Apa Yang Dimaksud Dengan Darurat Menurut Ajaran Islam?

Darurat adalah :

  1. keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan
    sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera
    2 . keadaan terpaksa

Apa yang dimaksud dengan darurat menurut ajaran Islam ?

Darurat adalah satu keadaan di mana seseorang itu berhadapan dengan situasi yang melibatkan keselamatan hidup atau harta bendanya.

Ahli Fiqh kontemporer, Wahbah Zuhaily menerangan bahwa: Darurat ialah datangnya keadaan bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada diri manusia, yang membuat dirinya khawatir akan terjadinya kerusakan atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota badan, kehormatan, akal, harta dan yang bertalian dengannya.

Ketika dalam keadaan seperti ini maka boleh mengerjakan yang diharamkan atau meninggalkan yang diwajibkan atau menunda waktu pelaksanaan guna menghindari ke-madarat-an yang diperkirakan dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang telah ditentukan shara’.

Dalam menyikapi masalah darurat, Yusuf Qardawi mengatakan: ‚Di antara kemudahan yang sangat dianjurkan ialah mengakui kondisi darurat yang muncul dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat individual maupun sosial. Shari‘at agama ini telah menetapkan hukum yang khusus untuk menghadapi kondisi darurat, dimana kondisi ini membolehkan kita melakukan sesuatu yang mestinya dilarang dalam shari’at namun kita diperkenankan untuk melakukannya. Kondisi darurat ini bisa saja berhubungan dalam hal makanan, minuman, pakaian, perjanjian, dan mu‘amalah.

Lebih dari itu, shari‘at agama kita juga menurunkan ketetapan hukum dalam kasus tertentu dan pada masa-masa tertentu yang berlaku bagi orang khusus maupun orang awam yang sama dengan hukum darurat, hal ini ditujukan demi memudahkan umat dan untuk menghindarkan mereka dari kesulitan‛.

Yang menjadi dasar bagi hal itu ialah penjelasan yang terdapat di dalam Al-Qur’an, yaitu:

Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Dia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa‛. Al-Qur’an, 6: 119

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. Al-Qur’an, 2: 173.

Salah satu darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama’, yaitu darurat dalam masalah makanan, yang mengakibatkan pada kelaparan. Para ulama’ memberikan batas darurat dalam masalah ini adalah sehari-semalam, dan pada saat yang sama dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan. Maka pada saat itulah orang tersebut boleh makan makanan yang diharamkan sekedar sesuai untuk keluar dari darurat dan guna menjaga dari bahaya.

Menurut Yusuf Qardawi, tidak termasuk syarat darurat, apabila seseorang tidak mempunyai makanan. Bahkan tidak termasuk darurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila masih ada orang muslim atau kafir yang mempunyai sisa makanan yang dapat dipakai untuk mengatasi keterpaksaannya itu, karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggungjawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.

Ayat tersebut di atas tetap memberikan batasan terhadap pelaku darurat (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa atau darurat), yaitu dengan kata-kata ghayra baghin wala ‘adin (tidak sengaja dan tidak melewati batas). Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja dalam ayat ini adalah tidak sengaja untuk mencari kelezatan. Dan pengertian tidak melewati batas adalah tidak melewati batas ketentuan hukum.

Atas dasar ayat ini maka para ulama’ ahli Fiqh menetapkan sebuah kaidah, seperti: “Darurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya

Oleh karena itu setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan darurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut, dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan darurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada hukum halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan mudah tersentuh dengan hal-hal yang haram atau mempermudah keputusan darurat.

Selain itu, terdapat juga penjelasan dari sunnah Nabi SAW yang memperbolehkan penggunaan sutera bagi kaum lelaki setelah beliau mengharamkannya. Yaitu sebuah riwayat yang mengatakan bahwasanya ‘Abdurrah}ma>n bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwam sama-sama mengadukan masalah mereka kepada Nabi SAW bahwa mereka terserang penyakit gatal, kemudian Rasulullah SAW mengizinkan mereka untuk memakai pakaian yang terbuat dari sutera .

Dalam masalah kesehatan, Yusuf Qardawi juga memberikan batasan tentang darurat-nya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit dengan memakan sesuatu dari barang- barang yang diharamkan. Ada sebagian ulama’ menganggap keadaan seperti ini sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya proses pengobatan seperti ini sama dengan makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan berobat dengan barang-barang haram, ialah hadith Nabi yang menunjukkan bahwa beliau memberi izin untuk memakai sutera kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwam karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan haram.

Yusuf Qardawi mengatakan, berkenan dengan rukhshah tentang penggunaan obat-obat dari hal-hal yang haram maka syarat-syarat sebagai berikut harus terpenuhi:

  1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak mengkonsumsi obat tersebut.
  2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram itu.
  3. Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i’tikad baiknya).

Penetapan standar penggunaan barang-barang haram sebagai obat merupakan prinsip ikhtiyat (bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, manakala dia tidak menemukan obat yang halal selain obat yang haram tadi.

Konsep darurat dalam Islam merupakan konsep hukum yang bersifat universal yang dapat dijadikan pijakan institusional dan memberikan peluang kemudahan bagi kaum muslimin untuk tetap melaksanakan proses kehidupan sosialnya dengan leluasa tanpa melanggar peraturan shari’at.

Dalam bidang pemberian fatwa dan dakwah, Yusuf Qardawi lebih memprioritaskan persoalan yang ringan dan mudah atas persoalan yang berat dan sulit, karena berbagai nas}s} yang ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW menunjukkan bahwa yang mudah dan ringan itu lebih dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Firman Allah:

"…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…‛ Al-Qur’an, 2: 185.

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” Al-Qur’an, 4: 28.

Keringanan (rukhsah) itu mesti dilakukan, dan kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT harus dipilih apabila berada dalam kondisi yang menuntut untuk melakukan hal itu, misalnya karena tubuh yang sangat lemah, sakit, tua, atau ketika menghadapi kesulitan, dan alasan lain yang dapat diterima shari’at.

Dan hal ini sesuai dengan kaidah: “Apabila dua mafsadah berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan bahayanya”.

Pemikiran Yusuf Qardawi Tentang Darurat

Darurat ialah satu keadaan dimana seseorang itu berhadapan dengan situasi yang melibatkan keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta bendanya. Ketika dalam keadaan ini maka boleh mengerjakan yang diharamkan atau meninggalkan yang diwajibkan atau menunda waktu perlaksanaan guna menghindari ke-madarat-an yang diperkirakan dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan shara’.

Dalam menyikapi masalah darurat, Yusuf Qardawi mengatakan Di antara kemudahan yang sangat dianjurkan ialah mengakui kondisi darurat yang muncul dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat individual maupun sosial. Shari‘at agama ini telah menetapkan hukum yang khusus untuk menghadapi kondisi darurat, yang membolehkan kita melakukan sesuatu yang biasanya dilarang dalam kondisi normal, hal-hal yang diperbolehkan itu ada yang berhubungan dalam hal makanan, minuman, pakaian, perjanjian, dan mu’amalah. Lebih daripada itu, shari‘at agama kita juga menurunkan ketetapan hukum dalam kasus tertentu dan pada masa-masa tertentu yang berlaku bagi orang khusus maupun orang awam yang sama dengan hukum darurat, demi memudahkan umat dan untuk menghindarkan mereka dari kesulitan.

Yusuf al-Qardawi memberikan persyaratan mengenai keadaan darurat, dikatakan: dalam keadaan darurat ketika orang tersebut dalam keadaan terpaksa (tidak sengaja dan tidak melewati batas, maksudnya tidak sengaja untuk mencari kelezatan dan tidak melewati batas ketentuan hukum), sudah berusaha sekuat mungkin untuk menolak dan memerangi akan tetapi masih saja berada dalam kondisi dipaksa atau terpaksa di bawah acungan senjata dan di bawah tekanan kekuatan dan kondisi yang membahayakan.

Sehubungan dengan situasi dan kondisi darurat ini, para ulama’ Fiqh menetapkan syarat-syarat darurat sebagai berikut:

  1. Darurat tersebut segera terjadi dan tidak dapat ditangguhkan
  2. Sudah jelas (tetap) bagi yang madarat untuk menyalahi perintah dan larangan shara’
  3. Darurat ini dikhawatirkan dapat membahayakan jiwa dan anggota badan.
  4. Pelaksanaan darurat hanya sebatas batasan minimal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa darurat menurut Yusuf Qardawi memiliki beberapa pengertian dan batasan, yakni:

1. Sesuatu yang mengancam keselamatan agama

Agama adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka dari itu penjagaan agama juga sangat penting,
sebagaimana firman Allah:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Al-Qur’an, 51: 56.

Ayat di atas merupakan tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Untuk mencapai tujuan inilah, maka para Rasul di utus َّdan kitab-َkitab diturunkan. Seَّbagaimana firman-Nya:

(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Al-Qur’an, 4: 165.

Begitu juga firman Allah:

Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‚Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu…‛. Al-Qur’an, 16: 36.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa menjaga agama merupakan hal yang sangat penting, dan sesuatu yang mengancam keselamatan agama harus dihilangkan.

2. Sesuatu yang mengancam keselamatan jiwa

Islam dengan tegas mengharamkan pembunuhan yaitu menumpahkan darah kaum muslimin, ahli dhimmah (orang kafir yang hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan tidak memerangi mereka) serta darah mu‘a>hid (orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan ummat Islam dengan persyaratan tertentu). Bagi yang menumpahkan darah kaum muslimin dengan sengaja, maka Allah SWT mengancam
dengan ancَaman yangَ saُngat kerُas, َseَ bagaimana firman-Nya:

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan ‘azab yang besar baginya. Al-Qur’an, 4: 93.

…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan…‛ Al-Qur’an, 2: 195

Dan dalam ayat yang lain: ْ

…Dan janganlah kamu membunuh dirimu…‛ Al-Qur’an, 4: 29

Berdasarkan ayat-ayat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa membunuh orang lain tidak boleh, membunuh diri sendiri juga tidak boleh, menjerumuskan diri sendiri atau orang lain adalah dilarang.

3. Sesuatu yang mengancam keselamatan akal

Akal merupakan salah satu anugerah yang diberikan oleh Allah kepada manusia, dengan akal dapat menjadikan manusia lebih utama dibandingkan makhluk lainnya, jika manusia hilang akalnya, maka hilanglah keutamaan tersebut.

Penjagaan terhadap kejernihan akal dari hal yang dapat merusak adalah sesuatu yang sangat penting, karena di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan tentang peran dan fungsi akal, seperti firman Allah:

…jika kamu memahaminya. Al-Qur’an, 3: 118.

…Supaya kamu memahaminya. Al-Qur’an, 6: 151.

…Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Al-Qur’an, 16: 11.

Maksud dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menjadikan akal sebagai sarana untuk memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an, mengambil ibrah dan untuk menentukan kemaslahatan dan kemanfaatan hidup. Atas dasar tersebut maka sesuatu yang mengancam keselamatan akal harus dihilangkan.

4. Sesuatu yang mengancam keselamatan keturunan

Menjaga keturunan merupakan sesuatu yang harus dilakukan, maka menghilangkan sesuatu yang mengancam keselamatan keturunan juga harus dilakukan.
Salah satu contoh penjagaan terhadap keselamatan keturunan, Islam mengharamkan perzinaan dan segala wasilah (sarana) yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut seperti berbicara, melihat dan mendengarkan hal-hal yang haram yang memicu terjadinya perbuatan zina.

Perzinaan selain akan mendatangkan murka Allah, juga memiliki dampak kerusakan yang sangat besar, seperti munculnya penyakit-penyakit ganas, ternodainya kehormatan dan harga diri seseorang, tercampurnya nasab dan keturunan secara tidak jelas, sehingga seorang anak dinasabkan kepada bukan ayahnya dan mewarisi dari selain kerabatnya.

Firman Allah:

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. Al-Qur’an, 17: 32.

5. Sesuatu yang mengancam keselamatan harta benda

Islam memerintahkan untuk menjaga harta, yakni sesuatu yang menjadi penopang hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Sebagaimana firmanَ Allah:

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Al-Qur’an, 4: 5.

Maksudnya, salah satu ukuran kemapanan hidup manusia ialah dengan harta. Oleh karenanya terdapat perintah mengeluarkan zakat dan sadaqah.

Untuk menjaga harta, maka Islam mengharamkan segala bentuk pencurian, yaitu mengambil harta orang lain tanpa sepengetahuan dan kerelaannya. Mencuri juga termasuk dosa terbesar dari dosa-dosa besar, sehingga pelakunya diancam dengan hukuman yang sangat buruk yaitu potong tangan.

6. Bahaya yang menimbulkan buruk secara personal

Sesuatu yang akan mendatangkan bahaya kepada diri sendiri haruslah dihilangkan, firman Allah:

…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri Al-Qur’an, 2: 195.

…Dan janganlah kamu membunuh dirimu… Al-Qur’an, 4: 29.

7. Bahaya yang menimbulkan buruk secara sosial

Sesuatu yang akan mendatangkan bahaya kepada diri sendiri haruslah dihilangkan, apalagi sesuatu yang akan menimbulkan bahaya kepada orang lain dan berdampak secara sosial. Firman Allah:

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan- akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah- olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh- sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. Al-Qur’an, 5: 32

Sumber : Syaiful Hidayat , Al-Darurat dalam pandangan Yusuf Qardawi, IAIN Bani Fatah