Teori Deprivasi Relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atau kesenjangan atau kekurangan yang subyektif pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan kelompok lain.
Deprivasi bisa menimbulkan persepsi ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya ketidakpuasan. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari sana. Sepanjang kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, dan akan menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.
Pada teori deprivasi relatif, konsep ini yang dikemukakan oleh Stouffler menekankan pada pengalaman individu dan kelompok dalam kondisi kekurangan (deprivasi) dan “kurang beruntung”(disadvantage). Dan selanjutnya konsep ini dikembangkan oleh Davis dan didefinisikan sebagai presepsi terhadap adanya perbedaan (discrepancy) antara kenyataan dengan harapan atau keinginan ( Sarlito Wirawan,2010).
Teori Deprivasi Relatif merupakan salah satu teori klasik gerakan sosial dan politik. Dianggap klasik sebab teori ini lebih banyak menjelaskan gejala kolektif dari masyarakat agraris tradisonal. Teori Deprivasi Relatif banyak dipakai untuk menjelaskan gejala gerakan sosiologi politik masyarakat petani, nelayan, dan masyarakat agrarian lainnya. Dalam perkembangannya kemudian teori ini banyak pula dipakai untuk menjelaskan gejala crowd (kerumunan) di perkotaan: menjelaskan gerakan buruh, mahasiswa, dan masyarakat lainnya yang sedang mengalami kekecewaan terhadap realita yang ada.
Ted Robert Gurr, Denton E. Morrison dan James Davis menganggap tingkah laku agresif (khususnya tingkah laku agresif massa) timbul sebagai akibat adanya frustasi dalam masyarakat. Ketika dalam suatu masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara nilai yang diharapkan dengan nilai kapabilitas untuk menggapai harapan tadi maka masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kekecewaan dan frustasi.
Kondisi ini pada gilirannya akan memunculkan tindakan melawan atau memberontak, semakin besar tingkat kesenjangan yang terjadi, maka semakin besar pula kemungkinan munculnya tindakan melawan dan memberontak tersebut. Dan kesenjangan itu pula yang mengilhami timbulnya aksi-aksi massa. Perasaan deprivasi, dari ketidakpuasan atas situasi seseorang, bergantung apakahyang ingin dimiliki seseorang tersebut atas suatu hal.
Deprivasi Relatif dimaksud tidak hanya terbatas mengenai tujuan yang diberikan kepada seseorang, tetapi juga merasa bahwa dia mempunyai hak untuk mencapai tujuan tersebut, merasa pantas memperolehnya, paling tidak dibawah kondisi tertentu. Kondisi-kondisi demikianlah yang oleh Denton E. Morrison dinamakan sebagai investment.
Investment mendorong bagi timbulnya suatu legitimate expectation yang dapat dicapai atau diberikan melalui status atau peranan tertentu. Karenanya Denton berkeyakinan bahwa muncul dan tumbuhnya suatu gerakan sosial diakibatkan karena adanya pengelompokan dari orang-orang yang sedang mengalami Deprivasi Relatif.
Gerakan sosial bukan muncul dari orang hina dina, yang tidak berdayasama sekali, akan tetapi tumbuh dari kelompok sosial yang relatif “berpengalaman” yang menginginkan perubahan secara kontinyu. Hal senada dikemukakan oleh Eric Hoffer. Menurutnya orang yang hina dina hanyalah menawarkan pengaruh statis, bukan pengaruh dinamis, sehingga tidak terlihat adanya pengaruh potensial bagi tumbuhnya suatu gerakan sosial politik.
Di sisi lain, dengan bahasa yang agak berbeda namun secara substansial sama, James Davis mengemukakan bahwa terjadinya deprivasi relatif adalah karena adanya kesenjangan rasio antara “expected need satisfaction” dan “ actual need satisfaction”, sehingga suatu gerakan sosial atau revolusi biasanya terjadi karena dua kondisi, yakni pertama, adanya harapan dari kepuasan kebutuhan yang selain bertambah, dan kedua, tiba-tiba secara dramatik runtuh sehingga terjadi suatu kepuasan kebutuhan senyatanya. Kesenjangan yang terjadi dan meluas dari unsur tersebut menghasilkan frustasi umum yang merata yang pada akhirnya menghasilkan secara langsung agresi melawan pemerintah.
Sementara itu David F. Aberle menegaskan bahwa Deprivasi bukanlah suatu yang bersifat obyektif, melainkan terletak pada perbedaan antara apa yang diharapkan dengan aktualisasinya yang kurang menyenangkan. Dia mengelompokkan Deprivasi dalam 4 kelompok, yakni Deprivasi yang berkenaan dengan harta benda, status, tingkah laku, dankelayakan, dimana masing-masing dibagi lagi ke dalam Deprivasi pribadi dan Deprivasi kelompok.
Aberle mengesampingkan apa yang disebut Deprivasi pribadi, karena Deprivasi tersebut dianggapnya tidak terlalu penting bagi timbulnya suatu gerakan sosial jika tidak berdampak sosial secara luas. Berbeda halnya dengan Deprivasi kelompok yang merupakan unsur paling penting dalam suatu gerakan sosial politik. Karenanya, lanjut Aberle, suatu gerakan sosial-politik hanya akan terformatkan dengan menggunakan unsur kelompok deprivasi yang merujuk pada klasifikasi pribadi atau kelompok, dengan dilatarbelakangi unsur waktu (saat ini, akan datang dan masalampau).
Dia mencontohkan misalnya, pada suatu etnis tertentu yang sebelum kahadiran masyarakat asing tertentu begitu disegani dan mempunyai kedudukan terhormat, namun tiba-tiba terdesak setelah sekelompok lain, masyarakat asing, tersebut masuk dan mendominasi. Harapanya untuk berperan lebih besar mulai terdesak sehingga dapat menimbulkan deprivasi kelompok yang bersifat status (dan mungkin ada unsur harta benda atau kekayaannya pula).
Sementara itu, Ted Robert Gurr mengklarifikasikan Teori Deprivasi Relatif ke dalam tiga bagian utama, yakni:
-
Decremental Deprivation
Decremental Deprivation menunjukkan kondisi dalam nilai yang diharapkan yang terdapat di masyarakat dalam keadaan stabil, sementara pada keadaan yang bersamaan, nilai kapabilitas justru mengalami penurunan. Akibatnya kesenjangan yang ditimbulkan dengan menurunnya nilai kapabilitas menurut konsep ini akan menimbulkan perasaan kecewa dan frustasi. Dan perasaan semacam inilah yang pada gilirannya mampu berfungsi sebagai pangkal tolak bagi munculnya tindakan “melawan“ atau “memberontak”.
-
Aspiration Deprivation
Aspiration Deprivation merupakan penjabaran sisi lain dari konsep Deprivasi Relatif. Aspiration Deprivation menunjukkan kondisi dalam mana nilai yang diharapkan mengalami peningkatan, sementara pada saat yang bersamaan nilai kapabilitas berada dalam keadaan stastis tak berubah. Kesenjangan yang disebabkan naiknya harapan sementara kemampuan untuk mewujudkan harapan tersebut dalam keadaan tidak berubah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Gurr, menjadi penyebab munculnya perasaan kecewadan frustasi. Di mana dalam kondisi seperti ini tindakan melawan atau memberontak dapat muncul ke permukaan.
-
Progressive Deprivation
Progressive Deprivation menunjukkan suatu kondisi di mana nilai- nilai yang diharapkan yang terdapat di dalam suatu masyarakat mengalami kenaikkan antara kedua nilai ini untuk sementara waktu memang masih bisa ditoleransi berlangsung), akan tetapi pada waktu tertentu dimana nilai yang diharapkan masih mengalami kenaikan, maka nilai kapabilitas berhenti proses kenaikannya dan justru cenderung bergerak menurun. Adanya kenaikan nilai yang diharapkan secara kontinyu, dan berhentinya proses kenaikan nilai kapabilitas yang malahan disusul dengan gerak menurun, akan menimbulkan kesenjangan yang pada gilirannya dapat juga melahirkan perasaan kecewa atau frustasi.
Dan kondisi seperti ini, sebagaimana dua konsep Deprivasi Relatif sebelumnya, juga dapat menimbulkan tindakan melawan atau memberontak. Adanya berbagai macam kesenjangan terebut diatas, pada akhirnya telah melahirkan sikap sinis massa misalnya, terhadap pidato-pidato di mimbar yang hanyalah sekedar bersubstansikan nyanyian idealisme dari para penguasa atau penyelenggara negara. Sikap sinis tersebut muncul karena para pendengar sudah terlebih dahulu berprestasi bahwa apa yang dipidatokan dalam mimbar sudahlah pasti akan bergeser dengan apa yangakan terjadi di lapangan.