Tylor adalah salah seorang yang pertama-tama menggunakan kata kultur untuk menunjukkan keseluruhan keterampilan, kebiasaan, dan pengertian yang didapatkan dari belajar, yang berlaku untuk kelompok tertentu. Ini adalah penggunaan kata secara khusus, yang menyimpang dari apa yang pada waktu itu lazim digunakan. Dari aslinya, kata kultur, yang kita terjemahkan dengan kebudayaan, adalah satu istilah pertanian. Kata Latin cultura berarti pemeliharaan, penggarapan, terutama pemeliharaan dan penggarapan tanah (jadi pertanian). Dalam arti kiasnya digunakan untuk pembentukan, pemurnian, misalnya pembentukan dan pemurnian jiwa. Kedua arti itu masih ditemukan kembali dalam pemakaian bahasa dari sejumlah bahasa Eropa.
Dalam bahasa Inggris to cultivate berkali-kali berarti menanam; to cultivate cotton berarti menanam kapas. Dalam bahasa Belanda masih ditemukan penggunaan istilah cultuur yang aneh, ialah dalam kombinasi kata cultuur dengan nama tanamanekspor yang biasa digunakan di zaman kolonial: suikercultuur (kultur gula), koffiecultuur (kultur kopi), dan lain sebagainya. Saya katakan aneh, oleh karena jamak cultuur itu bukannya culturen akan tetapi cultures. Dalam percakapan, orang menggunakan kata berg-cultures (tanaman gunung kopi, teh, dan karet) dan sawahcultures (tanaman persawahan) seperti gula dan nila. Sebaliknya jamak culturen (digunakan dalam arti peradaban-peradaban) seperti culturen van Java en China (peradaban Jawa dan Cina), dan seterusnya.
Penggunaan kata kultuur dalam arti kias sudah tua. Orang cultiveert zijn geest atau mengembangkan jiwanya. Een man van cultuur orang yang berkebudayaan, adalah seorang yang mempunyai perasaan untuk pengetahuan akan poesi, kesenian, filsafat; orang itu merupakan contoh peradaban. Kultuur di sini berarti suatu pengertian yang menentukan norma, sesuatu yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang unggul.
Penggunaan kata kultur yang menentukan norma seperti tersebut di atas, sama sekali tidak terpakai dalam antropologi, juga tidak pada Tylor yang dari permulaan sekali mengartikan kultur sebagai apa yang diperoleh orang dari belajar, “acquired by man as a member of society” (diperoleh manusia dari belajar sebagai seorang anggota masyarakat).
Sebagai ahli antropologi, kata kultur dapat digunakan dengan dua cara, yakni secara umum untuk menunjukkan apa saja yang diperoleh manusia dengan belajar dan pengembangannya dalam pengetahuan, kelembagaan, kebiasaan, keterampilan, dan seterusnya, dan secara khusus sebagai suatu istilah yang mencakup kesemuanya itu untuk menunjukkan bentuk kehidupan secara total dari para anggota suatu kelompok tertentu. Dalam hal yang pertama orang berbicara tentang kultur tanpa ketentuan lebih lanjut, dalam hal yang kedua orang berbicara tentang satu kultur, atau juga kultur para anggota X. Penggunaan yang kedua adalah penggunaan yang paling kongkret, oleh karena kultur itu hanya ada sebagai kultur dari suatu kelompok tertentu.
Mengenai hal ini, harus dicatat, bahwa penggunaan kata kultur atau kebudayaan dalam batas lingkungan kelompok kultur atau kebudayaan Jawa misalnya, bisa juga secara kongkret digunakan untuk membedakan antara kebudayaan pedesaan Jawa Bagelen dan kebudayaan istana Yogya atau istana Cirebon. Penggunaan itu merupakan tiga spesifikasi yang berbeda, suatu pengkhususan dari kebudayaan Jawa, yang mencakup keseluruhannya.
Jadi pengertian kebudayaan Jawa adalah pengertian yang paling umum, yang paling sedikit spesifikasinya; artinya dalam menguraikannya, paling sedikit perinciannya. Cakupan secara umum semacam itu akan berulang, jika saya menguraikan kebudayaan Jawa sebagai spesifikasi atau kasus khusus dari kebudayaan Indonesia. Pengemban kebudayaan (jadi yang memiliki kebudayaan tertentu) selamanya merupakan suatu kelompok sosial tertentu, yang jangkauannya bisa lebih besar atau lebih kecil. Kebudayaan itu terikat pada kelompok. Sesuai dengan kenyataan, bahwa kebudayaan diwaris dan diemban. Lebih dari satu orang diperlukan untuk mengemban suatu kebudayaan.
Kebudayaan itu diperoleh, dipelajari. Ini terjadi setiap kali pada setiap generasi. Belajar di sini adalah jenis belajar yang tidak ada sangkut-pautnya dengan cara belajar di sekolahan. Belajar di sekolahan dilakukan secara sengaja, dan terjadi sebagai jawaban atas suatu instruksi. Belajar dari kebudayaan sendiri lain caranya. Orang bisa sekadar membandingkannya dengan belajar mencontoh atau menirukan. Akan tetapi ini juga melukiskan peristiwa yang terlalu disengaja. Ikut ambil bagian dalam kebudayaan sendiri sebagian terbesar terjadi seperti dengan sendirinya sepanjang pertumbuhan kebudayaan itu sendiri. Sudah tentu tidak seluruhnya demikian, sebab di beberapa bidang tertentu dalam setiap kebudayaan terdapat pengajaran dan instruksi secara sengaja.
Akan tetapi sangat banyak yang terjadi dengan sendirinya, dan hanya sedikit saja yang diatur sebagai tambahan oleh orang tua. Yang terbaik dalam hal ini dapat dilihat pada bahasa. Si anak mulai meracau yang sedikitpun tidak jelas dan tidak dimengerti oleh siapa pun. Seakan-akan anak itu berlatih dalam musik bahasa, dan sambil lalu beberapa bunyi mulai membentuk wujud yang agak jelas: kata-kata atau kombinasi kata. Meski tidak tahu sedikit pun tentang tata bahasa atau ilmu bunyi, anak itu dalam beberapa tahun sudah belajar menggunakan bahasa tanpa salah. Di samping itu orang tua mereka juga sedikit pun tidak tahu tata bahasa. Tata bahasa itu diterapkannya tanpa disadarinya. Bahkan orang tidak dapat sekaligus berbicara dan memikirkan aturan-aturan bahasa yang diterapkannya. Dan lagi aturan-aturan yang sebenarnya hanya seorang spesialis yang mengetahuinya, setelah melakukan pelacakan lewat analisa yang disengaja.
Bahasa adalah kebudayaan dan merupakan bagian yang teramat penting. Karenanya bahasa adalah contoh yang baik dari hal-hal yang juga terjadi pada bidang-bidang kebudayaan lainnya, yaitu penerapan aturan-aturan yang tidak diketahui oleh mereka yang menerapkannya. Di negeri Belanda anak-anak didorong keberaniannya untuk memajukan pertanyaan-pertanyaan, sebab dengan bertanya orang tidak akan sesat di jalan. Akibatnya ialah, bahwa anak-anak terus bertanya tidak ada henti-hentinya, tidak dengan maksud agar tidak sesat di jalan, akan tetapi agar menarik perhatian atau ikut berperan. Di kebudayaan-kebudayaan lain, di mana hal itu dianggap tidak perlu (atau bahkan kurang ajar) bertanya tidak dianjurkan (kadang-kadang jelas-jelas dibuat jera dengan tidak memberikan jawaban) dengan akibat, bahwa tidak ada atau tidak banyak dijumpai anak-anak yang bertanya-tanya. Di negeri Belanda orang mengira, bahwa bertanya adalah “wajar, tidak dibuat-buat”, sama juga halnya dengan tidak bertanya anak desa di Pulau Jawa. Hal itu adalah reaksi sederhana atas keadaan-keadaan budaya yang kebanyakannya dapat diramalkan.
Proses pengambilalihan cara-cara yang normal dalam suatu kebudayaan, sehingga perilaku itu menjadi wajar bagi yang berkepentingan (dalam bahasa Belanda itu dinamakan twede natuur = mendarah daging = ginowo mati Jawa), dinamakan enkulturasi. Enkulturasi itu paling efektif, bilamana terjadi tanpa disadari dan tanpa disengaja. Belajar dengan kesadaran mengimbau kritik, dan merangsang pikiran, bahwa hal itu dapat juga dilakukan dengan cara yang lain. Di mana imbauan kritik tidak terjadi dan pola-pola perilaku itu dengan begitu saja diambil alih, maka hal itu terjadi, oleh karena tindakan yang demikian itu dialaminya sebagai sesuatu yang wajar, yang tidak memerlukan pemikiran. Dan memang itulah yang terjadi dengan tindakan-tindakan budaya kita, hingga tingkat yang jauh lebih tinggi, tanpa kita sadari.
Dalam suatu kebudayaan seperti kebudayaan Belanda, di mana kritik dianjurkan dan membantah dianggap sebagai normal, maka membantah dan mengkritik itu bagi terlalu banyak orang tidak lebih daripada suatu reaksi yang terbina oleh kebudayaan, yang dapat dikenali perbedaannya antara sikap mengkritik yang sebenarnya dan kecenderungannya untuk melakukan hiper-kritik. Dengan demikian, tiap kebudayaan mengenal sikap-sikap khusus yang spesifik bagi kebudayaan tersebut. Oleh karena itu kita juga bisa mendefinisikan kebudayaan sebagai bentuk hidup, suatu cara yang digunakan untuk menerima lingkungannya dan berperilaku di dalamnya.