Apa yang dimaksud dengan ekosistem?

Ekosistem

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.

Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada.

Ekosistem merupakan suatu satuan fungsional dasar yang menyangkut proses interaksi organisme hidup dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan biotik (makhluk hidup) maupun abiotik (non makhluk hidup). Sebagai suatu sistem, di dalam suatu ekosistem selalu dijumpai proses interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya, antara lain dapat berupa adanya aliran energi, rantai makanan, siklus biogeokimiawi, perkembangan, dan pengendalian.

Ekosistem juga dapat didefinisikan sebagai suatu satuan lingkungan yang melibatkan unsur-unsur biotik (jenis-jenis makhluk) dan faktor-faktor fisik (iklim, air, dan tanah) serta kimia (keasaman dan salinitas) yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Gatra yang dapat digunakan sebagai ciri keseutuhan ekosistem adalah energetika (taraf trofi atau makanan, produsen, konsumen, dan redusen), pendauran hara (peran pelaksana taraf trofi), dan produktivitas (hasil keseluruhan sistem).

Jika dilihat komponen biotanya, jenis yang dapat hidup dalam ekosistem ditentukan oleh hubungannya dengan jenis lain yang tinggal dalam ekosistem tersebut. Selain itu keberadaannya ditentukan juga oleh keseluruhan jenis dan faktor-faktor fisik serta kimia yang menyusun ekosistem tersebut.

Berbagai konsep ekosistem pada dasarnya sudah mulai dirintis oleh beberapa pakar ekologi. Pada tahun 1877, Karl Mobius (Jerman) menggunakan istilah biocoenosis . Kemudian pada tahun 1887, S.A.Forbes (Amerika) menggunakan istilah mikrokosmos . Di Rusia pada mulanya lebih banyak digunakan istilah biocoenosis , ataupun geobiocoenosis . Istilah ekosistem mula-mula diperkenalkan oleh seorang pakar ekologi dari Inggris, A.G.Tansley , pada tahun 1935. Pada akhirnya istilah ekosistem lebih banyak digunakan dan dapat diterima secara luas sampai sekarang.

Ekosistem

STRUKTUR EKOSISTEM


Bila kita memasuki suatu ekosistem, baik ekosistem daratan maupun perairan, akan dijumpai adanya dua macam organisme hidup yang merupakan komponen biotik ekosistem. Kedua macam komponen biotik tersebut adalah autotrofik dan heterotrofik .

  • Autotrofik , terdiri atas organisme yang mampu menghasilkan (energi) makanan dari bahan-bahan anorganik dengan proses fotosintesis ataupun kemosintesis. Organisme ini tergolong mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Organisme ini sering disebut produsen.

  • Heterotrofik , terdiri atas organisme yang menggunakan, mengubah atau memecah bahan organik kompleks yang telah ada yang dihasilkan oleh komponen autotrofik. Organisme ini termasuk golongan konsumen , baik makrokonsumen maupun mikrokonsumen.

Secara struktural ekosistem mempunyai enam komponen sebagai berikut:

  1. Bahan anorganik yang meliputi C, N, CO2, H2O, dan lain-lain. Bahan-bahan ini akan mengalami daur ulang.

  2. Bahan organik yang meliputi karbohidrat, lemak, protein, bahan humus, dan lain-lain. Bahan-bahan organik ini merupakan penghubung antara komponen biotik dan abiotik.

  3. Kondisi iklim yang meliputi faktor-faktor iklim, misalnya angin, curah hujan, dan suhu.

  4. Produsen adalah organisme-organisme autotrof, terutama tumbuhan berhijau daun (berklorofil). Organisme-organisme ini mampu hidup hanya dengan bahan anorganik, karena mampu menghasilkan energi makanan sendiri, misalnya dengan fotosistesis. Selain tumbuhan berklorofil, juga ada bakteri kemosintetik yang mampu menghasilkan energi kimia melalui reaksi kimia. Tetapi peranan bakteri kemosintetik ini tidak begitu besar jika dibandingkan dengan tumbuhan fotosintetik.

  5. Makrokonsumen adalah organisme heterotrof, terutama hewan-hewan seperti kambing, ular, serangga, dan udang. Organisme ini hidupnya tergantung pada organisme lain, dan hidup dengan memakan materi organik.

  6. Mikrokonsumen adalah organisme-organisme heterotrof, saprotrof, dan osmotrof, terutama bakteri dan fungi. Mereka inilah yang memecah materi organik yang berupa sampah dan bangkai, menguraikannya sehingga terurai menjadi unsur-unsurnya (bahan anorganik). Kelompok ini juga disebut sebagai organisme pengurai atau dekomposer .

Komponen-komponen 1, 2, dan 3, merupakan komponen abiotik/ nonbiotik, atau komponen yang tidak hidup, sedangkan komponen- komponen 4, 5, 6, merupakan komponen yang hidup atau komponen biotik.

Secara fungsional ekosistem dapat dipelajari menurut enam proses yang berlangsung di dalamnya, yaitu:

  • Lintasan atau aliran energi.
  • Rantai makanan.
  • Pola keragaman berdasar waktu dan ruang.
  • Daur ulang (siklus) biogeokimiawi.
  • Perkembangan dan evolusi.
  • Pengendalian atau sibernetika.

Konsep ekosistem merupakan konsep yang luas, yang merupakan konsep dasar dalam ekologi. Konsep ini menekankan pada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara organisme hidup dengan lingkungannya yang tidak hidup.

Setiap ekosistem di dunia ini mempunyai struktur umum yang sama, yaitu adanya enam komponen seperti tersebut di atas, dan adanya interaksi antarkomponen-komponen tersebut. Jadi baik itu ekosistem alami (daratan, perairan) maupun ekosistem buatan (pertanian, perkebunan), semuanya mempunyai kesamaan.

Sering terjadi bahwa proses autotrofik dan heterotrofik, serta organisme yang bertanggung jawab atas berbagai proses tersebut terpisah (secara tidak sempurna), baik menurut ruang maupun waktu. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa di hutan, proses autotrofik, yaitu fotosintesis, lebih banyak terjadi di bagian kanopi; sedangkan proses heterotrofik lebih banyak terjadi di permukaan lantai hutan (hal ini terpisah berdasar ruang). Proses autotrofik juga terjadi pada waktu siang hari, dan proses heterotrofik dapat terjadi baik di siang hari maupun malam hari (terpisah berdasar waktu).

Adanya pemisahan tersebut juga dapat dilihat pada ekosistem perairan. Pada ekosistem perairan, lapisan permukaan yang dapat ditembus oleh sinar matahari merupakan lapisan autotrofik. Dalam lapisan ini proses autotrofik adalah dominan. Lapisan perairan di bawahnya yang tak tertembus sinar matahari merupakan lapisan heterotrofik. Di dalam lapisan ini berlangsung proses heterotrofik.

Dengan adanya pemisahan berdasarkan ruang dan waktu tersebut, lintasan energi juga dibedakan menjadi dua yaitu:

  • Lintasan merumput ( grazing circuit ), meliputi proses yang melalui konsumsi langsung terhadap tumbuhan hidup atau bagian tumbuhan hidup, ataupun organisme hidup yang lain.

  • Lintasan detritus organik ( organic detritus circuit ), meliputi akumulasi dan penguraian sampah serta bangkai.

Pada umumnya komponen abiotik merupakan pengendali organisme dalam melaksanakan peranannya di dalam ekosistem. Bahan-bahan anorganik sangat diperlukan oleh produsen untuk hidupnya. Bahan-bahan ini juga merupakan penyusun dari tubuh organisme, demikian juga bahan organik. Bahan organik sangat diperlukan oleh konsumen (makro maupun mikrokonsumen) sebagai sumber makanan. Produsen dengan proses fotosintesis adalah merupakan komponen penghasil energi kimia atau makanan. Merekalah yang menghasilkan energi makanan yang nantinya juga digunakan oleh konsumen.

Kemudian komponen mikrokonsumen atau pengurai bertanggung jawab untuk mengembalikan berbagai unsur kimia ke alam (tanah), sehingga nantinya dapat digunakan oleh produsen dan keberadaan ekosistem akan terjamin. Bilamana peran setiap komponen tersebut tidak dapat berjalan, kelangsungan ekosistem akan terancam. Demikian pula apabila peran tersebut berjalan pada kecepatan yang tidak semestinya, misalnya tersendat-sendat, keseimbangan di dalam ekosistem akan mudah terganggu.

Ekosistem

TIPE EKOSISTEM


Dalam mengenal berbagai tipe ekosistem, pada umumnya digunakan ciri komunitas yang paling menonjol. Untuk ekosistem daratan biasanya digunakan komunitas tumbuhan atau vegetasinya, karena wujud vegetasi merupakan pencerminan penampakan luar interaksi antara tumbuhan, hewan, dan lingkungannya.

Pada dasarnya di Indonesia terdapat empat kelompok ekosistem utama, yaitu :

1. Kelompok Ekosistem Bahari

Ekosistem bahari dapat dikelompokkan lagi ke dalam ekosistem yang lebih kecil lagi, yaitu: ekosistem laut dalam, pantai pasir dangkal, terumbu karang, pantai batu, dan pantai lumpur. Dalam setiap ekosistem pada ekosistem bahari ada perbedaan dalam komponen penyusunnya, baik biotik maupun abiotik.

2. Kelompok Ekosistem Darat Alami

Pada ekosistem darat alami di Indonesia terdapat tiga bentuk vegetasi utama, yaitu

  1. Vegetasi pamah (lowland vegetation)

    Vegetasi pamah merupakan bagian terbesar hutan dan mencakup kawasan yang paling luas di Indonesia, terletak pada ketinggian 0-1000 m. Vegetasi pamah terdiri dari vegetasi rawa dan vegetasi darat. Vegetasi rawa terdapat di tempat yang selalu tergenang air dan membentuk urutan yang menerus dari air terbuka sampai hutan campuran. Di Indonesia terdapat beberapa bentuk vegetasi rawa bergantung pada kedalaman, salinitas dan kualitas air, serta kondisi drainase dan banjir. Beberapa contoh vegetasi pamah adalah hutan bakau, hutan rawa air tawar, hutan tepi sungai, hutan rawa gambut, dan komunitas danau.

  2. Vegetasi pegunungan

    Vegetasi pegunungan sangat beraneka ragam dan sering menunjukkan pemintakatan yang jelas, sesuai dengan pemintakatan flora yang berlaku untuk semua kawasan tropik. Vegetasi pegunungan dapat diklasifikasi menjadi hutan pegunungan, padang rumput, vegetasi terbuka pada lereng berbatu, vegetasi rawa gambut dan danau, serta vegetasi alpin.

  3. Vegetasi monsun .

    Vegetasi monsun terdapat di daerah yang beriklim kering musiman dengan Q > 33,3 % dan evapotranspirasi melebihi curah hujan yang umumnya kurang dari 1500 mm/tahun. Jumlah hari hujan selama empat bulan terkering berturut-turut kurang dari 20. Musim kemarau pendek sampai kemarau panjang terjadi pada pertengahan tahun. Beberapa contoh di antaranya adalah hutan monsun, savana, dan padang rumput.

3. Kelompok Ekosistem Suksesi

Ekosistem suksesi adalah ekosistem yang berkembang setelah terjadi perusakan terhadap ekosistem alami yang terjadi karena peristiwa alami maupun karena kegiatan manusia atau bila ekosistem buatan tidak dirawat lagi dan dibiarkan berkembang sendiri menurut kondisi alam setempat. Ekosistem ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekosistem suksesi primer dan ekosistem suksesi sekunder.

  • Ekosistem suksesi primer berkembang pada substrat baru seperti permukaan tanah terbuka yang ditinggalkan, tanah longsor atau pemapasan tanah untuk penambangan dan pembuatan jalan, timbunan abu atau lahar yang dimuntahkan letusan gunung berapi, timbunan tanah bekas galian, endapan pasir pantai dan endapan lumpur di tepi danau dan tepi sungai atau muara.

  • Ekosistem suksesi sekunder berkembang setelah ekosistem alami rusak total tetapi tidak terbentuk substrat baru yang diakibatkan khususnya oleh kegiatan manusia, seperti penebangan hutan habis-habisan dan pembakaran. Ekosistem ini juga dapat berkembang dari ekosistem buatan yang ditinggalkan yang kemudian berkembang secara alami seperti yang terjadi pada perladangan berpindah atau sistem rotasi yang meninggalkan lahan garapan untuk diberakan setelah dua atau tiga kali panen.

4. Kelompok Ekosistem Buatan

Di samping ekosistem alam ada ekosistem buatan manusia, seperti danau, hutan tanaman, dan agroekosistem (sawah tadah hujan, sawah irigasi, sawah surjan, sawah rawa, sawah pasang surut, kebun pekarangan, kolam, dan lain-lain). Sebagai gambaran dari ekosistem buatan akan diuraikan mengenai ekosistem kolam dan ekosistem padang rumput.

Sumber : Suyud Warno Utomo, Sutriyono, Reda Rizal, Pengertian, Ruang Lingkup Ekologi dan Ekosistem

Ekosistem


Soemarwoto (1983, dalam Irwan, 2007) menjelaskan pengertian ekosistem “Ekosistem merupakan konsep sentral dalam ekologi karena ekosistem (sistem ekologi) itu terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya”. “Ekosistem merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi, mengingat di dalamnya tercakup organisme dan komponen abiotik yang masing-masing saling memengaruhi. Ekosistem juga mempunyai ukuran yang beraneka ragam besarnya bergantung kepada tingkat organisasinya” (Resosoedarmo dkk., 1986 dalam Irwan, 2007, hlm. 22). Undang-Undang Lingkungan Hidup UULH 1982 menjelaskan tentang pengertian ekosistem sebagai berikut :

Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Perlu diketahui bahwa di dalam ekosistem terdapat makhluk hidup dan lingkungannya. Makhluk hidup terdiri dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar individu. Menurut UULH tahun 1982 bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda , daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Indriyanto, 2012).

Beberapa penulis lain telah menggunakan istilah yang berbeda, tetapi maksudnya sama dengan ekosistem. Misalnya pada tahun 1877 seorang ahli ekologi bangsa Jerman bernama Karl Mobius telah menulis tentang “Komunitas organisme dalam batu karang, dan menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem yaitu biocoenosis (biokoenosis)”. Pada tahun 1887 seorang ahli ekologi berkebangsaan Amerika bernama S.A. Forbes telah menulis karangan kuno tentang “Danau, dan menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem, yaitu microcosm (mikrokosm)”.

Pada periode tahun 1846-1903 seorang ahli ekologi bangsa Rusia bernama V.V. Dokuchaev dan seorang ahli ekologi hutan bangsa Rusia bernama G.F. Morozov “telah menaruh perhatian besar terhadap “Ekosistem dan menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem yaitu biokoenosis, sedangkan di kalangan ahli ekologi bangsa Rusia sering menggunakan istilah geobiokoenosis yang memiliki makna sama dengan ekosistem”. Demikian juga masih ada ahli-ahli ekologi lainnya yang telah menggunakan istilah yang mempunyai makna sama dengan ekosistem antara lain: Friederichs pada tahun 1930 menggunakan istilah “holocoen/holokoen”, Thienemann pada tahun 1939 menggunakan istilah “biosystem/biosistem”, Vernadsky pada tahun 1944 menggunakan istilah “bionert body” (Irwan, 2007). Indriyanto (2012) menyimpulkan beberapa definisi para ahli tentang ekosistem sebagai berikut :

  1. Ekosistem, yaitu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto, 1983). Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki komponen- komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik sehingga masing-masing komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik terwujudkan dalam rantai makanan dan jaring makanan yang pada setiap proses ini terjadi aliran energy dan siklus materi.

  2. Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara kompleks di dalamnya terdapat habitat, tumbuhan dan binatang yang dipertimbangkan sebagai unit kesatuan secara utuh, sehingga semuanya akan menjadi bagian mata rantai siklus materi dan aliran energy. (Woodbury, 1954 dalam Setiadi, 1983).

  3. Ekosistem, yaitu unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya tercakup organisme dan lingkungannya (lingkungan biotik dan abiotik) dan diantara keduanya saling memengaruhi (Odum, 1993). Ekosistem dikatakan sebagai suatu unit fungsional dasar dalam ekologi karena merupakan satuan terkecil yang memiliki komponen secara lengkap, memiliki relung ekologi secara lengkap, serta terdapat proses ekologi secara lengkap, sehingga di dalam unit ini siklus materi dan arus energy terjadi sesuai dengan kondisi ekosistemnya.

Komponen Ekosistem


Odum (1993, hlm. 5) mengatakan, “Semua ekosistem, baik ekosistem terestrial (daratan) maupun akuatik (perairan) terdiri atas komponen-komponen yang dapat dikelompokkan berdasarkan segi trofik atau nutrisi dan segi struktur dasar ekosistem”. Pengelompokan masing-masing komponen ekosistem dari tiap segi tersebut diuraikan di bawah ini.
Gopal dan Bhardwaj (1979, dalam Irwan, 2007, hlm 27) “Berdasarkan atas segi struktur dasar ekosistem, maka komponen ekosistem terdiri atas dua jenis sebagai berikut :

  1. Komponen biotik (komponen makhluk hidup), misalnya binatang, tetumbuhan, dan mikrobiologi.

  2. Komponen abiotik (komponen benda mati), misalnya air, udara, tanah dan energi”.

2 Likes

Odum, 1996 (Rangkuti, 2017) mengatakan, “Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk dari proses reaksi timbal balik antar makhluk hidup dengan lingkungannya”. Sehingga ekosistem atau sistem ekologi merupakan pertukaran bahan – bahan antara bagian yang hidup dan tak hidup di dalam sistem.

Menurut Tansley, 1935 (Mulyadi, 2010) Ekosistem adalah hubungan tiimbal balik antara komponen biotik (tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba) dengan komponen abiotik (cahaya, udara, air, tanah) di alam, sebenarnya merupakan hubungan komponen yang membentuk suatu sistem”. Yang berarti bahwa baik dalam struktur maupun dalam fungsi komponen-komponen tadi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebagai konsekuensinya apabila salah satu komponen terganggu, maka komponen-komponen lainnya secara cepat atau lambat akan terpengaruhi.Sistem alam ini oleh Tansley disebutkannya sistem ekologi atau ekosistem.

Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ekosistem merupakan hubungan timbal balik antara komponen biotik (yang terdiri dari makhluk hidup) dan abiotik (yang terdiri dari komponen tak hidup) yang saling mempengaruhi antara yang satu komponen dengan komponen yang lainnya, sehingga ekosistem tidak dapat dipisahkan.

Jenis Ekosistem

Nyabkken, 1992 (Rangkuti, 2017) menjelaskan, secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi dua, yaitu ekosistem darat dan ekosistem perairan sebagai berikut:

  • Ekosistem darat. Ekosistem darat merupakan ekosistem yang lingkungan fisiknya berupa daratan. Berdasarkan letak geografisnya, ekosistem darat dibedakan menjadi beberapa bioma, yaitu sebagai berikut:

    • Bioma gurun, yaitu bioma yang banyak dijumpai pada tumbuhan menahun berdaun, seperti duri, contohnya yaitu pada tumbuhan kaktus, atau pada tumbuhan tak berdaun dan memiliki akar panjang serta mempunyai jaringan untuk menyimpan air. Sedangkan hewan yang banyak dijumpai di bioma gurun yaitu rodentia, ular, kadal, katak, dan kalajengking.

    • Bioma padang rumput, tumbuhan yang terdapat pada bioma tersebut yaitu terdiri atas tumbuhan terna (herbs) dan rumput, sedangkan pada hewannya antara lain: kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.

    • Bioma hutan basah, pada bioma hutan basah sering terdapat tumbuhan khas yaitu, liana (rotan), kaktus, dan anggrek sebagai epifit, sedangkan pada hewannya antara lain, kera, burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.

    • Bioma hutan gugur, bioma ini, terdapat di daerah – daerah yang mengalami beberapa musim, seperti musim dingin, semi, panas, dan gugur, dan jenis pohon yang terdapat pada bioma hutan gugur ini tidak banyak, sekitar 10 sampai 20, dan tidak terlalu rapat, sedangkan hewan yang terdapat pada bioma hutan gugur ini antara lain, rusa, beruang, rubah, bajing, burung, pelatuk, dan rakoon.

    • Bioma taiga, merupakan hutan yang tersusun atas satu spesies, sepeti konifer, pinus, dan sejenisnya, pada bioma taiga terdapat semak dan tumbuhan basah, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan hewan yang terdapat pada bioma ini antara lain, moose, beruang hitam, ajag, dan burung – burung yang bermigrasi ke selatan pada musim gugur.

    • Bioma tundra, contoh tumbuhan yang dominan yang terdapat pada bioma tundra yaitu, sphagnum, liken, tumbuhan biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek, dan rumput, sehingga pada umumnya, tumbuhan yang terdapat pada bioma tundra ini merupakan tumbuhan yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin.

  • Ekosistem perairan. Ekosistem perairan ini dibedakan menjadi dua ekosistem, antara lain, ekosistem tawar dan ekosistem air laut sebagai berikut:

    • Ekosistem air tawar, merupakan ekosistem yang mempunyai variasi suhu yang tidak mencolok, penetrasi cahaya kurang, dan dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Tumbuhan yang banyak dijumpai pada ekosistem ini adalah tumbuhan jenis ganggang dan tumbuhan biji, sedangkan hewan yang terdapat pada ekosistem air tawar ini yaitu terdiri dari semua jenis filum pada hewan, dan organisme yang hidup di air tawar pada umumnya telah beradaptasi. Adaptasi pada organisme air tawar yaitu: Adaptasi tumbuhan dan adaptasi hewan. Ekosistem air tawar juga digolongkan menjadi dua, yaitu ekosistem air tawar tenang dan ekosistem air tawar mengalir.

    • Ekosistem laut, merupakan ekosistem yang habitat nya di laut (oseanik) dan berada pada kedalaman lebih dari 2000 m dari permukaan laut.

    • Ekosistem estuari (muara), merupakan ekosistem tempat bersatunya air sungai dengan air laut, sehingga menyebabkan ekosistem pada daerah estuari ini bersalinitas lebih rendah dari pada lautan terbuka.

    • Terumbu karang, merupakan ekosistem yang dangkal, dimana sinar matahari masih dapat masuk, sehingga terumbu karang di dominasi oleh jenis karang (koral) yang merupakan kelompok dari Cnidaria yang mensekresikan kalsium karbonat, sedangkan hewan yang hidup di terumbu karang ini memakan organisme mikroskopis dan sisa – sisa dari organisme lain.

    • Ekosistem pantai, dikenal sebagai salah satu jenis ekosistem yang unik, karena memilki beberapa unsur, yaitu tanah di daratan, air di lautan dan juga udara, letak ekosistem pantai berbatasan dengan ekosistem darat, ekosistem laut, dan daerah pasang surut, sehingga ekosistem pantai berada di tepi laut.

Terdapat beberapa satuan ekosistem yang termasuk kedalam ekosistem pantai, antara lain:

  • Ekositem terumbu karang (Corall Ref) merupakan ekosistem bawah laut yang terdiri dari sekelompok hewan karang yang memebentuk struktur kalsium karbonat (batu kapur), ekosistem batu karang ini menjadi habitat bagi hewan laut, sehingga terumbu karang dengan hutan mangrove dijadikan sebagai dua ekosistem yang sangat penting terhadap keanekaragaman hayati laut.

  • Ekosistem padang lamun (Sea Grass) merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, karena hamir di semua jenis substrat dapat ditumbuhi lamun, seperti substrat berlumpur sampai berbatu.

  • Ekosistem muara sungai (Estuari) merupakan daerah atau lingkungan perairan tempat bercampurnya air sungai dan air laut, sehingga adanya perubahan salinitas tersebut mengakibatkan organisme-organisme laut tidak dapat hidup di daerah estuari,

  • Ekosistem pantai berpasir (Sandu Beach) yaitu ekosistem yang pantainya berbentuk datar dan di dominasi oleh pasir yang sangat banyak, pada ekosistem pasir ini memiliki gerakan ombak yang berpengaruh terhadap ukuran partikel, pergerakan substrat, dan kandungan oksigen.

  • Ekosistem pantai berbatu (Rocky Beach) merupakan pantai yang dapat dijumpai pada daerah panati yang berbatu keras dan tahan terhadap benturan ombak laut.

  • Ekosistem hutan bakau (Mangrove) merupakan suatu kawasan ekosistem yang rumit, karena berkaitan dengan ekosistem darat dan ekosistem lepas pantai di luarnya, sehingga hutan mangrove ini dikatakan sebagai interface ecosystem, yang menghubungkan antara daratan dengan pedalaman serta daerah pesisir muara.

Ekosistem adalah komunitas organisme hidup yang berhubungan dengan lingkungannya, yang berinteraksi sebagai suatu sistem (Smith & Smith, 2012). Komponen biotik dan abiotik ini dihubungkan bersama melalui siklus nutrisi dan aliran energi (Odum, 1971). Energi memasuki ekosistem melalui fotosintesis yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Dengan memakan tumbuhan, hewan memainkan peran penting dalam pergerakan materi dan energi melalui ekosistem. Binatang juga mempengaruhi jumlah tanaman dan biomassa mikroba yang ada. Dengan memecah bahan organik yang telah mati, pengurai melepaskan karbon kembali ke atmosfer dan memfasilitasi siklus hara dengan mengubah nutrisi yang disimpan dalam biomassa dari organisme yang mati kembali ke bentuk yang dapat segera digunakan oleh tanaman dan mikroba lainnya (Chapin dkk, 2002).

Faktor Biotik dan Faktor Abiotik didalam Ekosistem

Gambar 1. Faktor Biotik dan Faktor Abiotik didalam Ekosistem

Ekosistem dikendalikan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti iklim, bahan induk yang membentuk tanah dan topografi, mengontrol keseluruhan struktur suatu ekosistem tetapi tidak dipengaruhi oleh ekosistem itu sendiri (Chapin dkk, 2002). Tidak seperti faktor eksternal, faktor internal dikendalikan, misalnya, dekomposisi, persaingan akar, naungan, gangguan, suksesi, dan jenis spesies yang ada.

Definisi ekosistem mungkin memiliki perbedaan di antara ilmuwan, tetapi umumnya semua memiliki tiga sifat umum yang mencakup keberadaan (1) komponen biotik dan (2) komponen abiotik dan (3) interaksinya. Komponen biotik ekosistem umumnya dianggap melibatkan komunitas organisme, dan komponen abiotik mencakup lingkungan kimia dan fisik organisme. Interaksi, yang paling sering diidentifikasi, adalah yang terkait dengan (1) rantai makanan dan dinamika trofik serta (2) siklus materi, terutama nutrisi. Secara lebih umum, interaksi melibatkan aliran energi, materi, dan informasi.

Sejarah Ekosistem


Pada tahun 1935, Sir Arthur Tansley mempresentasikan gagasan bahwa ahli ekologi perlu mempertimbangkan ‘keseluruhan sistem’, termasuk organisme dan faktor fisik (materi), dimana unsur-unsur tersebut tidak dapat dipisahkan atau dilihat secara terpisah. Dengan menyarankan bahwa ekosistem itu dinamis, sistem yang saling berinteraksi, konsep ekosistem Tansley mengubah pandangan ekologi modern. Hal ini mengarah langsung pada pertimbangan aliran energi melalui ekosistem dan terobosan-terobosannya. Karya R. L. Lindeman, pada tahun 1942, merupakan salah satu penyelidikan formal pertama terkait fungsi ekosistem, dengan obyek penelitiannya adalah danau tua, Cedar Creek Bog, di Minnesota. Terinspirasi oleh karya C.Elton, Lindeman berfokus pada hubungan trofik (yaitu, makan) di dalam danau, mengelompokkan organisme di danau sesuai dengan posisinya dalam jaring makanan. Untuk mempelajari siklus nutrisi dan efisiensi transfer energi antar tingkat trofik dari waktu ke waktu, Lindeman menganggap danau sebagai sistem komponen biotik dan abiotik yang terintegrasi. Dia mempertimbangkan bagaimana jejaring makanan danau dan proses yang mendorong fluks nutrisi mempengaruhi laju suksesi seluruh ekosistem danau. Pandangan tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan dari pandangan tradisional.

Sir Arthur Tansley

**Gambar 2.** Sir Arthur Tansley

Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, aliran energi di seluruh sistem dikuantifikasi dalam berbagai ekosistem oleh E. P. Odum dan J. M. Teal. Pada akhir 1960-an, Likens, Bormann, dan lainnya mengambil pendekatan ekosistem untuk mempelajari siklus biogeokimia dengan memanipulasi seluruh daerah aliran sungai di Hutan Hubbard Brook untuk menentukan apakah penebangan, pembakaran, atau penggunaan pestisida dan herbisida memiliki efek yang cukup besar pada hilangnya nutrisi dari ekosistem. Penelitian ini menetapkan preseden penting dalam mendemonstrasikan eksperimen pada skala ekosistem yang luas, dimana peneltian tersebut menjadi tonggak kemajuan signifikan yang terus mengembangkan penelitian-penelitian tentang ekosistem saat ini.

Proses Ekosistem


Proses didalam ekosistem dikendalikan oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal, juga disebut faktor keadaan, mengontrol keseluruhan struktur ekosistem dan cara kerja di dalamnya, tetapi tidak dipengaruhi oleh ekosistem itu sendiri. Faktor eksternal yang terpenting adalah iklim (Chapin dkk, 2002). Iklim menentukan bioma tempat ekosistem tertanam. Pola curah hujan dan suhu musiman mempengaruhi fotosintesis dan dengan demikian menentukan jumlah air dan energi yang tersedia untuk ekosistem.

Faktor eksternal lainnya adalah bahan material yang menentukan sifat tanah dalam suatu ekosistem, dan mempengaruhi pasokan unsur hara mineral. Topografi juga mengontrol proses ekosistem dengan mempengaruhi hal-hal seperti iklim mikro, perkembangan tanah dan pergerakan air melalui suatu sistem. Misalnya, ekosistem bisa sangat berbeda jika terletak di lembah, dibandingkan dengan ekosistem yang ada di lereng bukit yang curam, walaupun letaknya yang berdekatan.

Faktor eksternal lain yang berperan penting dalam berfungsinya ekosistem adalah waktu dan potensi biota. Demikian pula, kumpulan organisme yang berpotensi ada di suatu daerah juga dapat mempengaruhi ekosistem secara signifikan. Ekosistem dalam lingkungan serupa yang terletak di berbagai belahan dunia pada akhirnya dapat melakukan hal-hal yang sangat berbeda hanya karena mereka memiliki kumpulan spesies yang berbeda. Masuknya spesies non-asli dapat menyebabkan pergeseran substansial dalam fungsi ekosistem (Simberloff dkk., 2013).

Tidak seperti faktor eksternal, faktor internal dalam ekosistem tidak hanya mengontrol proses ekosistem tetapi juga dikendalikan olehnya. Akibatnya, mereka sering mengalami putaran umpan balik. Walaupun masukan sumber daya umumnya dikendalikan oleh proses eksternal, seperti iklim dan material bahan, ketersediaan sumber daya ini didalam ekosistem dikendalikan oleh faktor internal seperti dekomposisi, persaingan akar, atau naungan. Faktor lain seperti gangguan, suksesi atau jenis spesies yang ada juga merupakan faktor internal.

Pada prinsipnya, ekosistem terdiri dari dua proses utama, yaitu Pergerakan energi (energy flows) dan siklus material (cycle materials). Kedua proses ini saling terkait, tetapi tidak persis sama.

Gambar 3. Interaksi antara Unsur Biotik dan Unsur Abiotik

Berikut adalah contoh proses yang ada didalam ekosistem (Gambar 3). Energi memasuki sistem biologis sebagai energi cahaya, atau foton, yang kemudian diubah menjadi energi kimia didalam molekul organik melalui proses seluler, termasuk fotosintesis dan respirasi, dan akhirnya diubah menjadi energi panas. Tanpa masukan berkelanjutan dari energi matahari, sistem biologis akan segera mati.

Unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, atau fosfor memasuki organisme hidup dengan berbagai cara. Tumbuhan memperoleh unsur-unsur tersebut dari atmosfer, air, atau tanah sekitarnya. Hewan juga dapat memperoleh unsur-unsur tersebut secara langsung dari lingkungan fisik, tetapi biasanya hewan memperoleh unsur-unsur tersebut sebagai akibat dari memakan organisme lain. Unsur-unsur tersebut diubah secara biokimia di dalam tubuh organisme, dimana, cepat atau lambat, karena adanya proses ekskresi atau dekomposisi, unsur-unsur tersebut akan dikembalikan pada bentuk anorganik (yaitu, bahan anorganik seperti karbon, nitrogen, dan fosfor, alih-alih terikat pada unsur-unsur tersebut. di bahan organik), ketika tumbuhan atau hewan tersebut mati. Seringkali bakteri menyelesaikan proses ini, melalui proses yang disebut dekomposisi atau mineralisasi.

Selama penguraian, unsur-unsur tersebut tidak hancur atau hilang. Unsur-unsur tersebut berputar tanpa henti antara keadaan biotik dan abiotiknya di dalam ekosistem. Unsur-unsur yang pasokannya cenderung membatasi aktivitas biologis disebut nutrisi.

Transformasi Energi


Transformasi Energi didalam Ekosistem

Gambar 4. Transformasi Energi didalam Ekosistem

Transformasi energi dalam ekosistem dimulai pertama kali dari energi matahari. Energi dari matahari ditangkap melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida digabungkan dengan hidrogen (berasal dari pemecahan molekul air) untuk menghasilkan karbohidrat (notasi singkatnya adalah “CHO”). Energi disimpan dalam ikatan energi tinggi adenosin trifosfat, atau ATP.

Pernyataan “semua daging adalah rumput” adalah awal dari ekosistem, karena hampir semua energi yang tersedia untuk organisme berasal dari tumbuhan. Karena energi matahari dan tumbuhan, dengan proses fotosintesis, merupakan tahapan pertama dalam rantai produksi energi untuk makhluk hidup, tahapan ini disebut produksi primer. Herbivora memperoleh energinya dengan mengonsumsi tumbuhan, karnivora memakan herbivora, dan detritivora mengonsumsi kotoran dan bangkai kita semua.

Gambar diatas menggambarkan rantai makanan sederhana, di mana energi dari matahari, yang ditangkap oleh fotosintesis tanaman, mengalir dari tingkat trofik ke tingkat trofik lainnya melalui rantai makanan. Tingkat trofik terdiri dari organisme yang hidup dengan cara yang sama, yaitu semua produsen primer (tumbuhan), konsumen primer (herbivora), atau konsumen sekunder (karnivora). Jaringan mati dan produk limbah diproduksi di semua tingkatan. Detritivora, dan organisme pengurai, secara kolektif bertanggung jawab atas pemanfaatan semua “limbah” yang ada

Jumlah produksi primer sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, karena perbedaan jumlah radiasi matahari dan ketersediaan nutrisi dan air.

Pada prinsipnya, transfer energi melalui rantai makanan adalah tidak efisien. Hal ini mempunyai arti bahwa lebih sedikit energi yang tersedia di tingkat herbivora dibandingkan di tingkat produsen utama, dan energi yang tersedia lebih sedikit di tingkat karnivora, dan seterusnya. Hasilnya adalah piramida energi, dimana hal tersebut mempunyai implikasi penting dalam memahami jumlah kehidupan yang dapat didukung.

Fungsi Ekosistem



Gambar 5. Fungsi Ekosistem

Masyarakat sangat bergantung pada fungsi ekosistem, dimana ekosistem berperan penting dalam kehidupan masyarakat, baik terkait dengan fungsi ekonomi maupun fungsi estetika (Daily, 1997; Millennium Ecosystem Assessment, 2005). Fungsi ekosistem dihasilkan dari aktivitas kolektif organisme, proses kehidupannya (produksi, konsumsi, dan ekskresi) dan pengaruh aktivitas tersebut terhadap kondisi lingkungan.

Beberapa fungsi-fungsi ekosistem antara lain memproduksi makanan, menyediakan bahan bakar, menjaga siklus dan pemurnian air, serta menyediakan produk-produk lainnya yang dapat digunakan oleh manusia (Tabel 1). Permasalahannya adalah, manusia secara cepat mengubah ekosistem bumi dengan mengubah penggunaan lahan atau dengan memanen sumber daya hayati (penebangan hutan dan perikanan) (Vitousek et al., 1997a). Kira-kira 40% dari produksi primer bumi dialihkan untuk digunakan oleh manusia. Salah satu konsekuensi dari kegiatan ekonomi ini adalah peningkatan mendadak dalam tingkat perubahan keanekaragaman hayati yang menyebabkan punahnya beberapa spesies, dimana ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi diubah menjadi ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang rendah, misalnya perkebunan sawit (Millennium Ecosystem Assessment, 2005). Pola perubahan ekosistem ini telah menimbulkan kekhawatiran serius bagi fungsi dan stabilitas ekosistem global, mengingat ancaman akan semakin tingginya tingkat kehilangan keanekaragaman hayati.

Tabel 1 Contoh proses atau interaksi biologis dan fisik yang berkontribusi pada fungsi ekosistem yang penting

Proses Fungsi Ekosistem
Fotosintesis dan Serapan hara tanaman Produksi primer
Respirasi Mikroba dan Dinamika jejaring Makanan pada Tanah atau Sedimen Decomposition
Nitrifikasi, Denitrifikasi dan Fiksasi nitrogen Siklus Nitrogen
Transpirasi tanaman dan Aktivitas akar Siklus Hidrologi
Pelapukan mineral, Bioturbasi tanah dan Suksesi vegetasi Pembentukan Tanah
Interaksi antara predator dan mangsa Pengendalian Biologis

Produktivitas Ekosistem


Proses utama dari sebagian besar ekosistem adalah fotosintesis, penangkapan radiasi matahari, dan konversinya menjadi bentuk kimia yang tersimpan (biomassa). Tumbuhan membutuhkan sinar matahari, air, dan nutrisi penting untuk proses fotosintesis. Fotosintesis digabungkan dengan proses lainnya akan menghasilkan pertumbuhan tanaman, misalnya akumulasi biomassa. Produktivitas primer, perubahan biomassa tumbuhan per satuan luas dan waktu, merupakan indeks penting dari fungsi ekosistem. Produktivitas primer (sering disebut juga sebagai produktivitas ekosistem) berkaitan dengan keanekaragaman jenis tumbuhan serta keanekaragaman organisme (biota tanah) yang mempengaruhi ketersediaan sumber daya yang terbatas. Manusia bergantung pada produktivitas ekosistem sebagai basis pertanian, kehutanan, dan perikanan. Jadi, faktor-faktor yang mengubah produktivitas ekosistem (misalnya, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati) akan berpengaruh pada masyarakat dan manusia secara langsung.

Rumus Produktivitas Ekosistem

Gambar 6. Rumus Produktivitas Ekosistem

Ekosistem dengan tingkat produktivitas primer yang tinggi akan menghasilkan jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan iklim yang optimal. Tingkat produktivitas ekosistem terestrial tertinggi dapat dilihat di daerah tropis, di mana suhu dan kelembabannya sangat mendukung pertumbuhan tanaman sepanjang tahun. Sebaliknya, gurun pasir, yang memiliki keterbatasan air, memiliki produktivitas yang jauh lebih rendah, rata-rata kurang dari 10% dari sistem tropis.

Batasan Produktivitas Ekosistem

Prinsip dasar yang digunakan untuk menjelaskan variasi di antara ekosistem dalam produktivitasnya adalah Hukum Minimum Liebig. Justus Liebig merumuskan konsep ini ketika melakukan penelitian pendahuluan tentang nutrisi mineral tanaman di awal tahun 1800-an. Dia menemukan bahwa penambahan satu “faktor pembatas” ke tanah akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Setelah elemen ini cukup tersedia, elemen mineral lain harus dipasok dalam jumlah yang meningkat untuk merangsang peningkatan tambahan dalam pertumbuhan tanaman. Dari pengamatan ini, ia mengusulkan bahwa “faktor pembatas” bertanggung jawab untuk membatasi pertumbuhan atau reproduksi suatu organisme atau populasi.

Faktor pembatas antara lain faktor kimia (nutrisi yang merangsang pertumbuhan seperti nitrogen), faktor fisik seperti kelembaban, atau faktor biologis seperti keberadaan spesies yang bersaing. Dengan demikian, setiap perubahan dari faktor pembatas akan memiliki dampak yang besar pada fungsi ekosistem.

Ada banyak contoh di mana perubahan faktor pembatas mengubah fungsi ekosistem. Adanya peningkatan dalam jumlah nitrogen di lingkungan, dari penggunaan pupuk dan bahan bakar fosil, akan memiliki dampak yang signifikan pada laju fungsi ekosistem, karena nitrogen sering kali merupakan faktor pembatas utama dalam pertumbuhan tanaman pada ekosistem darat. Permasalahannya, manusia telah meningkatkan tingkat masukan nitrogen kedalam ekosistem sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan penyimpanan karbon dan penurunan keanekaragaman hayati (Vitousek et al., 1997b). Batasan produksi dalam ekosistem juga terkait dengan keseimbangan (rasio) elemen penting untuk pertumbuhan (C: N: P). Teori stoikiometri ekologi memprediksikan bahwa terdapat kendala multielemen pada interaksi ekologi, seperti aliran energi dalam jaring makanan, kompetisi, herbivora, dan pada proses ekologi itu sendiri (Sterner & Elser, 2002).

Apakah keragaman spesies tanaman dan produksi primer berhubungan?

Ahli ekologi mengumpulkan bukti, baik dengan percobaan di lapangan maupun di laboratorium, bahwa produktivitas primer ekosistem akan meningkat dengan meningkatnya keanekaragaman spesies tanaman. Dasar teoritis terkait kondisi tersebut berasal dari pemahaman tentang bagaimana membatasi sumber daya (air dan nutrisi) yang didistribusikan dalam ekosistem dan penghargaan atas keragaman sifat fisiologis atau ‘‘fungsional’’ organisme itu sendiri. Perbedaan antara spesies tanaman dalam hal kedalaman perakaran, fenologi (pertumbuhan musiman), laju fotosintesis, dan sifat fisiologis lainnya memungkinkan komunitas multispesies untuk lebih memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

Bukti bahwa komunitas tumbuhan yang beragam memperoleh produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem keragaman rendah ditunjukkan dalam pertanian tradisional (masukan rendah) di mana polikultur (penanaman multi spesies) sering kali memiliki hasil yang lebih tinggi daripada penanaman spesies tunggal (monokultur) (Gliessman, 1998).

Sebagai contoh, budidaya jagung (Zea mays L.) secara monokultur akan mempunyai produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan ketika ditanam secara polikultur, misalnya bersama kacang-kacangan (Vicia spp.). Tanaman kacang-kacangan tersebut akan membentuk hubungan simbiosis dengan bakteri yang ‘‘mengikat’’ nitrogen yang ada di udara (N2) menjadi bentuk anorganik (amonia, NH3) yang dapat digunakan oleh tanaman jagung. Nitrogen yang diikat oleh tanaman kacang-kacangan ini akan meningkatkan suplai keseluruhan faktor pembatas ke dalam tanah dan secara langsung akan meningkatkan pertumbuhan jagung. Asosiasi jagung-kacang-nitrogen, yang diberikan oleh bakteri pengikat, secara gratis, sering kali digantikan dalam pertanian intensif dengan menggunakan pupuk nitrogen anorganik. Walaupun dengan penggunaan input eksternal (pupuk), monokultur jagung dapat menghasilkan hasil yang lebih tinggi daripada polikultur, tetapi penggunaan pupuk nitrogen anorganik tersebut memiliki biaya lingkungan yang jauh lebih tinggi akibat produksi dan pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan untuk menghasilkan pupuk dan pestisida (Ma¨der et al., 2002). Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan merupakan sumber utama pencemaran air di permukaan dan air tanah.

Spesies Kunci


Spesies tertentu, yang disebut spesies kunci, memiliki pengaruh yang tidak proporsional (relatif terhadap biomassa mereka) pada fungsi ekosistem. Hilangnya spesies kunci akan menghasilkan efek berjenjang pada keanekaragaman dan fungsi ekosistem yang ada (Menge et al., 1994). Akibatnya, karena spesies kunci dapat mengontrol keanekaragaman ekosistem dan fungsi ekosistem, mereka dan habitat tempat mereka tinggal sering mendapat prioritas tinggi dalam rencana pengelolaan konservasi. Ada banyak studi yang terdokumentasi dengan baik tentang spesies kunci dan bagaimana mereka berinteraksi dengan fungsi ekosistem, misalnya, berang-berang laut Pasifik Utara, merupakan spesies kunci. Hal ini terjadi karena berang-berang laut memangsa bulu babi, dimana bulu babi tersebut yang memakan rumput laut. Dengan tidak adanya predator kunci (berang-berang laut Pasifik Utara), populasi bulu babi akan meningkat, sehingga hilangnya rumput laut, yang akibatnya, banyak sekali ikan dan spesies lain yang bergantung pada rumput laut akan ikut mati.

Siklus Nutrisi


Fungsi berkelanjutan dari setiap ekosistem membutuhkan sejumlah kecil spesies untuk mengembangkan hubungan yang rumit antara produsen, konsumen, dan pengurai yang mengatur aliran energi dan nutrisi. Produktivitas semua ekosistem bergantung pada siklus elemen penting. Pergerakan dan transformasi biologis bahan organik dan unsur hara dimediasi oleh biota, terutama yang ditemukan di tanah (Wall & Virginia, 1997). Oleh karena itu, perubahan keanekaragaman hayati ekosistem dapat mengubah siklus biogeokimia.

Siklus Nutrisi

Gambar 7. Siklus Nutrisi

Siklus biogeokimia dapat dikategorikan menjadi dua jenis: siklus global dan siklus lokal. Siklus global merupakan siklus yang berdampak pada lingkungan yang luas, misalnya siklus karbon, siklus nitrogen, siklus oksigen, dan siklus hidrogen. Sedangkan siklus lokal berdampak pada lingkungan yang jauh lebih sempit, misalnya siklus fosfor, siklus kalsium, dan siklus kalium.

Stabilitas Ekosistem

Ekosistem selalu bersifat dinamis. Ekosistem selalu mengalami perubahan dalam komposisi dan fungsi spesies sebagai tanggapan terhadap variasi iklim dan serangkaian gangguan. Kebakaran, banjir, kekeringan, dan peristiwa biologis seperti wabah patogen dan hama dapat ‘‘menekan’’ ekosistem dan mengubah kondisinya. Tiap-tiap ekosistem sangat bervariasi dalam tanggapannya terhadap adanya gangguan. Kemampuan ekosistem untuk menahan tekanan yang ada tanpa kehilangan fungsi (hambatan) atau dapat pulih dengan cepat dari gangguan (ketahanan) tersebut merupakan ciri ekosistem yang penting. Beberapa ekosistem tampak sangat stabil (mempunyai ketahanan tinggi) dan fungsinya sedikit dipengaruhi oleh adanya variasi faktor di luar sistem. Tetapi, banyak ekosistem, yang menunjukkan adanya penurunan dalam produktivitas dan keanekaragaman hayati ketika terganggu. Ekosistem ini dikategorikan sebagai ekosistem yang ‘‘rapuh’’ dan memiliki ketahanan yang rendah.

Apakah keanekaragaman mempengaruhi stabilitas fungsi ekosistem?

Hubungan antara stabilitas ekosistem dan keanekaragaman telah menjadi subyek peneltian yang menarik. Para ahli ekologi memberikan hipotesis bahwa ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi lebih tahan (mengalami lebih sedikit perubahan) dalam menanggapi tingkat gangguan tertentu dan juga akan menunjukkan tingkat pemulihan yang tinggi ketika mengalami gangguan (Folke et al., 1996 ).

Ada bukti eksperimental yang membuktikan hipotesis tersebut (Chapin et al., 1998). Keanekaragaman spesies yang lebih tinggi mempunyai arti bahwa struktur trofik (hubungan rantai makanan antar spesies) didalam ekosistem menjadi lebih kompleks, serta menyediakan jalur alternatif pada aliran energi di dalam dan di antara tingkat trofik (produsen, konsumen, dan pengurai). Jalur alternatif terkait transfer energi didalam ekosistem dapat meningkatkan ketahanan terhadap gangguan (hilangnya spesies). Naeem & Li (1997) menguji hipotesis tersebut dan menghasilkan temuan bahwa redundansi (banyak spesies dengan fungsi serupa dalam rantai makanan) akan menstabilkan fungsi ekosistem dengan cara menciptakan mikrokosmos eksperimental dengan jumlah spesies yang berbeda-beda di setiap kelompok fungsional. Dengan meningkatnya jumlah spesies di tingkat trofik, biomassa dan kepadatan replikasi komunitas menjadi lebih konsisten. Dengan demikian, komunitas dengan lebih banyak spesies lebih dapat diprediksi fungsinya (produksi biomassa) dan memiliki keandalan yang lebih tinggi, yaitu probabilitas bahwa ekosistem akan memberikan tingkat kinerja tertentu selama periode waktu tertentu. Sebaliknya, fungsi ekosistem dengan keanekaragaman rendah sangat rentan terhadap penurunan keanekaragaman hayati. Di ekosistem McMurdo Dry Valley Antartika, penurunan populasi nematoda tanah yang dominan, yaitu Scottnema lindsayae, diperkirakan menyebabkan penurunan 30% dalam fungsi siklus karbon tanah (Barrett et al., 2008).

Selain itu, keanekaragaman spesies yang lebih tinggi dapat mengurangi risiko invasi oleh spesies yang memiliki kapasitas untuk mengubah struktur atau fungsi ekosistem. Contohnya adalah ketahanan yang lebih tinggi dari sistem alami yang kaya spesies terhadap serangan hama dibandingkan dengan ekosistem pertanian dengan keanekaragaman rendah yang tumbuh di bawah kondisi lingkungan yang sama. Pengaturan spasial individu dalam suatu ekosistem dapat memengaruhi risiko mereka terhadap penyakit, predasi, atau konsumsi. Dalam sistem keanekaragaman yang tinggi, jarak rata-rata antara individu dari spesies yang sama, rata-rata lebih besar dibandingkan pada sistem dengan keanekaragaman rendah. Jarak antar individu yang lebih luas berperan dalam memperlambat pergerakan organisme patogen, yang akan membatasi terjadinya wabah hama yang mengubah kinerja ekosistem. Manfaat keanekaragaman hayati bagi fungsi ekosistem akan berlipat ganda karena proses produksi dan siklus hara digabungkan dengan interaksi biologis organisme.

Permasalahan utama dalam penelitian ekosistem adalah hubungan dasar antara keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem belum dapat diformalkan secara lebih lengkap, mengingat diperlukannya informasi yang lebih rinci tentang tingkat kritis (ambang batas) keanekaragaman yang terkait dengan fungsi ekosistem tertentu dan bagaimana kondisi lingkungan yang beroperasi dari waktu ke waktu mengubah hubungannya (Folke et al., 1996).

Referensi
  • Barrett JE, Virginia RA, Wall DH, and Adams BJ (2008) Decline in a dominant invertebrate species contributes to altered carbon cycling in a low-diversity soil ecosystem. Global Change Biology 14: 1734–1744.

  • Chapin III FS, Sala OE, Burke IC, et al. (1998) Ecosystem consequences of changing biodiversity. BioScience 48: 45–52.

  • Chapin, F. Stuart; Pamela A. Matson; Harold A. Mooney (2002). Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. New York: Springer. ISBN 978-0-387-95443-1.

  • Chelsea, MI: Sleeping Bear Press.

  • Daily GC (ed.) (1997) Nature’s SerVICES. Societal Dependence on Natural Ecosystems. Washington, DC: Island Press.

  • Folke C, Hollings CS, and Perrings C (1996) Biological diversity, ecosystems, and the human scale. Ecological Applications 6: 1018–1024.

  • Gleissman SR (1998) Agroecology: Ecological Processes in Sustainable Agriculture.

  • Ma¨der P, Fliebach A, Dubois D, Gunst L, Fried P, and Niggli U (2002) Soil fertility and biodiversity in organic farming. Science 296: 1694–1697.

  • Menge BA, Berlow EL, Blanchette CA, Navarrete SA, and Yamada SB (1994) The keystone species concept: Variation in interaction strength in a rocky intertidal habitat. Ecological Monographs 64: 249–286.

  • Millennium Ecosystem Assessment (2005) Ecosystems and Human Well-Being: BIODIVERSITY Synthesis. Washington, DC: World Resources Institute.

  • Naeem S and Li S (1997) Biodiversity enhances ecosystem reliability. Nature 390: 507–509.

  • Odum, Eugene P (1971). Fundamentals of Ecology (third ed.). New York: Saunders. ISBN 978-0-534-42066-6.

  • Simberloff, Daniel; Martin, Jean-Louis; Genovesi, Piero; Maris, Virginie; Wardle, David A.; Aronson, James; Courchamp, Franck; Galil, Bella; García-Berthou, Emili (2013). “Impacts of biological invasions: what’s what and the way forward”. Trends in Ecology & Evolution. 28 (1): 58–66. doi:10.1016/j.tree.2012.07.013.

  • Smith, Thomas M.; Robert Leo Smith (2012). Elements of Ecology (Eighth ed.). Boston: Benjamin Cummings. ISBN 978-0-321-73607-9.

  • Sterner RW and Elser JJ (2002) Ecological Stoichiometry: The Biology of Elements from Molecules to the Biosphere. Princeton, NJ: Princeton University Press.

  • Vitousek PM, Aber JD, Howarth RW, et al. (1997b) Human alteration of the global nitrogen cycle: Sources and consequences. Ecological Applications 7: 737–750.

  • Vitousek PM, Mooney HA, Lubchenco J, and Melillo JM (1997a) Human domination of the earth’s ecosystems. Science 277: 494–499.

  • Wall DH and Virginia RA (1997) The world beneath our feet: Soil biodiversity and ecosystem functioning. In: Raven P and William TA (eds.) Nature and Human Society: The Quest for a Sustainable World, pp. 225–241. Washington, DC: National Academy of Sciences Press.

3 Likes