Apa yang dimaksud dengan demokrasi konstitusional ?

Demokrasi konstitusional

Demokrasi konstitusional adalah kekuasaan pemerintahannya terbatas dan tidak diperkenankan banyak campur tangan dan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi.

Apa yang dimaksud dengan demokrasi konstitusional ?

Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang – wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutional government). Jadi, constitutional government sama dengan limited government atau restrained government.

Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi pernah dirumuskan oleh seorang ahli sejarah Inggris, Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian menjadi termasyur bunyinya sebagai berikut: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan yang tak terbatas pasti akan mdenyalahgunakannya).

Pada waktu demokrasi konstitusional muncul sebagai suatu program dan sistem politik yang konkrit, yaitu pada akhir abad ke-19, dianggap bahwa pembatasan atas kekuasaan negara sebaiknya diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis, yang dengan tegas menjamin hak-hak azasi dari warga negara. Disamping itu kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara menyerahkannya kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam tangan satu orang atau satu badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Rechtsstaat (Negara Hukum) dan Rule of Law.

Biarpun demokrasi baru pada akhir abad ke-19 mencapai wujud yang konkrit, tetapi dia sebenarnya sudah mulai berkembang di Eropa Barat dalam abad ke-15 dan ke-16. Maka dari itu wajah dari demokrasi abad ke-19 menonjolkan beberapa azas yang dengan susah payah telah dimenangkannya, seperti misalnya kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wenang baik di bidang agama, maupun di bidang pemikiran serta di bidang politik. Jaminan terhadap hak-hak azasi manusia dianggap paling penting. Dalam rangka ini negara hanya dapat dilihat manfaatnya sebagai Penjaga Malam (Nachtwachtersstaat) yang hanya dibenarkan campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batas-batas yang sangat sempit.

Demokrasi tidak merupakan sesuatu yang statis, dan dalam abad ke-20, terutama sesudah Perang Dunia II negara demokratis telah melepaskan pandangan bahwa peranan negara hanya terbatas pada mengurus kepentingan “bersama”. Sekarang dianggap bahwa negara turut bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan warga negaranya. Gagasan ini dituangkan dalam konsep mengenai Welfare Satate (Negara Kesejahteraan) atau Social Service State. Demokrasi dalam abad ke-20 tidak lagi membatasi diri pada aspek politik saja seperti dalam abad ke-19, tetapi meluas mencakup juga segi-segi ekonomi sehingga demokrasi menjadi demokrasi ekonomis. Perkembangan ini telah terjadi secara pragmatis sebagai hasil dari usaha mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam abad ke-20. Lagi pula perkembangan ini telah terlaksana secara evolusioner.

Sumber

Demokrasi Konstitusional


Latar belakang Mahfud MD menggagas pemikiran tentang demokrasi konstitusional di Indonesia adalah dikarenakan semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menyebutkan dengan tegas bahwa demokrasi merupakan salah satu asas negaranya yang paling fundamental. Tetapi di dalam kenyataannya, tidak semua konstitusi melahirkan sistem yang demokratis. Bahkan konstitusi yang sama bisa melahirkan sistem politik yang berbeda (demokratis dan otoriter) pada waktu atau periode yang berbeda. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS 1950 serta UUD 1945 pada awal Orde Baru dapat melahirkan konfigurasi politik yang sama, yakni demokratis. Tetapi UUD 1945 yang berlaku pada periode-periode yang berbeda ternyata melahirkan konfigurasi politik yang berbeda-beda pula. Sepanjang pemerintahan Orde Lama yang berdasarkan UUD 1945 dengan Demokrasi Terpimpin yang lahir adalah pemerintahan yang otoriter. Orde Baru yang juga menggunakan UUD 1945 pada awalnya menampilkan langgam politik yang demokratis, tetapi kemudian berubah menjadi otoriter dengan berbagai alasan pembenarannya yang manipulatif.

Menurut Mahfud MD, berdasarkan pengalaman sejarah, UUD 1945 lebih banyak melahirkan pemerintahan yang otoriter. Pengalaman demokratis dibawah UUD 1945 pada awal Orde Baru hanyalah strategi awal yang digunakan untuk melakukan konsolidasi saja. Sistem politik demokratis yang mulai muncul pada bulan Oktober 1945 justru didahului dengan penidakberlakuan atas UUD 1945 melalui Maklumat No. X Tahun 1945. Oleh sebab itu, segera setelah Orde Baru runtuh, gerakan reformasi mengumandangkan perlunya reformasi konstitusi dalam apa yang disebut amandemen, bahkan penggantian atas UUD 1945. Amandemen disini diartikan secara umum sebagai perubahan yang dalam prakteknya dapat mengubah redaksi, menyisipi kata-kata, atau menambah kalimat yang baru. Jadi bukan amandemen dalam arti khusus membuat lampiran tersendiri bagi setiap pasal yang diubah. Amandemen disini juga tidak diartikan sebagai penggantian total. Para pengusul amandemen ini mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah demokratis jika masih memakai UUD 1945, sebab UUD tersebut memuat sejumlah kelemahan yang menjadi pintu bagi tampilnya pemerintahan yang otoriter. Sebagai konstitusi, ternyata UUD 1945 tidak mengelaborasi konstitusionalisme secara ketat, baik dalam hal perlindungan hak asasi manusia (HAM) maupun dalam hal pemencaran kekuasaan di dalam negara.

Dari sudut sejarah, pembuatan UUD 1945 sejak semula memang dimaksudkan bukan sebagai UUD yang permanen karena muatannya belum memuaskan sebagai konstitusi tertulis, unsur-unsur utama konstitusi yang membatasi kekuasaan dan memberikan perlindungan bagi HAM belum diatur secara ketat (terlalu longgar). Sejak semula UUD ini dimaksudkan untuk sementara. Soekarno yang anggota inti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan tokoh sentral Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merancang dan kemudian mengesahkan UUD 1945 mengemukakan pada tanggal 18 Agustus 1945 bahwa:

Undang-undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang- undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: Ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang- undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet .

Pernyataan “kesementaraan” yang mendorong lahirnya pemikiran dilakukannya amandemen ini kemudian dituangkan juga secara resmi di dalam Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:

  • Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar ini.

  • Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar.

Meskipun dari Aturan Tambahan itu tidak secara eksplisit disebutkan bahwa MPR harus mengganti atau mengamandemen UUD yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, karena menetapkan itu dapat juga menetapkan yang sudah ada, namun dapat ditangkap semangatnya, terutama jika dikaitkan dengan pernyataan Soekarno yang dikutip di atas bahwa sebuah penyempurnaan melalui perubahan atau amandemen sangat perlu dilakukan. Apalagi di dalam kenyataannya, selama berlakunya UUD 1945, pemerintahan yang tampil adalah pemerintahan yang tidak demokratis, yang dalam mengakumulasikan kekuasaan mendasarkan diri secara resmi pada UUD 1945.

Lebih jauh Mahfud MD menuturkan bahwa dua orang Presiden yang bekerja dibawah sistem UUD 1945, yakni Soekarno dan Soeharto, juga terpaksa diturunkan melalui semacam “operasi caesar” karena tanpa ada halangan dari sistem UUD 1945 itu sendiri. Presiden dengan mudah dapat menjadikan dirinya sebagai Presiden yang otoriter dan praktis memegang kekuasaan mutlak. Baik Soekarno maupun Soeharto yang sama-sama “memaksakan” UUD 1945 ternyata telah mengakumulasikan kekuasaan pada dirinya secara besar-besaran dengan menggunakan landasan UUD 1945 itu sendiri. Meskipun secara prinsip UUD 1945 menganut demokrasi, namun UUD ini tidak membentuk pagar-pagar pengaman yang kuat untuk membatasi kekuasaan agar demokrasi bisa terbangun.

Oleh sebab itu, perlu dibangun pemerintahan konstitusional yang demokratis. Artinya pemerintahan yang konstitusional demokratis itu bukan pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang memuat esensi- esensi konstitusionalisme.

Pelaksanaan Demokrasi Konstitusional di Indonesia Menurut Mahfud MD


Masa Orde Lama

Menurut Mahfud MD, sepanjang perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ternyata pelaksanaan demokrasi konstitusional mengalami tarik menarik antara langgam demokrasi dan langgam otoritarian dalam sistem politik. Keduanya muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear pada otoriterisme.

Setidaknya hal itu didasari oleh adanya kenyataan bahwa pada awal kemerdekaan, secara formal konstitusional, berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, kekuasaan bertumpu pada Presiden.15 Pasal IV Aturan Peralihan itu menentukan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) terbentuk, maka Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional (kemudian lebih dikenal dengan Komite Nasional Indonesia Pusat/KNIP) melakukan kekuasaan pada lembaga-lembaga tersebut. Hal ini berarti bahwa kekuasaan hanya bertumpu pada satu pihak (Presiden), dan secara faktual tidak sejalan dengan paham demokrasi.

Sistem demokrasi baru muncul ketika pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat No. X Tahun 1945 yang mengubah kedudukan KNIP menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan Presiden dan bukan lagi sebagai pembantu Presiden. Maklumat itu juga memuat pembentukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang berfungsi sebagai pelaksana sehari-hari tugas KNIP. BP-KNIP inilah yang kemudian mengusulkan diubahnya sistem kabinet presidensiil menjadi sistem kabinet parlementer yang disetujui oleh pemerintah melalui maklumat tanggal 14 November 1945 tanpa melakukan perubahan atas UUD 1945.18 Jadi, berlakunya sistem parlementer ini berlangsung hingga tahun 1959 yang di dalamnya pernah terjadi perubahan UUD sampai dua kali, yakni Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Pada kurun waktu itulah, tercatat bahwa langgam politik di Indonesia bersifat demokratis dengan konfigurasi yang demokratis pula.

Namun langgam demokratis tersebut terhenti dan berubah menjadi otoriter sejak tahun 1959 ketika Presiden Soekarno secara sepihak membubarkan Konstituante, mencabut berlakunya UUDS tahun 1950, dan memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.20 Keabsahan dekrit itu sendiri secara hukum semula menjadi persoalan. Sebab berdasarkan konstitusi, Presiden tidak berwenang membubarkan Konstituante. Itulah sebabnya seorang tokoh seperti Moh. Hatta mempersoalkan dekrit tersebut dan mengatakannya sebagai kudeta. Namun Soekarno mempunyai pendukung dari kalangan ahli hukum yang mengatakan bahwa dekrit itu sah berdasarkan hukum negara dalam keadaan darurat. Dalil yang dipakai adalah “salus popli suprema lex ” yang berarti “keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi”.

Dengan kata lain, jika rakyat dalam bahaya, maka Presiden bisa melakukan tindakan penyelamatan, meskipun harus melanggar konstitusi. Keabsahan dekrit itu kemudian harus diterima, karena Soekarno berhasil menggalang dukungan dan mampu mengkonsolidasikan kekuasaan pemerintahannya. Dibawah konsepsi Demokrasi Terpimpin selama kira-kira tujuh tahun tersebut, Soekarno mengendalikan negara ini dengan langgam otoritarian dan dengan konfigurasi politik yang otoriter.

Otoriterisme pemerintahan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya akhirnya runtuh ketika Angkatan Darat (AD) berhasil mengambil alih kekuasaan setelah berkutat dalam melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarno.23 Tampilnya AD sebagai aktor politik utama di Indonesia diperoleh setelah peristiwa 30 September 1965 yang menurut sejarah merupakan peristiwa pengkhianatan PKI terhadap bangsa dan negara Indonesia. Terlepas dari kontroversi tentang fakta-fakta dan sejarah peristiwa tersebut, yang pasti sejak itu AD menguasai panggung politik di Indonesia. Pemerintahan yang menggantikan Soekarno ini kemudian menamakan diri sebagai pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan Demokrasi Pancasila sambil menyebut pemerintahan yang digantikannya sebagai pemerintahan Orde Lama.

Masa Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru juga menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Semula rezim Orde Baru menampilkan langgam politik yang demokratis. Tetapi setelah itu, sejak tahun 1969 dan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, rezim ini pun menjadi otoriter dengan selalu mengatakan dirinya bersikap konstitusional berdasarkan UUD 1945.24 Rezim ini akhirnya diruntuhkan oleh gerakan rakyat (yang dimotori oleh mahasiswa) dalam apa yang disebut dengan Gerakan Reformasi dan mencapai puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998 ketika Soeharto tidak dapat mengelak dari tuntutan untuk berhenti dari jabatannya sebagai Presiden.

Bahwa UUD 1945 tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis, juga dapat dilihat dari sejarah berlakunya UUD 1945 yang secara garis besar dibagi atas tiga periode, yaitu periode 1945 – 1949, periode 1959 – 1966, dan periode 1966 – 1998. Sejarah perjalanan bangsa ini mencatat bahwa periode 1945 – 1959 adalah periode sistem politik yang demokratis. Namun harus diingat bahwa pembentukan pemerintahan yang demokratis ketika itu justru didahului dengan penidakberlakuan UUD 1945 melalui apa yang dikenal dengan Maklumat No. X yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Maklumat tersebut berisi perubahan kedudukan KNIP dari yang semula sebagai pembantu Presiden menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan Presiden untuk kemudian komite inilah yang mengusulkan perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer.

Dari sinilah kemudian terbangun sistem politik yang demokratis, sesuatu yang dengan mudah dapat memberi kesimpulan bahwa untuk membangun pemerintahan yang demokratis ketika itu justru dilakukan melalui praktek ketatanegaraan yang keluar dari UUD 1945, meskipun UUD itu sendiri tidak secara resmi diubah. Perlu dicatat pula bahwa ketika UUD 1945 diberlakukan kembali secara paksa melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang kemudian muncul adalah pemerintahan yang sangat otoriter dibawah kepemimpinan Soekarno yang menjadi sewenang-wenang dengan konsepsi Demokrasi Terpimpinnya. Dan akhirnya baru saja diruntuhkan rezim otoriter, yaitu Orde Baru, yang juga berlindung dibawah UUD 1945.

Fakta-fakta sejarah tersebut, menurut Mahfud MD, memang membawa pada kesimpulan bahwa UUD 1945 haruslah dipersoalkan kembali karena disamping tidak pernah melahirkan pemerintahan yang demokratis, UUD ini telah turut memberi kontribusi atas terjungkalnya dua orang Presiden yang terdahulu. Orang boleh berkata bahwa UUD 1945 tidak dapat disalahkan, sebab UUD itu sendiri memang mengatakan bahwa kebaikan pemerintahan itu tidak tergantung pada bunyi UUD, melainkan tergantung juga pada semangat penyelenggara atau orangnya.

Tetapi harus diingat bahwa gagasan UUD itu lahir dengan kecurigaan bahwa penguasa itu akan diincar oleh penyakit korup (power tends to corrupt ). Penyelenggara secara personal boleh saja baik, tetapi jika sistem yang mengaturnya tidak baik, maka penyakit korup akan menjerumuskannya ke dalam kesewenang-wenangan. Jadi, orang dan sistem sama pentingnya, bahkan sistem harus diatur sedemikian rupa agar mampu menjaring orang-orang yang baik dan mengawalnya dari penyakit-penyakit korup.

Menurut Mahfud MD, jawaban singkat untuk pertanyaan ini adalah karena UUD 1945 tidak memuat secara ketat materi-materi yang secara substansial harus ada pada setiap konstitusi, yakni perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan bagi penyelenggara negara. Secara lebih rinci, jika kajian atas isi UUD 1945 didekati dengan studi socio legal dan kultural tentang sejarah konstitusionalisme, HAM, dan demokrasi, terlihat bahwa UUD 1945 memang tidak memenuhi syarat sebagai aturan main politik yang seharusnya mewadahi konstitusionalisme.

Kalimat-kalimat konstitusi sebenarnya tidak lebih dari manifestasi yuridis yang tidak dengan sendirinya dapat menggambarkan makna kultural bangsa yang menggunakannya. Makna konstitusi secara mendalam ada di dalam “konstitusionalisme” yang kemunculannya sebagai istilah di abad ke-18 dimaksudkan untuk menegaskan doktrin Amerika tentang supremasi UUD sebagai konstitusi tertulis di atas UU yang hanya dibuat oleh lembaga legislatif. Meskipun istilah ini baru muncul pada abad ke-18, tetapi sebagai gagasan dan praksis kehidupan kenegaraan modern, konstitusionalisme ini telah jauh berkembang lebih lama dari itu.

Gagasan pembatasan kekuasaan penguasa di dalam sebuah konstitusi sebenarnya telah ada sejak berkembangnya negara teritorial dibawah kekuasaan raja-raja dan di dalam kehidupan negara kota-negara kota ( polis ) di Eropa Barat pada abad ke-11 dan abad ke-12. Itulah sebabnya dalam kemunculannya sebagai istilah di abad ke-18 konstitusionalisme hanya dipahami sebagai penegasan doktrin tentang supremasi konstitusi yang sebenarnya telah berkembang sejak abad ke-11 dan abad ke-12.

Gagasan konstitusi sebagai alat pembatasan kekuasaan itu sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan negara hukum yang harus dimuat di dalam sebuah aturan dasar kegiatan politik yang kemudian disebut konstitusi. Ia merupakan kristalisasi normatif atas tugas negara dalam memberikan perlindungan HAM dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat disertai batas-batas kekuasaan secara hukum.

Konsep dasar HAM sendiri telah muncul dan berkembang di Eropa Barat pada abad pertengahan sejalan dengan berkembangnya paham kebangsaan yang kemudian mengilhami lahirnya negara-negara modern dan sekuler. Gagasan ini muncul sebagai alternatif perombakan ketatanegaraan yang sangat sentralistis atau terletak di tangan penguasa tunggal yang absolut yang kemudian menimbulkan berbagai konflik antara penguasa dan warga negara atau antara “kekuasaan” dan “kebebasan” yang kemudian muncul sebagai infra-struktur yang tak dapat dielakkan.

Gerakan kebebasan itu bermula dari merambahnya kekuasaan raja-raja absolut ke negeri lain beserta seluruh rakyatnya dengan hanya memiliki kekuasaan atas teritori dan urusan tertentu. Kekuasaan raja-raja yang terbatas dalam urusan duniawi ini kemudian menimbulkan masalah legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh raja. Yang dipersoalkan adalah sumber kekuasaan raja atas suatu teritori dalam urusan duniawi itu.

Gagasan perlindungan atas HAM dan demokrasi muncul karena terjadinya sekularisasi kekuasaan dimana kekuasaan raja tidak lagi dikaitkan dengan masalah kerohanian yang sifatnya universal dan melintasi batas-batas teritori dan kebangsaan. Gerakan HAM dan demokrasi itu sebenarnya merupakan upaya memberi jawaban atas pertanyaan mendasar tentang sumber legitimasi kekuasaan raja-raja setelah di sekulerkan.

Jika ditelusuri lebih jauh persoalan sekularisasi kekuasaan ini, semula ditimbulkan juga oleh konflik yurisdiksi antara raja (negara) dan paus (gereja) yang berkuasa sekitar abad pertengahan. Dengan lambang kekuasaan nasionalnya, raja yang melakukan ekspansi kekuasaan atas wilayah-wilayah lain beserta seluruh penduduknya telah menimbulkan konflik dengan paus yang juga berusaha menegakkan kekuasaan politik gerejanya atas seluruh umat manusia beragama Kristen tanpa dibatasi wilayah dan kebangsaan.

Benih sekularisasi telah tumbuh ketika pada tahun 1075, Paus Gregorius VII mengeluarkan Dictatus Papae yang berisi pengakuan atas kekuasaan raja dan kaisar untuk memerintah suatu teritori tertentu dalam masalah-masalah duniawi. Meskipun di dalam dictatus itu dikatakan bahwa kedudukan raja tetap dibawah paus dan pendeta, namun munculnya pernyataan tentang dasar legitimasi kekuasaan raja tidak dapat dihindarkan. Dan ketika dalam kenyataan politisnya gereja mulai menggantungkan diri pada kekuasaan raja-raja berkenaan dengan pecahnya Perang Salib pada penghujung abad ke-11, maka kekuasaan raja-raja atas suatu wilayah dan bangsa menjadi semakin kuat secara de facto dan de jure . Kenyataan ini kemudian semakin menguatkan kekuasaan raja dalam urusan duniawi atas masyarakat, sehingga sekularisasi kekuasaan politik semakin menguat karena raja tidak lagi mengurusi masalah rohani masyarakat karena hal itu menjadi urusan gereja yang kekuasaannya bersumber dari Tuhan.

Dari fakta inilah kemudian semakin menguat pertanyaan tentang sumber legitimasi kekuasaan raja yang telah terlepas sama sekali dari teori kedaulatan Tuhan. Jawaban rasional yang kemudian diberikan adalah teori perjanjian masyarakat (social contract) yang mengatakan bahwa raja berkuasa karena kesepakatan manusia. Rasionalisasinya secara tegas menyebutkan bahwa raja berkuasa karena ada perjanjian masyarakat yang memberinya kekuasaan untuk mengatur dan menyerasikan perbedaan kepentingan anggota-anggotanya.

Meskipun dalam teori Thomas Hobbes perjanjian masyarakat itu kemudian melahirkan absolutisme, tetapi JJ. Rousseau dan John Locke menyatakan bahwa perjanjian masyarakat harus melahirkan pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Dengan rasionalisasi seperti ini, maka rakyat yang tadinya dikuasai secara mutlak oleh raja menjadi berani untuk menyatakan kedudukannya sebagai warga negara yang memberi amanat kepada raja untuk memerintah berdasarkan kontrak yang konstitusional.