Apa yang dimaksud dengan dilema sosial atau social dilemma?

Dilema sosial

Dilema sosial atau social dilemma adalah situasi di mana sekelompok orang harus bekerja bersama untuk mencapai beberapa tujuan yang tidak dapat dengan mudah dipenuhi oleh satu orang. Namun, jika tujuan tercapai, semua anggota kelompok, bahkan mereka yang tidak membantu menuju tujuan tersebut, jug adapat menikmati manfaatnya.

1 Like

Dilema sosial merupakan situasi-situasi dalam mana setiap anggota dari sebuah kelompok memiliki insentif yang jelas dan tidak ambigu untuk sebuah pilihan yang —ketika pilihan itu dipilih oleh semua individu anggota kelompok— memberikan hasil yang lebih buruk bagi semua ketimbang yang akan mereka terima apabila tidak seorang pun dari mereka memilih pilihan tersebut. Apabila orang menyangkal keuntungan segera ( immediate benefit ) untuk masing-masing dirinya, justru hal ini menghasilkan kebaikan bersama khususnya dalam jangka panjang ( collective interest ) (Weiten, 1989). Contoh yang paling dikenal adalah dilema terdakwa ( prisnoers’ dilemma ) (Sarwono, 2005):

Dalam teori dilema terdakwa, diandaikan ada dua orang terdakwa yang sedang diperiksa oleh jaksa. Jaksa memberi tahu tentang konsekuensinya kalau mereka mengaku atau tidak mengaku. Kalau terdakwa A mengaku sedangkan terdakwa B tidak mengaku, A dapat dihukum 10 tahun penjara sedangkan B bebas. Akan tetapi, kalau A mengaku sementara B juga mengaku, keduanya hanya mendapat hukuman masing-masing satu tahun penjara.

Sebaliknyam kalau ada tidak mengaku dan B mengaku, B lah yang mendapat hukuman 10 tahun sedangkan A bebas. Sebaliknya, kalau kedua-duanya tidak mengaku, A dan B sama- sama mendapat hukuman 5 tahun penjara. Menghadapi kemungkinan-kemungkinan di atas, seharusnya kedua terdakwa sama-sama mengaku saja agar mereka sama-sama mendapat hukuman yang paling ringan. Akan tetapi, kalau terdakwa diperiksa dan tidak dapat saling berunding, kecenderungannya adalah bahwa mereka sama-sama tidak mau mengaku karena keduanya berpikir bahwa kalau hanya ia sendiri yang mengaku, ia akan mendapat hukuman paling berat sementara temannya akan bebas. Akibatnya, kedua terdakwa itu mendapat hukuman 5 tahun penjara (p. 131).

Pertanyaan utama yang hendak dijawab oleh penelitian dilema sosial adalah:

  • “ Bagaimanakah menjelaskan pengambilan keputusan dalam situasi-situasi sosial yang dilematis yang bervariasi dan kompleks? ” dan

  • “ Faktor-faktor apa sajakah yang mampu memprediksi tingkat pilihan yang mengutamakan diri sendiri dan tingkat pilihan yang mengutamakan/menguntungkan kelompok, serta dalam situasi yang bagaimana? ” (Dawes & Messick, 2000).

Jadi, tujuan utama penelitian dilema sosial adalah menghasilkan teori psikologis yang mampu menjawab pertanyaan tersebut, dengan ketentuan bahwa teori tersebut harus cukup fleksibel untuk diaplikasikan dalam konteks yang luas dan bervariasi, serta harus cukup konkret untuk membuat prediksi, dan validitasnya dapat diperiksa. Pertanyaan yang muncul dalam studi-studi tentang dilema sosial adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut masalah jenis-jenis dilema sosial, sebagaimana nampak pada skema dalam Gambar dibawah ini.

Jenis dilema sosial
Gambar Jenis dilema sosial Sumber: Beckenkamp (2006)

Inti dari skema pada Gambar diatas adalah bahwa terdapat taksonomi dalam riset-riset dilema sosial. Kemajuan riset dilema sosial diukur dari sejauh mana taksonomi ini dikukuhkan atau diperluas.

Dilihat dari tren jurnal ilmiah 15 tahun terakhir yang membahas dilema sosial, ditemukan adanya tiga kecenderungan perkembangan studi, yaitu :

  • Pertama adalah banyaknya studi yang melakukan penelitian dilema sosial antar kelompok. Studi-studi terawal tentang dilema sosial seperti dilema terdakwa dan tragedy of the common merupakan studi tentang dilema sosial yang dihadapi oleh individu dalam situasi interpersonal dan sebagai anggota kelompok. Namun demikian, penelitian telah menunjukkan bahwa adanya variabel identitas sosial telah memunculkan perilaku kerjasama dalam dilema sosial, namun efeknya terbatas demi keuntungan kelompok-dalam/ in-group (Dawes & Messick, 2000).

    Studi-studi ini telah berkembang ke arah dilema sosial antar kelompok, seperti dalam kasus perang dan perdamaian antar kelompok, mulai dari antar-kelompok kecil, antar-korporasi, sampai dengan antar-negara. Dalam buku Peace Psychology in Asia , misalnya, Montiel & Noor (2009) kerap menggunakan kasus-kasus dilema sosial dalam penjelasan pemikirannya tentang konflik dan perdamaian antar-kelompok.

  • Kedua, studi-studi dilema sosial mulai lebih intensif menyentuh bidang ilmu yang lebih luas. Terminologi dilema sosial banyak dikenal dan digunakan tidak hanya dalam bidang ekonomi, yang sering dijadikan contoh dalam studi-studi awal dilema sosial, tetapi juga sudah merambah ke bidang politik, hukum, kebijakan publik, dan sebagainya. Misalnya, dalam artikelnya, Puzzling Lack of a Social Dilemma (2008), Hinffors mengkaji teori sosial dilema sebagai salah satu teori utama yang pesat mempengaruhi pembentukan kebijakan pemerintah.

  • Ketiga , studi-studi tentang dilema sosial sudah mulai banyak meneliti peran afeksi atau emosi dalam pengambilan keputusan. Hertel & Fiedler (1994), misalnya, dalam penelitian eksperimentalnya memeriksa efek dari suasana hati dan priming evaluatif terhadap kerjasama dalam permainan dilema sosial. Batson, Batson, Todd, Brummett, Shaw & Aldeguer (1995) menulis sebuah artikel berjudul ” Empathy and the collective good: caring for one of the others in a social dilemma ”. Apabila sebelumnya studi-studi tentang dilema sosial sangat kognitif-rasionalistik dan dingin, studi-studi dilema sosial dewasa ini mulai memberi tempat yang lebih luas bagi peran afeksi, emosi, dan suasana hati.

Studi-studi tentang dilema sosial seringkali menggunakan metode eksperimental dengan permainan yang dilangsungkan dalam laboratorium. Permainan eksperimental merupakan sebuah situasi di mana partisipan memilih antara alternatif kooperatif dan defektif/non-kooperatif, atau antara alternatif kontribusi ( contributing, give some ) dan mengambil ( harvesting , take some ), yang menghasilkan konsekuensi bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Terdapat informasi matriks imbalan yang melukiskan hasil yang dapat diperoleh partisipan (misalnya, uang).

Menurut Rockenbach & Wolff (2009), ada tiga generasi eksperimen dilema sosial. Pada eksperimen generasi pertama, partisipan disajikan dengan permainan yang sudah ditentukan ( pre- specified ) yang penuh dengan berbagai aturan. Pada eksperimen generasi kedua, partisipan disajikan dua buah lingkungan yang berbeda, dan partisipan diminta untuk memilih salah satunya. Rockenbach dan Wolff mengembangkan eksperimen dilema sosial generasi ketiga, partisipan harus merancang dan meningkatkan mutu strateginya sendiri dalam permainan tertentu. Studi mereka merupakan studi pertama yang berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana orang membentuk lingkungan mereka untuk menyelesaikan dilema public good (benda/komoditas/layanan umum yang dapat diakses oleh semua orang) apabila orang diberikan diskresi penuh atas aturan permainan.

Hasil utama dari berbagai studi dilema sosial adalah bahwa terdapat sejumlah faktor yang menentukan apakah orang akan berkoorperasi atau defek dalam situasi dilema sosial. Faktor utama adalah struktur insentif. Selanjutnya, sejumlah faktor bersifat individual, seperti orientasi nilai (individualis / kompetitor / kooperator) dan derajat kepercayaan interpersonal; dan sejumlah faktor lagi bersifat kolektivistik (mengambil keputusan bukan sebagai individu tetapi sebagai anggota kelompok).

Studi-studi tentang dilema sosial sangat bersandar pada paradigma behavioristik dan menggunakan eksperimen yang sangat terkontrol. Metode eksperimen ini kurang tepat digunakan sehingga temuan- temuannya dalam taraf tertentu kurang meyakinkan. Eksperimen terkontrol kurang mempertimbangkan faktor ketidakpastian ( uncertainty ) karena semua insentif/imbalan ( payoff ) dilukiskan dengan sangat jelas dan terstruktur. Dalam kondisi seperti Indonesia sebagai negara kolektivistik, yang menurut riset-riset psikologi lintas budaya sangat tinggi toleransi terhadap ketidakpastian ( uncertainty ) dan menekankan interdependensi, maka generalisasi hasil studi-studi eksperimental tentang dilema sosial ini akan sangat terbatas. Ringkasnya, kultur dapat mempengaruhi persepsi dan interpretasi orang atas situasi dilema, serta aturan, norma, dan praktik apa yang akan diterapkan orang. Evaluasi lainnya adalah bahwa dilema sosial juga bersifat terikat-budaya. Suatu tingkah laku yang dianggap tepat dalam sebuah situasi pada sebuah kebudayaan mungkin dipandang tidak tepat dalam kultur yang lain. Sebagai contoh, kultur yang menekankan peningkatan diri ( self- enhancement ) berbeda pengaruhnya terhadap kecenderungan orang untuk berkoperasi dalam situasi dilema sosial bila dibandingkan dengan kultur yang menekankan transendensi diri.

Namun demikian, hal yang mengesankan dari teori dilema sosial ini adalah progresivitasnya dalam mencakup isu-isu baru dan mempertimbangkan faktor-faktor baru. Salah satu paradigma menarik tentang dilema sosial disampaikan oleh Ngan & Au (2008). Mereka mengingatkan kita bahwa tidak hanya seringkali ada sejumlah besar orang membuat keputusan mereka dalam situasi dilema sosial, tetapi juga, dalam banyak contoh, orang-orang melakukannya dalam titik-titik waktu yang berbeda.

Ngan & Au menyampaikan adanya step-level public-good dilemma dalam hal mana keputusan dibuat dalam empat kondisi, yaitu :

  • Pertama , partisipan tidak memiliki informasi apa-apa mengenai keputusan orang lain.

  • Kedua , partisipan diperbarui dengan informasi parsial.

  • Ketiga , partisipan mengetahui jumlah orang yang memilih keputusan bersama, tetapi tidak mengetahui jumlah orang yang memilih keputusan pribadi; atau, partisipan mengetahui jumlah orang yang memilih keputusan pribadi tetapi tidak mengetahui jumlah orang yang memilih keputusan bersama.

  • Keempat , partisipan diberikan informasi sepenuhnya. Dibandingkan dengan kondisi pertama, partisipan dalam kondisi kedua, ketiga, dan keempat menunda keputusan mereka. Jumlah kooperator (yang berkontribusi terhadap keputusan bersama) juga bervariasi antar kondisi.

Ngan & Au menjelaskan bagaimana kampanye untuk memecahkan problem sosial dapat mengambil manfaat dari informasi umpan balik. Hal ini dapat diperumit bila kita membedakan lagi antara umpan balik implisit dan umpan balik eksplisit.

Dalam era dewasa ini saat the social mengambil peran yang besar dalam ruang kehidupan publik dan privat (seperti ditandai oleh perkembangan pesat jejaring sosial seperti Facebook, YouTube, dan Twitter), maka studi-studi tentang dilema sosial, khususnya studi-studi pada awal perkembangan teori ini, menjadi memudar daya tariknya. Hal ini disebabkan karena studi-studi tersebut terlalu percaya diri mengasumsikan bahwa pengambilan keputusan dalam situasi dilema sosial utamanya didorong utamanya oleh konsen/perhatian terhadap konsekuensi. Nyatanya tidak demikian. Inilah kelemahan dari studi-studi dilema sosial. Variabel-variabel psikologi sosial lain, seperti interaksi sosial, pengaruh sosial, serta atribusi sosial, juga berpengaruh signifikan terhadap pilihan seseorang dalam situasi dilema sosial. Artinya adalah bahwa konteks sosial memainkan peran yang tidak boleh diabaikan dan hendaknya dipertimbangkan dalam perancangan maupun generalisasi hasil riset dilema sosial. Gifford (2008) juga menunjukkan faktor-faktor lain yang menentukan pengambilan keputusan dalam dilema sosial, yakni natur sumber daya (pengaruh geofisis), pengaruh tata kelola pemerintahan ( governance ) atau regulasi, relasi dengan pengambil keputusan yang lain, serta karakteristik dan motif pengambil keputusan itu sendiri; dengan catatan bahwa semua faktor tersebut dimediasikan oleh kesadaran akan dilema ( dilemma awareness ).

Kritik lainnya adalah bahwa studi-studi empiris tentang dilema sosial belum banyak menyelidiki perbedaan dilema sosial yang berskala lokal dan yang bersifat global. Kadangkala keputusan kooperasi atau defeksi memiliki efek lokal, misalnya, terhadap keberadaan kelompok atau terhadap komunitas lokal. Keputusan yang lain memiliki implikasi yang lebih luas dan memiliki efek yang mendunia, seperti keputusan dalam dilema sumber daya alam yang dapat berimplikasi pada iklim. Kebanyakan studi tentang keputusan dan tingkah laku dalam dilema sosial berasal dari eksperimen dan penelitian tentang dilema sumber daya umum lokal. Pertanyaan yang menantang dalam hal ini adalah: Sejauh manakah hasil studi tersebut dapat dijadikan prinsip teoretis yang dapat diaplikasikan pada dilema sosial skala global (misalnya perubahan iklim)?

Penelitian dilema sosial selanjutnya perlu mengambil objek-objek studi yang bersifat komparatif lintas tempat, lintas budaya, dan dilakukan dalam situasi sosial nyata. Misalnya, permasalahan psikologi transportasi sebagian dapat dipandang sebagai persoalan dilema sosial.

Kemacetan parah di Jakarta, ibukota, dapat diteliti dengan kerangka teoretis dilema sosial; kemudian diperbandingkan dengan dilema sosial transportasi publik yang misalnya berhasil dikelola di Bogota- Kolombia. Contoh-contoh lainnya adalah dilema sukarelawan, dilema orang yang terstigmatisasi (karena penyakit, karena sejarah keanggotaan dalam kelompok tertentu), dan sebagainya. Bila memungkinkan, lakukan lebih banyak studi longitudinal, studi kualitatif, sebab studi-studi sebelumnya bersifat jangka pendek ( short term ). Sebagaimana kita ketahui bahwa tindakan seperti mengambil ( harvesting ) ikan sebanyak-banyaknya tidak akan kelihatan efeknya dalam jangka pendek, melainkan konsekuensinya baru akan kelihatan dalam jangka waktu panjang. Studi-studi yang tekun dan bersifat longitudinal dan historis diperlukan dalam kasus-kasus seperti ini.

Sumber : Juneman, Tinjauan kritis terhadap teori aktivitas dan dilema sosial, Bina Nusantara University