Apa yang Dimaksud dengan Dekonstruksi Teologi dalam Psikologi Feminis Islam?


Ilmu pengetahuan selalu mengalami perubahan, baik itu rekonstruksi ataupun dekonstruksi ilmu pengetahuan. Begitu juga pada konsep teologi dalam psikologi feminis Islam.

Apa yang dimaksud dengan dekonstruksi teologi dalam psikologi Islam?

Untuk membangun konsep baru psikologi feminis Islam, terlebih dahulu perlu menepis kendala teologis yang selama ini berkembang. Kendala tersebut berupa cara pandang yang keliru atas persoalan- persoalan perempuan. Beberapa ayat al-Qur’an yang selama ini diinterpretasikan oleh para ahli tafsir klasik, seperti Al-Thabari, Ibnu Katsir, dan Al-Suyuthi, telah memarginalkan dan mengukuhkan subordinasi perempuan. Misalnya ayat yang berkaitan dengan posisi perempuan, pernikahan, perceraian, waris, kesaksian, dan hak ekonomi.

Dampak dari interpretasi yang keliru dalam menjelaskan eksistensi perempuan kemudian sering dijadikan dasar untuk mentoleransi perlakuan laki-laki yang sewenang-wenang terhadap perempuan, seperti perlakuan suami terhadap isterinya, atau majikan terhadap bawahannya. Al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan, apalagi menyetujui superioritas dan inferioritas atas dasar jenis kelamin. Interpretasi al-Qur’an dari para ahli tafsir klasik diantaranya yang telah menjadi alat legitimasi untuk mentidak-berdayakan perempuan. Ketidak-adilan yang dijustifikasi agama inilah merupakan pangkal penindasan terhadap perempuan. Kepemimpinan laki-laki yang pada ujungnya mensahkan superioritas laki-laki dalam keluarga maupun masyarakat, seolah-olah mendapat pengukuhan agama.

Pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan dalam urusan domestik maupun publik, perempuan tersubordinasi. Perempuan menjadi insan yang dimarginalkan. Jika perempuan menjadi isteri, ia akan mendapat tanggung jawab lebih besar untuk mengasuh, mendidik anak, dan melakukan segala pekerjaan rumah yang sangat melelahkan dan menyita waktu. Seorang isteri dituntut agar tetap setia, sabar, dan menerima. Sementara isteri dituntut agar bersikap setia dan sabar, namun kesetiaan dan kesabarannya tidak mendapat apresiasi, bahkan sering mendapat perlakuan yang tidak layak dari suaminya dengan tindakan kekerasan. Dengan waktu bekerja yang lebih panjang untuk urusan domestik, mengakibatkan kesempatan untuk pengembangan diri, berprestasi di bidang karir, atau melakukan kegiatan sosial hampir tidak ada. Konsekuensi logisnya, jika perempuan yang berperan ganda sebagai isteri dan bekerja di luar rumah, ia sering dimarginalkan, karena kinerja dan prestasinya lebih rendah dari laki-laki rekan kerjanya yang tidak dibebani peran ganda, sekaligus posisi dan penghasilannya lebih rendah. Rendahnya posisi dan penghasilan ekonomi perempuan, mengakibatkan dimarginalkan, tidak diapresiasi oleh suaminya di rumah, di samping oleh atasan atau lembaga tempatnya bekerja. Jika perempuan menjadi pekerja, mereka akan berhadapan dengan pelecehan seksual, upah yang lebih rendah, waktu istirahat yang sangat pendek, peluang pengembangan karir yang hampir tidak ada, dan peluang promosi jabatan yang sangat minim.

Para mufassir klasik menginterpretasikan al-Qur’an secara tekstual dan tradisional, yakni sebuah interpretasi yang lebih memperhatikan makna lahir dan tidak rasional sehingga tidak mampu memberikan solusi bagi pemecahan persoalan peradaban yang kian berkembang. Menurut Arkoun (1994), pengaruh dari mufassir klasik itu sangat melekat dalam benak pemahaman kaum muslimin, karena pemahaman keagamaan umumnya didasarkan kepada teks-teks suci yang diwariskan oleh generasi terdahulu, baik tertulis maupun priortext yang terformulasi dalam simbol agama.

Apabila basis interpretasi keagamaan klasik mengenai subordinasi, marginalisasi, dan stereotype atas perempuan dengan mengukuhkan superioritas laki-laki itu tertanam dalam benak keyakinan kaum muslim, maka bukan hanya mengakibatkan malapetaka bagi kaum perempuan, melainkan menjadi ketertinggalan kaum muslimin seluruhnya, karena saat ini komunikasi dengan dunia Barat dan perluasan pendidikan modern tidak dapat dielakkan. Demikian pun perlindungan hukum, perubahan struktur budaya, sosial, ekonomi, maupun politik kian cepat berkembang.

Untuk menepis mitos yang terlanjur mengakar di benak kaum muslim, beberapa feminis muslim kontemporer, seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Ali Asghar Engineer dari Pakistan, Rif’at Hasan, Nawal El-Shadawi dari Mesir, Amina Wadud Muhsin dari Amerika, melalui bukunya masing-masing, telah menggugat para muffasir klasik. Mereka sepakat, interpretasi klasik terhadap al-Qur’an secara tekstual perlu diubah dengan interpretasi yang kontekstual, sehingga makna al-Qur’an selalu aktual, sesuai dengan perkembangan manusia dan masyarakatnya.

Interpretasi kontekstual adalah interpretasi teks yang sesuai dengan konteks kekinian. Interpretasi ini bukan merupakan akalakalan, bukan karena ingin menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan dunia dan pemikiran modern semata, tetapi terutama untuk membebaskan interpretasi al-Qur’an dari prasangka gender. Meski al- Qur’an tidak berusaha menghapus perbedaan antara perempuan dan laki-laki atau menghilangkan pentingnya perbedaan jenis kelamin, al-Qur’an tidak mengusulkan atau mendukung peran atau definisi tunggal mengenai peran-peran bagi setiap jenis kelamin.

Al-Qur’an sangat menekankan nilai keadilan, kesetaraan, dan keharmonisan. Islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi semesta alam, tentu anti rasialisme dan menolak diskriminasi. Prinsip dasar Islam adalah persamaan manusia tanpa memandang jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, dan keturunan. Perbedaan derajat dipandang di sisi Tuhan terletak pada tataran pengabdian (ketaqwaan)nya kepada Allah (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13 dan al-Ahzab [33]: 33-35). Demikian pun persamaan dalam lapangan ekonomi, pendidikan, dan relasi antara perempuan dan laki-laki (Q.S. Al-Nisa [4]:32; QS. Ali Imran [3]:195 dan QS.Al-Baqarah [2]:228).