Apa yang dimaksud dengan Edge Effect pada pertanian?

image

Edge Effect merupakan peningkatan pertumbuhan dan hasil yang terlihat pada tanaman yang tumbuh di tepi petak atau ladang.

Efek tepi adalah perbedaan dalam faktor biotik atau abiotik yang terjadi di perbatasan dari suatu fragmen habitat relatif terhadap zona inti habitat tersebut. Efek tepi dapat terlihat dari perubahan gradual mikroklimat serta pola vegetasi dari tepi hingga ke zona inti hutan. Efek tepi dapat mempengaruhi struktur, fungsi dan komposisi hutan, dan bahkan mengarah pada degradasi fragmen hutan. Semua daerah tepi sedikitnya memiliki dua kesamaan: pertukaran atau aliran energi, material, atau pergerakan organisme di perbatasan, dan perubahan dalam proses biofisik dan struktur dan komposisi ekosistem. Efek langsung dari terbentuknya tepi meliputi:

  1. gangguan fisik terhadap vegetasi dan tanah,
  2. perubahan gradien iklim lingkungan seperti cahaya, kecepatan angin, kelembaban,
  3. meningkatkan akses organisme, materi (pollen, biji, polutan) dan energi.

Semua daerah tepi ditandai dengan adanya perubahan gradien abiotik dan biotik yang memberikan efek secara langsung. Respon organisme terhadap keberadaan daerah tepi hutan menimbulkan dampak primer dan sekunder. Respon secara primer terjadi secara langsung pada daerah tepi. Di tepi hutan, respon primer meliputi kerusakan pohon dan vegetasi lainnya, gangguan lantai hutan dan tanah; siklus nutrisi dan dekomposisi. Selanjutnya, respon sekunder merupakan hubungan antara proses di daerah tepi hutan (seperti regenerasi, pertumbuhan, reproduksi, dan mortalitas) dan respon primer (seperti kepadatan pancang, tutupan tanah, dan ketinggian semak) dan komposisi spesies. Zona inti hutan tidak selalu dalam keadaan statis; area ini dapat meluas atau menyusut dari waktu ke waktu tergantung pada matriks hutan sekitarnya. Hal ini secara umum terjadi pada hutan yang terfragmentasi secara terus-menerus menjadi bentuk yang lebih kecil meliputi kuantitas dan kualitas pada zona inti hutan. Kuantitas zona inti hutan menurun seiring penurunan luasan hutan dan isolasi hutan. Kualitas hutan menurun sejalan penurunan luasan hutan yang mengakibatkan perubahan iklim mikro dan efek tepi .

Beberapa penelitian menyatakan bahwa fragmentasi dan degradasi habitat dapat berpengaruh terhadap komunitas burung. Konsekuensi dari fragmentasi habitat adalah terciptanya daerah ekoton yang dapat menyebabkan hadirnya efek tepi. Kehadiran efek tepi dalam sebuah ekosistem biasanya terjadi dalam bentuk perubahan komposisi spesies, kepadatan spesies, dan perubahan kondisi lingkungan. Namun demikian, kehadiran efek tepi tidak sepenuhnya merugikan, kehadiran efek tepi seringkali menciptakan habitat bagi spesies yang toleran terhadap daerah terbuka dan tertutup (Lidicker-Jr dan Koenig 1996). Menurut Mardiastuti (2015), efek tepi memerlihatkan kecenderungan keragaman dan kelimpahan individu burung yang tinggi di habitat ekoton.

Sebagian kawasan hutan di negara berkembang terutama di daerah tropis mengalami perubahan fungsi sehingga menjadi areal perternakan, pertanian, dan daerah pengembangan kota sejak beberapa dekade yang lalu. Akibatnya, hutan yang awalnya utuh kemudian menjadi kelompok-kelompok kecil kawasan hutan. Proses terbentuknya kelompok kecil kawasan hutan tersebut dapat dikategorikan sebagai fragmentasi habitat. Perubahan fungsi kawasan hutan tersebut, sayangnya, juga terjadi di kawasan konservasi, seperti taman nasional dan cagar alam.

Perubahan fungsi hutan di areal kawasan konservasi di Indonesia terjadi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan. Pembangunan jalan yang membelah Taman Nasional Kutai adalah salah satu contoh yang sangat nyata. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal dengan fungsi non-kehutanan di dalam kawasan konservasi memiliki dampak yang nyata bagi struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan yang ada. Hilangnya jenis-jenis pohon yang berakibat pada perubahan struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan merupakan salah satu dampak tersebut. Perubahan struktur dan komposisi tumbuhan ini pada akhirnya akan membentuk habitat tepi ( habitat edge ) atau yang dulu lebih dikenal dengan istilah ekoton. Kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi lingkungan di dalam hutan. Kondisi yang berbeda ini akan memiliki dampak ekologis terhadap tumbuhan, hewan maupun organisme lain. Dampak dari bertemunya dua kondisi lingkungan yang berbeda tersebut terhadap tumbuhan dan hewan dapat di sebut efek tepi ( edge effect ).

Istilah efek tepi pertama kali dikemukakan oleh Leopold untuk menggambarkan kecenderungan peningkatan keragaman jenis di bentang alam yang terfragmentasi. Namun dari hasil penelitian dalam beberapa dekade terakhir terungkap bahwa respon tumbuhan, satwa dan organisme lainnya cukup beragam. Situasi yang demikian telah membuat konsep efek tepi tersebut mulai berkembang. Respon tumbuhan dan hewan tidak hanya menunjukkan kecenderungan peningkatan keragaman jenis tetapi juga menunjukkan penurunan atau tanpa perubahan. Berdasarkan kecenderungan tersebut, membagi respon organisme menjadi tiga kelompok: respon positif jika parameter yang diamati seperti: kemelimpahan dan keragaman jenis meningkat di habitat tepi; respon negatif jika ada kecenderungan penurunan dari parameter di habitat tepi yang diamati; dan respon netral bila tidak ada perbedaan nilai dari parameter yang diamati baik di habitat tepi maupun di dalam hutan. Variasi respon ini mungkin sebabkan oleh beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, seperti: penggunaan metodologi yang tidak sama.

Meskipun pengaruh positif mungkin terjadi, namun Primack, seorang pakar biologi konservasi, menyebutkan bahwa organisme yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki kemungkinan untuk punah. Penelitian di Argentina pada tahun 1995 menunjukkan penurunan kemelimpahan jenis pohon yang memiliki diameter batang yang besar di hutan semi-arid. Hasil yang sama juga dibuktikan dari hasil penelitian pada tingkat pertumbuhan lumut (Bryophyta) yang ditumbuhkan di dalam pot yang diletakkan pada beberapa jarak dari tepi hutan boreal di Swedia. Dampak negatif serupa juga dijumpai pada hewan. Penelitian pengaruh efek tepi pada herpetofauna (reptil and amfibi) di Madagaskar yang dilakukan oleh Lehtinen dan tim penelitinya menunjukkan bahwa kelompok hewan tersebut terpengaruh oleh perubahan kondisi lingkungan di habitat tepi. Penelitian lain di Uganda melaporkan tingginya kerusakan lahan pertanian yang berbatasan dengan tepi hutan akibat aktivitas monyet liar.

Hasil-hasil temuan dari penelitian efek tepi di atas sesungguhnya memiliki implikasi bagi konservasi. Sikap kehati-hatian dalam mengambil kebijakan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan hutan harus berdasar pada kajian para peneliti biologi konservasi sehingga pengaruh efek tepi dapat diminimalisir. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terkait prinsip di atas, antara lain:

  • fragmen hutan yang berukuran kecil memiliki pengaruh efek tepi negatif yang lebih besar dibandingkan dengan fragmen hutan yang berukuran besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara luas fragmen hutan dengan keanekaragaman dan kemelimpahan jenis tumbuhan dan hewan. Seberapa kecil fragmen hutan yang dapat menunjang keanekaragaman hayati tergantung jenis tumbuhan atau hewan yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan di suatu wilayah.

  • bentuk fragmen hutan yang tersisa mempengaruhi intensitas dari pengaruh efek tepi terhadap tumbuhan dan satwa. Peneliti dari Australia, Williams dan Pearson, membuktikan adanya pengaruh bentuk fragmen hutan terhadap vertebrata (hewan bertulang belakang) endemik di bioregion Wet Tropics, Australia. Pengaruh bentuk ini terjadi jika fragmen hutan memiliki bentuk yang tidak beraturan dan daerah yang tidak terkena efek tepi berukuran kecil.

Situasi masalah yang dihadapi dalam perlindungan dan pengamanan hutan adalah gangguan kawasan. Jenis-jenis gangguan meliputi :

  1. Gangguan terhadap kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya
  2. Gangguan terhadap tanah hutan
  3. Gangguan terhadap tegakan hutan
  4. Gangguan terhadap hasil hutan
  5. Gangguan terhadap flora dan fauna yang dilindungi.

Gangguan keamanan hutan umumnya ditimbulkan oleh beberapa penyebab yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara terpisah, beberapa penyebab gangguan tersebut adalah : 1) manusia, 2) api, 3) hewan, 4) hama dan penyakit, dan 5) alam.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, gangguan kawasan yang kebanyakan terjadi pada kawasan taman nasional adalah gangguan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia seperti : illegal logging, perambahan, perburuan liar, penambangan tanpa ijin. Gangguan kawasan tersebut dapat mengancam keutuhan dan kelestarian kawasan taman nasional. Gangguan terhadap keutuhan suatu kawasan konservasi pada dasarnya akan mengikuti teori pengaruh tepi ( edge effect theory ).

Perubahan fungsi hutan di areal kawasan konservasi di Indonesia terjadi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan. Pembangunan jalan yang membelah Taman Nasional Kutai adalah salah satu contoh yang sangat nyata. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal dengan fungsi non-kehutanan di dalam kawasan konservasi memiliki dampak yang nyata bagi struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan yang ada. Hilangnya jenis-jenis pohon yang berakibat pada perubahan struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan merupakan salah satu dampak tersebut. Perubahan struktur dan komposisi tumbuhan ini pada akhirnya akan membentuk habitat tepi ( habitat edge ) atau yang dulu lebih dikenal dengan istilah ekoton. Kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi lingkungan di dalam hutan. Kondisi yang berbeda ini akan memiliki dampak ekologis terhadap tumbuhan, hewan maupun organisme lain. Dampak dari bertemunya dua kondisi lingkungan yang berbeda tersebut terhadap tumbuhan dan hewan dapat di sebut efek tepi ( edge effect ).

Berdasarkan teori pengaruh tepi menyatakan bahwa setiap aktivitas manusia dan perubahan lansekap akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies tertentu. Selain dirusak dalam arti yang sebenarnya, habitat-habitat yang semula luas tidak terpecah-pecah kini terbelah-belah menjadi beberapa bagian oleh jalan, lapangan, kota, dan berbagai pembangunan konstruksi yang dilakukan oleh manusia. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang atau terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Antara satu fragmen dengan lainnya seringkali terisolasi oleh bentang alam yang terdegradasi atau telah diubah. Seringkali pada bentang alam tersebut daerah tepinya mengalami serangkaian perubahan kondisi, yang dikenal dengan istilah efek tepi.

Efek tepi adalah perbedaan dalam faktor biotik atau abiotik yang terjadi di perbatasan dari suatu fragmen habitat relatif terhadap daerah interior habitat tersebut. Efek tepi dapat terlihat dari perubahan gradual mikroklimat serta pola vegetasi dari tepi hingga ke interior hutan. Efek tepi dapat mempengaruhi struktur, fungsi dan komposisi hutan, dan bahkan mengarah pada degradasi fragmen hutan

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu intern dan ekstern. Faktor-faktor intern yaitu : keadaan hutan, aparatur, sarana dan prasarana serta dana, sedangkan faktor ekstern berupa pengaruh pembangunan, keadaan sosial, ekonomi, sosial budaya, kesadaran masyarakat serta faktor politis.

Penempatan yang hati-hati dari kawasan yang disisihkan juga dapat merupakan strategi efektif untuk memelihara atau meningkatkan nilai-nilai sosial budaya. Merancang kawasan konservasi hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor penting yaitu ;

  1. Ukuran
    Semakin luas suatu zona konservasi maka semakin banyak habitat yang dilindungi sehingga jumlah jenis dan populasi yang terlindungi akan lebih banyak.

  2. Bentuk
    Bentuk kawasan konservasi pada umumnya dipilih dengan menekan besarnya efek tepi ( edge to area ). Bentuk kawasan yang membulat akan lebih menguntungkan, karena akan memiliki daerah pusat yang jauh dari tepi sehingga akan memiliki daya lindung lebih besar dibandingkan berbentuk persegi.

  3. Gradien ekosistem
    Jika mungkin gradien ekosistem harus dicakup dalam zona konservasi. Keberadaan beberapa spesies tergantung pada berbagai tipe hutan pada berbagai ketinggian atau tipe tanah. Memelihara kelengkapan gradie n dari suatu sungai sampai puncak gunung, sebagai contoh akan membantu keterkaitan/ kesinambungan habitat bagi jenis-jenis nomadik.

  4. Tata guna lahan yang berbatasan dengan kawasan konservas
    Untuk meningkatkan efektivitas suatu zona konservasi, lebih baik jika zona tersebut berbatasan dengan hutan-hutan yang dilindungi lainnya atau kawasan-kawasan dimana penutupan hutan akan dijaga (misal kawasan-kawasan yang dilindungi – KPA, KSA, atau hutan tangkapan air - HL). Pembukaan atau konversi hutan di sekitar kawasan konservasi akan memiliki dampak di dalam kawasan konservasi.

  5. Koridor
    Apabila mungkin, disarankan untuk menghubungkan zona-zona konservasi dengan koridor-koridor hutan-hutan yang tidak terganggu yang lebarnya 200-400 m. Hal ini akan memfasilitasi pergerakan dan dispersal (pemencaran) jenis-jenis ke seluruh wilayah konsesi. Dalam banyak kasus, kawasan-kawasan zona penyangga tepi sungai dapat membentuk koridor-koridor yang sesuai, tetapi jika sungai jarang ditemukan atau jika tidak terhubung dengan kawasan yang disisihkan untuk konservasi; maka koridor-koridor tambahan harus ditetapkan.

  6. Perwakilan ekosistem
    Semua formasi hutan yang ada di dalam konsesi harus diwakili dalam zona-zona konservasi termasuk kawasan yang biasanya ditebang.

Referensi :

Fardila, D. 2011. Efek Tepi Koridor Jalan Di Hutan Bukit Pohen, Cagar Alam Batukahu, Bali. Berk. Penel. Hayati: 17 (9–13). Jakarta.

Kuncoro, P. 2004. Aktivitas Harian Orangutan Kalimantan ( Pongo pygmaeus Linnaeus, 1760) Rehabilitan Di Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Timur. Skripsi. Universitas Udayana. Bali.

Mulyani YA, Haneda NF. 2010. Bird and arthropoda communities in fragmented plantation forest of Gunung Walat Education Forest (GWEF), Cibadak, Sukabumi. Working paper No. 27. Bogor (ID): Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Kampus IPB Darmaga.

Murcia C. 1995. Edge effects in fragmented forests: implications for conservation. TREE. 10 (2): 58-62.

1 Like