Depresi
Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan mental utama saat ini, yang mendapatkan perhatian serius. Orang yang mengalami depresi umumnya mengalami gangguan yang meliputi keadaan emosi, motivasi, fungsional, dan tingkah laku serta kognisi bercirikan ketidakberdayaan yang berlebihan (Kaplan et al., 1997). Depresi dapat terjadi pada anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Orang yang mengalami depresi akan memunculkan emosi-emosi yang negatif seperti rasa sedih, benci, iri, putus asa, kecemasan, ketakutan, dendam dan memiliki rasa bersalah yang dapat disertai dengan berbagai gejala fisik (Korff and Simon., 1996).
WHO (2012) menyatakan bahwa depresi berada pada urutan keempat penyakit paling sering di dunia. Depresi sering ditemui dalam kasus gangguan jiwa. Pravalensi pada wanita diperkirakan 10-25% dan laki-laki 5-12%. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, bunuh diri lebih sering terjadi pada laki-laki terutama usia muda dan usia tua (Nurmiati, 2005). Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia sebesar 1,7 per mil. Penderita gangguan jiwa berat paling banyak terdapat di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Tengah. Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggota rumah tangga gangguan jiwa berat sebesar 14,3% serta pada kelompok penduduk dengan indeks kepemilikan terbawah sebesar 19,5%. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia sebesar 6%. Provinsi dengan prevalensi gangguan emosional paling tinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (Depkes RI, 2013).
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk pengobatan depresi. Kadar neurotransmiter terutama norepinefrin dan serotonin dalam otak sangat berpengaruh dalam keadaan depresi dan gangguan Sistem Safar Pusat. Rendahnya kadar norepinefrin dan serotonin didalam otak yang menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi menyebabkan mania. Oleh karena itu antidepresan adalah obat yang mampu meningkatkan kadar norepinefrin dan serotonin di dalam otak (Prayitno, 2008).
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar (Depkes, 2007). Depresi dapat juga diartikan sebagai suatu periode terganggunya fungsi manusia yang dikaitkan dengan perasaan yang sedih serta gejala penyertanya yang mencakup hal-hal seperti perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, rasa lelah, murung, rasa tak berdaya, putus asa dan bunuh diri (Kaplan et al., 1997). Gambaran penting pada kelainan depresi mayor adalah keadaan klinis yang ditandai dengan satu atau lebih episode depresi tanpa riwayat mania, gabungan depresi mania atau hipomania. Kelainan distimik adalah gangguan suasana hati (mood) kronis yang melibatkan depresi suasana hati dan sekurangnya dua gejala yang lain, kelainan ini biasanya lebih ringan dibandingkan kelainan depresi mayor (Dipiro et al., 2008).
a) Epidemiologi
Gangguan depresi dapat terjadi pada semua umur dengan riwayat keluarga mengalami gangguan depresi, biasanya dimulai pada usia 15 dan 30 tahun. Usia paling awal dikatakan 5-6 tahun sampai 50 tahun dengan rerata pada usia 30 tahun. Gangguan depresif berat rata-rata dimulai pada usia 40 tahun. Epidemiologi ini tidak tergantung ras dan tak ada korelasinya dengan sosioekonomi. Perempuan juga dapat mengalami depresi pasca melahirkan anak.
Beberapa orang mengalami gangguan depresif musiman, di negara barat biasanya pada musim dingin. Gangguan depresif ada yang merupakan bagian gangguan bipolar (dua kutub: kutub yang satu gangguan depresif, kutub lainnya mania). Gangguan depresif berat adalah suatu gangguan dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15%, pada perempuan mungkin sampai 25%. Perempuan mempunyai kecenderungan dua kali lebih besar mengalami gangguan depresif daripada lakilaki karena masalah hormonal, dampak melahirkan, stressor dan pola perilaku yang dipelajari. Gangguan depresif sangat umum terjadi, setiap tahun lebih dari 17 juta orang Amerika mengalaminya (Depkes, 2007).
b) Patofisiologi
Depresi dapat disebabkan oleh penurunan jumlah neurotransmiter norepineprin (NE), serotonin (5-HT) dan dopamin (DA) dalam otak (Dipiro et al, 2008). Ketidakseimbangan kimiawi otak yang bertugas menjadi penerus komunikasi antar serabut saraf membuat tubuh menerima komunikasi secara salah dalam pikiran, perasaan, dan perilaku. Oleh karena itu pada terapi farmakologik maka terapinya adalah memperbaiki kerja neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan dopamin. Berbagai faktor psikologik memainkan peran terjadinya gangguan depresif. Kebanyakan gangguan depresif karena faktor psikologik terjadi pada gangguan depresif ringan dan sedang, terutama gangguan depresif reaktif. Gangguan depresif reaktif biasanya didiagnosis sebagai gangguan penyesuaian diri selama masa pengobatan (Depkes, 2007) .
c) Gejala
Depkes (2007) menyatakan bahwa gejala gangguan depresif berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya, dipengaruhi juga oleh beratnya gejala. Gangguan depresif mempengaruhi pola pikir, perasaan, dan perilaku seseorang serta kesehatan fisiknya. Gangguan depresif tidak mempunyai simptom fisik yang sama dan pasti pada satu orang dan bervariasi dari satu orang ke orang lain. Keluhan yang banyak ditampilkan adalah sakit, nyeri bagian atau seluruh tubuh, keluhan pada sistem pencernaan. Kebanyakan gejala dikarenakan penderita mengalami stres yang besar, kekuatiran dan kecemasan terkait dengan gangguan depresifnya. Simptom dapat digolongkan dalam kelompok terkait perubahan dalam cara pikir, perasaan, dan perilaku.
Gejala fisik yang biasanya muncul adalah kelelahan, nyeri (terutama sakit kepala), gangguan tidur (sulit tidur, terbangun di malam hari), gangguan nafsu makan, keluhan pada sistem pencernaan, keluhan pada sistem kardiovaskuler (terutama palpilasi) dan hilangnya gairah seksual (Teter et al., 2007). Menurut Sukandar et al (2009) gejala intelektual atau kognitif, meliputi : penurunan kemampuan untuk konsentrasi, ingatan yang lemah terhadap kejadian yang baru terjadi, kebingungan, dan ketidakyakinan. Gejala psikomotorik yang biasanya muncul yaitu retardasi psikomotorik (perlambatan gerakan fisik, proses berpikir, dan bicara) atau agitasi psikomotor.
d) Penatalaksanaan Terapi
Tujuan terapi depresi adalah untuk meminimalkan efek samping, mengurangi gejala, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi dan mencegah episode lebih lanjut (Sukandar et al., 2009). Depkes (2007) menyatakan bahwa penderita mengalami gangguan depresif berat, dan gejalanya sangat membuat tidak berdaya maka perlu diketahui bahwa anti depresan tidak menyembuhkan gangguan depresif, tetapi mengurangi sampai menghilangkan gejala. Ada 3 fase pengobatan gangguan depresif yaitu:
-
Fase akut bertujuan untuk meredakan gejala.
-
Fase kelanjutan untuk mencegah relaps.
-
Fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren. (Kupfer, 1991)
e) Terapi non farmakologi
- Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi pengembangan yang digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan-keluhan serta mencegah kambuhnya gangguan pola perilaku maladatik. Teknik psikoterapi tersusun seperti teori terapi tingkah laku, terapi interpersonal dan terapi untuk pemecahan sebuah masalah. Dalam fase akut terapi efektif dan dapat menunda terjadinya kekambuhan selama menjalani terapi lanjutan pada depresi ringan atau sedang (Depkes, 2007). Pasien penderita depresi major parah dan atau dengan psikotik tidak direkomendasikan untuk menggunakan psikoterapi. Psikoterapi adalah pilihan utama penderita depresi ringan atau sedang (Teter et al., 2007)
- Electro Convulsive Theraphy (ECT )
Depkes RI (2007) menyatakan ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Terapi ECT terdiri dari 6 – 12 terapi dan tergantung dengan tingkat keparahan pasien. Terapi ini dilakukan 2 atau 3 kali dalam seminggu dan sebaiknya terapi dilakukan oleh psikiater yang berpengalaman (Mann, 2005).
Pada penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek. Terapi antidepresi yang pasti dengan obat atau kejang listrik (ECT) membutuhkan beberapa minggu atau lebih lama dan tidak dilakukan dalam UGD. Namun demikian, agitasi, ansietas, dan insomnia dapat diobati (Kaplan et al., 1997).
Referensi
http://eprints.ums.ac.id/40571/5/BAB%20I.pdf