Ekosistem adalah komunitas organisme hidup yang berhubungan dengan lingkungannya, yang berinteraksi sebagai suatu sistem (Smith & Smith, 2012). Komponen biotik dan abiotik ini dihubungkan bersama melalui siklus nutrisi dan aliran energi (Odum, 1971). Energi memasuki ekosistem melalui fotosintesis yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Dengan memakan tumbuhan, hewan memainkan peran penting dalam pergerakan materi dan energi melalui ekosistem. Binatang juga mempengaruhi jumlah tanaman dan biomassa mikroba yang ada. Dengan memecah bahan organik yang telah mati, pengurai melepaskan karbon kembali ke atmosfer dan memfasilitasi siklus hara dengan mengubah nutrisi yang disimpan dalam biomassa dari organisme yang mati kembali ke bentuk yang dapat segera digunakan oleh tanaman dan mikroba lainnya (Chapin dkk, 2002).
Gambar 1. Faktor Biotik dan Faktor Abiotik didalam Ekosistem
Ekosistem dikendalikan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti iklim, bahan induk yang membentuk tanah dan topografi, mengontrol keseluruhan struktur suatu ekosistem tetapi tidak dipengaruhi oleh ekosistem itu sendiri (Chapin dkk, 2002). Tidak seperti faktor eksternal, faktor internal dikendalikan, misalnya, dekomposisi, persaingan akar, naungan, gangguan, suksesi, dan jenis spesies yang ada.
Definisi ekosistem mungkin memiliki perbedaan di antara ilmuwan, tetapi umumnya semua memiliki tiga sifat umum yang mencakup keberadaan (1) komponen biotik dan (2) komponen abiotik dan (3) interaksinya. Komponen biotik ekosistem umumnya dianggap melibatkan komunitas organisme, dan komponen abiotik mencakup lingkungan kimia dan fisik organisme. Interaksi, yang paling sering diidentifikasi, adalah yang terkait dengan (1) rantai makanan dan dinamika trofik serta (2) siklus materi, terutama nutrisi. Secara lebih umum, interaksi melibatkan aliran energi, materi, dan informasi.
Sejarah Ekosistem
Pada tahun 1935, Sir Arthur Tansley mempresentasikan gagasan bahwa ahli ekologi perlu mempertimbangkan ‘keseluruhan sistem’, termasuk organisme dan faktor fisik (materi), dimana unsur-unsur tersebut tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara terpisah. Dengan menyarankan bahwa ekosistem itu dinamis, sistem yang saling berinteraksi, konsep ekosistem Tansley mengubah pandangan ekologi modern. Hal ini mengarah langsung pada pertimbangan aliran energi melalui ekosistem dan terobosan-terobosannya. Karya R. L. Lindeman, pada tahun 1942, merupakan salah satu penyelidikan formal pertama terkait fungsi ekosistem, dengan obyek penelitiannya adalah danau tua, Cedar Creek Bog, di Minnesota. Terinspirasi oleh karya C.Elton, Lindeman berfokus pada hubungan trofik (yaitu, makan) di dalam danau, mengelompokkan organisme di danau sesuai dengan posisinya dalam jaring makanan. Untuk mempelajari siklus nutrisi dan efisiensi transfer energi antar tingkat trofik dari waktu ke waktu, Lindeman menganggap danau sebagai sistem komponen biotik dan abiotik yang terintegrasi. Dia mempertimbangkan bagaimana jejaring makanan danau dan proses yang mendorong fluks nutrisi mempengaruhi laju suksesi seluruh ekosistem danau. Pandangan tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan dari pandangan tradisional.
**Gambar 2.** Sir Arthur Tansley
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, aliran energi di seluruh sistem dikuantifikasi dalam berbagai ekosistem oleh E. P. Odum dan J. M. Teal. Pada akhir 1960-an, Likens, Bormann, dan lainnya mengambil pendekatan ekosistem untuk mempelajari siklus biogeokimia dengan memanipulasi seluruh daerah aliran sungai di Hutan Hubbard Brook untuk menentukan apakah penebangan, pembakaran, atau penggunaan pestisida dan herbisida memiliki efek yang cukup besar pada hilangnya nutrisi dari ekosistem. Penelitian ini menetapkan preseden penting dalam mendemonstrasikan eksperimen pada skala ekosistem yang luas, dimana peneltian tersebut menjadi tonggak kemajuan signifikan yang terus mengembangkan penelitian-penelitian tentang ekosistem saat ini.
Proses Ekosistem
Proses didalam ekosistem dikendalikan oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal, juga disebut faktor keadaan, mengontrol keseluruhan struktur ekosistem dan cara kerja di dalamnya, tetapi tidak dipengaruhi oleh ekosistem itu sendiri. Faktor eksternal yang terpenting adalah iklim (Chapin dkk, 2002). Iklim menentukan bioma tempat ekosistem tertanam. Pola curah hujan dan suhu musiman mempengaruhi fotosintesis dan dengan demikian menentukan jumlah air dan energi yang tersedia untuk ekosistem.
Faktor eksternal lainnya adalah bahan material yang menentukan sifat tanah dalam suatu ekosistem, dan mempengaruhi pasokan unsur hara mineral. Topografi juga mengontrol proses ekosistem dengan mempengaruhi hal-hal seperti iklim mikro, perkembangan tanah dan pergerakan air melalui suatu sistem. Misalnya, ekosistem bisa sangat berbeda jika terletak di lembah, dibandingkan dengan ekosistem yang ada di lereng bukit yang curam, walaupun letaknya yang berdekatan.
Faktor eksternal lain yang berperan penting dalam berfungsinya ekosistem adalah waktu dan potensi biota. Demikian pula, kumpulan organisme yang berpotensi ada di suatu daerah juga dapat mempengaruhi ekosistem secara signifikan. Ekosistem dalam lingkungan serupa yang terletak di berbagai belahan dunia pada akhirnya dapat melakukan hal-hal yang sangat berbeda hanya karena mereka memiliki kumpulan spesies yang berbeda. Masuknya spesies non-asli dapat menyebabkan pergeseran substansial dalam fungsi ekosistem (Simberloff dkk., 2013).
Tidak seperti faktor eksternal, faktor internal dalam ekosistem tidak hanya mengontrol proses ekosistem tetapi juga dikendalikan olehnya. Akibatnya, mereka sering mengalami putaran umpan balik. Walaupun masukan sumber daya umumnya dikendalikan oleh proses eksternal, seperti iklim dan material bahan, ketersediaan sumber daya ini didalam ekosistem dikendalikan oleh faktor internal seperti dekomposisi, persaingan akar, atau naungan. Faktor lain seperti gangguan, suksesi atau jenis spesies yang ada juga merupakan faktor internal.
Pada prinsipnya, ekosistem terdiri dari dua proses utama, yaitu Pergerakan energi (energy flows) dan siklus material (cycle materials). Kedua proses ini saling terkait, tetapi tidak persis sama.
Gambar 3. Interaksi antara Unsur Biotik dan Unsur Abiotik
Berikut adalah contoh proses yang ada didalam ekosistem (Gambar 3). Energi memasuki sistem biologis sebagai energi cahaya, atau foton, yang kemudian diubah menjadi energi kimia didalam molekul organik melalui proses seluler, termasuk fotosintesis dan respirasi, dan akhirnya diubah menjadi energi panas. Tanpa masukan berkelanjutan dari energi matahari, sistem biologis akan segera mati.
Unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, atau fosfor memasuki organisme hidup dengan berbagai cara. Tumbuhan memperoleh unsur-unsur tersebut dari atmosfer, air, atau tanah sekitarnya. Hewan juga dapat memperoleh unsur-unsur tersebut secara langsung dari lingkungan fisik, tetapi biasanya hewan memperoleh unsur-unsur tersebut sebagai akibat dari memakan organisme lain. Unsur-unsur tersebut diubah secara biokimia di dalam tubuh organisme, dimana, cepat atau lambat, karena adanya proses ekskresi atau dekomposisi, unsur-unsur tersebut akan dikembalikan pada bentuk anorganik (yaitu, bahan anorganik seperti karbon, nitrogen, dan fosfor, alih-alih terikat pada unsur-unsur tersebut. di bahan organik), ketika tumbuhan atau hewan tersebut mati. Seringkali bakteri menyelesaikan proses ini, melalui proses yang disebut dekomposisi atau mineralisasi.
Selama penguraian, unsur-unsur tersebut tidak hancur atau hilang. Unsur-unsur tersebut berputar tanpa henti antara keadaan biotik dan abiotiknya di dalam ekosistem. Unsur-unsur yang pasokannya cenderung membatasi aktivitas biologis disebut nutrisi.
Transformasi Energi
Gambar 4. Transformasi Energi didalam Ekosistem
Transformasi energi dalam ekosistem dimulai pertama kali dari energi matahari. Energi dari matahari ditangkap melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida digabungkan dengan hidrogen (berasal dari pemecahan molekul air) untuk menghasilkan karbohidrat (notasi singkatnya adalah “CHO”). Energi disimpan dalam ikatan energi tinggi adenosin trifosfat, atau ATP.
Pernyataan “semua daging adalah rumput” adalah awal dari ekosistem, karena hampir semua energi yang tersedia untuk organisme berasal dari tumbuhan. Karena energi matahari dan tumbuhan, dengan proses fotosintesis, merupakan tahapan pertama dalam rantai produksi energi untuk makhluk hidup, tahapan ini disebut produksi primer. Herbivora memperoleh energinya dengan mengonsumsi tumbuhan, karnivora memakan herbivora, dan detritivora mengonsumsi kotoran dan bangkai kita semua.
Gambar diatas menggambarkan rantai makanan sederhana, di mana energi dari matahari, yang ditangkap oleh fotosintesis tanaman, mengalir dari tingkat trofik ke tingkat trofik lainnya melalui rantai makanan. Tingkat trofik terdiri dari organisme yang hidup dengan cara yang sama, yaitu semua produsen primer (tumbuhan), konsumen primer (herbivora), atau konsumen sekunder (karnivora). Jaringan mati dan produk limbah diproduksi di semua tingkatan. Detritivora, dan organisme pengurai, secara kolektif bertanggung jawab atas pemanfaatan semua “limbah” yang ada
Jumlah produksi primer sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, karena perbedaan jumlah radiasi matahari dan ketersediaan nutrisi dan air.
Pada prinsipnya, transfer energi melalui rantai makanan adalah tidak efisien. Hal ini mempunyai arti bahwa lebih sedikit energi yang tersedia di tingkat herbivora dibandingkan di tingkat produsen utama, dan energi yang tersedia lebih sedikit di tingkat karnivora, dan seterusnya. Hasilnya adalah piramida energi, dimana hal tersebut mempunyai implikasi penting dalam memahami jumlah kehidupan yang dapat didukung.
Fungsi Ekosistem
Gambar 5. Fungsi Ekosistem
Masyarakat sangat bergantung pada fungsi ekosistem, dimana ekosistem berperan penting dalam kehidupan masyarakat, baik terkait dengan fungsi ekonomi maupun fungsi estetika (Daily, 1997; Millennium Ecosystem Assessment, 2005). Fungsi ekosistem dihasilkan dari aktivitas kolektif organisme, proses kehidupannya (produksi, konsumsi, dan ekskresi) dan pengaruh aktivitas tersebut terhadap kondisi lingkungan.
Beberapa fungsi-fungsi ekosistem antara lain memproduksi makanan, menyediakan bahan bakar, menjaga siklus dan pemurnian air, serta menyediakan produk-produk lainnya yang dapat digunakan oleh manusia (Tabel 1). Permasalahannya adalah, manusia secara cepat mengubah ekosistem bumi dengan mengubah penggunaan lahan atau dengan memanen sumber daya hayati (penebangan hutan dan perikanan) (Vitousek et al., 1997a). Kira-kira 40% dari produksi primer bumi dialihkan untuk digunakan oleh manusia. Salah satu konsekuensi dari kegiatan ekonomi ini adalah peningkatan mendadak dalam tingkat perubahan keanekaragaman hayati yang menyebabkan punahnya beberapa spesies, dimana ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi diubah menjadi ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang rendah, misalnya perkebunan sawit (Millennium Ecosystem Assessment, 2005). Pola perubahan ekosistem ini telah menimbulkan kekhawatiran serius bagi fungsi dan stabilitas ekosistem global, mengingat ancaman akan semakin tingginya tingkat kehilangan keanekaragaman hayati.
Tabel 1 Contoh proses atau interaksi biologis dan fisik yang berkontribusi pada fungsi ekosistem yang penting
Proses |
Fungsi Ekosistem |
Fotosintesis dan Serapan hara tanaman |
Produksi primer |
Respirasi Mikroba dan Dinamika jejaring Makanan pada Tanah atau Sedimen |
Decomposition |
Nitrifikasi, Denitrifikasi dan Fiksasi nitrogen |
Siklus Nitrogen |
Transpirasi tanaman dan Aktivitas akar |
Siklus Hidrologi |
Pelapukan mineral, Bioturbasi tanah dan Suksesi vegetasi |
Pembentukan Tanah |
Interaksi antara predator dan mangsa |
Pengendalian Biologis |
Produktivitas Ekosistem
Proses utama dari sebagian besar ekosistem adalah fotosintesis, penangkapan radiasi matahari, dan konversinya menjadi bentuk kimia yang tersimpan (biomassa). Tumbuhan membutuhkan sinar matahari, air, dan nutrisi penting untuk proses fotosintesis. Fotosintesis digabungkan dengan proses lainnya akan menghasilkan pertumbuhan tanaman, misalnya akumulasi biomassa. Produktivitas primer, perubahan biomassa tumbuhan per satuan luas dan waktu, merupakan indeks penting dari fungsi ekosistem. Produktivitas primer (sering disebut juga sebagai produktivitas ekosistem) berkaitan dengan keanekaragaman jenis tumbuhan serta keanekaragaman organisme (biota tanah) yang mempengaruhi ketersediaan sumber daya yang terbatas. Manusia bergantung pada produktivitas ekosistem sebagai basis pertanian, kehutanan, dan perikanan. Jadi, faktor-faktor yang mengubah produktivitas ekosistem (misalnya, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati) akan berpengaruh pada masyarakat dan manusia secara langsung.
Gambar 6. Rumus Produktivitas Ekosistem
Ekosistem dengan tingkat produktivitas primer yang tinggi akan menghasilkan jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan iklim yang optimal. Tingkat produktivitas ekosistem terestrial tertinggi dapat dilihat di daerah tropis, di mana suhu dan kelembabannya sangat mendukung pertumbuhan tanaman sepanjang tahun. Sebaliknya, gurun pasir, yang memiliki keterbatasan air, memiliki produktivitas yang jauh lebih rendah, rata-rata kurang dari 10% dari sistem tropis.
Batasan Produktivitas Ekosistem
Prinsip dasar yang digunakan untuk menjelaskan variasi di antara ekosistem dalam produktivitasnya adalah Hukum Minimum Liebig. Justus Liebig merumuskan konsep ini ketika melakukan penelitian pendahuluan tentang nutrisi mineral tanaman di awal tahun 1800-an. Dia menemukan bahwa penambahan satu “faktor pembatas” ke tanah akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Setelah elemen ini cukup tersedia, elemen mineral lain harus dipasok dalam jumlah yang meningkat untuk merangsang peningkatan tambahan dalam pertumbuhan tanaman. Dari pengamatan ini, ia mengusulkan bahwa “faktor pembatas” bertanggung jawab untuk membatasi pertumbuhan atau reproduksi suatu organisme atau populasi.
Faktor pembatas antara lain faktor kimia (nutrisi yang merangsang pertumbuhan seperti nitrogen), faktor fisik seperti kelembaban, atau faktor biologis seperti keberadaan spesies yang bersaing. Dengan demikian, setiap perubahan dari faktor pembatas akan memiliki dampak yang besar pada fungsi ekosistem.
Ada banyak contoh di mana perubahan faktor pembatas mengubah fungsi ekosistem. Adanya peningkatan dalam jumlah nitrogen di lingkungan, dari penggunaan pupuk dan bahan bakar fosil, akan memiliki dampak yang signifikan pada laju fungsi ekosistem, karena nitrogen sering kali merupakan faktor pembatas utama dalam pertumbuhan tanaman pada ekosistem darat. Permasalahannya, manusia telah meningkatkan tingkat masukan nitrogen kedalam ekosistem sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan penyimpanan karbon dan penurunan keanekaragaman hayati (Vitousek et al., 1997b). Batasan produksi dalam ekosistem juga terkait dengan keseimbangan (rasio) elemen penting untuk pertumbuhan (C: N: P). Teori stoikiometri ekologi memprediksikan bahwa terdapat kendala multielemen pada interaksi ekologi, seperti aliran energi dalam jaring makanan, kompetisi, herbivora, dan pada proses ekologi itu sendiri (Sterner & Elser, 2002).
Apakah keragaman spesies tanaman dan produksi primer berhubungan?
Ahli ekologi mengumpulkan bukti, baik dengan percobaan di lapangan maupun di laboratorium, bahwa produktivitas primer ekosistem akan meningkat dengan meningkatnya keanekaragaman spesies tanaman. Dasar teoritis terkait kondisi tersebut berasal dari pemahaman tentang bagaimana membatasi sumber daya (air dan nutrisi) yang didistribusikan dalam ekosistem dan penghargaan atas keragaman sifat fisiologis atau ‘‘fungsional’’ organisme itu sendiri. Perbedaan antara spesies tanaman dalam hal kedalaman perakaran, fenologi (pertumbuhan musiman), laju fotosintesis, dan sifat fisiologis lainnya memungkinkan komunitas multispesies untuk lebih memanfaatkan sumber daya yang tersedia.
Bukti bahwa komunitas tumbuhan yang beragam memperoleh produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem keragaman rendah ditunjukkan dalam pertanian tradisional (masukan rendah) di mana polikultur (penanaman multi spesies) sering kali memiliki hasil yang lebih tinggi daripada penanaman spesies tunggal (monokultur) (Gliessman, 1998).
Sebagai contoh, budidaya jagung (Zea mays L.) secara monokultur akan mempunyai produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika ditanam secara polikultur, misalnya bersama kacang-kacangan (Vicia spp.). Tanaman kacang-kacangan tersebut akan membentuk hubungan simbiosis dengan bakteri yang ‘‘mengikat’’ nitrogen yang ada di udara (N2) menjadi bentuk anorganik (amonia, NH3) yang dapat digunakan oleh tanaman jagung. Nitrogen yang diikat oleh tanaman kacang-kacangan ini akan meningkatkan suplai keseluruhan faktor pembatas ke dalam tanah dan secara langsung akan meningkatkan pertumbuhan jagung. Asosiasi jagung-kacang-nitrogen, yang diberikan oleh bakteri pengikat, secara gratis, sering kali digantikan dalam pertanian intensif dengan menggunakan pupuk nitrogen anorganik. Walaupun dengan penggunaan input eksternal (pupuk), monokultur jagung dapat menghasilkan hasil yang lebih tinggi daripada polikultur, tetapi penggunaan pupuk nitrogen anorganik tersebut memiliki biaya lingkungan yang jauh lebih tinggi akibat produksi dan pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk menghasilkan pupuk dan pestisida (Ma¨der et al., 2002). Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan merupakan sumber utama pencemaran air di permukaan dan air tanah.
Spesies Kunci
Spesies tertentu, yang disebut spesies kunci, memiliki pengaruh yang tidak proporsional (relatif terhadap biomassa mereka) pada fungsi ekosistem. Hilangnya spesies kunci akan menghasilkan efek berjenjang pada keanekaragaman dan fungsi ekosistem yang ada (Menge et al., 1994). Akibatnya, karena spesies kunci dapat mengontrol keanekaragaman ekosistem dan fungsi ekosistem, mereka dan habitat tempat mereka tinggal sering mendapat prioritas tinggi dalam rencana pengelolaan konservasi. Ada banyak studi yang terdokumentasi dengan baik tentang spesies kunci dan bagaimana mereka berinteraksi dengan fungsi ekosistem, misalnya, berang-berang laut Pasifik Utara, merupakan spesies kunci. Hal ini terjadi karena berang-berang laut memangsa bulu babi, dimana bulu babi tersebut yang memakan rumput laut. Dengan tidak adanya predator kunci (berang-berang laut Pasifik Utara), populasi bulu babi akan meningkat, sehingga hilangnya rumput laut, yang akibatnya, banyak sekali ikan dan spesies lain yang bergantung pada rumput laut akan ikut mati.
Siklus Nutrisi
Fungsi berkelanjutan dari setiap ekosistem membutuhkan sejumlah kecil spesies untuk mengembangkan hubungan yang rumit antara produsen, konsumen, dan pengurai yang mengatur aliran energi dan nutrisi. Produktivitas semua ekosistem bergantung pada siklus elemen penting. Pergerakan dan transformasi biologis bahan organik dan unsur hara dimediasi oleh biota, terutama yang ditemukan di tanah (Wall & Virginia, 1997). Oleh karena itu, perubahan keanekaragaman hayati ekosistem dapat mengubah siklus biogeokimia.
Gambar 7. Siklus Nutrisi
Siklus biogeokimia dapat dikategorikan menjadi dua jenis: siklus global dan siklus lokal. Siklus global merupakan siklus yang berdampak pada lingkungan yang luas, misalnya siklus karbon, siklus nitrogen, siklus oksigen, dan siklus hidrogen. Sedangkan siklus lokal berdampak pada lingkungan yang jauh lebih sempit, misalnya siklus fosfor, siklus kalsium, dan siklus kalium.
Stabilitas Ekosistem
Ekosistem selalu bersifat dinamis. Ekosistem selalu mengalami perubahan dalam komposisi dan fungsi spesies sebagai tanggapan terhadap variasi iklim dan serangkaian gangguan. Kebakaran, banjir, kekeringan, dan peristiwa biologis seperti wabah patogen dan hama dapat ‘‘menekan’’ ekosistem dan mengubah kondisinya. Tiap-tiap ekosistem sangat bervariasi dalam tanggapannya terhadap adanya gangguan. Kemampuan ekosistem untuk menahan tekanan yang ada tanpa kehilangan fungsi (hambatan) atau dapat pulih dengan cepat dari gangguan (ketahanan) tersebut merupakan ciri ekosistem yang penting. Beberapa ekosistem tampak sangat stabil (mempunyai ketahanan tinggi) dan fungsinya sedikit dipengaruhi oleh adanya variasi faktor di luar sistem. Tetapi, banyak ekosistem, yang menunjukkan adanya penurunan dalam produktivitas dan keanekaragaman hayati ketika terganggu. Ekosistem ini dikategorikan sebagai ekosistem yang ‘‘rapuh’’ dan memiliki ketahanan yang rendah.
Apakah keanekaragaman mempengaruhi stabilitas fungsi ekosistem?
Hubungan antara stabilitas ekosistem dan keanekaragaman telah menjadi subyek peneltian yang menarik. Para ahli ekologi memberikan hipotesis bahwa ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi lebih tahan (mengalami lebih sedikit perubahan) dalam menanggapi tingkat gangguan tertentu dan juga akan menunjukkan tingkat pemulihan yang tinggi ketika mengalami gangguan (Folke et al., 1996 ).
Ada bukti eksperimental yang membuktikan hipotesis tersebut (Chapin et al., 1998). Keanekaragaman spesies yang lebih tinggi mempunyai arti bahwa struktur trofik (hubungan rantai makanan antar spesies) didalam ekosistem menjadi lebih kompleks, serta menyediakan jalur alternatif pada aliran energi di dalam dan di antara tingkat trofik (produsen, konsumen, dan pengurai). Jalur alternatif terkait transfer energi didalam ekosistem dapat meningkatkan ketahanan terhadap gangguan (hilangnya spesies). Naeem & Li (1997) menguji hipotesis tersebut dan menghasilkan temuan bahwa redundansi (banyak spesies dengan fungsi serupa dalam rantai makanan) akan menstabilkan fungsi ekosistem dengan cara menciptakan mikrokosmos eksperimental dengan jumlah spesies yang berbeda-beda di setiap kelompok fungsional. Dengan meningkatnya jumlah spesies di tingkat trofik, biomassa dan kepadatan replikasi komunitas menjadi lebih konsisten. Dengan demikian, komunitas dengan lebih banyak spesies lebih dapat diprediksi fungsinya (produksi biomassa) dan memiliki keandalan yang lebih tinggi, yaitu probabilitas bahwa ekosistem akan memberikan tingkat kinerja tertentu selama periode waktu tertentu. Sebaliknya, fungsi ekosistem dengan keanekaragaman rendah sangat rentan terhadap penurunan keanekaragaman hayati. Di ekosistem McMurdo Dry Valley Antartika, penurunan populasi nematoda tanah yang dominan, yaitu Scottnema lindsayae, diperkirakan menyebabkan penurunan 30% dalam fungsi siklus karbon tanah (Barrett et al., 2008).
Selain itu, keanekaragaman spesies yang lebih tinggi dapat mengurangi risiko invasi oleh spesies yang memiliki kapasitas untuk mengubah struktur atau fungsi ekosistem. Contohnya adalah ketahanan yang lebih tinggi dari sistem alami yang kaya spesies terhadap serangan hama dibandingkan dengan ekosistem pertanian dengan keanekaragaman rendah yang tumbuh di bawah kondisi lingkungan yang sama. Pengaturan spasial individu dalam suatu ekosistem dapat memengaruhi risiko mereka terhadap penyakit, predasi, atau konsumsi. Dalam sistem keanekaragaman yang tinggi, jarak rata-rata antara individu dari spesies yang sama, rata-rata lebih besar dibandingkan pada sistem dengan keanekaragaman rendah. Jarak antar individu yang lebih luas berperan dalam memperlambat pergerakan organisme patogen, yang akan membatasi terjadinya wabah hama yang mengubah kinerja ekosistem. Manfaat keanekaragaman hayati bagi fungsi ekosistem akan berlipat ganda karena proses produksi dan siklus hara digabungkan dengan interaksi biologis organisme.
Permasalahan utama dalam penelitian ekosistem adalah hubungan dasar antara keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem belum dapat diformalkan secara lebih lengkap, mengingat diperlukannya informasi yang lebih rinci tentang tingkat kritis (ambang batas) keanekaragaman yang terkait dengan fungsi ekosistem tertentu dan bagaimana kondisi lingkungan yang beroperasi dari waktu ke waktu mengubah hubungannya (Folke et al., 1996).
Referensi
-
Barrett JE, Virginia RA, Wall DH, and Adams BJ (2008) Decline in a dominant invertebrate species contributes to altered carbon cycling in a low-diversity soil ecosystem. Global Change Biology 14: 1734–1744.
-
Chapin III FS, Sala OE, Burke IC, et al. (1998) Ecosystem consequences of changing biodiversity. BioScience 48: 45–52.
-
Chapin, F. Stuart; Pamela A. Matson; Harold A. Mooney (2002). Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. New York: Springer. ISBN 978-0-387-95443-1.
-
Chelsea, MI: Sleeping Bear Press.
-
Daily GC (ed.) (1997) Nature’s SerVICES. Societal Dependence on Natural Ecosystems. Washington, DC: Island Press.
-
Folke C, Hollings CS, and Perrings C (1996) Biological diversity, ecosystems, and the human scale. Ecological Applications 6: 1018–1024.
-
Gleissman SR (1998) Agroecology: Ecological Processes in Sustainable Agriculture.
-
Ma¨der P, Fliebach A, Dubois D, Gunst L, Fried P, and Niggli U (2002) Soil fertility and biodiversity in organic farming. Science 296: 1694–1697.
-
Menge BA, Berlow EL, Blanchette CA, Navarrete SA, and Yamada SB (1994) The keystone species concept: Variation in interaction strength in a rocky intertidal habitat. Ecological Monographs 64: 249–286.
-
Millennium Ecosystem Assessment (2005) Ecosystems and Human Well-Being: BIODIVERSITY Synthesis. Washington, DC: World Resources Institute.
-
Naeem S and Li S (1997) Biodiversity enhances ecosystem reliability. Nature 390: 507–509.
-
Odum, Eugene P (1971). Fundamentals of Ecology (third ed.). New York: Saunders. ISBN 978-0-534-42066-6.
-
Simberloff, Daniel; Martin, Jean-Louis; Genovesi, Piero; Maris, Virginie; Wardle, David A.; Aronson, James; Courchamp, Franck; Galil, Bella; García-Berthou, Emili (2013). “Impacts of biological invasions: what’s what and the way forward”. Trends in Ecology & Evolution. 28 (1): 58–66. doi:10.1016/j.tree.2012.07.013.
-
Smith, Thomas M.; Robert Leo Smith (2012). Elements of Ecology (Eighth ed.). Boston: Benjamin Cummings. ISBN 978-0-321-73607-9.
-
Sterner RW and Elser JJ (2002) Ecological Stoichiometry: The Biology of Elements from Molecules to the Biosphere. Princeton, NJ: Princeton University Press.
-
Vitousek PM, Aber JD, Howarth RW, et al. (1997b) Human alteration of the global nitrogen cycle: Sources and consequences. Ecological Applications 7: 737–750.
-
Vitousek PM, Mooney HA, Lubchenco J, and Melillo JM (1997a) Human domination of the earth’s ecosystems. Science 277: 494–499.
-
Wall DH and Virginia RA (1997) The world beneath our feet: Soil biodiversity and ecosystem functioning. In: Raven P and William TA (eds.) Nature and Human Society: The Quest for a Sustainable World, pp. 225–241. Washington, DC: National Academy of Sciences Press.