Apa yang dimaksud dengan Cerita Pendek?

image

Cerita pendek atau cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi

Apa yang dimaksud dengan Cerita Pendek ?

H.B Jassin dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya, mengemukakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang pendek (1977). Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerita pendek ini orang boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu tidak disebut cerita pendek dan memang tidak ada cerita pendek yang demikian panjang. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih bisa disebut cerita pendek tetapi ada juga cerita pendek yang panjangnya hanya satu halaman.

Pengertian yang sama dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini di dalam buku mereka Apresiasi Kesusastraan. Mereka berpengertian bahwa cerita pendek (atau disingkat cerpen) adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuah cerpen (1986).

Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi (Sumardjo, 1983).

Selanjutnya menurut Priyatni (2010) cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi. Cerita pendek sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan. Perbandingan ini jika dikaitkan dengan bentuk prosa yang lain, misalnya novel.

Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek (Suyanto, 2012). Ukuran pendek di sisni bersifat relatif. Menurut Edgar Allan Poe dalam (Suyanto, 2012), sastrawan kenamaan Amerika, ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. Adapun Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1995) dalam Suyanto (2012) menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerpen harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.

Pengertian cerita pendek yang dikemukakan oleh, H.B. Jassin, kemudian Sumardjo dan Saini, Priyatni, dan Suyanto merupakan bagian kecil dari pengertian cerita pendek. Beberapa pengertian cerita pendek yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, penulis berhasil meyimpulkan pengertian cerita pendek secara tersendiri.

Cerita pendek (cerpen) adalah sebuah karangan berbentuk prosa fiksi yang habis dbaca sekali duduk, maksud dari habis dibaca sekali duduk adalah tidak membutuhkan waktu yang berlama-lama untuk menyelesaikan satu cerita. Cerita pendek juga memiliki pemendekan unsur-unsur pembentuknya, jadi kaya akan pemadatan makna.

Sukar untuk memberikan perumusan yang tepat dan tegas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, apakah cerita pendek itu. Tetapi kita coba menerangkan cerita pendek itu dengan menyebutkan unsur-unsur apa yang harus dikandungnya. Di dalam cerita pendek harus ada:

  1. Cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai penghidupan, baik secara langsung atau tidak langsung.

  2. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan suatu hempasan dalam pikiran pembaca.

  3. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca, bahwa pembaca merasa terbawa oleh jalan cerita, dan cerita pendek pertama-tama menarik perasaan, baru menarik pikiran.

  4. Cerita pendek mengandung perincian dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.

Selanjutnya sebuah cerita pendek harus pula mengandung:

  1. Sebuah insiden utama yang menguasai jalan cerita

  2. Seorang pelaku utama.

  3. Jalan cerita yang padat

  4. Mencerminkan yang ketiga di atas hingga tercipta satu “efek” atau SATU KESAN (impressie).

Panjang atau pendek sebuah cerita pendek juga tidak bisa ditetapkan. Pada umumnya panjangnya sebuah cerita pendek itu habis sekali, dua kali atau tiga kali. Tetapi ini juga bukan pegangan. Dapatlah kita katakan antara 500-1.000 – 1.500-2.000 hingga 10.000, 20.000, atau 30.000 kata.

Antara cerita pendek yang panjang dan sebuah novelet sudah sukar membedakannya. Bedanya ialah dalam isi cerita. Novelet mencakup cerita pengalaman-pengalaman manusia yang lebih luas, sedangkan cerita pendek memusatkan perhatian pada sesuatu yang lebih terbatas.

Cerita pendek itu terbatas kemungkinan-kemungkinannya. Umpamannya, tidak mungkin untuk meceritakan dalam sebuah cerita pendek dikemukakan tanggapan- tanggapan saat-saat hidup yang karena sesuatu sebab dapat dibawa ke depan dan ditonjolkan. Pengertian tentang batas-batas cerita pendek ini perlu diketahui agar orang jangan mengarang roman dalam sebuah cerita pendek atau sebaliknya. Karena berapa banyak roman-roman yang sebenarnya lebih padat dan lancar ceritanya jika dijalin dalam sebuah cerita pendek. Bahan dalam roman demikian diperpanjang, bertele-tele, sehingga hambar dan tidak berketentuan rasanya (Lubis 1996).

menulis cerita pendek

Unsur-unsur cerita pendek

Unsur-unsur pembangun cerpen yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas disamping unsur forma bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 1994). Unsur pembangun sebuah cerpen tersebut meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

Hal ini didukung oleh pendapat Nurgiyantoro (1994) Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur- unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur- unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen berwujud. Sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah cerpen. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Stanton (2007) mengemukakan bahwa karakter (penokohan), alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Berikut ini penjelasan mengenai fakta-fakta cerita suatu karya fiksi yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar.

1. Tokoh

Tokoh merupakan pelaku-pelaku yang dihadirkan dalam suatu cerita, Munaris (2010:20). Kehadirannya dapat diindikasikan dengan nama tokoh atau kata ganti tertentu yang merujuk pada pelaku tertentu. Kehadiran tokoh cerita, baik tokoh utama maupun tokoh pendukung selalu ada di semua novel. Dalam semua novel dibedakan antara tokoh statis dan tokoh dinamis, Adi (2011).

  • Tokoh statis, jika sebagai tokoh utama di sepanjang cerita wataknya tidak berubah.

  • Tokoh dinamis, jika sebagai tokoh utama di sepanjang cerita wataknya mengalami perubahan selama cerita berlangsung.

Kemudian, penokohan adalah salah satu unsur cerita yang memegang peranan penting di dalam sebuah novel, karena tanpa pelaku yang mengadakan tindakan, cerita itu tidak mungkin ada, Adi (2011). Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan, dan bagaimana pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. (Nurgiyantoro, 1994).

Menurut Mido (1994), tokoh utama harus digambarkan sebagai tokoh yang hidup, tokoh yang utuh, bukan tokoh mati yang sekadar menjadi boneka mainan ditangan pengarangnya. Tokoh cerita harus digambarkan sebagai tokoh yang memiliki kepribadian, berwatak dan memiliki sifat-sifat tertentu. Gambaran lengkap profil tokoh utama yang utuh dimaksud meliputi 3 dimensi, yakni: fisiologis, psikologis, dan sosiologis.

  1. Dimensi fisiologis, meliputi penggambaran ciri-ciri fisik tokoh cerita, seperti: jenis kelamin, bentuk tubuh, usia, ciri-ciri tubuh, kadaan tubuh, dan raut wajah, pakaian dan perhiasan.

  2. Dimensi psikologis meliputi penggambaran ciri-ciri psikologis tokoh cerita, seperti: mentalitas, norma-norma moral, temperamen, perasaan, keinginan, sikap, watak/karakter, kecerdasan (IQ), keahlian dan kecakapan khusus.

  3. Dimensi sosiologis meliputi penggambaran ciri-ciri sosial tokoh cerita, seperti: status sosial, jabatan, pekerjaan, peranan sosial, pendidikan, kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, pandangan hidup, ideologi, agama, aktifitas sosial, orpol/ormas yang dimasuki, kegemaran, keturunan dan suku bangsa.

Dalam rangka menggambarkan dimensi fisiologis, psikologis, dan sosioloogis, para tokoh ceritanya, para pengarang ada yang melakukannya secara langsung dengan metode diskursif (eksplisit) dan ada pula yang melakukannya secara tidak langsung dengan metode dramatik (implisit).

Metode langsung (eksplisit) mengarah pada cara pengarangnya yang menyebutkan secara langsung ciri-ciri fisik (dimensi fisioloogis), ciri-ciri fisik (dimensi fisikologis), ciri-ciri sosial (dimensi sosial) dan ciri-ciri psikologis (dimensi psikologis) yang dilekatkannya pada tokoh cerita. Sementara metode tidak langsung (implisit) mengarah pada cara mengarangnya yang tidak menyebutkan secara langsung ciri-ciri fisik (dimensi fisiologis), ciri-ciri sosial (dimensi sosial) dan ciri-ciri psikologis (dimensi psikologis) yang dilekatkannya pada tokoh cerita (Mido, 1994).

2. Alur

Plot atau secara tradisional orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang lebih kemudian dikenal dengan adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet (Nurgiyantoro, 2013). Aminudin dalam Munaris (2010) mengemukakan alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita (Stanton, 2007). Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.

3. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung, Stanton (2007:35). Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994).

Menurut Stanton dalam Munaris (2010) latar adalah lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa yang sedang berlangsung. Kemudian Stanton dalam Nurgiyantoro (1994) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca secara fiksi atau ketiga inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita.

Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan, pelukisan, dan penunjukan latar. Namun, hal itu tak berarti bahwa pelukisan dan penunjukkan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. ia dapat saja berada pada tahap yang lain, pada berbagai suasana dan adegan dan bersifat koherensif dengan unsur- unsur struktural fiksi yang lain.

  1. Latar tempat

    Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, dan lain-lain. Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga menyaran pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T, dan desa B. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempatan tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, dan sebagainya.

    Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat lain. Jika terjadi ketidaksesuaian deskripsi antara keadaan tempat secara realistis dengan yang terdapat di dalam novel, terutama jika pembaca mengenalinya, hal itu akan menyebabkan karya yang bersangkutan kurang meyakinkan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan sungguh- sungguh ada dan terjadi.

    Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan, pengarang perlu menguasi medan, Nurgiyantoro (1994). Pengarang haruslah menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat khasnya. Tempat-tempat yang berupa desa, kota, jalan, sungai, dan lain-lain tentu memiliki ciri-ciri khas yang menandainya. Hal itu belum lagi diperhitungkan adanya ciri khas tertentu untuk tempat tertentu. Sebab, tentunya tak ada satu pun desa, kota, atau sungai yang sama persis dengan desa, kota, atau sungai yang lain. Pelukisan tempat tertentu dengan sifat khasnya secara rinci biasanya menjadi bersifat kedaerahan, atau berupa pengangkatan suasana daerah.

    Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan. Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tak hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakat penghuninya. Dengan kata lain, latar sosial, latar spiritual, justru lebih menentukan ketipikalan latar tempat yang ditunjuk.

  2. Latar Waktu

    Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, Nurgiyantoro (1994). Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu, yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita.

    Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dalam Nurgiyantoro (1994) dapat bermakna ganda, yaitu menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. kejelasan waktu yang diceritakan amat penting dilihat dari segi waktu penceritaannya. Tanpa kejelasan (urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis cerita. dalam hal ini kejelasan masalah waktu menjadi lebih penting dari pada kejelasan unsur tempat, Genette dalam Nurgiyantoro (1994). Hal ini disebabkan orang masih dapat menulis dengan baik walau unsur tempat tak ditunjukkan secara pasti, namun tidak demikian halnya dengan pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan sebagai sarana pengungkapannya.

    Masalah waktu dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita. Dalam hal ini terdapat variasi pada berbagai novel yang ditulis orang. Ada novel yang membutuhkan waktu sangat panjang hampir sepanjang hayat tokoh, adapula yang relatif pendek.

  3. Latar Sosial

    Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehiduan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, Nurgiyantoro (1994). Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan misalnya rendah, menengah, atau atas.

    Latar sosial dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Di samping berupa hal-hal yang telah dikemukakan, ia dapat pula berupa dan diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu.

    Status sosial tokoh merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar. Ada sejumlah novel yang membangun konflik berdasarkan kesenjangan status sosial tokoh-tokohnya. Perbedaan status sosial dengan demikian, menjadi fungsional dalam fiksi. Secara umum perlu adanya deskripsi perbedaan antara kehidupan tokoh yang berbeda status sosialnya. Keduanya tentu memiliki perbedaan tingkah laku, pandangan, cara berpikir dan bersikap, gaya hidup, dan mungkin permasalahan yang dihadapi.

    Akhirnya perlu ditegaskan bahwa latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi, ia berada dalam kepaduan dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu, Nurgiyantoro (1994) ketiga unsur tersebut dalam satu kepaduan jelas akan menyaran pada makna yang lebih khas dan meyakinkan daripada secara sendiri-sendiri. Ketepatan latar sebagai salah satu unsur fiksi pun tak dilihat secara terpisah dan berbagai unsur yang lain, melainkan justru dari kepaduan dan koherensinya dengan keseluruhan.

Menurut Sumardjo cerita pendek adalah cerita yang pada hakikatnya merupakan salah satu wujud pernyataan seni yang menggunakan bahasa sebagai media komunikasi. Sebagai wujud pernyataan seni, dalam hal ini seni sastra, cerita pendek tentunya memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk karya sastra lain seperti novel, drama, dan sajak. Cerpen adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”.

Cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa pendek. Ukuran pendek di sini bersifat relatif. Lebih menspesifikasikan yaitu cerita pendek adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri.

Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuan mengemukakan masalah yang kompleks dalam bentuk (dan waktu) yang sedikit. Berdasarkan uraian para pakar di atas penulis menyimpulkan bahwa konflik cerpen adalah cerita yang relatif singkat dan menceritakan peristiwa kehidupan yang kompleks. Peristiwa yang diceritakan berdasarkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat.

Cerita pendek (cerpen) merupakan cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif, namun pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit sampai tiga puluh menit. Jumlah katanya sekitar 500-5000 kata, karena itu cerita pendek sering diungkapkan dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk. Cerita pendek pada umumnya bertema sederhana dan jumlah tokohnya terbatas, jalan ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup yang terbatas.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. alur lebih sederhana
  2. tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang
  3. latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup yang relatif terbatas. (Kosasih, 2012).

Sesuai dengan namanya, cerita pendek merupakan cerita berbentuk prosa yang pendek. Ukuran pendek di sini bersifat relatif. Adapun Jabob Sumardjo dan Saini

Ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerpen harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.

Cerpen adalah suatu cerita yang melukiskan suatu peristiwa (kejadian) apa saja yang menyangkut persoalan jiwa/kehidupan manusia. Sebagaimana sebuah fiksi cerpen memiliki unsur-unsur instrinsik cerita seperti: tema, alur, latar, ketegangan (suspense), sudut pandang, kesatuan, dan gaya bahasa. Selain itu cerpen memiliki struktur cerita, tetapi susunan ceritanya tidaklah mutlak harus mengikuti suatu pola.

Cepen merupakan salah satu jenis fiksi. Cerpen mempunyai elemen cerita, plot, latar, tokoh yang lebih sempit dari pada novel. Sumardjo (2007) menyatakan bahwa cerita pendek merupakan fiksi yang selesai dibaca dalam sekali duduk. Oleh karena itu, cerita yang disajikan dalam cerpen terbatas hanya memiliki satu kisah atau satu peristiwa.

Menurut Edgar Allan Poe (melalui Nurgiyantoro, 2007), cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam-suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.

Cerpen mempunyai panjang yang bervariasi. Ada cerpen yang pendek ( short short story ) dan jumlah katanya bekisar 500 kata, ada cerpen yang panjangnya cukupan ( midle short story ), dan ada cerpen yang panjang ( long short story ), yang terdiri dari ribuan kata.

Sementara itu, Sayuti (2000) menyatakan cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat compression “pemadatan”, concentration “pemusatan”, dan intensity “pendalaman”, yang semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu.