Apa yang Dimaksud dengan Budaya sebagai Sistem Adaptif?

image

Salah satu sifat budaya adalah sebagai sistem adaptif.

Apa yang dimaksud dengan budaya sebagai sistem adaptif?

Satu perkembangan penting dalam teori kultural berasal dari aliran yang meninjau kebudayaan dari sudut pandangan evolusionari. Satu jembatan antara kajian-kajian tentang evolusi makhluk hominid (seperti Australopithecus dan Pithecanthropus) dan kajian- kajian tentang kehidupan sosial makhluk manusia telah membawa kita kepada pandangan yang lebih jelas bahwa pola bentuk biologis tubuh manusia adalah “open ended”, dan mengakui bahwa cara penyempurnaan dan penyesuaiannya melalui proses pembelajaran kultural (cultural learning) memungkinkan manusia untuk membentuk dan mengembangkan kehidupan dalam lingkungan ekologi tertentu. Penerapan satu model evolusionari seleksi alam atas dasar biologis terhadap bangunan kultural telah membuat ahliahli antropologi bertanya dengan kearifan yang makin tinggi tentang cara bagaimana komuniti manusia mengembangkan pola-pola kultural tertentu.

Sejumlah besar penerbitan, populer dan teknis, telah membahas tentang pentingnya dan tentang saling keterkaitan antara komponen biologis dan komponen kultural dalam tingkah laku manusia. Agresi, teritorialitas, peranan-peranan jenis kelamin, ekspresi wajah, seksualitas, dan ranah-ranah lain di mana kultural dan biologis saling terkait telah dibicangkan orang tanpa putus-putusnya dan seringkali tanpa perasaan (mindlessly). Dari semua perbincangan ini kita dapat menarik dua kesimpulan singkat.

Pertama, setiap pemikiran bahwa kita menguliti lapisan konvensi kultural maka pada akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang bugil di dasarnya, merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita memerlukan satu model interaksional yang kompleks, bukan satu pelapisan yang sederhana seperti itu .

Kedua, baik determinisme ekologis maupun determinisme kultural yang ekstrem sekarang dapat didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak oleh ilmu pengetahuan yang arif bijaksana. Yang perlu untuk ditelusuri adalah cara-cara bagaimana garis acuan biologis ditransformasikan dan dikembangkan ke dalam pola-pola kultural; dan ini memerlukan rencana penelitian yang imajinasi dan hati-hati dan penyelidikan yang telaten, bukan polemik-polemik dan s ensasionalisme.

Bagaimana khasnya budaya-budaya manusia, meskipun terdapat diskontinuitas dalam evolusi makhluk hominid. Satu isu yang penting di sini adalah bagaimana dan pada tingkat mana bahasa vocal berkembang dan hal-hal apakah yang mendahuluinya. Kalau kita berpegang pada bukti bahwa satu bahasa vocal telah berkembang dalam kehidupan sosial manusia kurang lebih 100.000 tahun yang lalu, maka satu “periode antara” yang panjang muncul, yaitu satu periode ketika manusia-manusia pertama hidup dalam kelompok-kelompok pengembara, membuat alat-alat, berburu, dan mungkin hidup dalam ikatan keluarga berpasangan. Satu periode 2 juta tahun atau lebih kehidupan manusia kuno tanpa satu peraturan yang sempurna untuk komunikasi simbolik. Pemahaman kita tentang apa yang membuat makhluk manusia jadi “manusia” dan bagaimana budaya berevolusi tidak ayal lagi akan terbuka dan berubah secara mengagumkan dalam beberapa tahun yang akan datang.

Dari sudut pandang teori kultural, perkembangan penting telah muncul dari pendekatan evolusionari/ekologis terhadap budaya sebagai sistem adaptif. Pusat-pusat besar perkembangan pemikiran-kembali evolusionari/ ekologis adalah Michigan dan Columbia. Dasar yang diletakkan oleh Leslie White telah dipermak dengan kreatif oleh pakarpakar seperti Sahlins, Rappaport, Vayda, Harris, Carneiro; dan oleh pakar-pakar arkeologi yang theory minded seperti suami-istri Binford, Flannery, Longacre, Sanders, Price, dan Meggers. Pendekatan-kembali (re-approachment) arkeologi teoritis dengan antropologi ekologis muncul sebagai salah satu perkembangan penting dalam dasawarsa yang lalu.

Ini tidak berarti bahwa terdapat konsensus dalam memandang bagaimana sebaiknya konsep budaya didefinisikan atau bagaimana dan mengapa budaya berkembang dan berubah. Perdebatan antara Service dan Harris baru-baru ini, kritikan orang-orang Marxist terhadap materialisme budaya dari Harris, perbedaan-perbedaan antara ekologi-kultural dari Steward dan ekologi-manusia yang dianjurkan Vayda dan Rappaport , perang sekte dan “arkeologi baru”, semuanya membuktikan adanya keanekaragaman dan percanggahan di antara mereka. Meskipun terdapat keanekaragaman sekte tersebut, namun sebagian besar sarjana yang bekerja mengikuti tradisi ini (untuk singkatnya mereka saya sebut “cultural adaptionist”) sepakat dalam beberapa asumsi pokok. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

###Pertama
Budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dalam “cara-hidup-komuniti” ini termasuklah teknologi dan bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik, kepercayaan dan praktek keagamaan, dan seterusnya. Bila budaya dipandang secara luas sebagai sistem tingkah laku yang khas dari suatu penduduk, satu penyambung dan penyelaras kondisi- kondisi badaniah manusia, maka perbedaan pandangan mengenai budaya sebagai pola -pola dari (pattern -of) atau pola-pola untuk (pattern -for) adalah soal kedua.

Kedua

Perubahan kultural pada dasarnya adalah suatu proses adaptasi dan maksudnya sama dengan seleksi alam. Manusia adalah hewan, dan seperti semua hewan-hewan lain, harus menjalankan satu hubungan adaptif dengan lingkungannya dalam rangka untuk tetap dapat hidup. Mes kipun manusia dapat melakukan adaptasi ini secara prinsipil melalui alat budaya, namun prosesnya dipandu oleh aturan-aturan seleksi alam seperti yang mengatur adaptasi bioiogis. Dilihat sebagai sistem adaptif, budaya berubah ke arah keseimbangan ekosistem. Namun kalau keseimbangan itu diganggu oleh perubahan lingkungan, kependudukan, teknologi atau perubahan sistemik yang lain, maka perubahan yang terjadi sebagai penyesuaian lebih lanjut akan muncul melalui sistem kebudayaan. Karena itu, mekanisme umpan- balik dalam sistem kebudayaan mungkin bekerja secara negatif (ke arah self correction dan keseimbangan) atau secara positif (ke arah ketidakseimbangan dan perubahan arah).

Ketiga

Teknologi, ekonomi secukup hidup (subsistence economy), dan elemen organisasi sosial yang terikat langsung dengan produksi adalah bidang pokok budaya yang paling bersifat adaptif. Dalam bidang inilah perubahan adaptif biasanya mulai dan dari sini mereka biasanya berkembang. Namun demikian, konsepsi yang berbeda mengenai cara kerja proses ini telah memisahkan “cultural materialism” Harris dari orang –orang Marxist dialektika sosial yang lebih otentik atau dari “cultural evolutionism” Service, dan membedakan orang-orang ekologi-kultural yang mengikuti tradisi Steward dari ahli-ahli ekologi-manusia seperti Vayda dan Rappaport. Namun demikian, semua (kecuali mungkin pandangan Rappaport yang paling mutakhir) memandang ekonomi dan korelasi sosialnya sebagai faktor yang utama, dan sistem ideasional seperti agama, upacara dan pandangan hidup sebagai faktor yang kedua atau epiphenomenal.

Keempat

Komponen-komponen ideasional dari sistem kultural bisa punya konsekuensi adaptif dalam mengontrol penduduk, membantu mata pencaharian hidup, menjaga ekosis tem, dan Iain-Iain; dan semua ini, meskipun seringkali subtil, harus ditelusuri kemana pun arahnya.\

Pendalaman yang paling meyakinkan terhadap pandangan ini pada masa akhirakhir ini adalah analisis yang mengagumkan dari Rappaport terhadap lingkaran upacara pada Orang Tsembaga Maring sebagai komponen dalam satu sistem adaptif ; dan lebih baru lagi adalah pandangannya bahwa sistem upacara dan kerangka kultural kesucian memainkan peranan penting sebagai faktor-antara dalam adaptasi budaya.