Apa yang dimaksud dengan Child Abuse atau Kekerasan Pada Anak?

child abuse

Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak.

Bagaimana penjelasan yang lebih rinci terkait dengan child abuse atau kekerasan terhadap anak ?

1 Like

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan pada anak atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Tower, 2003) menyebutkan kasus ini dengan Caffey Syndrome.

Henry (dalam Fitri, 2008) menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain.

Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak, dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Fitri, 2008).

Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik dilakukan oleh orang tua atau orang lain.

Maltreatment sendiri terdiri dari beberapa bentuk. Abuse mengarah pada tindakan yang mengakibatkan kerusakan, dan neglect merupakan tidak adanya tindakan atau pengabaian pengasuhan yang dapat mengakibatkan kerusakan.

Bentuk-Bentuk Child Abuse

Terdapat empat bentuk child abuse (Tower, 2003):

  1. Physical Abuse
    Kekerasan yang menyebabkan luka-luka di seluruh tubuh melalui pukulan, gigitan, tendangan, dan pembakaran.

  2. Sexual Abuse
    Aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain.
    Menurut Child Abuse Prevention Act (dalam Tower, 2003) sexual abuse meliputi:

    • mempekerjakan, menggunakan, membujuk, merangsang, mengajak, atau memaksa anak untuk ikut dalam perilaku seksual secara nyata (atau berupa rangsangan perilaku) untuk tujuan menghasilkan gambaran visual dari perilaku tersebut

    • pemerkosaan, penganiayaan, prostitusi, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual pada anak, ataupun incest pada anak di bawah kondisi yang mengindikasikan bahwa kesehatan atau kesejahteraan anak dirugikan atau terancam oleh hal-hal tersebut

  3. Emotional Abuse
    Meliputi tindakan abuse atau neglect yang menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, emosional, atau mental (Papalia, 2004). Garbarino, dan kolega (dalam Tower, 2003) memisahkan emotional abuse dalam dua bagian, yaitu

    • emotional/psychological abuse (meliputi serangan verbal atau emosional, ancaman membahayakan, atau kurungan tertutup)

    • emotional/psycological neglect (meliputi pengasuhan yang tidak cukup, kurang kasih-sayang, menolak memberikan perawatan yang cukup, atau dengan sengaja membiarkan perilaku maladaptif seperti kejahatan ata penggunaan obat-obatan).

    Selanjutnya Garbarino, Guttman, dan Seeley (dalam Tower, 2003) menyatakan bahwa emotional maltreatment atau yang disebut dengan psychological maltreatment merupakan bentuk perilaku merusak secara fisik yang meliputi:

    1. rejecting, orang dewasa menolak untuk mengakui anak berharga dan memenuhi kebutuhan anak.

    2. isolating, orang dewasa memisahkan anak dari pengalaman sosial normal, mencegah anak membentuk persahabatan, dan membuat anak yakin bahwa ia sendirian di dunia ini.

    3. terrorizing, orang dewasa menyerang anak secara verbal, menciptakan suasana takut, mendesak dan menakuti anak, dan meyakini anak bahwa dunia berubah- ubah dan bermusuhan.

    4. ignoring, orang dewasa menghilangkan stimulasi dan respon yang diperlukan sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan intelektual.

    5. corrupting, orang dewasa ‘mis-socializes’ pada anak, memancing anak untuk melawan dalam perilaku yang merusak dan antisosial, menguatkan penyimpangan, dan membuat anak tidak mampu mengikuti aturan sosial pada umumnya.

    Tower (2003) mengemukakan bahwa psychological abuse merupakan perilaku merusak yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai ataupun berkurang esensinya, dan dapat mempengaruhi kemampuan atau proses mental anak yang meliputi inteligensi, ingatan, pengenalan, persepsi, perhatian, bahasa, dan perkembangan moral.

    Sedangkan emotional abuse merupakan respon emosional yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai terhadap ekspresi emosi anak dan beriringan dengan perilaku ekspresif.

  4. Neglect
    Depanfilis dan koleganya (dalam Tower, 2003) menyebutkan bahwa neglect sebagai tindakan kelalaian yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni physical neglect, educational neglect, dan emotional neglect. Sedangkan Zuravia dan

    Taylor membagi neglect menjadi delapan bentuk kelalaian orang tua dalam hal:

    • physical health care, gagal memberi atau menolak menyediakan kebutuhan fisik

    • mental health care, gagal atau menolak untuk memenuhi kebutuhan psikis

    • supervision, pengawasan yang tidak cukup di dalam dan luar rumah

    • substitute child care, meninggalkan anak atau tidak kembali selama 48 jam untuk memberikan perawatan

    • housing hazard, tidak melindungi anak dari bahaya seperti obat-obatan atau benda berbahaya

    • household sanitation, tidak memastikan anak terlindung dari makanan basi, sampah, atau kotoran manusia, meliputi toilet yang tidak berfungsi, dan sebagainya

    • personal hygiene, tidak menjaga pribadi anak dan kebersihan pakaian, serta bebas dari kotoran

    • nutrition, gagal untuk memberikan makanan yang cukup dan teratur, serta tidak melindungi anak dari makanan basi atau diet yang dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik.

Definisi Child Abuse

Federal Child Abuse Prevention and Treatment Act dalam Olson & Defrain (2006) mendefinisikan child abuse sebagai berikut :

Child abuse is the physical or mental injury, sexual abuse, or negligent treatment of a child under the age of 18 by a person who is responsible for the child’s welfare. (Olson & Defrain, 2006)

Newberger (1982) memaparkan konsep tentang istilah child abuse yang didasarkan pada penelitian dan pandangan ahli medis yaitu :

Child abuse include neglect, sexual abuse, emotional abuse, and deprivation of necessary physical and moral supports for a child’s development.

Berdasarkan kedua definisi tersebut, child abuse dapat diartikan sebagai penganiayaan mental atau fisik, penganiayaan seksual atau penelantaran terhadap anak serta perampasan hak dalam mendapatkan dukungan fisik dan moral yang layak untuk perkembangan anak di bawah usia 18 tahun, yang dilakukan oleh individu yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan anak tersebut.

Faktor-Faktor Pemicu Child Abuse


Newberger (1982) menjelaskan faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya child abuse, yaitu:

1. Adanya Permasalahan Psikologis pada Orangtua Sebagai Pelaku Kekerasan

Permasalahan psikologis disini maksudnya kepribadian yang dimiliki orangtua membuatnya berpotensi melakukan kekerasan pada anak. Lee (1978) menggambarkan beberapa sifat yang ditemukan pada orangtua pelaku child abuse diantaranya tidak dewasa, dependen, egosentrik dan penuntut.

Hal ini membuat orangtua sulit mentoleransi tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan keinginannya sehingga memicu terjadinya kekerasan. Orangtua yang abusive, seringkali memiliki pengharapan yang tidak masuk akal terhadap anak, punya kebutuhan sangat besar untuk bergantung, mengisolasi diri sendiri, dan punya pengalaman dianiaya sewaktu kecil (Newberger, 1982). Hal ini yang membuat orangtua merasa memiliki alasan melakukan kekerasan.

2. Faktor Sosiokultural

Latar belakang budaya keluarga besar memiliki pengaruh pada terjadinya child abuse. Orangtua yang biasa dididik dengan cara tertentu pada masa kecilnya cenderung menerapkan cara yang sama dalam mendidik anaknya. Hal ini didukung dengan penelitian Conger (2003) yang telah disinggung sebelumnya, bahwa anger dan agresi dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orangtua yang masa kecilnya dididik dengan menggunakan kekerasan akan cenderung menerapkan hal yang sama pada anaknya. Selain itu, latar belakang pekerjaan orangtua juga dapat menjadi faktor pemicu . Orangtua yang memiliki latar belakang militer misalnya, dapat menurunkan budaya militer yang dimilikinya terhadap cara memperlakukan anak.

3. Pola Asuh

Pemicu lain terjadinya child abuse adalah sikap orangtua yang menerapkan hukuman fisik terhadap anak jika berbuat salah. Zigler (1982) menyatakan bahwa pengaruh paling dominan terjadinya child abuse adalah keinginan orangtua menerapkan hukuman fisik terhadap anak dengan mengatasnamakan sikap disiplin. Orangtua membenarkan perilakunya melakukan kekerasan pada anak dengan menganggap hal itu perlu dilakukan untuk menanamkan disiplin, yang secara lebih tepat dimaksudkan agar anak mengakui otoritas mutlak yang dimiliki orangtua. Pola asuh yang dicirikan dengan sikap orangtua yang membuat peraturan sangat ketat terhadap anaknya dan tidak mensosialisasikan alasan dari dibuatnya peraturan tersebut serta cenderung menggunakan hukuman jika peraturannya dilanggar akan lebih rentan melakukan tindak child abuse.

4. Stres dalam Keluarga

Terdapat beberapa potensi stres yang dapat dialami tiap anggota keluarga dalam kehidupan rumah tangga. Stres yang muncul juga tergantung dari peran yang dimiliki masing-masing anggota keluarga. Newberger (1982) menyebutkan stres yang dapat muncul terbagi atas beberapa bentuk seperti :

  • Stres sosial- situasional

  • Anak sebagai sumber stres

  • Orangtua sebagai sumber stres

Stres sosial-situasional terbagi atas ; faktor struktural, hubungan antar orangtua, dan hubungan antar orangtua-anak.

Faktor struktural berdasarkan situasi seperti pengangguran, perpindahan tempat tinggal, dan tingkat pendidikan orangtua yang rendah meningkatkan risiko terjadinya child abuse. Hubungan antar orangtua turut mempengaruhi child abuse. Straus (1980) menjelaskan bahwa pada anak yang menyaksikan kekerasan antara kedua orangtua, tingkat kemungkinan melakukan kekerasan menjadi lebih tinggi dibanding anak yang tidak pernah menyaksikan kekerasan tersebut (Straus, Gelles, & Steinmetz, dalam Newberger, 1982).

Hubungan orangtua-anak turut andil dalam terjadinya kekerasan. Komunikasi yang tidak terjalin baik meningkatkan risiko kekerasan. Stres yang disebabkan anak dapat terjadi pada kondisi anak yang memiliki kecacatan fisik, penyakit kronis, keterbelakangan mental dan temperamen yang tidak dapat ditoleransi orangtua. Stres yang disebabkan orangtua dalam hal ini pelaku abuse dapat disebabkan diantaranya perasaan kesepian dan depresi yang didukung dengan temperamen tinggi (Newberger, 1982).

Efek Child Abuse


Beberapa efek yang dapat diderita korban child abuse (Newberger, 1982):

1. Efek Psikologis

  • Berpotensi menjadi pelaku kekerasan

    Orangtua yang menjadi pelaku kasus child abuse banyak yang mengaku juga mengalami kekerasan pada masa kecilnya. Hal yang dipelajari saat masa kecilnya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan berkeluarganya. Penelitian lain juga menemukan adanya hubungan positif antara pemberian hukuman fisik pada anak dengan tindak agresif. Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang ditunjukkan pada anak dapat membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kejam atau keras. Anak yang tumbuh dewasa dalam keadaan demikian akan sangat rentan menunjukkan sikap kejam pula pada rumah tangga yang dimilikinya kelak.

  • Menyimpan anger yang mendalam pada pelaku kekerasan.

    Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang abusive terbiasa melihat orangtuanya mengekspresikan anger dengan cara tertentu, yang akan mempengaruhi mereka dalam mengekspresikan anger. Tiap dari mereka akan menyalurkan anger tersebut dalam cara yang berbeda. Engel (2004), yang pernah disebutkan sebelumnya, mengekspresikan anger pada pelaku yang melakukan kekerasan padanya dengan tidak sengaja bersikap mirip dengan cara si pelaku mengekspresikan anger.

    Berbeda dengan Engel, Carrie, salah seorang klien Engel yang diceritakan dalam bukunya Honor Your Anger, menunjukkan amarah pada ayahnya yang sering lepas kontrol dalam mengekspresikan rasa marah dan menyakiti dirinya membuat ia menghindari rasa marah dengan sekuat tenaga karena tidak ingin terlihat lepas kontrol seperti ayahnya.

  • Memiliki masalah attachment dengan orang lain.

    Bowlby (1969) mengajukan bahwa bertahannya seorang manusia, khususnya saat bayi, bergantung pada kepemilikan figur attachment (dalam Oates, 1996). Proses attachment berkembang pada bulan dan tahun awal kehidupan, yang berkaitan erat dengan respon dan tingkah laku ibu (Oates, 1996). Ibu dan caregiver lain yang tidak berespon pada anak saat bayi atau berespon dengan tidak layak membuat anak cenderung menjadi cemas dan merasa tidak aman dalam attachment nya. Individu yang memiliki hubungan attachment yang tidak aman saat masa kecil akan cenderung kurang fleksibel, lebih pencemas dan hostile.

    Mereka cenderung menjadi penyendiri dan memiliki lebih sedikit dukungan dari keluarga dan peer. Pengalaman attachment pada masa awal kehidupan memiliki peran dalam kualitas hubungan interpersonal yang dibangun pada masa kanak- kanak akhir dan masa dewasa (Oates, 1996). Individu yang sedari bayi telah mengalami child abuse akan berpotensi memiliki masalah attachment dengan orang lain, yang berdampak pada hubungan interpersonalnya.

2. Efek Kognitif

  • Menurunnya kecerdasan mental dan intelektual

    Anak yang mengalami penganiayaan cenderung mengalami kesulitan belajar serta skor IQ, nilai pendidikan, dan performa di sekolah yang lebih rendah dibanding anak yang tidak mengalami penganiayaan (Olson & Defrain, 2006). Hal ini dapat disebabkan kecemasan dan ketidakamanan yang dirasakan anak, sehingga sulit baginya berkonsentrasi pada pendidikan.

3. Efek Sosial

  • Melakukan tindakan berisiko

    Beberapa penelitian menunjukkan kekerasan yang dialami pada masa kecil dapat menjadi penyebab tindakan berisiko. Salah satu tindakan berisiko yang dilakukan terutama oleh remaja adalah penyalahgunaan obat-obatan seperti yang disinggung oleh Brown & Finkelhor (1986). Hal ini dilakukan anak untuk melarikan diri dari rasa cemas dan depresi disebabkan pengalaman kekerasan.

Kekerasan umumnya ditujukan kepada kelompok yang dianggap lemah. Anak merupakan salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk/ tindakan perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual trafiking, penelantaran eksploitasi komersial termasuk eksploitasi seksual komersial anak yang mengakibatkan cidera/kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan terhadap anak termasuk dalam perbuatan disengaja yang dapat menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak secara fisik maupun emosional.

Menurut Baker, kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang - ulang secara fisik maupun emosi terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

Berdasarkan uraian tersebut, kekerasan terhadap anak merupakan perilaku yang dengan sengaja menyakiti secara fisik dan atau psikis dengan tujuan untuk merusak, melukai, dan merugikan anak.

Faktor-Faktor kekerasan terhadap Anak

Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Faktor Internal

  • Berasal dalam diri anak
    Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh kondisi dan tingkah laku anak. Kondisi anak tersebut misalnya : Anak menderita gangguan perkembangan, ketergantungan anak pada lingkungannya, anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, anak yang memiliki perilaku menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri.

  • Keluarga / orang tua
    Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting terhadap terjadinya kekerasan pada anak. Beberapa contoh seperti orang tua yang memiliki pola asuh membesarkan anaknya dengan kekerasan atau penganiayaan, keluarga yang sering bertengkar mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tanpa masalah, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor stres yang dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga belum memiliki kematangan psikologis sehingga melakukan kekerasan terhadap anak, riwayat orang tua dengan kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan melakukan kekerasan pada anaknya.

2. Faktor Eksternal

  • Lingkungan luar
    Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak diantaranya seperti kondisi lingkungan yang buruk, terdapat sejarah penelantaran anak, dan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam lingkungannya.

  • Media massa
    Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dan media ini tentu mempengaruhi penerimaan konsep, sikap, nilai dan pokok moral. Seperti halnya dalam media cetak menyediakan berita – berita tentang kejahatan, kekerasan, pembunuhan. Kemudian media elektronik seperti radio, televisi, video, kaset dan film sangat mempengaruhi perkembangan kejahatan yang menampilkan adegan kekerasan, menayangkan film action dengan perkelahian, acara berita kriminal, penganiayaan, kekerasan bahkan pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada hakekatnya media massa memiliki fungsi yang positif, namun kadang dapat menjadi negatif.

  • Budaya
    Budaya yang masih menganut praktek – praktek dengan pemikiran bahwa status anak yang dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan orangtua maka anak harus dihukum. Bagi anak laki – laki, adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak laki – laki tidak boleh cengeng atau anak laki – laki harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi dan membuat orangtua ketika memukul, menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.

Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak

Ada beberapa jenis-jenis kekerasan terhadap anak, meliputi :

  1. Kekerasan Fisik
    Kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan orang lain.

  2. Kekerasan Seksual
    Kekerasan terhadap anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi.

  3. Kekerasan Emosional
    Suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Contohnya seperti pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan anak, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan.

  4. Penelantaran anak
    Ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka. Kelalaian di bidang kesehatan seperti penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak memperoleh kecukupan gizi dan perawatan medis. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos) sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.

  5. Eksploitasi anak
    Penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain, termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan kesehatan fisik dan mental, perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan sosial - emosional anak.

Sementara menurut Suharto mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi :

  1. Kekerasan Fisik
    Kekerasan anak secara fisik adalah kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak seperti penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul.

  2. Kekerasan Psikis
    Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan, penghinaan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

  3. Kekerasan Seksual
    Kekerasan secara seksual adalah kekerasan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

  4. Kekerasan Sosial
    Kekerasan anak secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan. Eksploitasi anak menunjuk pada perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, atau dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

Menurut Suyanto (2010) tindakan kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang mempunyai dampak fisik, dan psikologis, yang menyebabkan luka luka tarumatis pada anak, baik yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan perkembangan mental psikologis anak.

Tindak kekerasan pada anak, tidak sekedar menyebabkan anak mengalami luka fisik yang dalam hitungan hari bisa sembuh melalui perawatan medis, tetapi acap kali tindakan kekerasan pada anak juga berdampak terjadinya luka traumatis yang bukan tidak mungkin diingat hingga mereka dewasa.

Menurut Suyanto (2010) kekerasan terhadap anak ( child abuse ) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak

Tanda-tanda child abuse

Menurut Suyanto (2010) tanda-tanda terjadinya child abuse adalah:

  1. Anak yang merupakan rintangan bagi orang tua atau pengasuhnya meliputi anak yang hiperaktif sampai gangguan perkembangan

  2. Anak yang tidak dikehendaki

  3. Lahir muda atau prematur

  4. Penderita penyakit kronis atau lama masuk rumah sakit

  5. Retardasi mental

  6. Lahir cacat

  7. Gangguan tingkah laku atau kenakalan

  8. Anak-anak yang diasuh oleh keluarga yang bermasalah

Menurut Fontana (Suyanto, 2010) adanya penganiayaan anak bila pada anak kita temui hal-hal sebagai berikut:

  1. Anak tampak ketakutan terutama pada orang tua

  2. Anak dipisahkan dalam waktu yang lama

  3. Dengan kelainan-kelainan kulit atau luka lain

  4. Luka-luka diobati tidak dengan semestinya

  5. Kekurangan gizi

  6. Diberikan makan dan minum atau obat yang tidak semestinya

  7. Diberikan pakaian yang tidak semestinya dimusim dingin

  8. Perawatan secara keseluruhan bagaikan seorang yang miskin

  9. Seringkali menangis

  10. Terlalu hati-hati terhadap larangan orang tua.

Faktor Penyebab Child abuse

Menurut Basoeki (Suyanto, 2010) faktor penyebab lain mengapa banyak terjadi penganiayaan anak dan penelantaran anak diantaranya:

  1. Orang tua yang dahulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung meneruskan pendidikan tersebut kepada anak- anaknya.

  2. Kehidupan yang penuh stres seperti terlalu padat kemiskinan, sering berkaitan dengan tingkah laku agresif, dan meyebabkan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak.

  3. Isolasi sosial, tidak adanya dukungan yang cukup dari lingkungan sekitar, tekanan sosial akibat situasi krisis ekonomi, tidak bekerja dan masalah perumahan akan meningkatkan kerentangan keluarga yang akhirnya akan terjadi penganiayaan dan penelataran anak.

Menurut Mu’tadin (Ikawati, 2007) faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku kekerasan pada anak sebagai berikut :

  1. Faktor Marah

Rasa marah seringkali menjadi pemicu timbulnya perilaku agresif, meskipun perilaku semacam itu juga dapat terjadi tanpa adanya rasa marah.

  1. Faktor Biologis

Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi.

Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse)

Menurut Gelles (dalam Suyanto, 2010: 28) kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Namun demikian perlu disadari bahwa child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga dapat berupa berbagai bentuk seperti eksploitasi melalui pornografi dan penyerangan seksual, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrision), pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and medical neglect) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).

Sementara itu Barker (dalam Huraerah, 2006: 36) mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan pada orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

Bentuk – Bentuk Kekerasan terhadap Anak

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007: 36), psikiater anak mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu: emotional abuse, verbal abuse, physical abuse , dan sexual abuse.

a. Emotional Abuse

Emotional abuse dapat terjadi apabila setelah orang tua mengetahui keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orang tua tidak memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional, jika kekerasan emosional tersebut berjalan konsisten

b. Verbal Abuse

Verbal abuse lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak. Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tidak memberikannya dan malah membentaknya. Anak akan mengingat kekerasan ini jika semua kekerasan verbal ini terjadi pada satu periode.

c. Physical Abuse

Kekerasan ini terjadi saat anak menerima pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi kekerasan itu meninggalkan bekas. d. Sexual Abuse Terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada juga kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia 6 bulan.

Selain itu child abuse juga dapat dikelompokkan kedalam 4 benntuk yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik (physical abuse), adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan bendabenda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan dan dapat pula berupa luka bakar.

  2. Kekerasan secara psikologis ( psycological abuse), meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film pornografi pada anak. Anak yang mengalami perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladatif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

  3. Kekerasan secara seksual (Sexual Abuse), dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, ekshibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

  4. Kekerasan secara sosial (social abuse), dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat (Huraerah, 2006: 37).

Referensi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/47196/Chapter%20II.pdf;sequence=4

Kekekerasan Terhadap Anak

Secara bahasa kekerasan berasal dari kata “keras” yang mengandung arti padat, kuat dan tidak mudah berubah bentuknya, dengan imbuhan ke- an maka memiliki makna perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera dan matinya orang lain dan juga dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam istilah lain dikenal dengn Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. Sedangkan untuk menyebut kekerasan terhadap anak biasanya dikenal dengan sebutan child abuse.

Secara teoretis, child abuse dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental maupun seksual yang umumnya dilakukan oleh orangorang yang memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang semuanya itu diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Kekerasan oleh Johan Galtung didefiniskan sebagai penyebab terjadinya perbedaan antara yang potensial dengan yang aktual, dengan yang mungkin ada dengan yang semestinya ada.

Hal ini berarti bahwa apa sajayang memperbesar jarak antara yang potensial dengan yang aktual, atau yang menjadi penghalang berkurangnya jarak disebut telah menjadi kekerasan. Organisai kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan kekerasan terhadap anak ( child abuse ) atau perlakuan salah merupakan segala bentuk perlakuan buruk secara fisik dan/atau mental, kekerasan seksual, pengabaian atau penelantaran atau eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya yang mengakibatkan bahaya nyata atau potensi bahaya yang mengancam kesehatan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang atau martabat anak dalam konteks hubungan tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan Anak adalah kelompok manusia muda yang batas umurnya tidak selalu sama di berbagai Negara.

Di Indonesia sering dipakai batasan usia anak yaitu dari usia 0-21 tahun, dengan demikian dalam kelompok anak akan termasuk bayi, anak balita dan usia sekolah, pada umumnya bahwa masa anak adalah masa yang dilalui oleh setiap orang untuk mencapai usia dewasa. Sedangkan di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 seorang anak didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, walaupun mereka dalam status menikah.

Tentang pengertian anak, selain menurut batasan umur, anak digolongkan berdasarkan hubungan orang tua yaitu:

  1. Anak kandung, adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat ikatan perkawinan yang sah.

  2. Anak tiri, adalah anak dari orang tua yang berbeda diantara kedua orang tuanya, misalnya seorang janda memiliki anak dan kemudian janda itu menikah dengan seorang laki-laki, maka anak janda itu adalah anak tiri buat laki-laki tersebut.

  3. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tuanya atau wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

  4. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk
    diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak ada yang menjamin tumbuh kembangnya secara wajar.

Dari pengertian anak di atas maka dapat diketahui bahwa bagaimanapun anak tetap memiliki hak untuk mendapat perlindungan, bimbingan dan pendidikan dari orang tuanya, baik orang tua kandung maupun orang tua angkat, karena apabila orang tua tidak menghiraukan tentang hak dan kebutuhan anak maka hal itu akan menimbulkan kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak adalah istilah yang mengerikan untuk didengar, dan mungkin saja hal inilah yang menjadikan sebagian orang lebih memilih untuk menutup mata untuk menghindarinya, namun fakta menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak ada begitu dekat dengan kehidupan kita, di zaman modern ini, kekerasan anak di Indonesia terbukti tidak semakin berkurang melainkan semakin meningkat per tahunnya.

Dalam perspektif psikologis tindakan kekerasan disebut dengan istilah agresi, yaitu segala tindakan yang berbahaya yang dapat mengakibatkan kerugian atau kerusakan pada benda-benda tidak hidup, tanaman, manusia dan binatang, atau tindakan yang mempunyai unsur destruktif yang berorientasi pada pembinasaan korban, penghapusan atau pembinasaan hidup. Orang tua, keluarga, pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksebilitas bagi anak terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan terarah. Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam upayanya untuk melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan pada anak perlu peran masyarakat baik melalui Lembaga Perlindungan Anak, Lembaga Keagamaan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Sosial, Media Massa dan juga Lembaga Pendidikan.

Adapun tindakan kekerasan yang biasa disebut dengan child abuse yang terjadi dikalangan keluarga biasanya tidak tampak ke permukaan. Hal ini disebabkan karena kultur di masyarakat masih menganggap hal tersebut sebagai masalah pribadi orang lain yang tidak perlu dicampuri. Seingga meski orang-orang disekitarnya (tetangga) mengetahui namun karena dianggap hal tersebut merupakan masalah intern rumah tangga masing- masing keluarga maka mereka membiarkan kekerasan itu terus menerus terjadi.

Biasanya kasus kekerasan terhadap anak baru akan terungkap dan menarik perhatian masyarakat dan media apabila kekerasan tersebut telah melampaui batas kriminal, dalam arti lain yaitu setelah anak menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya. Banyaknya kekerasan yang dilakukan dalam lingkup keluarga biasanya enggan untuk diungkapkan karena dianggap membuka aib keluarga, sehingga seseorang memilih untuk diam saja ketika melihat putrinya diperkosa oleh ayah tiriny atau bahkan ayah kandungnya sendiri bahkan terkadang sampai melahirkan anak.

Untuk mewujudkan perhatian terhadap keadaan dan kehidupan anak, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1959 mendeklarasikan hak anak-anak antara lain:

  1. Hak untuk mendapatkan perlindungan khusus, dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental, akhlak, rohani dan sosial mereka dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat.
  2. Hak mendapatkan pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang- kurangnya di tingkat sekolah dasar.
  3. Hak mendapat perlindungan dari segala bentuk penganiayaan, kekejaman dan penindasan. Dalam bentuk apapun, mereka tidak boleh menjadi bahan perdagangan. Tidak dibenarkan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Dengan alasan apapun, mereka tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan dan pendidikan mereka, maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, mental atau akal mereka.
  4. Hak dapat perlindungan dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi rasial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan di dalam semangat yang penuh pengertian toleransi.

Berdasarkan jenisnya, kekerasan bisa dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

  • Kekerasan fisik. Yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat dan bahkan sampai menyebabkan kematian seperti menampar, memukul, menendang, membanting, membakar, menyiram dengan sesuatu yang panas dan lain sebagainya.

  • Kekerasan psikis. Yaitu segala bentuk perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.Misalnya dengan terlalu sering meremehkan, memaki dengan suara yang keras dan kata-kata yang kasar.

  • Kekerasan seksual. Pemaksaan hubungan seksual dengan anak di bawah umur, termasuk juga dengan kepentingan komersial atau untuk tujuan tertentu lainnya misalnya memaksa anak untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain atau melacur, perbuatan cabul dan persetubuhan anak yang dilakukan oleh orang lain dengan tanpa tanggungjawab dan sebagainya.

  • Kekerasan ekonomi. Apabila seseorang yang berikan kewenangan untuk mengasuh dan tidak memenuhi haknya untuk menafkahi anaknya tersebut, mempekerjakan anak di bawah umur juga merupakan tindakan kekerasan secara ekonomi.

  • Kekerasan sosial. Mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak, penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.

  • Kekerasan Emosional. yaitu serangan terhadap perasaan, martabat dan harga diri anak yang menyebabkan luka psikologis. Kekerasan emosi dapat berupa tindakan mempermalukan, menghina atau menolak anak, dari hal ini maka dapat dikatakan bahwa penting bagi orang tua untuk mempertimbangkan makna kata-kata seseorang bagi anak, karena ktikikan dari orang tua akan berdampak lebih dalam pada anak dibanding dengan kritikan yang diberikan oleh orang lain.