Apa yang dimaksud dengan Dekonstruksi ?

Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

Apa yang dimaksud dengan Dekonstruksi ?

Dekonstruksi merupakan jantung pendekatan postmodernisme terhadap analisis suatu bidang ilmu. Mirip dengan banyak aspek lain dari postmodernisme, mendefinisikan dekonstruksi bukanlah tugas yang mudah. Ratusan halaman dikhususkan untuk masalah dekonstruksi apa dan bagaimana hal itu dilakukan.

Penulis pertama yang menggunakan istilah itu adalah Derrida, meskipun telah dieksplorasi oleh sejumlah orang lain, termasuk Culler (1990), Johnson (1981) dan Hillis-Miller (2002).

Inti karya Derrida adalah pandangan bahwa makna mencakup identitas (apa arti sesuatu - what something is) dan perbedaannya (apa yang bukan sesuatu - what something is not). Dia menggabungkan perbedaan dua pengertian istilah - untuk berbeda dalam ruang dan untuk dilakukan penundaan waktu - untuk menghasilkan apa yang dia sebut sebagai “perbedaan” (difference), bahwa arti dari kata “perbedaan” adalah “‘is derived from a process of deferral to other words . . . that differ from itself” (Gergen, 1992, p. 219).

Maksudnya adalah makna dari suatu kata hanya dapat dicapai dengan melihat hubungannya dengan kata lainnya (misalnya, dalam kamus), maka pencapaian makna tersebut harus ditangguhkan karena setiap melihat kamus, kita akan diarahkan pada kata-kata lainnya. Berikut contoh dari hubungan kata dengan kata lainnya.

Misalnya, apa arti istilah ‘logis’ ? Untuk menjawabnya, kita harus melihat pada kata lain seperti ‘rasional’ ‘sistematis’ atau ‘koheren’. . . pada awalnya jelas bahwa ada banyak arti untuk istilah semacam itu. . .

Misalnya ‘logis’ juga bisa berarti ‘pemikiran yang benar’, ‘konvensional’ atau 'superior. Pertanyaannya adalah, apa yang benar-benar diinginkan pembicara ? . . . setiap istilah, digunakan untuk mengklarifikasi pernyataan awal itu sendiri.

‘Pemikiran yang benar’ dapat juga berarti ‘benar secara moral’, ‘konvensional’ juga dapat berarti ‘banal’, dan seterusnya. Dan pada gilirannya, istilah-istilah tersebut mengandung jejak-jejak dari banyak kata lainnya di dalam jaringan signifikansi yang terus berkembang (dikutip dalam Johnson and Duberley, 2000, hal. 97).

Menurut Derrida, penundaan “makna” kata yang tiada henti seperti itu berarti komunikasi itu bersifat polisemi (kata yang mempunyai makna lebih dari satu) dan arti kata-kata tersebut tidak dapat disematkan. Dengan demikian, selalu ada makna yang tertunda dan terpinggirkan dalam komunikasi apa pun yang dapat diungkapkan dalam sebuah teks oleh pembaca.

Martin (1992) berpendapat bahwa “perbedaan” (difference) adalah cara berpikir (yang berguna) tentang organisasi karena ia mengungkapkan perspektif yang biasanya dikecualikan. “Perbedaan” (difference) menyiratkan bahwa sesuatu dipahami dengan cara tertentu karena melihat juga dari yang biasanya tidak dilihat. Hal itu menyebabkan kita untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang apa yang ada dengan memikirkan tentang apa yang tidak ada.

Pengakuan postmodernisme terhadap kekuatan bahasa untuk membentuk apa yang kita lihat (kadang-kadang disebut linguistik) berarti bahwa apa yang kita ambil sebagai pengetahuan dibangun di dalam bahasa dan melalui bahasa. Pengetahuan tidak memiliki titik pandang yang aman di luar proses sosiolinguistik semacam itu. Oleh karena itu, filsuf dan politisi Italia, Gianni Vattimo, menyebutnya dengan istilah ‘mitos transparansi’ (1992, hal. 18), yang berarti, akses tanpa perantara menuju realitas, adalah sebuah ilusi. Sebaliknya, bahasa dan negosiasi sosial tentang makna perlu diterangi untuk menunjukkan bagaimana mereka mempengaruhi persepsi kita.

Bagi postmodernis, ‘realitas’ dapat memiliki jumlah atribut yang tidak terbatas karena terdapat banyak sekali realitas-realitas yang ada seperti juga banyak cara untuk memahami dan menjelaskan realitas-realitas tersebut.

Pandangan tradisional adalah bahwa bahasa mampu mengungkapkan ide tanpa mengubahnya, yang dalam hierarki bahasa, menulis adalah hal yang sekunder terhadap pembicaraan dan bahwa penulis merupakan sumber makna dari teks tersebut.

Derrida menantang asumsi-asumsi ini dan membantah gagasan bahwa teks memiliki makna yang tak berubah dan terpadu. Misalnya, Derrida mengkritik apa yang disebutnya logosentrisisme dengan menyatakan bahwa untuk setiap gagasan yang ‘tetap’, terdapat juga gagasan yang ‘absen’.

Dengan kata lain, bagaimana kita memahami dunia mau tidak mau memerlukan keberpihakan karena dengan menafsirkan pengalaman dengan cara tertentu, kita secara tidak sengaja mengecualikan penafsiran alternatif. Di sini Derrida menunjuk pada bagaimana ‘logo’ melegitimasi dan menstabilkan cara-cara tertentu dalam melihat hal-hal tertentu dan mode keterlibatan mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Sehingga, kesatuan dan konsistensi dipertahankan dengan mengorbankan pemisahan dan kontradiksi.

Dekonstruksi berkaitan dengan peruntuhan kesatuan (unity) semacam itu. Dekontruksi melibatkan:

Proses demistifikasi teks, memisahkan teks-teks tersebut untuk mengungkapkan teks internalnya, hirarki arbiter dan praduganya. . . . Sebuah pembacaan dekonstruktif dari sebuah teks adalah proses pencarian untuk menemukan ambivalensi, kebutaan dan logosentrismenya (Rosenau, 1992, hal. 120)

Seperti istilahnya, dekonstruksi adalah pembongkaran konstruksi - atau lebih tepatnya, konstruksi linguistik. Ini berasal dari kritik sastra di mana teks dianalisis untuk mengungkapkan kontradiksi yang melekat, asumsi, dan lapisan makna yang berbeda. Oleh karena itu, semua teks mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan pernyataan penulisnya.

Untuk dekonstruksionis, setiap bagian dari pengetahuan dapat diperlakukan sebagai teks yang dapat didekonstruksi. Di sini dekonstruksi mencoba untuk menunjukkan bagaimana klaim kebenaran - misalnya, apakah dibuat oleh ilmuwan atau ahli teologi - selalu merupakan produk konstruksi sosial dan oleh karena itu bersifat relatif.

Seringkali dekontruksi melibatkan proses identifikasi asumsi-asumsi yang mendukungnya dan dengan asumsi-asumsi tersebut dihasilkan sebuah klaim kebenaran. Asumsi-asumsi ini kemudian ditantang melalui penyangkalan mereka dan melalui proses identifikasi dengan ‘absennya’ alternatif-alternatif yang menghasilkan artikulasi suatu interpretasi alternatif terkait dengan realitas. Oleh karena itu, dekonstruksi menyangkal bahwa teks apa pun pernah diselesaikan atau mencapai kondisi stabil: Teks selalu dapat dipertanyakan dalam setiap lapisan-lapisan maknanya untuk menghasilkan makna atau interpretasi yang lain.

Dekontruksi mengarah pada pertanyaan tentang bagaimana sesuatu dilihat sebagai fakta dan tentang konsekuensi dari hak istimewa tersebut. Hasilnya adalah sebuah posisi relativistik, karena dekonstruksi tidak membuat dekonstruktor menjadi lebih dekat kepada kebenaran ‘tetap’.

Vattimo (1988) berpendapat, dekonstruksi tidak dirancang hanya untuk membuka sebuah tabir kesalahan, tetapi dekontruksi menawarkan konstruksi sosial alternatif dari realitas didalam teks, yang dengan sendirinya kemudian tersedia untuk dilakukan dekonstruksi sehingga kita tidak berhenti pada kebenaran akhir.

Dengan demikian,

‘Proses dekonstruksi akan melakukan dekonstruksi terhadap dirinya sendiri, dan pada saat yang sama akan menciptakan fiksi labirin (labyrinthine fiction) yang otoritasnya akan dirusak oleh ciptaannya sendiri’ (Hillis-Miller, 1981, hlm. 261).

Dekonstrukturi tidak ingin mengesampingkan satu interpretasi karena yang lain lebih baik atau benar. Sebaliknya, mereka berusaha menunjukkan bagaimana banyak penafsiran berbeda dapat didukung oleh teks yang sama.

Proses Dekontruksi

Derrida tidak memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana proses dekonstruksi seharusnya dilakukan. Penulis yang berbeda menyarankan pendekatan alternatif untuk proses tersebut. Sebagai contoh, Cooper (1989) menyatakan bahwa ketika melakukan dekonstruksi, dilakukan pencarian terkait dengan kesenjangan (gap) dan ketidakstabilan dalam waktu, ruang dan teks. Biasanya, proses dekontruksi diikuti dengan dua gerakan yang disebut menjungkirbalikkan (overturning) dan metaforisasi (metaphorization).

Cooper berpendapat bahwa dikarenakan cara berpikir Barat dimana teks disusun berdasarkan perbedaan mutlak atau “binary opposites”, sehingga satu istilah mendominasi istilah yang lain, maka Overturning (Penjungkirbalikkan) disini dengan melibatkan pemeriksaan teks terkait dengan perbedaan mutlaknya dan menantang hal tersebut. Jadi, ketika melihat sebuah teks, seorang dekonstruksionis akan memeriksa di mana perbedaan mutlaknya (misalnya, baik / buruk, kuat / lemah, hitam / putih, pria / wanita) menggunakan eksplisit ataukah implisit serta akan mempertimbangkan apakah teks tersebut mendapatkan hak istimewa atas teks lainnya.

Tetapi Cooper menunjukkan bahwa Derrida memberikan penekanan untuk berhati-hati dalam potensi jebakan yang mungkin terjadi dalam proses overturning. Dia berpendapat perlu untuk melibatkan proses metafora, yang merupakan tahap kedua dekonstruksi.

Proses metafora melibatkan pengakuan bahwa setiap istilah yang bernilai positif (misalnya, peradaban atau normal) hanya ditentukan secara kontras dengan istilah kedua yang bernilai negatif (misalnya, barbarisme atau tidak normal). Dekonstruktur harus menerima ketidakpastian ini dan melepaskan segala upaya untuk mendapatkan pemahaman tentang “kebenaran” makna dari sebuah teks.

Pendekatan alternatif dalam melakukan dekontruksi ditawarkan oleh Boje dan Dennehy (1994), dengan menyediakan tujuh langkah untuk melakukan dekonstruksi. Boje dan Dennehy berpendapat bahwa sebuah teks harus diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Definisikan dualitas (Define the dualities) : Siapa atau apa yang bertolak belakang didalam cerita? Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan pembuatan daftar istilah bipolar yang digunakan didalam sebuah cerita, meskipun hanya satu sisi yang disebutkan. Misalnya, dalam sebuah cerita tentang organisasi yang didominasi laki-laki, maka laki-laki adalah pusat organisasi tersebut, dan perempuan mungkin tidak disebutkan.

  2. Melakukan interpretasi ulang (Reinterpret) : Apa saja alternatif-alternatif interpretasi dari cerita yang ada ? Cerita apa pun adalah hanyalah salah satu interpretasi dari sudut pandang tertentu. Biasanya terdapat beberapa bentuk pemikiran hierarkis didalam cerita tersebut; lihatlah apakah Anda dapat melakukan interpretasi ulang dari pemikiran hirarkis tersebut.

  3. Suara pemberontak (Rebel voices) : Tolak sebuah otoritas yang hanya berasal dari satu suara. Siapa saja yang tidak diwakili atau kurang terwakili? Misalnya, dalam sebuah deskripsi organisasi, pekerja bawahan sering diabaikan suaranya.

  4. Sisi lain dari cerita (Other side of the story) : Cerita apa kurang terwakili ? Hal ini dengan membalikkan sebuah cerita dengan meletakkan bagian bawah di atas atau bagian belakang menjadi di depan. Misalnya, merubah sorotan yang menjadikan laki-laki menjadi pusatnya ke arah perempuan yang menjadi pusatnya. Dengan melihat sisi lain dari sebuah cerita, bukan berarti mengganti satu pusat ceita dengan yang lain tetapi untuk menunjukkan bagaimana setiap pusat berada dalam keadaan dengan kondisi dimana terdapat perubahan dan disintegrasi yang konstan.

  5. Tolak plot (Deny the plot) : Bagaimana plotnya? Putar balik plot tersebut.

  6. Temukan pengecualian (Find the exception) : Pengecualian apa yang melanggar aturan ? Nyatakan aturan cerita dengan cara yang membuatnya tampak ekstrim atau tidak masuk akal.

  7. Apa yang tersirat (What is between the lines) : Hal-hal apa saja yang tidak dikatakan atau tersirat didalam cerita tersebut ?

Setelah melakukan langkah 1 sampai langkah 7, maka kita dapat melakukan Resituate. Melakukan poin 1 hingga 7 adalah dalam rangka untuk menemukan perspektif baru, yang menghidupkan kembali cerita di luar dualismenya. Idenya adalah untuk mengarang kembali cerita tersebut sehingga terdapat keseimbangan pandangan baru (Boje dan Dennehy, 1994, hal. 340).

Sumber : John McAuley, Joanne Duberley and Phil Johnson, Organization Theory : Challenges and Perspectives, Pearson Education Limited, 2007