Teori awal dari deindividuasi dikembangkan dari buah pemikiran sosiolog dari Prancis bernama Gustave Le Bon pada tahun 1896 tentang β crowd β. Le Bon menyatakan fenomena berkumpulnya individu-individu ke dalam suatu kelompok akan menyebabkan terjadinya proses berkurangnya kesadaran terhadap identitas diri sehingga seseorang akan mengalami perubahan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan perilaku kesehariannya.
Individu yang mengalami perubahan perilaku ini cenderung bersikap sesuai dengan norma-norma yang dianut dalam suatu kelompok (Bon, 1896). Hal itu menurut Le Bon disebabkan ketika berada dalam suatu gerombolan (mob), emosi dari satu individu akan menyebar ke seluruh anggota kelompok (Taylor, dkk., 2009).
Dalam kurun waktu 5 dekade, teori ini kemudian berkembang dengan munculnya istilah deindividuasi yang dipublikasikan oleh Festinger, Pepitone dan Newcomb dalam penelitiannya yang berjudul Some Consequences of Deindividuation in a Group pada tahun 1952. Penelitian yang dilakukan Festinger, dkk. tersebut sekaligus menandai sebagai mulainya perkembangan teori modern deindividuasi (Reicher, R, & Postmes, 1995). Istilah deindividuasi dianggap sebagai penyempurnaan dari konsep pemikiran Le Bon tentang β crowd β (Li, 2010).
Sementara oleh Singer, Brush & Lublin (dalam Li,2010) mengungkapkan,
Deindividuasi terjadi ketika seseorang melakukan tindakan anti sosial yang tidak di inginkan karena ketertarikan individu dalam kelompok.
Ada pula pendapat tentang definisi deindividuasi yang dikemukakan oleh OβSears dkk. (1987), yaitu sebuah kondisi hilangnya kesadaran atas identitas serta tanggung jawab pribadi dalam sebuah kelompok yang mendorong mereka untuk melakukan hal- hal yang tidak mereka lakukan saat sendiri.
Lain halnya dengan Aronson, dkk. (2013) yang menyatakan deindividuasi ialah kondisi hilangnya batasan normal dalam berperilaku ketika berada dalam kerumunan, yang meningkatkan perilaku impulsif dan menyimpang. Taylor dkk., (2009) berpendapat deindividuasi merupakan sebuah kondisi ketika anonimitas kelompok dapat menyebabkan orang melakukan hal- hal yang tidak akan mereka lakukan saat mereka sendirian. Anonimitas disini memang terkadang meningkatkan agresifitas dalam deindividuasi akan tetapi ada peran konteks sosial, yang akan menimbulkan perilaku prososial dalam deindividuasi.
Hal itu juga didukung oleh pendapat Myers (2014) yang mengatakan jika deindividuasi ialah hilangnya kewaspadaan diri dan penangkapan evaluatif diri sendiri dan hanya dapat terjadi didalam situasi kelompok yang mendukung respons terhadap norma kelompok baik atau buruk.
Menurut Postmes & Spears (1995) dalam kondisi deindividuasi membuat self awareness individu berkurang, lebih menyadari dirinya sebagai anggota kelompok, dan lebih responsif terhadap situasi yang ada di dalam kelompok baik negatif (agresifitas) maupun positif (prososial).
Prentice Dunn & Rogers (1982) mengungkapkan bahwasanya deindividuasi lebih dipengaruhi oleh internal diri individu, yaitu self awareness. Menurut mereka deindividuasi hanya dapat terjadi jika identitas diri mereka digantikan dengan identitas kelompoknya.
Deindividuasi merupakan tahap psikologis yang ditandai oleh hilangnya self awareness dan berkurangnya ketakutan individu karena berada dalam kelompok (Hughes, 2013). Selain itu, Diener (dalam Li, 2010) mendefinisikan deindividuasi sebagai proses psikologis dimana kesadaran diri (self-awareness) berkurang.
Menurutnya, proses deindividuasi dapat terjadi apabila seseorang mampu menjauhkan diri dari βself-regulationβ dan βself-awarenessβ yang melekat pada identitasnya sendiri, dimana dalam hal ini fokus dan perhatian hanya diprioritaskan kepada identitas kelompok. Fenomena deindividuasi menurut Diener merupakan proses internal dan cenderung dipengaruhi oleh faktor situasional, internal, dan perilaku kelompok.
Diener menyatakan deindividuasi terjadi melalui 3 tahapan, yaitu:
-
Self-awareness hilang dari individu, kelompok menjadi fokus perhatian dan di identifikasi sebagai satu kesatuan.
-
Untuk menjadi sepenuhnya deindividuasi harus ada perubahan perhatian antara individu. Individu tidak melihat diri mereka secara terpisah tetapi sebagai bagian dari kelompok.
-
Individu mengalami ketiadaan self-regulation.
Aspek- Aspek Deindividuasi
Singer, Brush, dan Lublin (1965) menyatakan bahwa aspek-aspek deindividuasi ialah:
-
Mempunyai banyak kesamaan dengan anggota kelompok yang lain
-
Merasa yakin bahwa tindakannya tidak akan diperhatikan sebagai tindakan perorangan, namun sebagai tindakan kelompok.
-
Individu merasa tidak akan bertanggung jawab atas aksi yang dia lakukan.
Lalu ada pendapat dari Edward Diener (1976) mengenai aspek- aspek deindividuasi meliputi:
-
Individu berperilaku tidak sesuai keinginannya, hal ini disebabkan individu merespons stimulus yang ada di kelompoknya
-
Individu melihat dirinya sebagai kelompok
-
Merasa tidak akan bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya
-
Individu tidak merasakan kekhawatiran terhadap evaluasi sosial dari perilakunya
Faktor- Faktor Deindividuasi
Terdapat beberapa pendapat mengenai faktor- faktor penyebab deindividuasi, seperti yang dikemukakan oleh Phillip Zimbardo (dalam Wicaksono & Irwansyah, 2017):
-
Jumlah besar kecilnya suatu kelompok
-
Anonimitas
-
Rasa saling memiliki antar individu atau euphoria yang timbul dari kelompok tersebut
Lain halnya dengan pendapat menurut Reicher mengenai faktor- faktor penyebab deindividuasi yang meliputi:
1. Group immersion
Meleburnya individu didalam kelompok. Dimana individu tidak lagi melihat dirinya sebagai self-identity melainkan social identity .
2. Anonimitas
Anonim adalah saat dimana identitas pribadi seseorang tidak dapat teridentifikasi.
3. Hilangnya identitas (self- awareness dan self regulation)
Hilangnya kesadaran diri dan kontrol diri menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang mengalami deindividuasi.
Myers (2014) juga memiliki pendapat sendiri mengenai faktor- faktor deindividuasi, seperti:
1. Ukuran Kelompok
Kelompok tidak hanya dapat membuat anggotanya bangkit tetapi juga dapat membuat anggotanya tidak ter-identifikasi. Leon Mann (dalam Myers, 2014) mengungkapkan bahwa ketika seorang individu dalam kelompok kecil yang membuat dirinya dapat di identifikasi individu akan lebih tekontrol perilakunya. Sedangkan, pada saat individu dalam kelompok besar dan tidak dapat teridentifikasi individu akan lebih berani untuk melakukan hal yang tidak sesuai aturan.
2. Physical Anonymity
Ed Diener (dalam Myers, 2014) melakukan penelitian mengenai efek dari individu berada dalam kelompok dan dalam kondisi anonim. Penelitian tersebut menunjukan bahwa individu yang berada dalam kelompok dan kondisi anonim akan berprilaku seperti yang mereka inginkan.
Selain itu, menurut Tom Postmes & Russel Spears (dalam Myers, 2014) kondisi anonim membuat kesadaran diri individu berkurang menjadi kesadaran dalam kelompok dan bereaksi sesuai situasi negatif maupun positif.
3. Arousing and Distracting Activities
Perilaku agresi yang dilakukan oleh kelompok besar biasanya dipicu oleh aksi seseorang yang mengalihkan perhatian kelompok. Aksi impulsif kelompok menyerap perhatian kita. Ketika kita melakukan tindakan agresi kepada seseorang sebenarnya bukan karena untuk membela dirinya tetapi karena pengaruh situasi dan kelompok.
4. Berkurangnya Self awareness
Self awareness ialah suatu kondisi sadar diri dimana perhatian berfokus pada diri seseorang. Self awareness membuat individu lebih sensitif terhadap sikap dan watak diri mereka sendiri. Seseorang dapat melakukan self-aware pada saat mereka berada didepan umum atau didepan kamera dan mengendalikan diri mereka.
Pengalaman kelompok mengurangi kesadaran diri (self-awareness) yang berdampak pada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Adanya pengalaman kelompok membuat individu berperilaku tidak sesuai dengan diri mereka. Self- awareness merupakan kebalikan dari deindividuasi. Meningkatnya Self-awareness dapat mengurangi deindividuasi.