Apa yang dimaksud dengan Biology and Human Aggression?

Agresi

Agresi adalah interaksi sosial yang terang-terangan atau terselubung, sering kali berbahaya, dengan tujuan menimbulkan kerusakan atau ketidaknyamanan pada orang lain.

A post was merged into an existing topic: Apa yang dimaksud dengan Aggression dalam ilmu sosial?

Agresi menurut teori biologi adalah mencoba menjelaskan prilaku agresif, baik dari proses faal maupun teori genetika (ilmu keturunan).

Yang mengajukan proses faal antara lain adalah Moyer (1976) yang berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat.

Demikian pula hormon laki-laki (testoteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif. Menurut tim American Psychological Association (1993), kenakalan remaja lebih banyak terdapat pada remaja pria, karena jumlah testosteron menurun sejak usia 25 tahun.

Penelitian terhadap narapidana yang melakukan tindak kekerasan mempunyai jumlah hormon testosteron yang lebih besar daripada narapidana yang tidak melakukan kekerasan (Dabbs,1992; Dabbs dkk, 1995).

Juga di antara remaja dan dewasa yang nakal, terlibat kejahatan, peminum, dan penyalahguna obat ditemukan produksi testosteron yang lebih besar daripada remaja dan dewasa biasa (Archer,1991; Dabbs & Morris,1990; Olweus,dkk,1988).Reilly dkk. (1992) mendapatkan bahwa laki-laki lebih toleran terhadap pelecehan seksual daripada wanita karena pada laki-laki terdapat lebih banyak hormon testosteron.

Teori biologi yang meninjau perilaku agresif dari ilmu genetika dikemukakan oleh Lagerspetz (1979). Ia mengawinkan sejumlah tikus putih yang agresif dan tikus putih yang tidak agresif.

Sesuai dengan hukum Mendel, setelah 26 generasi, diperoleh 50% tikus yang agresif dan 50% yang tidak agresif. Teori genetika ini juga coba dibuktikan melalui identifikasi ciri-ciri agresif pada pasangan-pasangan kembar identik, kembar nonidentik dan saudara-saudara kandung non kembar.

Hasilnya adalah bahwa ciri-ciri yang sama paling banyak terdapat antara pasangan kembar identik (Rushton, Russel & Wells, 1984).

Kritik dari sudut pandang perbedaan budaya juga berlaku terhadap teori biologi ini. Jika teori ini benar, pola perilaku agresif akan terus sama saja dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Berikut faktor-faktor biologis yang dapat mempengaruhi agresitivitas manusia :

Regio Otak


Beberapa regio di otak diperkirakan berperan dalam perilaku manusia. Hasil penelitian menggambarkan bahwa perilaku impulsif, disregulasi, dan kelainan kepribadian adalah aspek utama gangguan kepribadian ambang. Gangguan kepribadian ini dapat dipikirkan mempunyai profil neurobiologi yang unik [1]

Prefrontal korteks terutama korteks prefrontal orbital dan korteks ventral media yang bersebelahan berperan dalam pengaturan perilaku agresif. [2]

Aktivitas korteks prefrontal dimodulasi oleh traktus serotonergik yang naik dari nukleus raphedi otak tengah, di mana badan-badan sel serotonergik terletak dengan sinaps pada neokorteks, berlaku pada sejumlah reseptor terutama reseptor5-HT2a.

Lesi pada korteks prefrontal, terutama korteks orbito frontal, pada masa kanak awal dapat bermanifestasi sebagai disinhibisi perilaku antisosial dan perilaku agresif pada masa kehidupan selanjutnya. Sedangkan pengurangan massa abuabu di prefrontal telah dihubungkan dengan defisit autonomik pada gangguan kepribadian antisosial dengan perilaku agresif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa korteks orbitofrontal dan media frontal yang bersebelahan mempunyai pengaruh hambatan/inhibisi agresi untuk mengatur atau mengontrol pelepasan agresi. [1] [2]

Lesi pada korteks frontal telah lama dikenal berhubungan dengan perilaku impulsif agresif. Kasus pertama dan paling terkenal berasal dari suatu kasus dari tahun 1800-an. Seorang pekerja bernama Phineas Gage berperilaku bermusuhan dan agresif secara verbal setelah mengalami luka tembus di lobus frontal otaknya karena kecelakaan saat bekerja.
Phineas Gage kemudian berubah dari seseorang yang sebelumnya serius, aktif dalam bekerja, dan energik menjadi seorang yang bermusuhan, kekanakan, tidak bertanggung jawab dan berperilaku agresif. [2]

Penelitian modern menyimpulkan bahwa lokasi luka saat itu terdapat pada bagian anterior dan mesial dari korteks orbitofrontal, juga mengenai girus cinguli anterior dan korteks frontal anterior dan yang berhubungan di mesial.

Banyak laporan lain menyimpulkan bahwa luka atau pembedahan pengangkatan daerah korteks frontal terutama orbitofrontal akan menyebabkan perilaku agresif.[3]

Salah satunya adalah impulsivitas pada pasien gangguan kepribadian ambang serupa dengan akibat kerusakan pada korteks orbitofrontal. Namun hal lain yang merupakan karakteristik utama gangguan kepribadian ambang, misalnya tingginya emosional, tidak terdapat pada pasien dengan kerusakan korteks orbitofrontal.

Pasien dengan gangguan kepribadian ambang juga mempunyai ketidakseimbangan neurokimiawi dan hiperaktivitas amigdala yang tidak terdapat pada pasien dengan kerusakan korteks orbitofrontal.

Hubungan timbal balik antara korteks orbitofrontal dan amigdala mungkin berperanan dalam mengatur respons emosional dan perilaku. Disfungsi sirkuit limbik-orbitofrontal mungkin terlibat dalam gangguan kepribadian ambang. Terdapat penelitian yang menyatakan amigdala dan korteks orbitofrontal bertindak sebagai bagian dari sistem neuron yang terintegrasi, sebagai penunjuk pembuatan keputusan dan seleksi respons adaptif berdasarkan gabungan penguatan stimulus.

Gangguan kepribadian ambang mempunyai beberapa defisit yang dapat dihubungkan dengan fungsi yang ditunjukkan oleh korteks orbitofrontal. Kekurangan ini mungkin berhubungan dengan volume korteks orbitofrontal yang lebih kecil atau terhadap aktivitas yang rendah di korteks orbitofrontal.[1]

Penelitian lebih lanjut untuk mengetahui regio di otak yang berhubungan dengan perilaku impulsif agresif dilakukan dengan menggunakan bantuan positron emission tomography (PET) scan.

Dari penelitian itu didapatkan bahwa terdapat pengurangan aktivitas di daerah korteks prefrontal pada pasien dengan gangguan bipolar, pasien dengan gangguan kepribadian yang dikarakteristikan dengan perilaku impulsif agresif, orang dengan masalah alkohol yang berperilaku impulsif dan agresif, pembunuh yang impulsif, dan pasien rawat dengan perilaku kekerasan.

Beberapa penelitian menggunakan fenfluramine sebagai zat serotonergik yang dapat meningkatkan aktivitas sistem serotonergik dan meningkatkan metabolisme dan atau aliran darah di korteks orbitofrontal pada subjek yang normal.

Fenfluramine meningkatkan akitivitas serotonergik dengan cara pelepasan langsung serotonin, menghalangi pengambilan kembali serotonin dari celah sinaps, atau mungkin dengan kerja di reseptor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberian fenfluramine terdapat aktivitas metabolik yang rendah pada pasien dengan perilaku impulsif agresif dibandingkan dengan subjek yang normal. Perbedaan aktivitas metabolisme ini secara nyata terdapat di regio ventral medial frontal, girus cinguli tengah kanan dan kiri atas, dan lobus parietal kanan atas.

Metabolisme yang meningkat setelah pemberian fenfluramine juga terdapat pada daerah korteks prefrontal, orbitofrontal kiri, dan daerah lateral hemisfer kanan subjek normal. Hal ini tidak ditemukan pada subjek dengan perilaku impulsif agresif. Pada penelitian ini didapatkan respons metabolik yang tumpul terhadap fenfluramin terdapat secara khusus pada bagian orbital dan regio prefrontal yang berhubungan seperti halnya pada korteks cinguli.

Penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara fenfluramine dengan perilaku agresif impulsif berfokus pada respons prolaktin terhadap fenfluramine. Namun respons prolaktin terhadap fenfluramine tidak mencerminkan sirkuit otak yang terpengaruh pada modulasi perilaku agresif.

Respons metabolik glukosa terhadap fenfluramine mendasari suatu tes yang lebih langsung dan sensitif terhadap respons pembentukan serotonin. Mekanisme pasti yang bertanggungjawab terhadap respons metabolik terhadap fenfluramine belum ditentukan. Reseptor serotonergik multipel termasuk 5-HT1a, 5-HT1b, 5-HT2a, dan 5-HT2c terdapat di korteks serebral.

Bergantung pada regio otak, dosis, dan spesifisitas reseptor agonis serotonergik, reseptor reseptor ini mungkin berperan dalam meningkatkan atau menurunkan aktivitas metabolisme glukosa serebral.

Suatu penelitian terhadap primata memperlihatkan bahwa perilaku agresif primata berhubungan secara terbalik dengan jumlah reseptor 5-HT2 di korteks orbitofrontal posterior , korteks frontal media, dan amigdala; hubungan itu tidak ditemukan di daerah otak yang lain.

Sebaliknya jumlah reseptor 5-HT2 di korteks frontal orbital posterior, postrerior temporal, dan amigdala secara langsung berhubungan dengan perilaku prososial.

Penemuan itu mendukung hipotesis bahwa efek serotonin secara spesifik terhadap perilaku bergantung pada regio yang dipengaruhinya.

Sebagai contoh, kadar serotonin yang tinggi di korteks orbital menyebabkan perilaku yang kooperatif sedangkan sebaliknya kadar serotonin yang rendah di korteks orbital menyebabkan perilaku agresif. [2],[3],[4],[5]

Neuroendokrin


Beberapa penelitian telah menemukan bahwa terdapat hubungan antara penurunan aktivitas sistem serotonergik pusat dengan pasien agresif impulsif yang mengalami gangguan kepribadian.

Terdapat penurunan metabolit serotonin, yaitu 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) di cairan serebrospinal pada pasien dengan gangguan kepribadian dengan impulsif dan agresivitas, juga pada pasien depresi dan pengguna alkohol.

Usaha bunuh diri sering dilihat sebagai subtipe perilaku agresif; kekurangan 5-HIAA juga dihubungkan dengan usaha atau tindakan bunuh diri pada berbagai populasi.

Hubungan antara impulsif agresif dan sistem serotonergik juga didukung oleh penelitian tentang pemanfaatan respons hormonal terhadap keterlibatan farmakologis yang meningkatkan aktivitas sistem serotonergik.

Respons yang tumpul terhadap d,l-fenfluramine (suatu zat penginduksi serotonin dan agonis pasca-sinap) ditemukan pada laki-laki dengan gangguan kepribadian ambang dan gangguan kepribadian antisosial.

Pada penelitian yang lebih besar lagi ditemukan bahwa respons prolaktin yang tumpul terhadap d-fenfluramine dihubungkan dengan impulsivitas dan agresivitas.

Penemuan ini mendukung adanya hubungan antara tumpulnya respons serotonergik dengan impulsif dan agresi. Selain ditemukan pada pasien gangguan kepribadian ambang dan antisosial, respons prolaktin yang tumpul terhadap d-fenfluramine juga ditemukan pada pasien depresi dengan serangan kemarahan.

Pasien depresi dengan iritabilitas dan kemarahan lebih dekat hubungannya dengan kekurangan aktivitas serotonergik. [3],[4],[6]

Selain perilaku impulsif dan agresif, pasien gangguan kepribadian ambang juga dihubungkan dengan ketidakstabilan afektif. Penelitian neuroendokrin pada ketidakstabilan afek tidak sebanyak penelitian tentang perilaku agresif dan impulsif.

Dalam salah satu penelitian dikatakan bahwa sistem kolinergik berhubungan dengan pengaturan afek. Zat agonis kolinergik dapat menginduksi mood depresif pada pasien normal dan pasien dengan depresi, namun ternyata zat ini dapat lebih kuat efeknya pada pasien gangguan kepribadian ambang. Procaine, suatu agonis kolinergik memperlihatkan mampu menyebabkan disforia yang kuat pada pasien gangguan kepribadian ambang dibandingkan dengan subjek yang normal atau dengan gangguan afektif.

Penelitian lain membuktikan terdapat gangguan aktivitas noradrenergik pada pasien gangguan kepribadian ambang dengan ketidakstabilan afektif. Pada pemberian zat katekolaminergik, misalnya dekstroamfetamin, pada subjek yang sehat dapat terlihat mood yang disforik pada subjek yang berhubungan dengan ketidakstabilan afektif. [3]

Sistem Serotonergik


Pasien dengan gangguan kepribadian ambang dikarakteristikkan dengan perilaku impulsif dan agresif, tindakan melukai diri yang berulang, perilaku bunuh diri, afek yang labil dan mudah diganggu, dan hubungan yang kacau.

Perilaku tersebut telah dihubungkan dengan rendahnya neurotransmiter serotonin; kadar asam 5-hydroxyindoleacetic acid yang rendah, respons prolaktin yang tumpul terhadap 5-HT agonis, serta gangguan marker dan platelet di dalam plasma.
Kehilangan triptofan yang tiba-tiba, suatu prosedur yang secara sekilas mengurangi neurotransmisi dari 5-HT , dilaporkan meningkatkan perilaku impulsif dan agresi.

Penelitian itu mendukung hipotesis bahwa rendahnya serotonin berperan sebagai penyebab dalam patofisiologi perilaku disinhibisi dan impulsif. [2-8]

Konsentrasi metabolit serotonin 5-HIAA yang rendah di cairan otak terdapat pada cairan otak individu dengan perilaku agresif dan tindakan kekerasan. Penemuan tersebut mendukung adanya perubahan fungsi serotonergik pusat pada perilaku impulsif, agresif dan kekerasan.

Disfungsi serotonergik pusat dihubungkan secara konsisten dengan perilaku bunuh diri. Lebih dari 20 penelitian melaporkan konsentrasi 5-HIAA yang rendah di cairan otak orang yang melakukan upaya bunuh diri. Hal itu merupakan penemuan yang menguatkan bidang psikiatri biologi. Individu yang melakukan bunuh diri juga berhubungan dengan respons prolaktin yang tumpul terhadap fenfluramin.

Sesuai dengan penelitian antemortem, pada penelitian postmortem terdapat penurunan densitas transporter serotonin di korteks dan densitas reseptor serotonin yang lebih besar di post sinap korteks korban bunuh diri. Pada penelitian terdahulu, agresi dan disfungsi serotonergik biasanya ditemukan pada pasien dengan gangguan kepribadian. [2-8]

Penemuan rendahnya kadar 5-HIAA dalam cairan serebrospinal pada penelitian terdahulu juga dikaitkan dengan perilaku bunuh diri pada beberapa pasien. Namun pada penelitian baru-baru ini, rendahnya kadar 5-HIAA di dalam cairan serebrospinal secara konsisten berkaitan dengan gangguan kepribadian, perilaku kekerasan impulsif, dan riwayat pembakaran.

Bukti adanya perilaku agresif yang berhubungan dengan disfungsi serotonergik di luar hubungannnya dengan perilaku bunuh diri, ditambah bukti bahwa agresi dan bunuh diri terlibat satu sama lain menjadikan suatu pemikiran bahwa dua perilaku ini mungkin mempunyai dua faktor perilaku yang sama, yaitu impulsivitas. [5],[9]

Beberapa bukti menyatakan bahwa pasien dengan perilaku menyakiti diri mempunyai kadar stimulasi serotonin (5-HT) terhadap reseptor 5-HT2 yang rendah.

Percobaan pada hewan menyatakan kekurangan stimulasi serotonin akan menyebabkan peningkatan jumlah reseptor 5-HT2 di korteks. Beberapa penelitian lain mengatakan peningkatan kadar densitas reseptor 5-HT2 di daerah Brodmann 9 di korteks prefrontal pada korban yang berperilaku melukai diri, misalnya bunuh diri.

Dikatakan terdapat kadar serotonin(5-HT) yang rendah di otak pasien depresi dan pasien dengan perilaku melukai diri. Bila melihat hubungan antara 5-HT dengan potensial ikatan 5-HT2, maka dapat dilihat bahwa peningkatan 5-HT berhubungan terbalik dengan potensial ikatan 5-HT2 yang mengalami penurunan. Sebaliknya jika terjadi penurunan 5-HT maka ikatan potensial 5-HT2 akan meningkat.

Peningkatan potensial ikatan 5-HT2 ini dapat ditemukan pada pasien dengan perilaku melukai diri atau pasien depresi berat dengan perilaku bunuh diri. [7]

Penelitian yang dilakukan Coccaro et al [10] berbeda hasil dengan banyak penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain. Pada penelitian itu tidak didapatkan adanya hubungan antara kadar 5-HIAA cairan serebrospinal dengan perilaku agresif.

Coccaro hanya menyebutkan adanya hubungan terbalik antara respons prolaktin terhadap d-fenfluramine pada pasien dengan perilaku agresif. [10]

Namun demikian, agresi, misalnya perilaku bunuh diri, tidak terbatas pada satu kategori diagnostik saja. Gejala ini juga terdapat pada beberapa diagnostik psikiatri yang lain. Oleh karena itu, adanya kadar 5-HIAA yang rendah di serebrospinal tidak terbatas pada diagnosis gangguan kepribadian semata, namun juga termasuk depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa penanganan gangguan kepribadian juga dapat melibatkan unsur psikofarmakologi dengan menggunakan preparat serotonin di luar keterlibatan terapi yang telah biasa dilakukan. [6]

Perkembangan saat ini tentang fungsi neuroimaging telah memungkinkan peneliti untuk menganalisis kembali hipotesis 5-HT tentang impulsivitas dengan mengukur secara langsung neurotransmitter 5-HT di otak mahkluk hidup. Salah satu metodenya menggunakan PET dengan pelacak α-[11C]methyl-L-tryptophan (α-[11C]MTrp). α-[11C] MTrp merupakan sintetis analog 5-HT precursor L-tryptofan.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pada pasien gangguan kepribadian ambang terdapat penurunan ambilan α-[11C]MTrp di daerah kortikostriatal, termasuk girus frontal media, girus cinguli anterior, girus temporal superior , dan korpus striatum.T elah dilaporkan dalam beberapa penelitian bahwa ambilan α-[11C] methyltryptophan di korteks berkurang pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang.

Referensi
  1. Berlin HA, Phil D, Rolls ET, et al. Borderline personality disorder, impulsivity, and the orbitofrontal cortex. Am J Psychiatry 2005;162:2360-73
  2. Carlson NR. Physiology of Behavior. 8th ed. Boston: Pearson Education,Inc; 2004.p.350-3
  3. New AS, Siever LJ. Neurobiology and genetic of borderline personality disorder. Diunduh dari http:/www .imaging_ genetics.co.id.
  4. Siever LJ, Buchsbaum MS, New AS, et al. D,l-fenfluramine response in impulsive personality disorder assessed with [18F] fluorodeoxuglucose positron emission tomography. Neuropsychopharmacology 1999;20(5):414-21.
  5. Mann J, Brent DA, Arango V . The neurobiology and genetics of suicide and attempted suicide: Afocus on the serotonergic system. Neuropsychopharmacology 2001;24(5):467-71.
  6. Manuck SB, Flory JD, McCaffrey JM, et al. Aggression, impulsivity and central nervous system serotonergic responsivity in a nonpatient sample. Neuropsychopharmacology 1998;19(4): 287-96.
  7. Meyer JH, McMain S, Kennedy SH, et al.Dysfunctional attitudes and 5-HT 2 receptors during depression and self-harm. Am J Psychiatry 2003;160:90-9
  8. Leyton M, Okazawa H, Diksic M, et al.Brain regional α-[11C]methyl-L-tryptophan trapping in impulsive subjects with borderline personality disorder. Am J Psychiatry 2001;158:775-82
  9. Stanley B, Molcho A, Stanley M, et al. Association of aggressive behavior with altered serotonergic function in patients who are not suicidal, Am J Psychiatry 2000;157:609-14
  10. Coccaro EF, Kavoussi RJ, Cooper TB, et al. Central serotonin activity and aggression: Inverse relationship with prolactin response to d-fenfluramine, but not CSF 5-HIAA concentration, in human subject. Am J Psychiatry 1997;154:10

Perilaku agresi,apabila dilihat dari sisi biologi dan manusia, dapat dibedakan menjadi 3 pendekatan ; Pendekatan Freud, Pendekatan Ethologi dan Pendekatan Sociobilogy.

Pendekatan Freud

Freud (1930) menulis:

“Kecenderungan berperilaku agresi merupakan innate (bawaan lahir), independen (tidak tergantung pada faktor lain, dan bersifat instinctual”.

Menurut tradisi psikoanalisa, energi agresi secara konstan (ajeg) dihasilkan oleh proses tubuh kita. Dengan demikian agresi didefinisikan sebagai dorongan dasar yang harus diekspresikan.

Pelepasan agresi dapat diekspresikan secara langsung atau tidak langsung. Pelepasan secara tidak langsung, yang lebih dapat diterima secara sosial, misalnya dengan debat yang seru atau aktivitas atletik. Yang tidak dapat diterima secara sosial, seperti menghina/mencela atau berkelahi.

Pelepasan dorongan agresi yang destruktif tidak selalu diarahkan terhadap orang lain, melainkan dapat juga terhadap diri sendiri, yaitu bunuh diri. Bagaimanapun agresi itu dilepaskan, dan agresi dipertimbangkan sebagai bawaan lahir, Freud yakin bahwa masyarakat berfungsi mengendalikan agresi.

Pendekatan Ethologi

Ethologi adalah suatu cabang ilmu biologi yang sangat peduli mengenai instink dan pola perilaku umum semua spesies dalam habitat alami),

Dalam pendekatan ethologi, sering berasumsi bahwa perilaku-perilaku (pola tindakan) berbagai spesies merupakan innate, atau dalam kendali instink (Crook, 1973).

Seperti psikoanalisa, para etholog berpandangan bahwa ekspresi dari berbagai tindakan (agresi) yang polanya menetap itu tergantung dari akumulasi energi, namun .pelepasan energi itu harus dipicu oleh stimulus eksternal yang disebut releaser (Hess, 1962).

Releaser dapat berupa ancaman-ancaman dari pihak lain atau perubahan lingkungan.

Agresi, menurut Lorenz (1966) berfungsi untuk melindungi spesies; dengan demikian agresi bernilai sebagai survival. Lorenz yakin bahwa organisme lebih agresif terhadap spesiesnya sendiri daripada terhadap spesies lain.

Pendekatan Sociobilogy

Sociobiology, menurut E.O. Wilso, merupakan studi sistematis mengenai dasar biologis semua perilaku social, yang merupakan perluasan dari teori evolusi Darwin.

Pendekatan Sociobilogy berpandangan bahwa agresi merupakan perilaku adaptif. Keuntungan biologis dari perilaku agresi yaitu mencakup kemampuan untuk mendapatkan sumber daya lebih besar, mempertahankan sumber daya yang dimiliki, dan melindungi individu-individu terdekat. Bila berhasil, agresi individu akan memperkuat posisi kelompoknya dalam hubungannya dengan kelompok lain.