Bagaimana Hubungan Critical Theory dalam Hubungan Internasional?

critical theory

Teori kritis merupakan teori sosial yang menekankan pada analisis kehidupan sosial secara menyeluruh dengan orientasi terciptanya transformasi sosial.

1 Like

Setiap teori yang ada dalam hubungan internasional tentu dilandasi berbagai asumsi dasar yang berbeda-beda sehingga masing-masing teori tidak akan sama dan tidak selalu applicable untuk menjelaskan ragam fenomena yang terjadi. Dengan demikian, tercipta banyak teori yang menyesuaikan dengan keadaan, sebab dalah satu sifat dasar teori adalah kondisional dimana teori lahir dari suatu keadaan tertentu sehingga dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan tersebut.

Meski lahir berbagai teori dan perspektif, teori yang paling mendasar dan penting untuk kita pahami dalam hubungan internasional adalah teori Realisme dan Liberalisme. Kedua teori ini kemudian dikaji dan dieksplor kembali hingga menghasilkan teori lanjutan yakni Neo-Realisme dan Neo-Liberalisme. Meski sangat berpengaruh terhadap hubungan internasional, teori ini menuai berbagai kritik karena dianggap sebagai teori yang terlalu mapan. Kritikan terhadap kedua teori tersebut mencoba melihat dari sudut pandang lain dari keduanya. Teori ini lantas disebut dengan teori kritis atau Critical Theory.

Teori kritis merupakan teori yang secara otomatis menjelaskan pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Bermula dari pemikiran Hegel, Kant, Weber, dan Marx, teori kritis melihat bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang bebas nilai dan sebuah ilmu pasti didasari oleh kepentingan dan ideologi tertentu.

Teori kritis mulai mempengaruhi studi hubungan internasional pada tahun 1980. Asumsi-asumsi dasar dalam teori kritis ketika itu membantah apa yang dikemukakan oleh pengetahuan tradisional bahwa terdapat pemisahan antara subyek dan obyek, sehingga ilmu tersebut merupakan hal yang bebas nilai. Dialog dan komunikasi antar komunitas politik sebagai solusi yang ditawarkan oleh teori kritis sebagai salah satu cara untuk melakukan pembebasan atau emancipation pun masih diperdebatkan kala itu.

Teori kritis atau Critical Theory ini memiliki karakteristik yang membedakannya dari teori tradisional, yakni :

  • penolakan terhadap sifat ilmu yang merupakan bebas nilai,
  • mendukung adanya uji tujuan dan fungsi dari teori tertentu,
  • menempatkan orientasi dari konteks sosial dalam situasi yang telah ditentukan,
  • memberikan dukungan terhadap pembebasan atau emansipasi (Devetak, 2005).

Kemudian pada tahun 1937, melalui jurnal Hubungan Internasional seperti Millenium, lahirlah kritikan-kritikan yang dikemukakan oleh para ilmuan Frankfurt School of Thought. Teori kritis yang lebih dikenal yakni teori yang dikemukakan oleh Robert Cox dan Andrew Linklater mengenai penolakan terhadap tiga postulat dasar positivism, yaitu realitas eksternal obyektif, pebedaan subyek atau obyek, dan ilmu sosial yang bebas nilai (Jackson dan Sorensen, 1999).

Salah satu hal yang berperan dan berpengaruh dalam teori kritis adalah pemikiran Marxis dan turunannya, yakni Neo-Marxis. Keduanya memiliki asumsi dasar yang tidak jauh berbeda. Dalam pemikiran Marxis, yang menjadi pokok bahasannya ialah pembebasan atau yang tadi telah disebut dengan emancipation. Hal ini berkaitan dengan keinginan terhadap adanya perubahan dan idealisme pada perkembangan ekonomi suatu negara.

Booth mendefinisikan emancipation sebagai berikut,

Freeing people from those constraints that stop them carrying out what freely they would choose to do’.

Lebih Substantif lagi, Ashley (1981) mendefinisikan emansipasi sebagai berikut

‘Freedom from unacknowledged constraints, relations of domination, and conditions of distorted communication and understanding that deny humans the capacity to make their own future through full will and consciousnes’.

Berdasarkan pokok bahasannya, teori kritis dalam studi Hubungan Internasional sebenarnya bertujuan politis, yakni untuk melakukan pembebasan kemanusiaan dari struktur politik dan ekonomi dunia yang dikuasai oleh negara-negara hegemon, yang secara tidak langsung membuat negara lain tertekan. Dengan demikian, teori kritis kerap kali dikaitkan dengan teori-teori Ekonomi Politik Internasional (Jackson dan Sorensen, 1999).

Teori kritis juga merupakan teori yang dinamis, sebab mengacu pada pemikiran Marxis yang non-deterministic, sehingga teori ini terkadang disebut sebagai Open Marxism atau Marxist Humanism.

Frankfurt School of Thought yang membuat teori kritis menjadi lebih popular memiliki beberapa asumsi dasar. Asumsi-asumsi tersebut adalah :

  • Pertama adalah sifat manusia sebagai sesuatu yang tidak tetap dan ditentukan oleh kondisi sosial pada masa itu. Kondisi sosial adalah suatu kondisi dimana manusia saling bersosialisasi dan melakukan internalisasi terhadap nilai-nilai dan ideologi yang berkembang pada masanya, sehingga manusia yang hidup pada masa itu pun secara tidak langsung akan menyesuaikan dengan keadaan.

  • Kedua adalah adanya pengaruh dari nilai, ideologi, dan kepentingan terhadap proses kognitif yang dialami oleh ilmuan dalam mengamati suatu fenomena. Hal ini masih berkaitan dengan asumsi dasar pertama bahwa kondisi sosial dapat mempengaruhi sifat manusia, sehingga apapun yang dilakukan oleh ilmuan tersebut tentu berdasar pada kondisi sosial saat itu.

  • Ketiga adalah ilmu yang tidak bersifat bebas nilai dan netral. Ilmu dapat dikatakan demikian karena pada dasarnya setiap ilmu tentu memiliki ideologi dan kepentingannya masing-masing, sehingga seorang ilmuan akan menjunjung ideologi dan kepentinganny sendiri hingga menghasilkan ilmu yang tidak bersifat netral atau bebas nilai. Asumsi tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Robert Cox, yakni “Theory is always for someone and for some purposes” (Cox, 1986).

  • Kempat adalah teori mendukung pembebasan atau emancipation seperti yang telah dijelaskan di atas.

Habermas sebagai salah satu ilmuan Frankfurt School lantas mengusulkan mekanisme komunikasi dan dialog intersubjektif dengan prinsip discourse ethics sebagai solusi atas keadaan negara-negara yang tertekan di bawah hegemon.

Tujuan dari komunikasi dan dialog intersubjektif itu sendiri adalah untuk memberikan pengertian antar komunitas politik yang ada, yang dibentuk berdasarkan discourse ethic. Dengan discourse ethic itu sendiri, forum komunikasi tersebut dilaksanakan untuk mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak secara demokratis, sehingga setiap pihak berhak berpendapat dalam forum.

Meski teori kritik mampu menjadi teori yang berbeda dan mendobrak kemapanan, namun teori ini tentu masih jauh dari kesempurnaan dan tidak luput dari kritik-kritik tertentu. Frankfurt School of Thought dianggap mengabaikan isu kesetaraan lain karena hanya berfokus pada ranah ekonomi dan politik saja, sedangkan isu kesetaraan cakupannya cukup luas, termasuk permasalahan gender.

Selain itu, komunikasi dan dialog intersubjektif yang diajukan sebagai solusi secara logis tentu akan sulit untuk diwujudkan karena setiap pihak memiliki kepentingan yang berbeda, yang juga disertai dengan perbedaan nilai dan ideologi. Kemudian discourse ethics dirasa tidak dapat diterapkan secara efektif, karena sebelumnya tidak terdapat kesepakatan antar budaya yang universal mengenai acuan moral tertentu. Kritik yang terakhir menyatakan bahwa Frankfurt School tidak memperhatikan aspek power yang sejatinya merupakan hal berperan penting dalam interaksi antar komunitas politik.

Dengan demikian, tidak ada teori dengan asumsi-asumsi dasar yang sempurna, sebab teori bergantung pada situasi dan waktu. Jika dikaji lebih lanjut dengan mengikuti perkembangan zaman, akan lahir teori-teori baru baik yang menyempurnakan maupun mengkritisi teori sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Critical Theory.

Referensi
  1. Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori Kritis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
  2. Cox, Robert. 1981. Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Relations Studies.
  3. Devetak, Richard. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Plagave Camillan.
  4. Brown, Chris, 1994. Critical theory and postmodernism in international relations, in; A.J.R. Groom & Margot Light (eds.), Contemporary International Relations: A Guide to Theory. Pinter.
  5. Linklater, Andrew, 1996. The achievements of critical theory, in; Steve Smith, Ken Booth & Marysia Zalewski (eds.) International Theory: Positivism and Beyond, Cambridge University Press.
  6. Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas, 2005. Introduction to International Relations, Perspectives & Themes, 2nd edition, Pearson & Longman.

Teori Kritis berkaitan erat dengan Ekonomi Politik Marxis. Teoritisi Kritis HI yang terkenal adalah Robert Cox (1981; 1996) dan Andrew Linklater (1990; 1996). Teoritisi Kritis menolak tiga postulat dasar positivisme, yaitu: realitas eksternal objektif, perbedaan subyek dan obyek, dan ilmu sosial bebas nilai.

Menurut Teoritisi Kritis, tidak ada politik dunia atau ekonomi global yang berjalan sesuai dengan hukum sosial yang kekal. Segala suatu yang sosial, termasuk hubungan internasional adalah historis. Dunia sosial merupakan konstruksi waktu dan tempat dimana sistem internasional merupakan konstruksi khusus dari negara-negara yang paling kuat. Sejak politik dunia dikonstruksikan dan bukan ditemukan, maka tidak ada perbedaan mendasar antara subyek (analis) dan obyek (fokus analisis).

Bagi teoritisi kritis, pengetahuan bukan dan tidak dapat netral baik secara moral maupun secara politik atau ideologi. Semua pengetahuan mencerminkan kepentingan dari para pengamat. Pengetahuan bersifat bias karena dihasilkan dari perspektif sosial dari analis. Pengetahuan membuka suatu kecenderungan sadar atau tidak sadar menuju kepentingan, nilai- nilai, kelompok-kelompok, golongan-golongan, kelas-kelas, bangsa-bangsa tertentu dan seterusnya. Semua Teori HI juga bias. Robert Cox (1981) menyatakan bahwa teori selalu bagi seseorang dan untuk tujuan tertentu (theory is always for someone and some purposes).

Semua teori mempunyai perspektif. Perspektif tergantung posisi ruang dan waktu, khususnya dalam konteks sosial dan politik. Dunia dilihat dari perspektif yang bisa didefinisikan dalam konteks bangsa atau kelas sosial, dominasi dan subordinasi, peningkatan dan penurunan kekuasaan, pengalaman lampau, dan harapan dan pengharapan masa depan. Tentu saja, teori yang baik bukanlah teori yang mengekspresikan sebuah perspektif saja. Semakin baik teori semakin merefleksikan dirinya dan melebihi perspektifnya sendiri, tetapi perspektif awal selalu ada dalam teori dan relevan untuk eksplitasi. Oleh karena itu, tidak ada teori yang terpisah dari konteks ruang dan waktu. Ketika sebuah teori merepresentasikan dirinya, penting untuk mengujinya sebagai ideologinya dan mengungkapkan perspektif terselubungnya (Robert Cox dalam Richard Little & Smith, 2006).

Robert Cox menggambarkan suatu perbedaan antara pengetahuan penyelesaian masalah (problem solving approach) dengan pengetahuan emansipatori (emasipatory approach) . Postivist atau pendekatan pengetahuan penyelesaian masalah bersifat bias karena menuju status quo internasional yang berdasarkan pada perbedaan kekuatan dan meniadakan banyak orang.

Pengetahuan penyelesaian masalah pada dasarnya konservatif: pendekatan ini berupaya untuk mengetahui apa yang ada/terjadi pada saat ini. Namun tidak dapat menunjukkan pada pengetahuan tentang kemajuan manusia dan emansipasi yang merupakan pengetahuan yang hendak disediakan oleh teori kritis.

Dalam HI, Teori Kritis tidak terbatas pada suatu pengujian negara dan sistem negara tetapi memfokuskan lebih luas pada kekuatan dan sominiasi di dunia secara umum. Teori Kritis mencari pengetahuan bagi tujuan politis yaitu untuk membabaskan kemanusiaan dari struktur politik dan ekonomi dunia yang menekan yang dikendalikan oleh kekuatan hegemon, khususnya negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat. Teori ini berupaya mendobrak dominasi global negara-negara kaya di belahan bumi utara atas negara-negara miskin di belahan bumi selatan. Dalam hal ini, Teori Kritis tidak bisa dibedakan dengan EPI Marxis. Orientasi mereka menuju perubahan progresif dan keinginan untuk menggunakan teori untuk membawa perubahan juga merupakan pengenalan idealisme (Jackson dan Sorensen, 2009).

Teoritisi Kritis secara terbuka bersifat politis karena menganjurkan dan memajukan ideologi progresifnya (biasanya sosialis) atas emansipasi yang yakin bahwa ilmuan konservatif dan ilmuwan liberal mempertahankan dan memajukan nilai-nilai politisnya. Teoritisi Kritis dengan demikian yakin bahwa perdebatan teoritis ini pada dasarnya perdebatan politik. Seperti kaum idealis, teoritisi kritis sedang mencoba menciptakan revolusi sosial dan politik yang dinyatakan ideologinya. Perbedaannya adalah teoritisi kritis menolak kemungkinan pengaitan akademik dan obyektivitas, sementara kaum idealis tidak menyadarinya (Jackson & Sorensen, 2009).

Pandangan mereka atas pengetahuan yang inheren politis memisahkan teoritisi kritis dari kaum behavioral dengan teoritisi positivis yang meremehkan penggunaan pengetahuan ilmiah untuk tujuan-tujuan politis, dan teoritisi klasik atau tradisional. Menurut Teori Kritis, ilmuwan HI tidak dapat dipisahkan dari permasalahan pokok yang mereka pelajari karena mereka terlibat di dalamnya atau mereka adalah bagian dari apayang mereka pelajari. Baik disadari atau tidak, ilmuwan sosial dan ilmu sosial merupakan instrumen-instrumen kekuatan.

Teori Kritis berupaya mengetahui kepentingan politis yang terdapat dalam teori-teori HI yang berbeda. Selain itu, Teori Kritis berupaya untuk menggali tujuan akhir dari pengetahuan yaitu emansipasi manusia dari struktur global yang mengistimewakan kelompok minoritas penduduk dunia yang relatif kecil atas penderitaan mayoritas penduduk dunia. Teori Kritis dengan demikian dapat dipahami secara eksplisit dan diakui revolusioner. Teori Kritis berupaya merobohkan sistem ekonomi politik dunia yang ada.

Masalah utama dengan pandangan ini adalah masalah yang berkaitan dengan pengambilan sikap terhadap kebebasan akademik dan integritas riset ilmiah dan keilmuan. Teori Kritis menyatakan secara ekstrim bahwa pengatahuan bersifat politis, atau tidak ada pengetahuan yang benar-benar bebas nilai. Meskipun ada kebingungan jika teori kritis bersifat politis dan tidak bebas nilai maka teori kritis adalah politik, Robert Cox berupaya keras untuk membuktikan bahwa ada perbedaan antara politik murni dengan upaya memberikan penjelasan dan pemahaman dalam hubungan internasional akademik. Meskipun demikian, kegiatan akademik inipun tidak benar-benar terpisah dari politik tetapi dengan analisis yang sistematis dan tidak memihak (Jackson dan Sorensen, 2009).

Muhadi Sugiono dalam tulisannya yang berjudul Teori Kritis dalam Hubungan Internasional (2009) menjelaskan bahwa berkembangnya Teori Kritis jelas telah mengubah secara signifikan Disiplin HI dan obyek studinya, yaitu politik global. Sementara mahasiswa HI pada tahun-tahun sebelum tahun 1990-an selalu diajarkan untuk melihat hubungan internasional sebagai hubungan politik antar negara dan dituntut untuk mempelajarinya dengan standar keilmuan alam, yaitu hanya memperhatikan fakta dan kepastian, sementara teori kritis tidak sekedar menghadirkan isu-isu baru dalam hubungan internasional tetapi juga membuka ruang untuk mempelajari hubungan internasional tanpa mengabaikan nilai, moral, opini atau aspirasi. Meskipun demikian, kemunculan Teori Kritis dalam Hubungan Internasional menimbulkan kontroversi.

Teori Kritis juga menjadi sasaran kritik karena terlalu menekankan pada relativitas dan subyektifitas, yang secara sederhana berarti apapun bisa diterima karena pada akhirnya interpretasi, dan bukan fakta, yang menentukan realitas dunia sosial. Kecenderungan ke arah relativisme ini menjadikan teori kritis tidak mampu menawarkan teori yang universal yang memiliki kemampuan eksplanasi ataupun menjadi panduan bagi para pembuat kebijakan.