kata eks yang berarti keluar dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja sisto berarti berdiri, menempatkan. Oleh karena itu eksistensi berarti manusia berdiri sebagai diri sendiri yang sadar bahwa dirinya ada.
Dengan keluar dari dirinya maka manusia secara individual menjadi sadar bahwa dia ada dan bebas. Kebalikan dari eksistensi adalah esensi. Esensi adalah yang menjadikan sesuatu benda apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan esensi dapat dibicarakan secara berarti walaupun tak ada contoh bendanya pada suatu waktu.
Ciri umum dari eksistensialisme antara lain:
-
Eksistensi mendahului esensi.
-
Motif pokok yang disebut eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi.
-
Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, dan merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
-
Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesama manusia.
-
Filsafat eksistensialime memberi tekanan kepada pangalaman yang kongkret dan eksistensial. Hanya saja, arti pengalaman itu yang berbeda-beda.
Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensialisme adalah bentuk kebebasan manusia untuk membuat kehidupan dirinya sesuai dengan yang ia inginkan.
Pada umumnya, Søren Kierkegaard dinyana sebagai sumber pertama filsafat eksistensialisme. Søren Kierkegaard menyebut eksistensi dengan “diri autentik”. Hanya “diri autentik” atau aku yang konkret yang bisa mengambil keputusan eksistensial. Sebagai eksistensi, aku ini bertindak. “Aku ini”, dengan istilah Kierkegaard, “Aktor” kehidupan yang berani mengambil keputusan dasariah bagi arah hidupku sendiri, bukan “spectator” kehidupanku belaka.
Dengan menggemakan kematian Tuhan, Friedrich Nietzsche menempatkan manusia menjadi bebas dan terbuka kesempatan yang seluas-luasnya baginya untuk menentukan diri. Martin Heidegger mengatakan bahwa eksistensi itu nampak pada ketiadaan dan ia sama sekali bukan hanya proyeksi manusia, melainkan sesungguhnya eksistensi manusia itu mendahului proyeksinya. Heidegger juga mengungkapkan bahwa “kita adalah eksistensi tanpa esensi”. Selanjutnya, manusia yang tidak memiliki eksistensi menghadapi hidup yang semu.
Jean-Paul Sartre adalah eksistensialis yang paling jelas menerangkan slogan existence precedes essence (eksistensi mendahului esensi) ini. Sartre menerangkan pengertian ini dengan analogi bahwa manusia tidak dapat disamakan dengan pisau kertas. Karena pisau kertas dibuat seseorang yang mempunyai konsep tentang pisau itu. Nampak sebelum jadi, pisau itu telah dikonsepsikan sebagai sesuatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan proses tertentu pula. Ini berarti esensi pisau telah ada. Menurutnya, manusia ada tanpa didahului esensi. Ia ada kemudian bereksistensi membentuk esensinya.
Bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda lain yang keberadaanya sekaligus berarti esensinya. Hanya manusia saja yang memahami dan membentuk dirinya sendiri. Manusia mendefinisikan dirinya dengan tindakan-tindakannya. Karena Sartre berpandangan bahwa asas pertama bereksistensi adalah “manusia tidak lain kecuali dirinya yang ia buat sendiri.”
Setiap eksistensialis, dengan penekanan yang berbeda, berbicara masalah kebebasan. Nietzsche memandang kebebasan sebagai jiwa yang agung. Baginya kebebasan adalah will to power. Kehendak berkuasa secara hahiki adalah seorang manusia yang kreatif; tetapi sang pencipta tidaklah mungkin diam dengan ditentukannya oleh hukum-hukum sebelumnya. Suatu tindakan kreatif yang unggul berisi norma-normanya sendiri, dan setiap penciptaan adalah suatu penciptaan norma-norma baru.
Berbeda dengan Nietzsche, Karl Jespers menegaskan, bahwa kebebasan dan eksistensi adalah konsep-konsep yang bisa saling tukar. Sebagaimana diungkapkan oleh Jasper, “eksistensi ditampilkan dan direalisasikan dalam komunikasi; dan komunikasi itu hanya mungkin jika seandainya aku dan tetanggaku masing-masing tidak saling menjadikannya sebagai alatnya, akan bertemu dalam pengakuan timbal balik dengan menghormati kebebasan masing-masing.”
Existence is revealed and realized in communication is only possible if I and my neighbour do not each make the orther his tool, but meet in mutual affirmation of our respective freedom.
Apa yang dikembangkan Jasper tersebut dikenal dengan “Existential Communication”.
Di dalam komunikasi tersebut orang lain tidak dianggap sebagai objek, atau sebagai alat semata-mata, namun secara positif ditangkap sebagai pribadi yang berkembang dalam eksistensinya. Sehingga eksistensiku nampak dan riil berkat kehadiran orang lain.
Sedang Gabriel Marcel (l. 1889) menyatakan bahwa kebebasan manusia meliputi cinta kasih abadi. Apa yang dimaksudkan Marcel berhubungan dengan “ada” sebagaimana mata dengan cahaya. Marcel menekankan bahwa manusia menjumpai “yang ada”, ini berarti dia menjadi “aku” karena menjumpai “engkau.” Dengan demikian inter-subjektivitas mendapat perhatian karena dia adalah makhluk bebas dan menjumpai “yang ada” karena cinta.
Cinta kasih ini bersifat kreatif untuk menciptakan suatu dimensi eksistensial baru. Sebab di dalam cinta kasih inilah hubungan “aku-engkau” terjadi secara sempurna, dimana “aku” benar-benar menjadi “aku” dan orang lain benar-benar menjadi “engkau”. Keduanya dipersatukan dalam satu kesatuan yang baru yang tidak dapat dirumuskan, tetapi hanya dapat dipahami di dalam kehadiran (presence), sebagai rahasia yang harus dipercaya. Realisasi yang istimewa dari kehadiran adalah dengan cinta. “aku” dan “engkau” di sini mencapai taraf “kita”. Dalam cinta ini, “aku” mengikat diri dan tetap setia.
Lain halnya dengan Søren Kierkegaard beranggapan bahwa hanya dengan kembali kepada kehidupan batinnya manusia akan menemukan kebebasannya. Apa yang diungkapkan Kierkegaard merupakan refleksi puncak petualangan pemikirannya yang berakhir pada Tuhan. Bagi Kierkegaard, Tuhan adalah tempat untuk menyerahkan segala kesejatian dan hidupnya. Dengan demikian, kehidupan batin manusia yang dituntun oleh Tuhan telah membawa pada sebuah kebebasan.
Adapun kebebasan bagi Heidegger hanya terjadi ketika kita memilih satu kemungkinan. Dalam situasi yang dibatasi oleh “nasib”, segera manusia memilih satu kemungkinan, dirinya atau tidak memilih kemungkinan-kemungkinan yang lain, lalu mengadalah kebebasan. Kebebasan baru mengada dalam hal memilih satu kemungkinan, artinya menanggung bahwa kemungkinan-kemungkinan lain tidak dipilih dan tidak dapat dipilihnya. Situasi inilah yang oleh Heidegger disebut Schuld.
Sedangkan kebebasan manusia menurut Sartre adalah mutlak. Tidak ada batas bagi kebebasan manusia. Dibalik kebebasan itu, manusia dituntut bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tanggung jawab itu meliputi kemanusiaan secara umum sebab dia dituntut memilih berbagai kemungkinan yang tersedia. Bagi Sartre, Tuhan tidak dapat dimintai tanggung jawab dan tidak bisa dijadikan tempat untuk menggantungkan tanggung jawab. Tuhan tidak terlibat dalam keputusan yang diambil manusia. Manusia adalah kebebasan dan hanya sebagai kebebasan ia bisa bertanggung jawab.
Sebagai eksistensialis yang ateistik, Sartre sangat vokal menentang gagasan tentang Tuhan dan menggantinya dengan gagasan the absolute freedom. Sartre sering dan berulang-ulang menyebut Tuhan dalam tulisannya, tetapi tetap saja untuk ditolak kehadirannya ditengah-tengah kehidupan manusia. Di dalam karyanya Existentialism and Human Emotions, Sartre mempersoalkan Tuhan Sebagai pencipta God as Creator.
Referensi
- Ignace Lepp, Ateisme Dewasa Ini, terj. Sayyid Umar & Edy Sunaryo (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985).
- St. Elmo Nauman, The New Dictionary of Existentialism (New York: The Philosophical Library, 1971).
- F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004).
- Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002)
- K. Bartens, Filsafat dalam Abad XX (Jakarta: Gramedia, 1988).
- Muzairi, Eksistensialisme Jean-Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
- H. J. Blackham, Six Existentialist Thinkers (London: Routledge & Kegan Paul, 1952).
- Harold Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
- Fuad Hasan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme (Jakarta, Pustaka Jaya, 1989).
- Jean-Paul Sartre, Existentialism and Human Emotions, terj. Bernard Frectman (New York: The Philosophical Library, 1948).
- Walter A. Kaufmann, “Friederich Nietzsche” dalam The Encyclopedia of Philosophy (New York: Macmillan Publishing Co, Inc & The Free Press, 1967).