Apa yang dimaksud dengan cinta menurut Islam ?

cinta

Cinta (mahabbah) berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Cinta merupakan kepedulian yang paling besar dari cita hati.

Apa yang dimaksud dengan cinta menurut Islam ?

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, kata cinta (al-Subb), memiliki kata yang bersinonim sebanyak lebih dari 50, diantaranya adalah : al-mahabbah (cinta), al-alâqah (ketergantungan), al- hawâ (kecenderungan hati), ash-shobwah (kerinduan), ash-shobâbah (rindu berat), asy-syaghaf (mabuk kepayang), al-miqâh (jatuh hati), al-wajdu (rindu bercampur sedih), al-kalaf (beban/derita karena cinta), at-tatayyum (pemujaan), al-‘isyq (kasmaran), al-jawâ (yang membara), ad-danaf (sakit karena cinta), asy-syajwu (yang menyedihkan/ merana), asy-syauq (rindu), al-khilâbah (yang memperdaya), al-balâbil (yang menggelisahkan), at-tabârih (yang memberatkan), as-sadam (sesal dan sedih), al-ghamarat (tidak sadar atau mabuk), al-wahal (yang menakutkan), asy-syajan (yang dibutuhkan), al-lâ’ij (yang memedihkan), al-ikhti’âb (yang membuat merana), al-washab (kepedihan), al-ariq (yang membuat tidak bisa tidur), al-hanîn (penuh kasih-sayang), al-futûn (cinta yang penuh dengan cobaan), ar-rasîs (gejala cinta), al-wudd (kasih yang tulus), al- khilmi (teman dekat), at-ta’abbud (penghamban), dan al-marhamah (perasaan sayang).

Pendapat lain menyebutkan bahwa kata al-hubb sebenarnya diambil dari kata habbatun, artinya benih. Atau pendapat lain mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hubbun yang berarti penopang sesuatu, karena orang yang dimabuk cinta dapat menahan beban berat untuk sesuatu yang dicintainya, sebagimana penopang akan dapat menahan beban sesuatu yang ditopangnya. Dan satu hal yang perlu diketahui bahwa kata cinta dalam bahasa Arab mempunyai dua dialek, yaitu habba dan ahabba.

Kata lain yang bersinonim dengan kata al-hubb yang berarti cinta atau kasih-sayang adalah al-marhamah -kata kerjanya adalah rahima-, yang berarti perasaan sayang, meliputi pengertian cinta kasih, yang menimbulkan kekuatan untuk menahan amarah kepada sesuatu.

Kata rahmah atau rahmat adalah asal usul dari kata rahman dan rahim. Sedangkan rahmah itu sendiri berasal dari kata kerja rahima. Keduanya secara bersama atau terkadang secara sendiri-sendiri adalah bagian dari sifat-sifat Allah SWT. Menurut Kamus al-Qur’an al- Mufradat fi al-Gharib al-Qur’an karya Syekh Abu Al-Qasim al- Husayn al-Raghib al-Isfahani, rahmat artinya : “kelembutan hati yang mengharuskan berbuat kebajikan kepada yang dirahmati.” Sehingga artinya meliputi pengertian cinta kasih.

Cinta adalah perasaan aneh yang merasuki jiwa setiap makhluk yang memberikan ia kekuatan tertentu dalam menciptakan karya-karya untuk dirinya dan makhluk disekitarnya, yang secara bahasa sering diartikan “amat suka” atau “sayang sekali”.

Terminologi Cinta

Menurut Ibnu Hazm, cinta adalah ungkapan perasaan jiwa, ekspresi hati dan gejolak naluri yang menggelayuti hati seseorang terhadap yang dicintainya. Ia terlahir dengan penuh semangat, kasih-sayang dan kegembiraan. Pada walnya cinta itu biasa lalu semakin menguat di dalam jiwa. Demikian lembutnya arti sebuah cinta sehingga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, dan cinta hakiki tidak dapat dimengerti kecuali dengan sebuah pengorbanan.

Cinta dalam Islam bukan sebuah kebebasan tanpa batas, bukan pula kemerdekaan tanpa sebuah tanggungjawab. Cinta merupakan metode pendidikan Ilahi yang terkait dengan emosi dan perasaan. Cinta itu membina moral dan menjinakkan insting.

Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan, yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya seperti jasad yang tak memiliki ruh.

Banyak pendapat yang dikemukakan di kalangan ahli bahasa sehubungan dengan definisi cinta, diantaranya adalah:

  • Cinta adalah menuruti kemauan yang dicintai, baik di hadapannya maupun di belakangnya.

  • Cinta adalah kesamaan kehendak antara pihak yang mencintai dan pihak yang dicintai dalam hal selera.

  • Cinta adalah menyajikan pelayanan disertai dengan menjaga kesucian.

  • Cinta adalah banyak berkorban untuk orang yang dicintai dan enggan merepotkannya.

  • Cinta ialah kecemburuan yang muncul dalam kalbu bila kehormatan obyek yang dicintai ada yang melecehkannya, dan cemburu jika kekkasih menduakan.

  • Cinta ialah memelihara kesetiaan. Oleh karena itu tidaklah benar orang yang mengakui cinta kepada seseorang sedang dia tidak memelihara kesetiaannya.

  • Cinta ialah bilamana seseorang melakukan apa yang disukai oleh orang yang anda cintai.

  • Cinta adalah kecenderungan hati kepada kekasih secara total, sehingga membuat seseorang lebih memprioritaskan kekasih di atas kepentingan jiwa, raga, dan harta bendanya: lahir dan batin selalu bersesuaian dengan yang dicintai, namun demikian sang pecinta selalu merasa kecintaannya belum maksimal.

  • Cinta adalah bilamana mengorbankan semua jerih payah demi memuaskan hati yang dicintai.

  • Cinta adalah ketenangan tanpa keguncangan dan keguncangan tanpa ketenangan. Kalbu selalu berguncang dan tidak pernah merasa tenang kecuali dengan sang kekasih, kalbu selalu berguncang karena rindu kepada sang kekasih, dan baru merasa tenang bila berada dengannya.

  • Cinta adalah bilamana sang kekasih terasa lebih dekat oleh orang yang mencintainya daripada jiwanya sendiri.

Perasaan cinta adalah dinamika jiwa yang tersimpan dalam hati seseorang berupa perasaan ingin selalu bersama dengan orang yang dia kagumi atau orang yang dia sayangi, menimbulkan semangat ingin selalu memberi, merawat, melindungi, serta memberikan pengorbanan dengan segenap kemampuan dan penuh ketulusan, dengan harapan ada pertumbuhan dan perkembangan di dalam jiwa orang yang dicintainya.

Referensi :

  • Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Taman Jatuh Cinta dan Rekreasi Orang-Orang Dimabuk Rindu, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar Ihzan Zubaidi, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2000).
  • Khalid Jamal, Ajari Aku Cinta (Renungan Cerdas Menggapi cinta sejati), Penerjemah: Budiman Mustofa, (Surakarta: Ziyaad Books, 2007).
  • Ibul Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus salikin, Penerjemah: Kathur Suhardi, (Jakarta:
  • Pustaka Al-Kautsar, 1998).

Menurut al-Ghazali definisi cinta (Mahabbah) adalah kecenderungan naluriah kepada sesuatu yang menyenangkan.

Abu Yazid Al-Bustami (w. 280 H) mengatakan hakikat cinta itu adalah apabila telah terjadi al-ittihad. Menurut Al-Junaid, cinta berarti merasukkan sifat-sifat sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat pencinta. Di sini Al-Junaid menunjukkan betapa hati si-pencinta direnggut oleh ingatan akan sifat-sifat sang kekasih, hingga sang pencinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.

Barangkali dalam keadaan inilah, para salik ketika mereka mabuk kepayang terhadap kekasihnya, yaitu Allah SWT, mereka seakan-akan berada di hadirat-Nya. Mereka sudah tidak ingat apa-apa selain Allah SWT semata. Bahkan ketika itu di dalam dirinya tidak membekas sedikit pun perasaan ketergantungan kepada selain Allah SWT.

Sementara Abu Nashr Al-Sarraj Al-Thusi membagi cinta (mahabbah) menjadi tiga tingkatan:

  • Mahabbah al-‘ammah (orang asmara), yaitu cinta yang timbul dari belas kasih dan kebaikan Allah SWT kepada hamba-Nya.

  • Mahabbah al-shadiqin wa al- Muhaqqiqin, yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebenaran, keangungan, kemahakuasaan ilmu dan kekayaan Allah SWT.

  • Mahabbah al-shiddiqin wa al-arifin, yaitu cinta yang timbul dari penglihatan dari ma’rifat mereka terhadap qadim-Nya kecintaan Allah SWT yang tanpa ‘illat (pamrih). Demikian pula mereka mencintai Tuhan dengan tanpa ‘illat. Cinta ilahi yang bersih dan tidak ada kekeruhannya adalah hilangnya cinta dari hati dan anggota badan sampai tidak ada cinta sama sekali padanya, dan yang ada semuanya itu hanyalah bi Allah dan li Allah itulah bercinta karena Allah SWT.

Harun Nasution menjelaskan beberapa defenisi cinta (Mahabbah) sebagai berikut:

  1. Memeluk kepatuhan kepada Allah SWT dan membenci sikap melawan-Nya.
  2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang di kasihi.

Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi yang dimaksud dengan yang dikasihi di sini ialah Tuhan.

Defenisi-defenisi terminologis cinta Ilahi, sebagaimana yang dikemukakan para tokoh sufi di atas, barangkali merupakan setitik ungkapan perasaan dan pengalaman jiwa yang dikeluarkan melaluai kata- kata yang dapat disentuh. Karena, bila diperhatikan ungkapan itu tidak selamanya dapat disamakan dengan ungkapan yang berupa kata-kata atau huruf. Namun untuk dapat mengerti ungkapan-ungkapan perasaan memang harus diaktualisasikan melaluai kata-kata atau huruf-huruf yang dipahami dan dimengerti oleh orang lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya cinta (Mahabbah) meliputi ilham, pancaran dan lupaan-lupaan hati cinta dengan segala perasaan dan keberadaannya.

Dengan makna dan tingkatan-tingkatan ini, menurut ahli tasawuf, cinta itu sebenarnya tidak dapat dijelaskan hakikat dan rahasianya. Cinta itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat disifati.

Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 628 H) seperti dikutip Al-Qusyairi mengatakan, barangsiapa yang mendefenisikan cinta, berarti ia tidak tahu tentang cinta. Siapa yang mengatakan bahwa dia telah puas dengan cinta, berarti ia tidak mengerti tentang cinta. Abu ‘Ali Al-Rudzbari menyatakan cinta adalah kesesuaian dengan keinginan sang kekasih.

Ibnu Abdu Al-Shamad mengatakan cinta itu buta dan tuli, seseorang yang jatuh cinta akan buta terhadap apapun selain kekasihnya. Ia tidak akan melihat selain yang dikasihinya. Syaikh Abu Ali Al-Daqqaq mengatakan cinta adalah kemanusiaan, tetapi hakikatnya adalah kebingungan.

Menurut Masignon dan Mustafa Abdurrasiq, di dalam bahasa Arab al-mahabbah dibicarakan dalam lima macam pengertian, yaitu :

  • Pertama, al-mahabbah bermakna bersih dan putih. Berdasarkan kata-kata mereka (orang Arab) yang menyebutkan ‘’bersih dan putihnya gigi yang tampak’’ dengan ungkapan ‘’habbaba al-asnam’’.

  • Kedua, al-mahabbah bermakna tinggi dan mulia, sebagaimana kata-kata mereka ‘’hubbaha al-ma’a wa hubbahu’’ (yang lebih tinggi darinya ketika terjadi hujan lebat ). Demikian pula dengan kata-kata ‘’ habbaba al-ka’sa (air meninggi melampaui permukaan gelas).

  • Ketiga, al-mahabbah bermakna suatu kebiasaan, kelaziman dan keteguhan, seperti kata-kata ‘’hubbu al-ba’iru wa ahabbu’’ dialamatkan kepada unta yang tidak mau berdiri.

  • Keempat, al-mahabbah berarti inti sari, seperti kalimat ‘’taubatal al-qalbi’’ (inti hati) yang digunakan untuk menjelaskan bagian dari dalam hati.

Dengan demikian batasan-batasan dan rumusan-rumusan untuk mendefisinikan cinta adalah wajar dan benar, tetapi tidak cukup untuk mengungkapkan hakikatnya. Ia adalah isyarat-isyarat, tanda-tanda dan peringatan-peringatan. Tidak ada defenisi yang sempurna yang meliputi apa yang dirasakan oleh orang yang bercinta. Bagaimanapun juga kalimat yang mereka pergunakan, tidaklah dapat mensifati cahaya kecuali cahaya dan tidak dapat mengambarkan kerinduan kecuali kerinduan itu sendiri.

Mengingat nama-nama kandungannya yang halus, maka cinta itu adalah rahasia yang tidak dapat diketahuai oleh orang yang bersangkutan dan hidup dengannya. Tiada diketahuai kecuali orang-orang yang memperoleh nur dan hidup untuknya. Mahmud al-Syarif berkata:

’’Barangsiapa yang merasa nikmat dengan pancaran dan kerinduan dan merasakannya, berarti dia menguasai daerahnya dan keberadaanya’’.

Dalam pandangan Iqbal (1876-1938 M), cinta merupakan makan khuldi. Cinta bukan merupakan pencarian mistik yang sia-sia dan samar- samar, juga bukan api birahi yang membara dan mendorong ke pemuasan badani. Bagi Iqbal, cinta adalah sesuatu yang tidak kunjung kenyang, yang memimpin manusia ke jalan kebajikan dan keutamaan.

Referensi :

  • Abdul Qasim al-Qusyairi an-Naisaburi, ar-Risalah al- Qusayriyah, ( Dar al-Khair, t. t).
  • Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumiddin: Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang Hujjat al-Islam, Trj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 366
  • Harun Nasution, Falsafah dan Mitisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999).
  • Asfari dan Otto Soekanto, Mahabbah Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000).

Cinta atau yang dalam bahasa Arab dikenal Mahabbah berasal dari kata Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam.

Al-Alusi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat yuhibbunahu adalah mereka selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Demikian pula seperti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran 3/31,

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kata al-hub dimaknai khususnya di kalangan ulama sufi sebagai sebuah perasaan yang terkait dengan zat Tuhan dan semestinya seorang pencinta mencintai Tuhan karena zat-Nya bukan karena pahala-Nya atau kebaikan-Nya karena cinta tersebut karena kebaikan-Nya menempati derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan cinta karena Zat-Nya.

Menurut al-Qusyairi dalam kitab Al-Kasyfu wal Bayan, menjelaskan bahwa cinta adalah suatu hal yang mulia. Allah Yang Maha Suci yang menyaksikan cinta hamba-Nya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa Dia mencintainya. Demikian juga hamba itu menerangkan cintanya kepada Allah Yang Maha Suci.

Jika Allah telah mencintai hamba-Nya, Allah berkata kepada jibrîl a.s. "Wahai Jibrîl, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.‟ Maka Jibrîl pun mencintainya, kemudian menyeru kepada penduduk langit.

"Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia!‟ Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian allah memberikan pengabulan kepadanya di bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba, maka Malăikat Mălik berkata,

"Saya tidak menganggapnya kecuali saya membencinya seperti kebencian Allah kepadanya.‟”

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Falsafi, Jamil Shaliba juga mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-Baghd (benci). Al Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang. Mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang menyenangkan. Jika kecenderungan itu semakin menguat, maka namanya bukan lagi mahabbah, tetapi berupa menjadi isyaq (asyik-masyuk).

Dalam definisi al-Muhasibi, mahabbah diartikan sebagai “kecenderungan hati secara total pada sesuatu, perhatian terhadapnya itu melebihi perhatian pada diri sendiri, jiwa dan harta, sikap diri dalam menerima baik secara lahiriah maupun batiniah, perintah dan larangannya; dan pengakuan diri akan kurangnya cinta yang diberikan padanya.”

Menurut al-Hujwairi al-mahabbah/al-hubb terambil dari kata al-hibbah, merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir. Kata ini ditujukan kepada benih-benih di padang pasir tersebut (al hubb), karena cinta itu sebagai sumber kehidupan sebagaimana benih-benih itu merupakan asal mula tanaman.

Tokoh lain menyatakan, al-mahabbah itu diambil dari al-hubb, yang berarti sebuah tempayan penuh dengan air tenang, karena jika cinta itu berpadu dan memenuhi hati, maka tak ada ruang bagi pikiran tentang selain yang dicintai. Kata asy-Syibli cinta itu dinamakan al-mahabbah, karena ia menghapus dari hati, segala sesuatu kecuali yang dicintainya.

Sumber lain menuturkan, kata itu diturunkan dari al-habab, yaitu gelembung-gelembung air dan luapan-luapannya waktu hujan lebat, karena cinta itu luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasih. Ini sebagaimana badan bisa hidup, karena ada ruh, begitu pula hati dapat hidup karena ada cinta, dan cinta bisa hidup, karena melihat dan bersatu dengan kekasih.

Dalam pandangan al-Junaid, mahabbah didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada Allah swt., kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridlo Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati semua yang diperintahkan atau dilarang oleh Allah, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.”

Mengenai pendapat-pendapat para ulama‟ sufi tentang cinta, sebagian dari mereka mengatakan bahwa cinta adalah kecenderungan yang abadi dalam hati yang dimabuk rindu. Dikatakan bahwa cinta mendahulukan kekasihnya dari pada semua yang menyertainya. Dikatakan pula bahwa cinta setia kepada kekasih, baik ketika berhadapan dengannya atau tidak.

Al-Junaid pernah ditanya tentang cinta, lalu dijawab, “cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya.” Maksudnya, orang yang mencintai itu selalu memuji-muji yang dicintainya, sehingga orang yang mencintai tenggelam dalam ingatan sifat-sifat yang dicintainya dan melupakan sifat-sifat dirinya sendiri dan perasaannya pada sifat-sifat yang dimilikinya.

Mahabbah menurut al-Qusyairi dalam tasawuf yaitu merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah Swt. oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihani-Nya.

Mahabbah berbeda dengan al-Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al- Raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.

Abu „Ali Ahmad ar Rudzabari berkata, “Cinta adalah kesetiaan.” Abul Hasan Samnŭn bin Hamzah al-Khawwash berkata, “Orang-orang yang mencintai Allah telah pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan Nabi Saw., pernah bersabda:

Seseorang akan bersama yang dicintainya”

Abu Bakar Muhammad al-Kattani berkata, “Pernah terjadi dialog cinta di Makkah al-Mukarramah di waktu musim haji. Para syaikh (guru besar) menyampaikan pendapatnya, sedangkan al-Junaid pada saat itu adalah yang paling muda usianya. Mereka berkata kepada al-Junaid, “Sampaikanlah pendapatmu wahai orang iraq". Maka al-Junaid menundukkan kepalanya, dan kedua matanya mencucurkan air mata, kemudian berkata,

“Seorang hamba yang telah meninggalkan dirinya untuk mengingat Tuhannya, berdiri menunaikan hak-hak Tuhannya, memandangnya dengan mata hatinya sampai hatinya membakar identitas dirinya, meminum kejernihan minuman dari gelas cintanya, sehingga tersingkaplah tabir Tuhan Yang Maha Perkasa dari kegaiban-Nya. Jika hamba ini berbicara, maka ia berbicara dengan nama Allah. Jika menyampaikan suatu pendapat, maka ia mengambilnya dari Allah. Jika bergerak, maka itu karena perintah Allah. Jika diam, maka ia selalu bersama Allah. Dia selalu dengan nama Allah dan untuk Allah serta selalu bersama Allah.‟ Maka menangislah para syeikh seraya mengatakan, „Tiadalah ucapan yang lebih baik dari ucapanmu, semoga Allah memberikan mahkota kepada orang-orang arif.

Rabi‟ah al-Adawiyah berkata dalam munajatnya, “Wahai Tuhanku, apakah Engkau akan membakar hati yang mencintai-Mu?” Kemudian ada suara yang menyahut, “Kami tidaklah memperlakukan demikian, maka janganlah kamu punya prasangka buruk terhadap kami.”

Dalam munajat sucinya, Rabi‟ah al-„Adawiyah mengatakan, Aku mencintaimu dengan dua cinta, pertama adalah cinta berahi, dan kedua, cinta yang disebabkan karena engkau berhak untuk cinta itu. Adapun cintaku yang pertama, yakni cinta birahi, adalah dzikir-ku kepada-Mu, yang memalingkanku dari selain- Mu. Sedangkan cintaku yang disebabkan karena engkau berhak untuk cinta itu adalah terbentangnya rahasia-Mu di hadapanku, hingga aku melihat-Mu. Tidak ada sanjungan untukku dalam cinta yang pertama, tidak juga yang kedua. Justru segala puji untuk-Mu dalam cintaku yang pertama dan yang kedua.

Margaret Smith mengatakan, al-Qusyayri mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni cinta, kehamonisan dengan Sang Kekasih, penghapusan semua kualitas pecinta, penegakan esensi Sang Kekasih (Allah), dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi. Sedang bagi al-Junaid, cinta itu sebagai peleburan di dalam keagungan Sang Kekasih dalam wahana kekuatan sang pecinta. Kata Abu `Abdullah, cinta itu berarti memberikan semua yang engkau miliki kepada Allah yang sangat engkau cintai, sehingga tidak ada lagi sisa dalam dirimu. Sedang kata asy-Syibli hal itu disebut cinta, sebab ia menghapuskan semua kecuali Sang Kekasih dan cinta adalah api yang akan melalap semua kecuali Kehendak Ilăhi.

Berkata Abu „Utsman, “Fasiknya orang-orang arif terjadi jika melepaskan pandangan mata, lisan, dan telinga kepada hal-hal yang menjurus kepada dunia dan kepentingan-kepentingan dunia. Sedangkan khianatnya muhibbin (orang-orang yang mencintai Allah) terjadi jika memilih hawa nafsunya dari pada ridlo Allah Azza wa Jalla dalam menghadapi masa depan mereka.

Referensi :

  • Abu Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Atsa‟labi an-Naisaburi, Al-Kasyfu wal Bayan, Cet.VI, (Bairut: Darul Ihya‟ Turats al-„Arabi, 2002).
  • Jamil Shaliba, Al-Mu‟jam al-Falsafi, Jilid 2, (Mesir: Dar al-Kairo, 1978).
  • Abdul Fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta Selatan: khalifa, 2005).
  • Abul Qasîm Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah:
  • Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, penyunting: Umar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998).
  • Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al-Kahir, t.t.).
  • An-Nabawi Jaber Siraj dan „Abdussalam A. Halim Mahmud, Rabi‟ah Sang Obor Cinta
  • Sketsa Sufisme Wali Perempuan, (Sabda Persada: Yogyakarta, 2003).
  • Margareth Smith, Rabi‟ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, terj. Jamilah Baraja, Cet. IV, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001).

Etimologi


Al-mahabbah adalah bentuk masdar dari kata yang mempunyai tiga arti yaitu;

  • Melazimi dan tetap. Jika dihubungkan dengan cinta maka dapat dipahami bahwa dengan melazimi sesuatu akan dapat menimbulkan keakraban yang merupakan awal dari munculnya rasa cinta.

  • Biji sesuatu dari yang memiliki biji. Dengan melihat fungsi biji pada tumbuh-tumbuhan adalah benih kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan. Karena itu, Al-mahabbah merupakan benih kehidupan manusia minimal sebagai semangat hidup bagi seseorang yang akan mendorong usaha untuk meraih sesuatu yang dicintai.

  • Sifat keterbatasan. Dengan melihat manusia sebagai subjek cinta, sangat terbatas dalam meraih sesuatu yang dicintai sehingga membutuhkan bantuan Sang Pemilik Cinta yang sesungguhnya, yaitu Allah swt.

Ada yang mengatakan bahwa al-mahabbah berasal dari kata al-habab, artinya air yang meluap setelah turun hujan lebat, sehinggah al-mahabbah adalah luapan hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu sang kekasih.

Cinta Sufi

Terminologi


Pengertian al-mahabbah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pandangan dari beberapa golongan tentang al-mahbbah, di antaranya:

Pandangan kaum Teolog yang dikemukakan oleh Webster mengemukakan bahwa al-mahabbah berarti;

  • Keredaan Tuhan yang diberikan kepada manusia,
  • Keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan
  • Perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya.

Pengertian tersebut bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada al-mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahbbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya.

Sejalan dengan hal tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa jumhur Mutakallimin mengatakan bahwa al-mahabbah merupakan salah satu bagian dari iradah. Iradah itu tidak berkaitan kecuali apa yang dapat dijangkau, sehingga al-mahabbah tidak mungkin berhubungan dengan Zat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, melainkan ketaatan kepada-Nya. Begitu pula pendapat al-Zamakhsyari sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah bahwa al-mahabbah adalah iradah jiwa manusia yang ditentukan dengan ibadah kepada yang dicintai-Nya bukan kepada selain-Nya.

Pandangan tersebut, menggambarkan bahwa mahabbah kepada Tuhan adalah mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Apa yang dilakukan adlah yang mendatangkan kebaikan.

Salah seorang filosof, Ibn Miskawaih (w. 1030 M.) mengatakan bahwa al- mahabbah merupakan fitrah untuk bersekutu sengan yang lain, sehinggah menjadi sumber alami persatuan. Mahabbah mempunyai dua obyek, yaitu;

  • Hewani berupa kesenangan dan ini haram,
  • Spiritual berupa kebijakan atu kebaikan.

Sedang tujuan akhir kebaikan adalah kebahagiaan ilahi yang hanya dapat dimiliki oleh orang suci.

Inti al-mahabbah dalam pandangan Ibn Miskawaih adalah penyatuan antara pencinta dengan kekasihnya, antara manusia dengan Tuhannya, tetapi peryataan yang dimaksud bukan antara zat dengan zat, melainkan perasaan hambah yang mencapai tingkat al-al-mahabbah tidak ada batas antara dia dengan Tuhan, karena kemampuannya menghilangkan sifat nasutnya (kemanusiaan).

Imam al-Gazali, sebagai seorang sufi, mengatakan bahwa al-mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Jika dipahami pernyataan tersebut, maka al- mahabbah manusia ada beberapa macam karena kecenderungan hati di antara setiap orang berbeda-beda. Ada yang cenderung kepada harta, ada kepada sesamanya dan ada pula kepada Tuhan. Kecenderngan mereka tidak terlepas dari pemahaman dan penghayatan serta pengalamannya terhadap ajaran agama.

Namun demikian, bagi Imam al-Gazali tentunya yang dimaksud adalah kecenderungan kepada Tuhan, karena bagi kaum sufi al-mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya al-mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya bahwa

“Barang siapa yang mencintai sesuatu tanpa kaitannya dengan al-mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintai”.

Sementara itu, Harun Nasution (1998 M) mengemukakan bahwa al-mahabbah mempunyai beberapa pengertian:

  • Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

  • Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasih.

  • Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali yang dikasih.

Pengertian tersebut diatas, sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam yang al-mahabbahnya termasuk pada pengertia yang pertama.

Sejalan dengan hal tersebut, al-Sarraj (337 H.) membagi al-mahabbah kepada tiga tingkatan, yaitu:

  • Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama- nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.

  • Cinta orang sidiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.

  • Cinta orang yang arif, yaitu tahu betul pada Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Al-mahabbah tingkat ketiga adalah al-mahabbah bagi kaum sufi yang sudah manunggal dengan Tuhan, yakni memiliki sifat-sifat lahut (ketuhanan) dan menghilangkan sifat nasutnya. Sementara tingkat kedua merupakan proses untuk memasuki tingkat daketiga dan tingkat pertama adalah milik kaum awam. Jika yang pertama tidak dimiliki, berarti tidak memiliki al-mahabbah kepada Allah.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-mahabbah merupakan keinginan yang mendorong untuk berusaha memenuhinya, walaupun dengan pengorbanan. Keinginan tersebut adalah menyatu dengan kekasih, yaitu Tuhan, tetapi penyatuan yang dimaksud adalah kemampuan untuk memiliki sifat-sifat kekasih dan menghilangkan sifat-sifat yang dimiliki yang tidak sesuai dengan sifat kekasih agar biasa terjadi penyesuaian.

Cinta Sufi

Al-mahabbah menurut Kaum Sufi


Bila di perhatikan ungkapan kaum sufi tentang al-mahabbah, tampak ada perbedaan karena persepsi yang mereka ungkapkan adalah berdasar pada pengalaman mereka masing-masing, antara satu dengan yang lain berbeda.

Rabi’ah al-Adawiyah sebagai pencetus awal teori al-mahabbah di kalangan kaum sufi mangatakan, seperti yang dikutip Margareth Smith bahwa “cinta berasal dari kezalian menuju keabadian”.

Selanjutnya Ibrahim Basyuni mengemukakan pandangan Rabi’ah al-Adawiyah bahwa aku mencintai-Nya dengan dua macam cinta, yaitu ; Cinta kepada diriku dan cinta kepada-Mu. Adapun cinta kepada-Mu adalah keadaan- Mu yang menyingkapkan tabir, hingga Engkau kulihat, baik untuk ini maupun untuk itu.

Ungkapan Rabi’ah di atas, menggambarkan bahwa al-mahabbah adalah pemberian Tuhan, karena Tuhanlah yang menyingkap tabir, dan keadaan itulah terjadi mahabbah. Oleh karenanya kepada-Nya-lah al-mahabbah itu harus dikembalikan. Sekalipun dalam ungkapan Rabi’ah ada mahbbah untuk dirinya, tetapi bukan untuk dirinya melainkan suatu proses untuk mencapai mahabbah sesungguhnya. Untuk itu harus menghilangkan segala sesuatu selain Allah dalam hati agar tersingkap tabir yang menjadi penghalang antara hamba dengan Tuhan-Nya, karena hati yang merasakan al-mahabbah dan merasakan berhadapan langsung dengan Tuhan tanpa ada penghalang.

Kamil Muhammad mengemukakan pandangan Zul al-Nun al-Misriy tentang al-mahabbah yaitu; mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Melakukan semua kebaikan dan menolak semua yang menyebabkan lalai kepada-Nya, tidak takut terhadap celaan selama berada dalam keimanan dan mengikuti Rasululah saw. serta menjauhi orang-orang kafir.

Tampaknya, al-mahabbah dalam konsep Zu al-Nun al-Misri merupakan proses untuk mencapai tujuan akhir perjalanan sufi yaitu ma’rifah, bukan al-mahabbah yang dimaksud Rabi’ah, karena al-mahabbah dalam kosep Rabi’ah adalah tujuan akhir yang akan dicapai oleh seorang sufí. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa al-mahabbah dalam konsep Rabi’ah dan ma’rifah dalam konsep Zu al-Nun al-Misri adalah merupakan pemberian Tuhan.

‘Abd al-Qair Mahmud mengemukakan pandangan Abu Yazid al-Bistani (w. 874 M.) tentang al-mahabbah, yaitu; ‘hakikat al-mahabbah adalah pada saat terjadi ittihad’.

Jika dalam pandangan Rabi’ah al-Adawiyah dan Zu al-Nun al-Misri, masih ada dua wujud yang saling berhadapan, maka dalam pandangan Abu Yazid tinggal sattu wujud, karena antara wujud hamba dengan Tuhan bersatu. Hamba dapat bersatu dengan Tuhan setelah berhasil menghilangkan sifat nasut yang dimiliki.

Sejalan dengan hal tersebut, al-Sahrawardi mengemukakan pandangan al- Junaid (w. 911 .) tentang al-mahabbah, yaitu; memasukkan sifat-sifat sang kekasih untuk menggati sifat sang pencinta. Sang pencinta adalah manusia yang memiliki sifat kemanusiaan (nasut) yang berhubungan dengan dunia materi, sedang yang dimaksud sang kekasih adalah Tuhan yang tidak dapat berhubungan dengan dunia materi, sehingga diperlukan usaha keras dan sungguh-sungguh dari manusia untuk menghilangkan sifat nasutnya dan menggantikan dengan sifat ketuhana (lahut), sehingga terjadilah kesesuaian dan dapat bertemu.

Kemudian al-Sahrawardi (w. 578 H.) menjelaskan bahwa sesungguhanya al- mahabbah adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pecinta kepada kekasihnya, suatui ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pecinta kepadanya, sehingga ia melenyapkan sifat yang tidak sesuai dengan kekasihnya agar dapat menangkap sifat sang kekasih. Apa yang dikemukan oleh al sahrawardi merupakan pengalaman yang dialami dalam perjalanan kerohiannya menuju Tuhan, yakni dimulai dengan pembersihan diri, yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat nasut yang dimiliki, kemudian mengisi dengan sifat-sifat lahut agar terjadi kesesuaian antara pencinta dengan sang kekasih, sehingga memudahkan bersatu.

Ittihad merupakan satu tingkatan dalam ajaran tasawwuf yang menganggap seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan-Nya atau atau antara pencinta dengan kekasihnya.

Jadi, al-mahabbah adalah anugerah Tuhan yang tertanam dalam hati yang menerimanya. Karena itu, al-mahabbah bagi kaum sufi hanya diperuntukkan kepada Tuhan sebab hanya Dialah yang memiliki sebab-sebab adanya al-mahabbah, yaitu;

  • Manusiua mempunyai tabi’at yang cenderung kepada kekekalan, sedang yang kekal hanya Tuhan.

  • Manusia mempunyai tabi’at yan g suka kepada kebaikan dan Yang Maha Baik hanya Tuhan.

  • Adanya kekserasian antara yang dicintai dan yang mencintai.

  • Mencintai sesuatu karena diri yang dicintai tanpa mengharapkan apa-apa. Sikap yang demikian hanya Tuhan yang tidak membutuhkan sesuatu.

Argumen tersebut, dipertegas oleh Ibn Qayyim (hidup sekirtar abad VIII H.)29 bahwa siapa yang mengetahui Tuhan, maka tidak ada sesuatu yang lebih dicintai-Nya kecuali Dia dan tidak ada sesuatu yang disukai kecuali Dia. Ini berarti jika ada sesuatu yang lebih dicintai atau yang lebih dicintai daripada Tuhan berarti tidak mengenal Tuhan. Karena itu, al-mahabbah bagi kaum sufi hanyalah kepada Tuhan. Namun pengalaman mereka terhadap al-mahabbah tersebut berbeda.

Meskipun pandangan mereka berbeda, tetapi mereka sepakat bahwa al-mahabbah yang sebenarnya adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada hamba- Nya yang mencintai-Nya dan suci dari segala macam bentuk dosa, bahkan mereka telah mampu menghilangkan sifat nasut yang dimiliki, sehingga ia dapat menyaksikan Tuhan melalui hati sanubari atau merasa dekat atau bersatu dengan Tuhan.

Referensi
  • Yūsuf al-Qardawi, al-Īmān wa al-Ḥayāt , terj. Jazirotul Islamiyah, Merasakan Kehadiran Tuhan (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

  • Abi al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah (Beirut: Dar al- Fikr,1991).

  • ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqin (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).

  • Fakhr al-Din Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan ibn ‘Ali al-Tamimi al- Bakri al-Razi, Tafsir al-Kabir , jilid XVI (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).

  • Abi al-Qasim Jarallah Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al- Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil Wujuh al-Ta’wil , juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t. Tht.).

  • Abi Hamid Muhammad bin Muhamad al-Gazali, Ihya ‘Ulim al-Din , juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1991).

  • Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).

  • Fazlur Rahman, Islam (Chicago: Univercity of Chicago Press, 1965).

  • Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, Kitab al-Luma ‘(Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960).

  • Margaret Smith, Rabi’ah The Mystic and Her Fellow Saints In Islam (London; Cambirge Univecity Press, 1928).

  • Ibrahim Basyuniy, Nasy ‘at al-Tasawuf al-Islam (Kairo: Maktabat al-Nahdah al- Misriyah, 1319 H).

  • Navad Nurbakhsh, Sufi Women (London: Khanigahi Ni’matullah Publications, 1983)

  • Kamil Muuhammad ‘Uwaidah, Zu al-Nun al-Misri al-Hakim al-Zahid (Beirut: Dar al-‘Ilmiyah, 1996).

  • Abd al-Qadir Mahmud, Falsafat al-Sufiyyat al-Islam (Kairo: Matba’at al-Ma’arif al-Imarah,

  • ‘Abd al-Qahir bin ‘Abdullah al-Sahrawardi, Kitab Awarif al-Ma’arif (Beirut: Dar al- Kitab al-‘Arabi, 1983).

Kata cinta (mahabbah) berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Masuk ke dalam al-mahabbah ini adalah al-‘isyq (rindu). Ada juga yang mengatakan, bahwa al-hubb berasal dari kata habab al- ma’a adalah air bah besar. Artinya, cinta itu merupakan kepedulian yang paling besar dari cita hati.

Dikatakan juga, al-hubb berasal dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan bentuk jamak dari habbat. Dan habbat al-qalb adalah sesuatu yang menjadi penompangnya. Dengan demikian, al-hubb atau cinta adalah sesuatu yang tersimpan di dalam qalbu. Dikatakan lagi, kata al-hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti biji-bijian dari Padang pasir. Artinya, cinta merupakan lubuk kehidupan, bagaikan benih pada tumbuh-tumbuhan.

Ada juga yang mengatakan, al-hubb berasal dari kata hibb, artinya tempat yang didalamnya ada air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi yang lainnya. Demikian juga, dikala hati dilupai rasa cinta, tak ada lagi tempat di hatinya selain sang kekasih. Demikianlah yang dikemukakan oleh al-Qusyairi dalam Risalahnya.

quotes cinta ali bin abu thalib

Citan menurut Istilah


Ada beberapa defenisi terminologi cinta Ilahi yang dikemukakan oleh para tokoh, diantarannya al-Ghazali memberikan defenisi cinta (Mahabbah) atas cinta adalah kecenderungan naluriah kepada sesuatu yang menyenangkan.

Abu Yazid Al-Bustami (w. 280 H) mengatakan hakikat cinta itu adalah apabila telah terjadi al-ittihad. Menurut Al-Junaid, cinta berarti merasukkan sifat-sifat sang kekasih mengambil alih dari sifat-sifat pencinta. Di sini Al-Junaid menunjukkan betapa hati si-pencinta direnggut oleh ingatan akan sifat-sifat sang kekasih, hingga sang pencinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.

Barangkali dalam keadaan inilah, para salik ketika mereka mabuk kepayang terhadap kekasihnya, yaitu Allah SWT, mereka seakan-akan berada di hadirat-Nya. Mereka sudah tidak ingat apa-apa selain Allah SWT semata. Bahkan ketika itu di dalam dirinya tidak membekas sedikit pun perasaan ketergantungan kepada selain AllahSWT.

Sementara Abu Nashr Al-Sarraj Al-Thusi membagi cinta (mahabbah) menjadi tiga tingkatan:

  • Pertama, mahabbah al-‘ammah (orang asmara), yaitu cinta yang timbul dari belas kasih dan kebaikan Allah SWT kepada hamba-Nya.

  • Kedua, mahabbah al-shadiqin wa al- Muhaqqiqin, yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebenaran, keangungan, kemahakuasaan ilmu dan kekayaan Allah SWT.

  • Ketiga, mahabbah al-shiddiqin wa al-arifin, yaitu cinta yang timbul dari penglihatan dari ma’rifat mereka terhadap qadim-Nya kecintaan Allah SWT yang tanpa ‘illat (pamrih).

Demikian pula mereka mencintai Tuhan dengan tanpa ‘illat. Cinta ilahi yang bersih dan tidak ada kekeruhannya adalah hilangnya cinta dari hati dan anggota badan sampai tidak ada cinta sama sekali padanya, dan yang ada semuanya itu hanyalah bi Allah dan li Allah itulah bercinta karena Allah SWT.

Harun Nasution menjelaskan beberapa defenisi cinta (Mahabbah) sebagai berikut:

  1. Memeluk kepatuhan kepada Allah SWT dan membenci sikap melawan-Nya.
  2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang di kasihi.

Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari yang dikasihi yang dimaksud dengan yang dikasihi di sini ialah Tuhan. Defenisi-defenisi terminologis cinta Ilahi, sebagaimana yang dikemukakan para tokoh sufi di atas, barangkali merupakan setitik ungkapan perasaan dan pengalaman jiwa yang dikeluarkan melaluai kata- kata yang dapat disentuh. Karena, bila diperhatikan ungkapan itu tidak selamanya dapat disamakan dengan ungkapan yang berupa kata-kata atau huruf. Namun untuk dapat mengerti ungkapan-ungkapan perasaan memang harus diaktualisasikan melaluai kata-kata atau huruf-huruf yang dipahami dan dimengerti oleh orang lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya cinta (Mahabbah) meliputi ilham, pancaran dan lupaan-lupaan hati cinta dengan segala perasaan dan keberadaannya.

Dengan makna dan tingkatan-tingkatan ini, menurut ahli tasawuf, cinta itu sebenarnya tidak dapat dijelaskan hakikat dan rahasianya. Cinta itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat disifati. Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 628 H) seperti dikutip Al-Qusyairi mengatakan, barangsiapa yang mendefenisikan cinta, berarti ia tidak tahu tentang cinta. Siapa yang mengatakan bahwa dia telah puas dengan cinta, berarti ia tidak mengerti tentang cinta. Abu ‘Ali Al-Rudzbari menyatakan cinta adalah kesesuaian dengan keinginan sang kekasih.

Ibnu Abdu Al-Shamad mengatakan cinta itu buta dan tuli, seseorang yang jatuh cinta akan buta terhadap apapun selain kekasihnya. Ia tidak akan melihat selain yang dikasihinya. Syaikh Abu Ali Al-Daqqaq mengatakan cinta adalah kemanusiaan, tetapi hakikatnya adalah kebingungan.

Menurut Masignon dan Mustafa Abdurrasiq, di dalam bahasa Arab al-mahabbah dibicarakan dalam lima macam pengertian.

  • Pertama, al-mahabbah bermakna bersih dan putih. Berdasarkan kata-kata mereka (orang Arab) yang menyebutkan ‘’bersih dan putihnya gigi yang tampak’’ dengan ungkapan ‘’habbaba al-asnam’’.

  • Kedua, al-mahabbah bermakna tinggi dan mulia, sebagaimana kata-kata mereka ‘’hubbaha al-ma’a wa hubbahu’’ (yang lebih tinggi darinya ketika terjadi hujan lebat ). Demikian pula dengan kata-kata ‘’ habbaba al-ka’sa (air meninggi melampaui permukaan gelas).

  • Ketiga, al-mahabbah bermakna suatu kebiasaan, kelaziman dan keteguhan, seperti kata-kata ‘’hubbu al-ba’iru wa ahabbu’’ dialamatkan kepada unta yang tidak mau berdiri.

  • Keempat, al-mahabbah berarti inti sari, seperti kalimat ‘’taubatal al-qalbi’’ (inti hati) yang digunakan untuk menjelaskan bagian dari dalam hati.

Dengan demikian batasan-batasan dan rumusan-rumusan untuk mendefisinikan cinta adalah wajar dan benar, tetapi tidak cukup untuk mengungkapkan hakikatnya. Ia adalah isyarat-isyarat, tanda-tanda dan peringatan-peringatan. Tidak ada defenisi yang sempurna yang meliputi apa yang dirasakan oleh orang yang bercinta. Bagaimanapun juga kalimat yang mereka pergunakan, tidaklah dapat mensifati cahaya kecuali cahaya dan tidak dapat mengambarkan kerinduan kecuali kerinduan itu sendiri.

Mengingat nama-nama kandungannya yang halus, maka cinta itu adalah rahasia yang tidak dapat diketahuai oleh orang yang bersangkutan dan hidup dengannya. Tiada diketahuai kecuali orang-orang yang memperoleh nur dan hidup untuknya. Mahmud al-Syarif berkata:’

’Barangsiapa yang merasa nikmat dengan pancaran dan kerinduan dan merasakannya, berarti dia menguasai daerahnya dan keberadaanya’’.

Dalam pandangan Iqbal (1876-1938 M), cinta merupakan makan khuldi. Cinta bukan merupakan pencarian mistik yang sia-sia dan samar- samar, juga bukan api birahi yang membara dan mendorong ke pemuasan badani. Bagi Iqbal, cinta adalah sesuatu yang tidak kunjung kenyang, yang memimpin manusia ke jalan kebajikan dan keutamaan.
Dengan demikian cinta kepada Allah SWT akan membawa seseorang hamba kepada jalan-Nya. Demikianlah beberapa gambaran dan defenisi terminologi cinta Ilahi yang dilahirkan oleh para sufi.

quotes cinta ali bin abu thalib

Dasar-dasar Ajaran Cinta


Dasar Syara’

Ajaran cinta memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau Agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.

Dalil-dalil dalam Al-Qur’an, Misalnya sebagai berikut: Qs. Al-Baqarah ayat 165

Artinya:Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah SWT mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah SWT. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah SWT, dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah SWT semuanya, dan bahwa Allah SWT Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

Qs. Al-Maidah ayat 54

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah SWT akan mendatangkan suatu kaum yang Allah SWT mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah SWT, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah SWT, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah SWT Maha Luas (pemberian- Nya), lagi Maha mengetahui.

Qs. Ali-Imran ayat 31

Artinya: Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah SWT mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, Misalnya sebagai berikut:

Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama, Allah SWT dan Rasul- Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. kedua, tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah SWT ketiga, benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.

’….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati- Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan’’…

’’Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia’’.

Dasar Filosofis

Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang ajaran cinta ini, Al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya sebagai berikut:

  1. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak). Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak akan memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahuai dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.

  2. Cinta terwujud dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan. Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semankin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang di cintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.

    Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui panca inderanya. Kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui panca indera, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat dari pada kenikmatan yang dirasakan oleh panca indera. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.

  3. Manusia tentu mencintai dirinya. Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kencenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.

Referensi
  • Harun Nasution, Falsafah dan Mitisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999).
  • Asfari dan Otto Soekanto, Mahabbah Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000).
  • Reynold A. Nicholson, Tasawuf: Menguak Cinta Ilahiah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993).
  • Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al- Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
  • Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt).
  • Abu Hamid Al-Ghazali, Penj. Abu Asma Anshari, Al-Mahabbah Wa Asy-Syauq.
  • Muhammad Sholikhin, Menjadikan Diri Kekasih Ilahi, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2009).
  • Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnian, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994).
  • Abdul Qasim al-Qusyairi an-Naisaburi, ar-Risalah al- Qusayriyah, ( Dar al-Khair, t. t).
  • Al-Ghazali, Mutiara Ihya ‘Ulumiddin: Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang Hujjat al-Islam, Trj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 1997).

Dalam kamus populer bahasa Indonesia, secara etimologi makna cinta sama dengan kasih-sayang dan rasa kasih, sehingga kata cinta dan kasih-sayang memiliki keterkaitan makna yang erat. Jika Allah mengasihi dan menyayangi hambaNya maka hamba tersebut akan mendapatkan cintaNya, jika orang tua mencintai anaknya, maka ia akan mengasihi dan menyayangi sang anak.

Pemahaman manusia tentang cinta begitu mendalam dan hati mereka sangat gandrung kepadanya, maka sebutan untuk kata cinta sangatlah banyak sebagai ungkapan-ungkapan mereka yang menunjukkan bahwa mereka sedang merasakan cinta.

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, kata cinta ( al-Subb) , memiliki kata yang bersinonim sebanyak 50 kata atau bahkan lebih, diantaranya: al-mahabbah (cinta), al-alâqah (ketergantungan), al- hawâ (kecenderungan hati), ash-shobwah (kerinduan), ash-shobâbah (rindu berat), asy-syaghaf (mabuk kepayang), al-miqâh (jatuh hati), al- wajdu (rindu bercampur sendih), al-kalaf (beben/derita karena cinta), at-tatayyum (pemujaan), al-‘isyq (kasmaran), al-jawâ (yang membara), ad-danaf (sakit karena cinta), asy-syajwu (yang menyedihkan/ merena), asy-syauq (rindu), al-khilâbah (yang memperdaya), al-balâbil (yang menggelisahkan), at-tabârih (yang memberatkan), as-sadam (sesal dan sedih), al-ghamarat (tidak sadar atau mabuk), al-wahal (yang menakutkan), asy-syajan (yang dibutuhkan), al-lâ’ij (yang memedihkan), al-ikhti’âb (yang membuat merana), al-washab (kepedihan), al-ariq (yang membuat tidak bias tidur), al-hanîn (penuh kasih-sayang), al-futûn (cinta yang penuh dengan cobaan), ar-rasîs (gejala cinta), al-wudd (kasih yang tulus), al- khilmi (teman dekat), at-ta’abbud (penghamban), dan al-marhamah (perasaan sayang).

quote cinta menurut Islam

Pendapat lain menyebutkan bahwa kata al-hubb sebenarnya diambil dari kata habbatun , artinya benih. Atau pendapat lain mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hubbun yang berarti penopang sesuatu, karena orang yang dimabuk cinta dapat menahan beban berat untuk sesuatu yang dicintainya, sebagimana penopang akan dapat menahan beban sesuatu yang ditopangnya. Dan satu hal yang perlu diketahui bahwa kata cinta dalam bahasa Arab mempunyai dua dialek, yaitu habba dan ahabba.

Kata lain yang bersinonim dengan kata al-hubb yang berarti cinta atau kasih-sayang adalah al-marhamah -kata kerjanya adalah rahima- , yang berarti perasaan sayang, meliputi pengertian cinta kasih, yang menimbulkan kekuatan untuk menahan amarah kepada sesuatu. Kata rahmah atau rahmat adalah asal usul dari kata rahman dan rahim . Sedangkan rahmah itu sendiri berasal dari kata kerja rahima . Keduanya secara bersama atau terkadang secara sendiri-sendiri adalah bagian dari sifat-sifat Allah SWT. Menurut Kamus al-Qur’an al- Mufradat fi al-Gharib al-Qur’an karya Syekh Abu Al-Qasim al- Husayn al-Raghib al-Isfahani –sebagaimana dikutip oleh M. Dawam Rahardjo dalam ensiklopedi al-Qur’an- rahmat artinya : “kelembutan hati yang mengharuskan berbuat kebajikan kepada yang dirahmati.” Sehingga artinya meliputi pengertian cinta kasih.

Cinta adalah perasaan aneh yang merasuki jiwa setiap makhluk yang memberikan ia kekuatan tertentu dalam menciptakan karya-karya untuk dirinya dan makhluk disekitarnya, yang secara bahasa sering diartikan “amat suka” atau “sayang sekali”.

quote cinta menurut Islam

Arti Cinta Secara Terminologi


Menurut Ibnu Hazm yang dikutip oleh Khalid Jamal bahwa cinta adalah ungkapan perasaan jiwa, ekspresi hati dan gejolak naluri yang menggelayuti hati seseorang terhadap yang dicintainya. Ia terlahir dengan penuh semangat, kasih-sayang dan kegembiraan. Pada awalnya cinta itu biasa lalu semakin menguat di dalam jiwa. Demikian lembutnya arti sebuah cinta sehingga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, dan cinta hakiki tidak dapat dimengerti kecuali dengan sebuah pengorbanan.

Menurut Anis Matta, cinta dan kasih-sayang itu sendiri berarti memberi, memperhatikan, merawat dan melindungi. Maka ungkapan dari “aku mencintaimu”, “aku mengasihi dan menyayangimu” adalah kata lain dari “aku ingin memberikanmu sesuatu”, yang ini juga berarti bahwa “aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia. Aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar dapat tumbuh semaksimal mungkin, aku akan merawat dengan segala kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harianku yang akan kulakukan padamu, aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu.

Cinta dalam Islam bukan sebuah kebebasan tanpa batas, bukan pula kemerdekaan tanpa sebuah tanggungjawab. Cinta merupakan metode pendidikan Ilahi yang terkait dengan emosi dan perasaan. Cinta itu membina moral dan menjinakkan insting. Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan, yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya seperti jasad yang tak memiliki ruh.

Banyak pendapat yang dikemukakan di kalangan ahli bahasa sehubungan dengan definisi cinta, diantaranya:

  • Cinta adalah menuruti kemauan yang dicintai, baik di hadapannya maupun di belakangnya.

  • Cinta adalah kesamaan kehendak antara pihak yang mencintai dan pihak yang dicintai dalam hal selera.

  • Cinta adalah menyajikan pelayanan disertai dengan menjaga kesucian.

  • Cinta adalah banyak berkorban untuk orang yang dicintai dan enggan merepotkannya.

  • Cinta ialah kecemburuan yang muncul dalam kalbu bila kehormatan obyek yang dicintai ada yang melecehkannya, dan cemburu jika kekkasih menduakan.

  • Cinta adalah memelihara kesetiaan. Oleh karena itu tidaklah benar orang yang mengakui cinta kepada seseorang sedang dia tidak memelihara kesetiaannya.

  • Cinta adalah bilamana seseorang melakukan apa yang disukai oleh orang yang anda cintai.

  • Cinta adalah kecenderungan hati kepada kekasih secara total, sehingga membuat seseorang lebih memprioritaskan kekasih di atas kepentingan jiwa, raga, dan harta bendanya: lahir dan batin selalu bersesuaian dengan yang dicintai, namun demikian sang pecinta selalu merasa kecintaannya belum maksimal.

  • Cinta adalah bilamana mengorbankan semua jerih payah demi memuaskan hati yang dicintai.

  • Cinta adalah ketenangan tanpa keguncangan dan keguncangan tanpa ketenangan. Kalbu selalu berguncang dan tidak pernah merasa tenang kecuali dengan sang kekasih, kalbu selalu berguncang karena rindu kepada sang kekasih, dan baru merasa tenang bila berada dengannya.

  • Cinta adalah bilamana sang kekasih terasa lebih dekat oleh orang yang mencintainya daripada jiwanya sendiri.

Bentuk cintapun bermacam-macam, ada cinta kepada Allah, ada juga kepada manusia, bahkan ada juga cinta kepada tanah air, binatang, dan benda-benda tak bernyawa, tergantung dari makna kata cinta yang dimaksud. Cinta kepada manusia berbeda-beda. Ada yang kepada lawan jenis, pasangan suami isteri atau tunangan, kepada anak, ibu, saudara dan manusia yang lain. Yang beraneka ragam itu bermacam-macam pula. Ada yang cepat mekarnya cepat pula layunya, ada yang sebaliknya lambat mekar dan lambat pula layunya atau bahkan tidak layu, ada jug yang cepat tapi lambat layunya, inipun ada yang sebaliknya.

quote cinta menurut Islam

Kekuatan cinta seseorangpun bermacam-macam, demikian masa berlangsungnya. Ada yang tertancap di dalam sanubari, ada bagaikan pohon, yang akarnya terhujam ke bawah dan dipucuknya banyak buah. Cinta semacam ini dapat menjadikan si pecinta terpaku dan terpukau bahkan tidak lagi menyadari keadaan sekelilingnya karena yang dirasakan serta terlihat olehnya hanya sang kekasih. Ada juga yang hanya bertengger di permukan hati; seumur mawar, sekejap saja bertahan lalu layu, tidak mampu menahan rayuan pihak lain atau tidak sabar menahan deritanya.

Mereka yang berusaha menjelaskannya, menggunakan berbagai ungkapan bahkan bahasa. Ada yang menggunakan bahasa moral, ada juga dengan bahasa sosiologi, atau biologi, tapi tidak sedikit pula yang menjelaskan dengan bahasa filsafat atau tasawuf. Belum lagi bahasa pemuda yang sering berbeda pandangannya dengan pandangan orang dewasa yang berpengalaman, sehingga bermacam-macam penjelasan ditemukan dalam berbagai leteratur, termasuk leteratur keagamaan. Secara umum orang berkata bahwa cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan ini boleh jadi disebabkan lezatnya yang dicintai atau karena manfaat yang diperoleh darinya bisa juga lahir dari naluri pecinta seperti cinta ibu kepada anaknya, seorang anak kepada keluarganya, guru kepada muridnya, atau seorang hamba kepada Tuhan-Nya

Perasaan cinta adalah dinamika jiwa yang tersimpan dalam hati seseorang berupa perasaan ingin selalu bersama dengan orang yang dia kagumi atau orang yang dia sayangi, menimbulkan semangat ingin selalu memberi, merawat, melindungi, serta memberikan pengorbanan dengan segenap kemampuan dan penuh ketulusan, dengan harapan ada pertumbuhan dan perkembangan di dalam jiwa orang yang dicintainya.

Dalam sebuah Hadits Qudsi yang dikutip oleh Musthafa Dieb Al-Bugha dan M. Sa’id Al-Khim, dalam bukunya Al-Wafi , bahwa Alah SWT. memberikan gambaran tentang makna dan hakikat cinta sejati yang berbunyi:

Artinya: Dari Abu Hirairah RA. Berkata: Rasulullah SAW bersabda, bahwa Allah SWT befirman: Barangsiapa memusihi wali-Ku, maka kuizinkan ia diperangi. Tidaklah hamba-ku mendekatkan diri kepada- Ku dengan suatu amal lebih Kusukai daripada jika ia mengerjakan amal yang kuwajibkan kepadanya. Hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Kuberi dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti kulindungi. ( HR. Bukhari )

Demikian hadits di atas menjelaskan hakikat dan tabiat cinta yang dicontohkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, lalu kemudian dikaruniakan-Nya pada setiap makhluk dalam menjalani kehidupan ini dengan penuh rasa cinta, yang berarti bahwa ketika mencintai segala sesuatu, maka harus ada konsekuensi dari rasa cinta tersebut, dalam menggapai kebertumbuhan bagi orang yang dicintai dengan kebersamaan yang tercipta menuju cita-cita cinta.

Referensi
  • Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Taman Jatuh Cinta dan Rekreasi Orang-Orang Dimabuk Rindu , Penerjemah: Bahrun Abu Bakar Ihzan Zubaidi, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2000).
  • M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Tasfir osial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci) , (Jakarta: PARAMADINA, 1996).
  • Khalid Jamal, Ajari Aku Cinta (Renungan Cerdas Menggapi cinta sejati) , Penerjemah: Budiman Mustofa, (Surakarta: Ziyaad Books, 2007).
  • Ibul Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus salikin , Penerjemah: Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998).
  • Musthafa Dieb Al-Bugha dan M. Sa’id Al-Khim, Al-Wafi (Syarah Hadits Arba’in Imam Nawaei) , Penerjemah: Iman Sulaiman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002).

Siapa yang tidak mengenal kata cinta?

Cinta telah hadir sejak zaman nabi Adam A.s diciptakan, dan kemudian diciptakanlah Hawa sebagai pasangan hidupnya. Cinta juga merupakan fitrah alami manusia dan tanpa keberadaan cinta, orang menyebutnya sebagai perasaan hampa. cinta juga banyak memberikan inspirasi dan pengorbanan akan tetapi cinta jugalah yang kadang membawa kesengsaraan bagi mereka yang merasakannya. Dalam kehidupan manusia cinta muncul dalam berbagai hal termasuk cinta kepada istri, anak, harta dan tahta dan sebagainya.

  1. Merasakan cinta kepada Allah Swt.
  2. Setiap Orang bisa merasakan cinta kepada keluarga-Nya.
  3. Setiap Orang bisa merasakan cinta kepada sahabat atau teman-Nya.

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman mereka sangat mencintai Allah.” (QS Al-Baqarah: 165)

Menurut Pandangan Ulama tentang cinta

Ibnu Hazm sendiri menyebutkan bahwa cinta adalah suatu naluri atau insting yang menggelayuti perasaan seseorang terhadap orang yang dicintainya.

Menurut Ibn Katsir Rahimahullah menjelaskan maksud bahwa Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang sangat mencintai Allah”, dan karena kecintaannya itu maka seseorang atau orang-orang beriman akan berusaha untuk menyempurnakan pengetahuannya tentang islam dan senantiasa mematuhi dan menjauhi larangannya serta senantiasa bertawakal dan menyerahkan segala sesuatu kepada Allah SWT.

Maka rasa cinta ini yang paling utama adalah hanya kepada Allah Swt yang memberikan Nikmat Rasa dan Cinta sehingga semua makhluk dapat memilikinya.

Kedua merasakan cinta kepada keluarga

Keluarga adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Setiap orang pasti mendambakan memiliki keluarga bahagia dan harmonis. Namun yang jadi pertanyaan, bilamanakah keluarga dikatakan bahagia? Apakah mereka yang memiliki banyak harta? Mempunyai suami tampan? Istri cantik rupawan? Ataukah yang dikaruniai banyak anak?

Ketika ada orang yang menikah, Rasulullah SAW selalu membaca doa “barokallahulaka, wa baroka’alaika, wajama’a bainakuma fii khoir” yang artinya:
“Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang maupun susah dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.”

Dari doa tersebut, kita bisa melihat bahwa Rasul tidak mengatakan supaya suatu keluarga jadi kaya-raya, melainkan agar diberkahi Allah SWT. Maksudnya berkah adalah hidupnya selalu dikarunia Allah Swt, rezekinya tercukupi dan bisa membawa kebaikan.

Keluarga bahagia menurut islam:

  1. Istri yang shalehah
    Laki-laki mana sih yang tidak ingin mendapatkan pasangan yang shalehah? Pastinya seorang wanita yang shalehah adalah idaman setiap lelaki. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dunia adalah harta dan sebaik-baiknya harta adalah wanita yang shalehah.” Dari hadist tersebut, telah jelas bahwa kedudukan wanita shalehah lebih mulia dibandingkan harta di dunia.

    Seorang istri shalehah mampu menciptakan surga dalam kehidupan keluarganya. Ia patuh kepada suaminya, penyabar, taat kepada perintah Allah SWT, mendidik anak-anaknya dengan ajaran agama, senantiasa menjaga melindungi diri dari perbuatan maksiat, dan tidak mengumbar aib suaminya. Sungguh, suami manapun pasti akan jatuh cinta dengan istri yang shalehah. Oleh karena itu, apabila hendak mencari istri, carilah yang baik akhlaknya sebelum melihat rupa, harta, dan kedudukan wanita tersebut.

  2. Anak-anak yang berakhlakul karimah
    Anak adalah salah satu elemen penting dari keluarga. Diriwayatkan oleh Dailami, dari Ibn Asaskir, Rasulullah SAW bersabda: “Ada empat kunci kebahagiaan bagi seseorang muslim, yaitu mempunyai isteri yang salehah, anak-anak yang baik, lingkungan yang baik dan pekerjaan yang tetap di negerinya sendiri.”

    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

  3. Keluarga yang barokah
    Ciri ketiga keluarga bahagia menurut islam adalah keluarga yang barokah. Ingat, kebahagian bukan diukur dari harta yang melimpah ruah. Tetapi bagaimana kita memanfaatkan rezeki yang ada menjadi lebih berkah. Antara suami dan istri haruslah saling bahu-membahu. Tidak apa-apa walaupun kita tak kaya, yang penting harta kita diperoleh dengan cara yang halal. Kemudian jangan lupa untuk bersedekah dan senantiasa bersyukur. Dengan demikian, jiwa kita akan lebih tentram dan kebahagian bisa diperoleh.

Yang ketiga merasakan cinta kepada sahabat dan teman yaitu Manusia secara kodrati adalah makhluk sosial sebagaimana mereka diciptakan oleh Allah SWT. Pengertian makhluk sosial sendiri adalah manusia yang tidak dapat hidup sendiri atau individu artinya manusia yang slalu membutuhkan orang lain. Oleh karena itu setiap manusia pastinya membutuhkan teman.

Dalam memilih teman hendaknya memang harus diperhatikan dengan baik. Karena lingkungan pergaulan yang anda pilih akan menentukan perkembangan diri anda sendiri tentunya. Lingkungan yang baik akan menciptakan pribadi baik dan sebaliknya lingkungan yang buruk akan menciptakan pribadi buruk tentunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai.”

Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”. [HR. Bukhari dan Muslim]

2 Likes