Cedera kepala atau trauma kepala adalah cedera yang terjadi pada tulang tengkorak, otak atau keduanya disertai atau tanpa disertai adanya kerusakan struktur otak. Cedera kepala dapat bersifat primer atau sekunder.
-
Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan kerusakan langsung setelah cedera terjadi misalnya fraktur tengkorak, laserasio, kontusio.
-
Cedera kepala sekunder merupakan efek lanjut dari cedera primer seperti perdarahan intrakranial, edema serebral, peningkatan intrakranial, hipoksia, dan infeksi (Hickey, 2003).
Mekanisme cedera kepala
Organ otak dilindungi oleh rambut kepala, kulit kepala, tulang tengkorak, dan meningen atau lapisan otak, sehingga secara fisiologis efektif terlindungi dari trauma atau cedera. Cedera kepala terjadi karena adanya benturan atau daya yang mengenai kepala secara tiba-tiba (Black & Hawks, 2009).
Cedera kepala dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu ketika kepala secara langsung kontak dengan benda atau obyek dan mekanisme akselerasi-deselerasi. Akselerasi merupakan mekanisme cedera kepala yang terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala yang diam, sedangkan deselerasi terjadi ketika kepala bergerak membentur benda yang diam (Hickey, 2003).
Ketika benturan terjadi, energi kinetik diabsorpsi oleh kulit kepala, tulang tengkorak, dan meningen, sedangkan sisa energi yang ada akan hilang pada bagian atas otak (Dollan, et al. 1996).
Namun demikian jika energi atau daya yang dihasilkan lebih besar dari kekuatan proteksi maka akan menimbulkan kerusakan pada otak. Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala skunder.
-
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998).
-
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis, dan penurunan suplay oksigen otak (LeJeune & Tamara, 2002).
Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Perdarahan cerebral
Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang menimbulkan perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma seperti pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater akibat pecahnya pembuluh darah yang paling sering adalah arteri media meningial. Subdural hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan subarahnoid. Sementara intracereberal hematoma adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral (Black & Hawks, 2009).
Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan tetapi apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak.
Edema serebri
Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam ruang intraseluler, ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4 hari setelah trauma kepala. Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan perfusi jaringan serebral yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan infark serebral. Ada 3 tipe edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial.
-
Edema vasogenik merupakan edema serebral yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan mudah keluar ke ekstravaskuler.
-
Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan yang terjadi pada sel saraf, sel glia dan endotel. Edema ini terjadi karena kegagalan pompa sodium-potasium, natrium-kalium yang biasanya terjadi bersamaan dengan episode hipoksia dan anoksia.
-
Edema interstitial terjadi saat cairan banyak terdapat pada periventrikular yang terjadi akibat peningkatan tekanan yang besar sehingga tekanan cairan yang ada jaringan ependimal akan masuk ke periventrikuler white matter (Hickey, 2003).
Peningkatan tekanan intrakranial
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak. Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi peningkatan salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi proses kompensasi agar volume otak tetap konstan (Brunner & Suddarth’s, 2004; Little, 2008).
Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini berarti akan terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral.
Keadaan herniasi serebral merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan organ-organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun kardiovaskuler.
Klasifikasi cedera kepala
Menurut Perhimpunan Dokter Ahli Saraf Indonesia (Perdossi) (2006), cedera kepala berdasarkan berat ringannya dikelompokkan:
-
Cedera kepala minimal (simple head injury)
Kriteria cedera kepala ini adalah nilai GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia post trauma dan tidak ada defisit neurologi.
-
Cedera kepala ringan (mild head injury)
Kategori cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom dan amnesia post trauma kurang dari 1 jam.
-
Cedera kepala sedang (moderate head injury)
Pada cedera kepala ini nilai GCS antara 9–12, atau GCS lebih dari 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT Scan, hilang kesadaran antara 30 menit s.d 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, dan amnesia post trauma 1 sampai 24 jam.
-
Cedera kepala berat (severe head injury)
Kategori cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema serebral dan amnesia post trauma lebih dari 7 hari.
Penatalaksanaan cedera kepala
Prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi jaringan serebral, karena organ otak sangat sensitif terhadap kebutuhan oksigen dan glukosa. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa diperlukan keseimbangan antara suplay dan demand yaitu dengan meningkatkan suplai oksigen dan glukosa otak, dan dengan cara menurunkan kebutuhan oksigen dan glukosa otak.
Untuk meningkatkan suplai oksigen di otak dapat dilakukan melalui tindakan pemberian oksigen, mempertahankan tekanan darah dan kadar hemoglobin yang normal. Sementara upaya untuk menurunkan kebutuhan (demand) oksigen otak dengan cara menurunkan laju metabolismne otak seperti menghindari keadaan kejang, stres, demam, suhu lingkungan yang panas, dan aktivitas yang berlebihan (Dolan, et al. 1996).
Untuk menjaga kestabilan oksigen dan glukosa otak juga perlu diperhatikan adalah tekanan intrakranial dengan cara mengontrol cerebral blood flow (CBF) dan edema serebri. Keadaan CBF ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabolic rate dan PaCO2. Pada keadaan hipertensi menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak hal ini akan menghambat oksigenasi otak (Denise, 2007).
Demikian juga pada peningkatan metabolisme akan mengurangi oksigenasi otak karena kebutuhan oksigen meningkat. Disamping itu pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema serebral, memperbaiki metabolisme otak dan mengurangi gejala peserta seperti nyeri kepala sangat diperlukan.
Nyeri Kepala Post Cedera Kepala
Nyeri kepala menurut The Internasional Association for the Study of Pain (IASP, dalam Black & Hawks, 2009) adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan karena kerusakan atau potensial kerusakan jaringan otak. Nyeri kepala diklasifikasikan atas nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder.
-
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang tanpa disertai adanya penyebab struktural organik (Sjahrir, 2004). Jenis nyeri kepala ini diantaranya migrain, nyeri kepala tension dan nyeri kepala cluster.
-
Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disertai adanya perubahan struktur organik otak, misalnya nyeri kepala karena trauma kepala atau posttrauma headache, infeksi otak atau penyakit lainnya (Sjahrir, 2004).
Nyeri kepala post trauma dikelompokkan menjadi nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik.
-
Nyeri kepala akut yaitu nyeri kepala yang terjadi sesaat setelah terjadi trauma sampai dengan 3 minggu,
-
Nyeri kepala kronik adalah nyeri kepala yang terjadi setelah 3 bulan post trauma (Barker & Ellen, 2002).
Cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan kerusakan permanen dari jaringan otak atau juga dapat mengalami cedera sekunder seperti adanya iskemik otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan elektrolit (Arifin, 2008).
Keadaan tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan cerebral blood flow pada 24 jam pertama cedera kepala, meningkatnya tekanan intrakranial, dan menurunnya perfusi jaringan serebral (Deem, 2006).
Iskemik jaringan otak juga disebabkan oleh peningkatan metabolisme otak karena peningkatan penggunaan glukosa pada 30 menit pertama post trauma yang kemudian kadar glukosa akan dipertahankan lebih rendah pada 5 – 10 hari (Madikians & Giza, 2006).
Peningkatan metabolisme glukosa berasal dari hiperglikolisis dari kekacauan gradian ionik membran sel dan aktivasi energi dari pompa ionik pada jaringan otak (Madikians & Giza, 2006).
Peningkatan metabolisme otak menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen otak karena metabolisme membutuhkan oksigen dan meningkatkan kadar karbondioksida. Jika kebutuhan oksigen otak tidak terpenuhi, maka metabolisme akan beralih dari aerob ke metabolisme anerob. Pada keadaan ini dihasilkan asam laktat yang menstimulasi terjadinya nyeri kepala (Arifin, 2008).
Komplikasi lain yang terjadi pada cedera kepala adalah peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang serebral akibat bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi dalam ruang kranium yang disebabkan karena edema serebri dan perdarahan serebral. Salah satu gejala dari peningkatan tekanan intrakranial adalah adanya nyeri kepala (Hickey, 2003).
Nyeri kepala post-traumatik dikelompokkan menjadi dua yaitu nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik. Nyeri kepala akut terjadi setelah trauma sampai dengan 7 hari, sedangkan nyeri kepala kronik dapat terjadi setelah 3 bulan paska cedera kepala (Perdossi, 2010).
Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) (2010) mengkategorikan nyeri kepala post trauma kepala menjadi nyeri kepala akut dan nyeri kepala kronik.
1. Nyeri kepala akut post trauma kepala
Nyeri kepala akut post trauma kepala dikategorikan menjadi nyeri kepala akut post trauma berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat dan nyeri kepala akut post trauma kepala ringan.
-
Nyeri kepala akut post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat
Pada kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut :
- Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
- Terdapat trauma kepala dengan sekurang-kurangnya satu keadaan di bawah ini:
- Hilang kesadaran selama > 30 menit
- Glasgow Coma Scale (GCS) < 13
- Amnesia post trauma berlangsung > 48 jam
- Imaging menggambarkan adanya lesi otak traumatik (hematoma serebri, intraserebral, subarachnoid, kontusio dan atau fraktur tulang tengkorak).
- Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala atau sesudah pasien pulih kembali.
- Terdapat satu atau lebih keadaan dibawah ini :
- Nyeri kepala hilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala
- Nyeri kepala menetap, tetapi tidak lebih dari 3 bulan sejak trauma
-
Nyeri kepala akut post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan.
Kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut:
- Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
- Terdapat trauma kepala dengan semua keadaan berikut ini :
- Tidak disertai hilangnya kesadaran, atau kesadaran menurun < 30 menit.
- Glasgow Coma Scale (GCS) >13
- Gejala dan atau tanda-tanda diagnostik dari trauma kepala ringan.
- Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala.
- Terdapat satu atau lebih keadaan dibawah ini:
- Nyeri kepala menghilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala.
- Nyeri kepala menetap, tetapi tidak lebih dari 3 bulan sejak trauma trauma.
2. Nyeri kepala kronik post trauma kepala
Nyeri kepala kronik post trauma kepala dikategorikan menjadi nyeri kepala kronik post trauma berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat dan nyeri kepala kronik post trauma kepala ringan.
-
Nyeri kepala kronik post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala sedang sampai berat
Pada kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut :
- Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
- Terdapat trauma kepala dengan sekurang-kurangnya satu keadaan dibawah ini:
- Hilang kesadaran selama > 30 menit
- Glasgow Coma Scale (GCS) < 13
- Amnesia post trauma berlangsung > 48 jam
- Imaging menggambarkan adanya lesi otak traumatic (hematoma serebri, intraserebral, subarachnoid, kontusio dan atau fraktur tulang tengkorak).
- Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala atau sesudah pasien pulih kembali.
- Nyeri kepala berlangsung lebih dari 3 bulan sejak trauma trauma
-
Nyeri kepala kronik post trauma kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan
Kategori nyeri kepala ini mempunyai kriteria sebagai berikut :
- Nyeri kepala, tidak khas, memenuhi kriteria 3) dan 4)
- Terdapat trauma kepala dengan semua keadaan berikut ini:
-
Tidak disertai hilangnya kesadaran, atau kesadaran menurun < 30 menit
-
Glasgow Coma Scale (GCS) >13
-
Gejala dan atau tanda-tanda diagnostik dari trauma kepala ringan
3) Nyeri kepala terjadi dalam 7 hari setelah trauma kepala
4) Nyeri kepala berlangsung lebih dari 3 bulan setelah trauma trauma
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri kepala post trauma kepala
Seperti halnya nyeri secara pada umumnya, nyeri kepala akut post trauma kepala dipengaruhi oleh beberapa faktor diantarnya faktor usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, kecemasan, gaya koping (Potter & Perry, 2006) dan juga derajat cedera kepala (Perdossi, 2010)
-
Usia
Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kelompok usia mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri terutama pada anakanak dan lansia. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri, mengungkapkan secara verbal dan mengekpresikan keadaan nyerinya. Pada lansia lebih mempunyai pengalaman nyeri dan memahami interpretasi nyeri sehingga seringkali memperlihatkan respon nyeri yang berbeda (McCaffery dan Beebe, 1989 dalam Potter & Perry, 2006).
-
Jenis kelamin
Menurut Gil (1990) dalam Potter dan Perry (2006) secara umum pria dan wanita tidak mempunyai perbedaan yang bernakna terhadap nyeri. Namun demikian, jenis kelamin ini tidak satu-satunya faktor, tetapi dipengaruhi juga oleh budaya, misalnya laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dalam situasi yang sama.
-
Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Cara individu mengepresikan nyeri juga tidak terlepas dari sifat dari kebudayaan yang dimilikinya. Misalnya beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri merupakan sesuatu yang alamiah, kebudayaan lain cenderung untuk melatih prilaku yang tertutup (introvert), (Martinelli, 1997 dalam Potter & Perry, 2006).
Kebudayaan juga menentukan prilaku psikologis seseorang, sehingga berpengaruh terhadap pengeluaran fisiologis opiat endogen yang merupakan salah satu unsur stimulasi nyeri (Clancy dan McVicar, 1992 dalam Potter & Perry, 2006).
-
Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu mungkin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda-beda seperti memberi kesan ancaman, hukuman, kehilangan ataupun tantangan. Dengan demikian, derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan individu berhubungan dengan makna nyeri.
-
Perhatian
Tingkat seseorang memfokuskan perhatian pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, dan upaya mengalihkan (distraksi) dihubungkan dengan respons menurunkan nyeri. Dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi pada stimulus yang lain dapat menyebabkan toleransi terhadap nyeri. (Gili, 1990 dalam Potter & Perry, 2006).
-
Kecemasan
Kecemasan dan nyeri mempunyai hubungan yang timbal balik. Kecemasan seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan kecemasan. Stimulasi nyeri mengaktifkan sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya kecemasan. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri. Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat dari pada individu yang memiliki emosional yang kurang stabil (Potter & Perry, 2006).
-
Gaya koping
Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara spontan untuk mengelola kebutuhan spesifik baik internal maupun eksternal sebagai sumber pertahanan seseorang. Individu mempunyai koping yang berbeda terhadap stimulus nyeri dan sering kali individu akan menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri.
-
Derajat atau tingkat cedera kepala
Selain faktor di atas nyeri kepala akut dipengaruhi oleh derajat kerusakan dari otak yang menyebakan tidak adekuatnya perfusi jaringan otak. Nyeri kepala berkaitan dengan trauma kepala ringan, sedang, dan berat (Perdossi, 2010)
Intensitas nyeri kepala
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah intensitas nyeri itu sendiri. Pasien mendeskripsi nyeri sebagai nyeri ringan, sedang atau berat, tetapi tentu masing-masing individu akan mempunyai penilaian yang berbeda. Skala deskriptif merupakan alat pengukuran yang lebih objektif.
Beberapa skala yang dapat dipakai untuk mengukur intensitas nyeri kepala diantaranya:
-
Verbal Descriptor Scale (VDS)
Merupakan garis lurus yang terdiri dari tiga sampai lima kata dengan jarak yang sama disepanjang garis, mulai dari ranking “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Pengukuran skala ini dengan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang dirasakan.
-
Faces Pain Rating Scale
Skala ini digunakan pada anak kurang dari 3 tahun dengan menampilkan 6 wajah kartun, mulai wajah tersenyum yang menggambarkan “tidak terasa nyeri” sampai dengan wajah sedih yang menggambarkan “nyeri yang sangat”.
-
Numerical Rating Scale (NRS)
Merupakan skala pengukuran menggunakan garis lurus dengan rentang angka 0 – 10, kemudian nilai dideskripsikan menjadi tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat.
-
Visual Analog Scale (VAS). Merupakan suatu garis lurus dengan modifikasi skala 0 – 10 yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus untuk dapat mendeskripsikan verbal yang dirasakan. VAS digunakan pada pasien dengan kesadaran compos mentis dan usia lebih dari 7 tahun. Oleh karena nyeri merupakan perasaan subyektif, maka pada pengukuran dengan VAS pasien diminta untuk menyebutkan rentang angka dari 0 – 10, dengan 0 adalah perasaan tidak nyeri dan 10 nyeri yang sangat (Mc. Caffery, dalam Barker, 2002)
Selanjutnya skala nyeri dikelompokkan menjadi 0-2 tidak nyeri, 3-5 nyeri ringan, 6-7 nyeri sedang dan 8-10 nyeri berat (Potter & Perry, 2006).
Pengkajian pasien dengan nyeri kepala akut dapat dilakukan melalui respon verbal maupun nonverbal pasien seperti peningkatan tekanan darah, nadi, jumlah pernapasan dan dilatasi pupil. Sering kali juga disertai perubahan postur, perubahaan perilaku seperti meringis, menangis, mengerang, mengerutkan dahi, dan meningkatnya tensi otot (Barker, & Ellen, 2002).
Penanganan nyeri kepala
Penanganan nyeri kepala dilakukan melalui terapi farmakologi, non farmakologi atau keduanya.
-
Terapi farmakologi
Terapi menggunakan obat analgetik. Obat analgetik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi sehingga mempengaruhi persepsi atau mengubah persepsi modalitas nyeri. Sehingga obat analgetik mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri tanpa disertai kehilangan kesadaran atau fungsi sensasi (Potter & Perry, 2006).
Obat analgetik untuk nyeri kepala dikelompokkan menjadi tiga yaitu non-narkotik dan obat anti inflamasi non-steroid (NSAID), analgetik narkotik atau opoid dan obat tambahan (adjuvan) atau ko analgetik (Meliala & Suryamiharja, 2007). Obat NSAID umumnya digunakan untuk mengurangi nyeri ringan dan sedang, analgetik narkotik umumnya untuk nyeri sedang dan berat (Potter & Perry, 2006).
-
Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi atau disebut terapi komplementer telah terbukti dapat menurunkan nyeri kepala. Ada dua jenis terapi komplementer yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri kepala yaitu: Behavioral treatment seperti latihan relaksasi, hipnoterapi, latihan biofeedback dan Terapi fisik seperti akupuntur, transcutaneous electric nerve stmulation (TENS) (Machfoed & Suharjanti, 2010).