Apa yang dimaksud dengan cedera kepala (trauma capitis)?

image

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

Apa yang dimaksud dengan cedera kepala (trauma capitis) ?

Cedera kepala atau trauma kepala adalah cedera yang terjadi pada tulang tengkorak, otak atau keduanya disertai atau tanpa disertai adanya kerusakan struktur otak. Cedera kepala dapat bersifat primer atau sekunder.

  • Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan kerusakan langsung setelah cedera terjadi misalnya fraktur tengkorak, laserasio, kontusio.

  • Cedera kepala sekunder merupakan efek lanjut dari cedera primer seperti perdarahan intrakranial, edema serebral, peningkatan intrakranial, hipoksia, dan infeksi (Hickey, 2003).

Mekanisme cedera kepala

Organ otak dilindungi oleh rambut kepala, kulit kepala, tulang tengkorak, dan meningen atau lapisan otak, sehingga secara fisiologis efektif terlindungi dari trauma atau cedera. Cedera kepala terjadi karena adanya benturan atau daya yang mengenai kepala secara tiba-tiba (Black & Hawks, 2009).

Cedera kepala dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu ketika kepala secara langsung kontak dengan benda atau obyek dan mekanisme akselerasi-deselerasi. Akselerasi merupakan mekanisme cedera kepala yang terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala yang diam, sedangkan deselerasi terjadi ketika kepala bergerak membentur benda yang diam (Hickey, 2003).

Ketika benturan terjadi, energi kinetik diabsorpsi oleh kulit kepala, tulang tengkorak, dan meningen, sedangkan sisa energi yang ada akan hilang pada bagian atas otak (Dollan, et al. 1996).

Namun demikian jika energi atau daya yang dihasilkan lebih besar dari kekuatan proteksi maka akan menimbulkan kerusakan pada otak. Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala skunder.

  • Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998).

  • Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis, dan penurunan suplay oksigen otak (LeJeune & Tamara, 2002).

Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.

Perdarahan cerebral


Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang menimbulkan perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma seperti pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater akibat pecahnya pembuluh darah yang paling sering adalah arteri media meningial. Subdural hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan subarahnoid. Sementara intracereberal hematoma adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral (Black & Hawks, 2009).

Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan tetapi apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak.

Edema serebri


Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam ruang intraseluler, ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4 hari setelah trauma kepala. Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan perfusi jaringan serebral yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan infark serebral. Ada 3 tipe edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial.

  • Edema vasogenik merupakan edema serebral yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan mudah keluar ke ekstravaskuler.

  • Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan yang terjadi pada sel saraf, sel glia dan endotel. Edema ini terjadi karena kegagalan pompa sodium-potasium, natrium-kalium yang biasanya terjadi bersamaan dengan episode hipoksia dan anoksia.

  • Edema interstitial terjadi saat cairan banyak terdapat pada periventrikular yang terjadi akibat peningkatan tekanan yang besar sehingga tekanan cairan yang ada jaringan ependimal akan masuk ke periventrikuler white matter (Hickey, 2003).

Peningkatan tekanan intrakranial


Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi proses kompensasi agar volume otak tetap konstan (Brunner & Suddarth’s, 2004; Little, 2008).

Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini berarti akan terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral.

Keadaan herniasi serebral merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan organ-organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun kardiovaskuler.

Klasifikasi cedera kepala


Menurut Perhimpunan Dokter Ahli Saraf Indonesia (Perdossi) (2006), cedera kepala berdasarkan berat ringannya dikelompokkan:

  1. Cedera kepala minimal (simple head injury)
    Kriteria cedera kepala ini adalah nilai GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia post trauma dan tidak ada defisit neurologi.

  2. Cedera kepala ringan (mild head injury)
    Kategori cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom dan amnesia post trauma kurang dari 1 jam.

  3. Cedera kepala sedang (moderate head injury)
    Pada cedera kepala ini nilai GCS antara 9–12, atau GCS lebih dari 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT Scan, hilang kesadaran antara 30 menit s.d 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, dan amnesia post trauma 1 sampai 24 jam.

  4. Cedera kepala berat (severe head injury)
    Kategori cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema serebral dan amnesia post trauma lebih dari 7 hari.

Penatalaksanaan cedera kepala


Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi jaringan serebral, karena organ otak sangat sensitif terhadap kebutuhan oksigen dan glukosa. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa diperlukan keseimbangan antara suplay dan demand yaitu dengan meningkatkan suplai oksigen dan glukosa otak, dan dengan cara menurunkan kebutuhan oksigen dan glukosa otak.

Untuk meningkatkan suplai oksigen di otak dapat dilakukan melalui tindakan pemberian oksigen, mempertahankan tekanan darah dan kadar hemoglobin yang normal. Sementara upaya untuk menurunkan kebutuhan (demand) oksigen otak dengan cara menurunkan laju metabolismne otak seperti menghindari keadaan kejang, stres, demam, suhu lingkungan yang panas, dan aktivitas yang berlebihan (Dolan, et al. 1996).

Untuk menjaga kestabilan oksigen dan glukosa otak juga perlu diperhatikan adalah tekanan intrakranial dengan cara mengontrol cerebral blood flow (CBF) dan edema serebri. Keadaan CBF ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabolic rate dan PaCO2. Pada keadaan hipertensi menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak hal ini akan menghambat oksigenasi otak (Denise, 2007).

Demikian juga pada peningkatan metabolisme akan mengurangi oksigenasi otak karena kebutuhan oksigen meningkat. Disamping itu pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema serebral, memperbaiki metabolisme otak dan mengurangi gejala peserta seperti nyeri kepala sangat diperlukan.

Nyeri Kepala Post Cedera Kepala

Nyeri kepala menurut The Internasional Association for the Study of Pain (IASP, dalam Black & Hawks, 2009) adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan karena kerusakan atau potensial kerusakan jaringan otak. Nyeri kepala diklasifikasikan atas nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder.

  • Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tanpa disertai adanya penyebab struktural organik (Sjahrir, 2004). Jenis nyeri kepala ini diantaranya migrain, nyeri kepala tension dan nyeri kepala cluster.

  • Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disertai adanya perubahan struktur organik otak, misalnya nyeri kepala karena trauma kepala atau posttrauma headache, infeksi otak atau penyakit lainnya (Sjahrir, 2004).

Nyeri kepala post trauma dikelompokkan menjadi nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik.

  • Nyeri kepala akut yaitu nyeri kepala yang terjadi sesaat setelah terjadi trauma sampai dengan 3 minggu,

  • Nyeri kepala kronik adalah nyeri kepala yang terjadi setelah 3 bulan post trauma (Barker & Ellen, 2002).

Cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan kerusakan permanen dari jaringan otak atau juga dapat mengalami cedera sekunder seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan elektrolit (Arifin, 2008).

Keadaan tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan cerebral blood flow pada 24 jam pertama cedera kepala, meningkatnya tekanan intrakranial, dan menurunnya perfusi jaringan serebral (Deem, 2006).

Iskemik jaringan otak juga disebabkan oleh peningkatan metabolisme otak karena peningkatan penggunaan glukosa pada 30 menit pertama post trauma yang kemudian kadar glukosa akan dipertahankan lebih rendah pada 5 – 10 hari (Madikians & Giza, 2006).

Peningkatan metabolisme glukosa berasal dari hiperglikolisis dari kekacauan gradian ionik membran sel dan aktivasi energi dari pompa ionik pada jaringan otak (Madikians & Giza, 2006).

Peningkatan metabolisme otak menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen otak karena metabolisme membutuhkan oksigen dan meningkatkan kadar karbondioksida. Jika kebutuhan oksigen otak tidak terpenuhi, maka metabolisme akan beralih dari aerob ke metabolisme anerob. Pada keadaan ini dihasilkan asam laktat yang menstimulasi terjadinya nyeri kepala (Arifin, 2008).

Komplikasi lain yang terjadi pada cedera kepala adalah peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang serebral akibat bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi dalam ruang kranium yang disebabkan karena edema serebri dan perdarahan serebral. Salah satu gejala dari peningkatan tekanan intrakranial adalah adanya nyeri kepala (Hickey, 2003).

Nyeri kepala post-traumatik dikelompokkan menjadi dua yaitu nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik. Nyeri kepala akut terjadi setelah trauma sampai dengan 7 hari, sedangkan nyeri kepala kronik dapat terjadi setelah 3 bulan paska cedera kepala (Perdossi, 2010).

Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) (2010) mengkategorikan nyeri kepala post trauma kepala menjadi nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik.

1. Nyeri kepala akut post trauma kepala
Nyeri kepala akut post trauma kepala dikategorikan menjadi nyeri kepala akut post trauma berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat dan nyeri kepala akut post trauma kepala ringan.

  • Nyeri kepala akut post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat

    Pada kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut :

    1. Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
    2. Terdapat trauma kepala dengan sekurang-kurangnya satu keadaan di bawah ini:
      • Hilang kesadaran selama > 30 menit
      • Glasgow Coma Scale (GCS) < 13
      • Amnesia post trauma berlangsung > 48 jam
      • Imaging menggambarkan adanya lesi otak traumatik (hematoma serebri, intraserebral, subarachnoid, kontusio dan atau fraktur tulang tengkorak).
    3. Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala atau sesudah pasien pulih kembali.
    4. Terdapat satu atau lebih keadaan dibawah ini :
      • Nyeri kepala hilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala
      • Nyeri kepala menetap, tetapi tidak lebih dari 3 bulan sejak trauma
  • Nyeri kepala akut post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan.

    Kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut:

    1. Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
    2. Terdapat trauma kepala dengan semua keadaan berikut ini :
      • Tidak disertai hilangnya kesadaran, atau kesadaran menurun < 30 menit.
      • Glasgow Coma Scale (GCS) >13
      • Gejala dan atau tanda-tanda diagnostik dari trauma kepala ringan.
    3. Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala.
    4. Terdapat satu atau lebih keadaan dibawah ini:
      • Nyeri kepala menghilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala.
      • Nyeri kepala menetap, tetapi tidak lebih dari 3 bulan sejak trauma trauma.

2. Nyeri kepala kronik post trauma kepala

Nyeri kepala kronik post trauma kepala dikategorikan menjadi nyeri kepala kronik post trauma berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat dan nyeri kepala kronik post trauma kepala ringan.

  • Nyeri kepala kronik post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat

    Pada kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut :

    1. Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
    2. Terdapat trauma kepala dengan sekurang-kurangnya satu keadaan dibawah ini:
      • Hilang kesadaran selama > 30 menit
      • Glasgow Coma Scale (GCS) < 13
      • Amnesia post trauma berlangsung > 48 jam
      • Imaging menggambarkan adanya lesi otak traumatic (hematoma serebri, intraserebral, subarachnoid, kontusio dan atau fraktur tulang tengkorak).
    3. Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala atau sesudah pasien pulih kembali.
    4. Nyeri kepala berlangsung lebih dari 3 bulan sejak trauma trauma
  • Nyeri kepala kronik post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan

    Kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut :

    1. Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
    2. Terdapat trauma kepala dengan semua keadaan berikut ini:
  • Tidak disertai hilangnya kesadaran, atau kesadaran menurun < 30 menit

  • Glasgow Coma Scale (GCS) >13

  • Gejala dan atau tanda-tanda diagnostik dari trauma kepala ringan
    3) Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala
    4) Nyeri kepala berlangsung lebih dari 3 bulan setelah trauma trauma

Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri kepala post trauma kepala

Seperti halnya nyeri secara pada umumnya, nyeri kepala akut post trauma kepala dipengaruhi oleh beberapa faktor diantarnya faktor usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, kecemasan, gaya koping (Potter & Perry, 2006) dan juga derajat cedera kepala (Perdossi, 2010)

  • Usia
    Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kelompok usia mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri terutama pada anakanak dan lansia. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri, mengungkapkan secara verbal dan mengekpresikan keadaan nyerinya. Pada lansia lebih mempunyai pengalaman nyeri dan memahami interpretasi nyeri sehingga seringkali memperlihatkan respon nyeri yang berbeda (McCaffery dan Beebe, 1989 dalam Potter & Perry, 2006).

  • Jenis kelamin
    Menurut Gil (1990) dalam Potter dan Perry (2006) secara umum pria dan wanita tidak mempunyai perbedaan yang bernakna terhadap nyeri. Namun demikian, jenis kelamin ini tidak satu-satunya faktor, tetapi dipengaruhi juga oleh budaya, misalnya laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dalam situasi yang sama.

  • Kebudayaan
    Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Cara individu mengepresikan nyeri juga tidak terlepas dari sifat dari kebudayaan yang dimilikinya. Misalnya beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri merupakan sesuatu yang alamiah, kebudayaan lain cenderung untuk melatih prilaku yang tertutup (introvert), (Martinelli, 1997 dalam Potter & Perry, 2006).

    Kebudayaan juga menentukan prilaku psikologis seseorang, sehingga berpengaruh terhadap pengeluaran fisiologis opiat endogen yang merupakan salah satu unsur stimulasi nyeri (Clancy dan McVicar, 1992 dalam Potter & Perry, 2006).

  • Makna nyeri
    Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu mungkin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda-beda seperti memberi kesan ancaman, hukuman, kehilangan ataupun tantangan. Dengan demikian, derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan individu berhubungan dengan makna nyeri.

  • Perhatian
    Tingkat seseorang memfokuskan perhatian pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, dan upaya mengalihkan (distraksi) dihubungkan dengan respons menurunkan nyeri. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi pada stimulus yang lain dapat menyebabkan toleransi terhadap nyeri. (Gili, 1990 dalam Potter & Perry, 2006).

  • Kecemasan
    Kecemasan dan nyeri mempunyai hubungan yang timbal balik. Kecemasan seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan kecemasan. Stimulasi nyeri mengaktifkan sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya kecemasan. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri. Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat dari pada individu yang memiliki emosional yang kurang stabil (Potter & Perry, 2006).

  • Gaya koping
    Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara spontan untuk mengelola kebutuhan spesifik baik internal maupun eksternal sebagai sumber pertahanan seseorang. Individu mempunyai koping yang berbeda terhadap stimulus nyeri dan sering kali individu akan menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri.

  • Derajat atau tingkat cedera kepala
    Selain faktor di atas nyeri kepala akut dipengaruhi oleh derajat kerusakan dari otak yang menyebakan tidak adekuatnya perfusi jaringan otak. Nyeri kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan, sedang, dan berat (Perdossi, 2010)

Intensitas nyeri kepala


Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah intensitas nyeri itu sendiri. Pasien mendeskripsi nyeri sebagai nyeri ringan, sedang atau berat, tetapi tentu masing-masing individu akan mempunyai penilaian yang berbeda. Skala deskriptif merupakan alat pengukuran yang lebih objektif.

Beberapa skala yang dapat dipakai untuk mengukur intensitas nyeri kepala diantaranya:

  • Verbal Descriptor Scale (VDS)
    Merupakan garis lurus yang terdiri dari tiga sampai lima kata dengan jarak yang sama disepanjang garis, mulai dari ranking “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Pengukuran skala ini dengan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang dirasakan.

  • Faces Pain Rating Scale
    Skala ini digunakan pada anak kurang dari 3 tahun dengan menampilkan 6 wajah kartun, mulai wajah tersenyum yang menggambarkan “tidak terasa nyeri” sampai dengan wajah sedih yang menggambarkan “nyeri yang sangat”.

  • Numerical Rating Scale (NRS)
    Merupakan skala pengukuran menggunakan garis lurus dengan rentang angka 0 – 10, kemudian nilai dideskripsikan menjadi tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat.

  • Visual Analog Scale (VAS). Merupakan suatu garis lurus dengan modifikasi skala 0 – 10 yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus untuk dapat mendeskripsikan verbal yang dirasakan. VAS digunakan pada pasien dengan kesadaran compos mentis dan usia lebih dari 7 tahun. Oleh karena nyeri merupakan perasaan subyektif, maka pada pengukuran dengan VAS pasien diminta untuk menyebutkan rentang angka dari 0 – 10, dengan 0 adalah perasaan tidak nyeri dan 10 nyeri yang sangat (Mc. Caffery, dalam Barker, 2002)

    Selanjutnya skala nyeri dikelompokkan menjadi 0-2 tidak nyeri, 3-5 nyeri ringan, 6-7 nyeri sedang dan 8-10 nyeri berat (Potter & Perry, 2006).

Pengkajian pasien dengan nyeri kepala akut dapat dilakukan melalui respon verbal maupun nonverbal pasien seperti peningkatan tekanan darah, nadi, jumlah pernapasan dan dilatasi pupil. Sering kali juga disertai perubahan postur, perubahaan perilaku seperti meringis, menangis, mengerang, mengerutkan dahi, dan meningkatnya tensi otot (Barker, & Ellen, 2002).

Penanganan nyeri kepala


Penanganan nyeri kepala dilakukan melalui terapi farmakologi, non farmakologi atau keduanya.

  • Terapi farmakologi
    Terapi menggunakan obat analgetik. Obat analgetik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi sehingga mempengaruhi persepsi atau mengubah persepsi modalitas nyeri. Sehingga obat analgetik mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri tanpa disertai kehilangan kesadaran atau fungsi sensasi (Potter & Perry, 2006).

    Obat analgetik untuk nyeri kepala dikelompokkan menjadi tiga yaitu non-narkotik dan obat anti inflamasi non-steroid (NSAID), analgetik narkotik atau opoid dan obat tambahan (adjuvan) atau ko analgetik (Meliala & Suryamiharja, 2007). Obat NSAID umumnya digunakan untuk mengurangi nyeri ringan dan sedang, analgetik narkotik umumnya untuk nyeri sedang dan berat (Potter & Perry, 2006).

  • Terapi non farmakologi
    Terapi non farmakologi atau disebut terapi komplementer telah terbukti dapat menurunkan nyeri kepala. Ada dua jenis terapi komplementer yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri kepala yaitu: Behavioral treatment seperti latihan relaksasi, hipnoterapi, latihan biofeedback dan Terapi fisik seperti akupuntur, transcutaneous electric nerve stmulation (TENS) (Machfoed & Suharjanti, 2010).

Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Distribusi cidera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2 juta penduduk mengalami cidera kepala (Packard, 1999). Menurut penelitian Evans (1996), distribusi kasus cidera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun.

Determinan Cedera Kepala

Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, mulai dari manusia sampai sarana jalan yang tersedia. Secara garis besar ada 4 faktor yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas , yaitu faktor manusia, kendaraan, fasilitas jalan, dan lingkungan.

a. Faktor manusia, menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.

  1. Faktor pengemudi dianggap salah satu faktor utama terjadinya kecelakaan dengan kontribusi 75-80%. Faktor yang berkaitan adalah perilaku (mengebut, tidak disipilin/melanggar rambu), kecakapan mengemudi, dan gangguan kesehatan (mabuk, mengantuk, letih) saat mengemudi.

  2. Faktor penunjang (jumlah penumpang dan barang yang berlebihan).

  3. Faktor pemakai jalan, yakni pejalan kaki, pengendara sepeda, pedagang kaki lima dan peminta-minta serta tempat pemarkiran kenderaan yang tidak pada tempatnya sehingga keadaan jalan raya semakin kacau.

b. Faktor kenderaan. Jalan raya penuh dengan berbagai kenderaan berupa kenderaan tidak bermotor dan kenderaan bermotor. Kondisi kenderaan yang tidak baik atau rusak akan mengganggu laju lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan bahkan kecelakaan. Saat ini jumlah dan penggunaan kenderaan bermotor bertambah dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12% per tahun.

Komposisi terbesar adalah sepeda motor (73% dari jumlah kenderaan pada tahun 2002-2003 dan pertumbuhannya mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Rasio jumlah sepeda motor dan penduduk diperkirakan 1:8 pada akhir tahun 2005.

c. Faktor jalan, dilihat dari ketersediaan rambu-rambu lalu lintas, panjang dan lebar jalan yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah kenderaan yang melintasinya, serta keadaan jalan yang tidak baik misalnya berlobanglobang dapat menjadi memacu terjadinya kecelakaan.

d. Faktor lingkungan yaitu adanya kabut, hujan, jalan licin akan membawa risiko kejadian kecelakaan yang lebih besar.

Klasifikasi Cedera Kepala

1. Komosio Serebri (geger otak)

Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.

Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.

2. Kontusio serebri (memar otak)

Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu.

Terdapat amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:

  • Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan kematian.

  • Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)

  • Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).

3. Hematoma epidural

Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.

4. Hematoma subdural

Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.

Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis :

  • Hematoma Subdural Akut. Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
  • Hematoma Subdural Sub-Akut. Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
  • Hematoma Subdural Kronik. Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti tumor serebri.

5. Hematoma intraserebral

Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.

Gejala-gejala yang ditemukan adalah :

  • Hemiplegi
  • Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.
  • Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.

6. Fraktura basis kranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik.

Gejala tergantung letak frakturnya :

  • Fraktur fossa anterior
    Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

  • Fraktur fossa media
    Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

  • Fraktur fossa posterior
    Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika.

image
Gambar Klasifikasi Cedera Kepala

Tingkat Keparahan Cedera Kepala


Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.

Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).

Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah :

a. Membuka mata (Eye Open)

Nilai Membuka mata spontan : Nilai 4
Membuka mata terhadap perintah : Nilai 3
Membuka mata terhadap nyeri : Nilai 2
Tidak membuka mata : Nilai 1

b. Respon Verbal (Verbal Response)

Orientasi baik dan mampu berkomunikasi : Nilai 5
Bingung (mampu membentuk kalimat, tetapi arti keseluruhan kacau) : Nilai 4
Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat : Nilai 3
Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang (groaning) : Nilai 2
Tidak ada suara : Nilai 1

c. Respon motorik (Motoric Response)

Menurut perintah : Nilai 6
Mengetahui lokasi nyeri : Nilai 5
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak : Nilai 4
Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) : Nilai 3
Ekstensi spontan : Nilai 2
Tidak ada gerakan : Nilai 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

  • Cedera kepala ringan, bila GCS bernilai 13-15
  • Cedera kepala sedang, bila GCS bernilai 10-12
  • Cedera kepala berat, bila bernilai GCS 3-9

Akibat Jangka Panjang Cedera Kepala

1. Kerusakan saraf cranial

  • Anosmia
    Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.

  • Gangguan penglihatan
    Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.

  • Oftalmoplegi
    Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.

  • Paresis fasialis
    Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.

  • Gangguan pendengaran
    Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.

2. Disfasia

Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

3. Hemiparesis

Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.

4. Sindrom pasca trauma kepala

Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.

5. Fistula karotiko-kavernosus

Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.

6. Epilepsi

Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

Pencegahan dan Penatalaksanaan

Cedera Kepala Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu :

  • Pencegahan Primer
    Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

  • Pencegahan Sekunder
    Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :

    1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
      Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.

      Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.

    2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
      Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.

    3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
      Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.

  • Pencegahan Tertier
    Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.

    Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

    1. Rehabilitasi Fisik

      • Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.

      • Perlengkapan splint dan kaliper

      • Transplantasi tendon

    2. Rehabilitasi Psikologis
      Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.

    3. Rehabilitasi Sosial

      • Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.

      • Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

Penyebab Cedera Kepala

Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan.

Menurut penelitian Evans di Amerika (1996), penyebab cedera kepala terbanyak adalah 45% akibat kecelakaan lalu lintas, 30% akibat terjatuh, 10% kecelakaan dalam pekerjaan,10% kecelakaaan waktu rekreasi,dan 5% akibat diserang atau di pukul. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor.

Hal ini disebabkan sebagian besar (>85%) pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm yang tidak memenuhi standar. Pada saat penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum kepala menyentuh tanah, akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah atau helm dapat pecah dan melukai kepala.

Klasifikasi Cedera Kepala

  1. Komosio Serebri (geger otak)
    Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.

  2. Kontusio serebri (memar otak)
    Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu.

  3. Hematoma epidural
    Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.

  4. Hematoma subdural
    Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan edema papil.

  5. Hematoma intraserebral
    Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.

  6. Fraktura basis kranii
    Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik.