Apa Yang Dimaksud Dengan Bid'ah?

Bid'ah

Tentunya kita sering mendengar kata bid’ah tapi mungkin bagi sebagian orang masih terasa asing.

Apa yang dimaksud dengan bid’ah?

Apa saja macam-macamnya?

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.

Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah/2 : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah.

“Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf/46 : 9].

Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

  1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

  2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya :

    "Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”.

    Dan di dalam riwayat lain disebutkan :

    “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.

Bid’ah dalam Ad-Dien (Islam) ada dua macam, yaitu :

  1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

  2. Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :

    • Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.

    • Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

    • Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

    • Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

Dalam lisanul arab, Bid’ah berasal dari akar kata bada’a , yang memiliki berbagai derivasi (berbagai macam bentuknya). Diantaranya bid’un dengan kata kerja idtada’a artinya, membuat dan memulai sesuatu. Sedangkan al-bid’atu artinya sesuatu yang baru.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah yang mengatakan bahwa hal baru yang bertentangan dengan teks adalah bid’ah, hal tersebut merupakan kesepakatan ulama. Sedangkan yang belum diketahui pertentangannya terkadang tidak disebut bid’ah.

Menurut al-Iz ibn Abdussalam, bid’ah merupakan sesuatu yang tidak ada dan tidak dikenal Rasulullah. Kemudian beliau membagi bid’ah menjadi lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan mubah. Definisi lainnya adalah definisi yang diberikan Ibn Hajar. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah hal baru yang diciptakan yang tidak memiliki dalil dalam syari’at.

Dalam pengertian di atas, bahwa yang disebut bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak didahului contoh-contoh. Artinya dalam pengertian bahasa ini, bid’ah tidak diberikan batasan-batasan. Segala sesuatu, baik itu berkaitan dengan perkara agama maupun tidak, maka sesuatu tersebut masuk dalam perkara bid’ah. Namun dalam pengertian di atas, pembatasan diberikan pada hal-hal yang tidak didahului dengan contoh, artinya perkara tersebut dapat dikategorikan bid’ah manakala sesuatu tersebut tidak ada yang mendahuluiya atau tidak ada yang menyerupainya atau dengan kata lain disebut dengan sesuatu yang baru.

Sedangkan secara syari’at, masyarakat berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah bid’ah. Perbedaan pendapat tersebut sebenarnya telah terjadi di kalangan ulama salaf. Namun, secara umum sekarang ini ditemukan dua pendapat yang saling bertentangan dalam mendefinisikan istilah bid’ah menurut syari’at.

  • Pertama adalah kelompok yang mendefinisikan bid’ah dengan definisi yang lebih luas. Menurut kelompok ini bid’ah adalah segala sesuatu yang baru dalam urusan agama. Agama menjadi semacam garis pembatas, yang membatasi wilayah operasi konsep bid’ah. Sebaliknya, jika sesuatu yang baru terjadi di luar urusan agama, maka konsep bid’ah tidaklah berlaku. Tetapi muncul pertanyaan, adakah satu aspek dari kehidupan manusia yang tidak disentuh oleh agama? Bukankah agama mengurus kehidupan manusia secara terperinci? Dengan kata lain seluruh kehidupan manusia secara otomatis tidak ada satu aspek kehidupanpun yang tidak terlepas dari urusan agama. Jadi konsep bid’ah berlaku di seluruh aspek dan lini kehidupan manusia. Oleh karena itu, kelompok ini dalam memberikan definisi bid’ah secara syari’at, membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dalalah.

    Contoh, menciptakan pesawat terbang adalah perbuatan bid’ah, secara bahasa. Sebab pesawat terbang adalah perbuatan baru yang belum ada contohnya pada masa Rasulullah. Kemudian penciptaan pesawat terbang tersebut juga dapat digolongkan dalam bid’ah hasanah maupun dlalalah atau menurut syari’ah. Jika pesawat terbang diciptakan untuk kepentingan dan maslahat umat manusia, maka penciptaan pesawat terbang termasuk dalam bid’ah hasanah. Sebaliknya, jika pesawat terbang diciptakan untuk tujuan perang dan kemaksiatan lainnya maka penciptaan peawat terbang tersebut tergolong dalam bid’ah dlalalah.

    Selain itu kelompok ini juga mengutip pendapat dari imam Syafi’i yang mengatakan bahwa setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi al-Qur’an, sunnah Rasulullah, ijma’, dan atsar adalah bid’ah yang sesat, dan setiap perkara yang baik yang diadakan kemudian, tetapi tidak menyalahi satupun dari ajaran Islam yang ada adalah bid’ah yang terpuji.

  • Kedua, kelompok yang mendefinisikan bid’ah dengan definisi yang lebih sempit. Kelompok ini berpendapat bahwa bid’ah adalah seluruh hal baru yang berkaitan dengan ibadah, yang tidak dikenal di zaman Nabi, sahabat, dan salafus-shalih . Semua hal baru tersebut adalah bid’ah yang dlalalah.

    Dalam hal agama di sini adalah semuanya yang berkaitan dengan ta’abbud (bersuci, shalat, berpuasa, berhaji, shadaqah, dan lain sebagainya) dan urusan dunia yang mengandung jiwa ta’abbudnya, karena aturannya telah dijelaskan oleh syara’ (seperti jual beli, nikah, talak, sewa, dan lain sebagainya).

    Sebagaimana yang dikutip dari pendapatnya imam asy-Syathibi yang mengatakan bahwa bid’ah adalah suatu metode atau model dalam agama yang dikreasikan yang menyerupai ibadah yang syar’i. Tujuan menempuh atau melakukannya adalah sebagaimana tujuan ibadah yang syar’i. Dari sini jelas, perkara-perkara yang berkaitan dengan dunia tidak termasuk bid’ah secara syari’at, seperti adanya mobil, motor, radio, televisi, internet, dan lain-lain. Oleh karena itu kelompok ini menentang adanya pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan dlalalah. Karena telah jelas bahwa bid’ah yang semacam itu adalah dlalalah atau sesat.

K.H. Hasyim Asy’ari juga mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya, risalah ahlu al-sunnah wa al-jamaah, menurut beliau, Bid’ah adalah pembaruan-pembaruan perkara agama seakan-akan (pembaruan tersebut) adalah bagian dari agama, padahal sebenarnya bukan baik dari sisi bentuk maupun hakikatnya.

Penggolongan Bid’ah

Sebagian ulama memberikan beberapa penggolongan dalam masalah bid’ah . , tergantung dengan sudut pandang yang diambil. Adapun penggolongannya antara lain:

Pembagian bid’ah secara umum

Pembagian bid’ah secara umum ini berdasarkan penggolongan yang dibuat oleh para ahli ushul dan ahli fiqh. Adapun penggolongannya antara lain :

  • Fi’liyah, melakukan suatu perbuatan.

  • Tarkiyah, meninggalkan suatu perbuatan, yaitu meninggalkan suatu tuntunan agama, baik wajib maupun sunnah dengan memandang bahwa meninggalkan itu, agama. Jika lantaran malas tidak disebut bid’ah, hanya menyalahi perintah saja.

  • Amaliyah, yaitu bid’ah-bid’ah yang dikerjakan dengan anggota panca indra yang lima, baik luar maupun dalam, seperti mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan oleh nabi saw.

  • I’tiqodiyah, yaitu memegang suatu kepercayaan / I’tikad yang berlawanan dengan yang diterima dari rasulullah saw dan para sahabatnya. Baik yang bersangkutan ataupun tidak.

  • Zamaniyah, yaitu melakukan ibadah di masa tertentu.

  • Makaniyah, yaitu melakukan suatu ibadah di tempat tertentu.

  • Haliyah, yaitu meletakkan suatu ibadah di masa tertentu atau di tempat tertentu atau dalam keadaan tertentu.

  • Haqiqiyah, yaitu suatu pekerjaan yang semata-mata bid’ah tidak ada sedikit kaitannya dengan syara’.

  • Idafiyah, yaitu sesuatu bid’ah yang terdapat padanya dua aspek, apabila ditinjau dari aspek pertama ia bukan bid’ah, apabila ditinjau dari aspek kedua nyatalah ke bid’ah annya.

  • Kuliyyah, yaitu yang mendatangkan kecederaan yang umum.

  • Juz’iyah, yaitu merasakan sebagian pekerjaan saja

  • ‘Ibadiyah, yaitu yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah

  • ‘Adiyah, yaitu yang dikerjarkan bukan dengan maksud ibadah. Bid’ah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. yakni yang dijadikan ibadah dinamakan bid’ah ibadiyah. Bid’ah yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadah dinamakan bid’ah adiyah.

Pembagian bid’ah berdasarkan hukum

Al-Qarafi telah menjelaskan dengan penjelesan yang baik, dan dasar dari pendapatnya tersebut adalah pendapat Syaikhnya, Izzudin Ibnu Abdus Salam menggolongkan bid’ah berdasarkan hukumnya ke dalam lima bagian, antara lain:

  • Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang diwajibkan. Contohnya belajar ilmu nahwu, memperindah cetakan al-Qur’an dan hadis, belajar ilmu kedokteran, biologi, strategi perang, kepemimpinan, dan ilmu-ilmu serta sarana yang sifatnya mendukung pada perkembangan dan kejayaan islam.

  • Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang diharamkan. Contohnya mengikuti faham-faham sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, atau Mujassimah, serta berbuat sirik kepada Allah. Bid’ah ini disebut bid’ah d}alalah (sesat).

  • Bid’ah Mandhubah, yakni bid’ah yang diperbolehkan jika dipandang baik untuk kemashlahatan umat meski tidak terdapat pada masa Rasulullah. Contohnya membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, atau penelitian-penelitian ilmiah, penemuan-penemuan modern yang sifatnya memperjelas kebenaran isi ayat al-Qur’an.

  • Bid’ah Makruhah. Yakni bid’ah yang dimakruhkan. Contohnya memperindah atau menghiasi masjid, tempat beribadah, mushaf yang berlebihan.

  • Bid’ah Mubahah, yakni bid’ah yang dimubahkan. Contohnya berjabat tangan setelah shalat shubuh dan isya, membuat hidangan (makanan dan minuman), serta bersolek untuk ibadah.

Referensi
  • Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Lebanon: Dar al Kitab al-Ilmiyah, 2009).
  • Mansur Ahmad MZ, Islam Hijau Merangkul Budaya Menyambut Kearifan Lokal (Yogyakarta: alQadir Press, 2014)
  • T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kriteria Sunnah dan Bid’ah , cet, KE II, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999).
  • Badruddin Hsubky, Bid’ah-bid’ah di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
  • Imam asy-Syatibi, Al-I’tisham : Buku Induk Pembahasan Bid’ah dan Sunnah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006).

Bid’ah secara bahasa berarti “sesuatu yang baru”. Dengan makna bahasa ini juga para ulama membagi bid’ah kepada bid’ah hasanah dan bid’ah qabîhah seperti klasifikasi imam al-Syâfi’i, atau klasifikasi ‘Izz al-Dîn Ibn ‘Abd al-Salâm yang membagi bid’ah kepada bid’ah wajib, sunat, mubah, makruh, dan haram.

Adapun bid’ah yang dimaksud Nabi sesat di dalam haditsnya ialah bid’ah dalam pengertian syara’. Bid‘ah syar‘iyyah ialah suatu perkara dalam masalah agama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Perkara baru dalam masalah agama yang tidak ada asal atau sumbernya dari agama itu tertolak. Dengan demikian, jika hal baru itu bukan masalah agama, misalnya masalah dunia maka itu tidak tertolak. Begitu juga jika hal baru dalam masalah agama namun berasal dari petunjuk atau dalil agama baik al-Qur’an atau hadits maka itu juga tidak tertolak.

Makna di atas menjadi lebih jelas dengan sikap Nabi dan para sahabat sesudahnya dalam menghadapi setiap hal baru. Ternyata tidak semuanya ditolak atau dianggap sesat. Jika hal baru itu sesuai dengan ajaran Islam, meskipun sumbernya dari dalil atau petunjuk yang umum dan Nabi tidak pernah mengerjakannya dan juga tidak pernah memerintahkan secara khusus, maka itu tidak termasuk bid’ah. Apalagi jika hal baru itu merupakan suatu kebaikan dan kemaslahatan. Sebaliknya, jika hal baru itu bertentangan dengan ajaran Islam, seperti bertentangan dengan akidah Islam, atau bisa menyebabkan kemudaratan, atau berlebihan yang menyebabkan masyaqqah , maka itulah yang dinamakan bid’ah, yang di dalam hadits Nabi disebut sesat.

Tanggapan Nabi terhadap Perkara-perkara Baru


Di dalam kitab-kitab hadis terdapat banyak sekali kejadian-kejadian yang menunjukkan kreatifitas para sahabat dalam beribadah. Hal itu dilakukan berdasarkan ijtihad dari masing-masing mereka. Sebagian dari kreasi tersebut ada yang diterima bahkan mendapat pujian dari Nabi SAW karena sesuai dengan ajaran Islam, meskipun ada juga yang ditolak oleh beliau karena bertentangan dengan ajaran Islam. Berikut ini beberapa kejadian tersebut:

Persetujuan Nabi terhadap pengkhususan satu surah yang selalu dibaca oleh sahabat ketika shalat

Dari Anas bin Mâlik ra: “Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshâr yang selalu menjadi imam di Mesjid Qubâ. Setiap kali menjadi imam dia selalu membaca surah al-ikhlâs sebelum membaca surah yang lain. Para jama’ah pun menegurnya: Baca surah itu saja atau baca surah yang lain. Ia pun menjawab: Saya tidak akan meninggalkan surah tersebut. Jika kalian suka saya akan terus menjadi imam dengan cara tersebut, jika kalian tidak suka saya berhenti jadi imam. Namun mereka tidak mau yang lain menggantikannya karena menurut mereka dia yang paling utama di antara mereka. Ketika Nabi datang bertemu mereka, hal ini disampaikan kepada beliau. Nabi pun bertanya kepada imam tadi: “Wahai Fulan, alasan apa yang membuat engkau terus membaca surah itu dan tidak menerima permintaan sahabat- sahabatmu?” Dia menjawab: Saya suka (cinta) kepada surah tersebut. Nabi bersabda: “Cintamu kepada surah tersebut dapat membawamu masuk ke surga”.

Hadits ini menunjukkan adanya kreatifitas sahabat terkait bacaan surah ketika shalat. Dalam hal ini Nabi tidak melarangnya. Pernyataan Nabi “kecintaanmu kepada surah yang selalu dibaca itu bisa membawamu ke surga” menunjukkan persetujuan Nabi terhadap kreativitasnya itu. Meski begitu, cara yang selalu dipraktikkan Nabi (sunnah tsâbitah) terkait bacaan surah itulah yang lebih utama untuk diikuti dalam shalat.

Persetujuan Nabi terhadap kreatifitas para sahabat dalam membuat majlis zikir

Dari Abȗ Sa’îd al-Khudriyy berkata: “Mu’awiyah ra melihat satu halaqah di Mesjid, lalu ia bertanya: Apa yang mendorong kalian untuk berkumpul? Orang-orang yang ada di halaqah itu menjawab: Kami berkumpul di sini untuk berzikir kepada Allah. Mu’awiyah mempertegas: Sumpah tidak ada niat lain? Demi Allah tidak ada niat yang lain jawab mereka. Kata Mu’awiyah: Aku meminta kalian bersumpah bukan karena menuduh kalian. Tidak ada yang lebih sedikit punya hadis dibandingkan aku. Sesungguhnya Rasulullâh Saw pernah melihat satu halaqah di Mesjid, lalu ia bertanya: “Apa yang mendorong kalian untuk berkumpul?” Orang-orang yang ada di halaqah itu menjawab: Kami berkumpul di sini untuk berzikir kepada Allah dan memuji-Nya atas hidayah dan ni’mat yang telah diberikan-Nya kepada kami. “Sumpah tidak ada niat lain?” Demi Allah tidak ada niat yang lain jawab mereka. Nabi bersabda: “Sungguh Aku meminta kalian bersumpah bukan karena menuduh kalian, tetapi Jibrîl as tadi datang dan memberi kabar kepada saya bahwa Allah SWT membanggakan kalian di hadapan para Malaikat-Nya”.

Hadis ini menunjukkan adanya ijtihad para sahabat dalam membuat perkumpulan untuk berzikir kepada Allah. Perbuatan mereka pun disetujui oleh Nabi bahkan mereka mendapatkan kabar gembira dari Malaikat Jibril bahwa Allah Swt membanggakan mereka di kalangan Malaikat-Nya.

Itulah cara (sunnah) Nabi dalam menanggapi segala perkara baru. Selama itu semua tidak bertentangan dengan dengan nash-nash agama dan tidak menyebabkan mudarat, maka itu tidak termasuk bid’ah yang sesat, apalagi jika itu bersumber dari tuntunan agama meskipun secara umum, misalnya firman Allah:

“Kerjakanlah kebaikan agar kamu beruntung.” QS. Al-Hajj: 77.

“Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.” QS. Al-Baqarah: 148.

“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya”. QS. Al-Ahzab: 41.

Penolakan Nabi terhadap kreatifitas Abȗ Isrâîl

Dari Ibnu ‘Abbâs ra bercerita: “Ketika Nabi Saw sedang menyampaikan khutbah, ada seorang laik-laki yang sedang berdiri. Lalu Nabi bertanya tentang laki-laki tersebut. Para sahabat menjawab: Dia adalah Abȗ Isrâîl. Dia bernadzar puasa sambil berdiri dan tidak duduk, tidak bernaung, dan tidak berbicara. Nabi bersabda: “Perintahkan kepadanya untuk berbicara, bernaung, dan duduk, serta selesaikan puasanya.”

Di dalam hadis ini, Nabi melarang perbuatan Abȗ Isrâîl yang melakukan puasa namun tidak berbicara, tidak bernaung dari panas matahari, dan tidak duduk. Ijtihadnya ini dilarang oleh Nabi karena dapat menyebabkan kemudaratan. Ibnu Hajar berkomentar: Segala sesuatu yang tidak ada petunjuknya dari al-Qur’an atau sunnah jika mendatangkan kemudaratan bagi manusia meskipun tidak langsung seperti berjalan (untuk ibadah) tanpa alas kaki, atau duduk di bawah terik matahari maka itu tidak termasuk ketaatan kepada Allah, dan nadzar dengan hal itu dianggap tidak sah.

Penolakan Nabi terhadap ijtihad Mu‘âdz bin Jabal

Dari ‘Abdullâh bin Abî Aufâ ra berkata: “Ketika Mu’âdz ra datang dari Syâm dia sujud kepada Nabi Saw. Nabi bertanya: Ada apa ini wahai Mu’âdz? Mu’âdz menjawab: Tatkala saya datang ke negeri Syâm kebetulan para penduduknya sedang sujud kepada para pendeta dan penguasa, maka aku ingin melakukan yang demikian itu kepadamu wahai Ras ȗ lullâh. Nabi bersabda: “Jangan lakukan. Kalau aku menyuruh seseorang untuk sujud kepada selain Allâh maka akan kuperintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.”

Hadis ini menceritakan adanya keinginan sahabat Nabi Mu‘âdz bin Jabal untuk sujud kepada Nabi. Keinginannya itu ditolak oleh Nabi karena hal itu bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa sujud hanya dibolehkan kepada Allah Swt.

Penolakan Nabi terhadap ijtihad Juairiyah bint al-Hârits

Dari Juairiyah bint al-Hârits ra, “bahwasanya Nabi Saw pernah menemuinya pada hari Jum’at, sedangkan dia (Juairiyah) sedang berpuasa. Nabi bertanya: “Apakah kamu berpuasa kemarin? Dia menjawab: tidak.

Nabi bertanya lagi: “Apakah kamu ingin berpuasa besok? Dia menjawab: tidak. Sabda Nabi: “Kalau begitu berbukalah.”

Hadis ini menunjukkan adanya kreatifitas umm al-Mu’minîn Juairiyah bint al-Hârits dengan berpuasa pada hari Jum’at tanpa disertai hari sebelumnya atau sesudahnya. Perbuatannya ini dilarang oleh Nabi Saw karena bertentangan dengan hadis sahih yang disepakati oleh Imam al- Bukhâriy dan Imam Muslim dari Abȗ Hurairah ra. Nabi Saw bersabda:

“Janganlah seseorang diantara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali desertai dengan puasa sebelumnya (Kamis) atau sesudahnya (Sabtu).”

“Janganlah kamu khususkan malam Jum’at dengan shalat sunat dan jangan pula kamu khususkan hari Jum’at dengan berpuasa kecuali berbetulan dengan puasa (wajib atau sunat) yang dikerjakan pada hari itu.”

Penolakan Nabi terhadap perbuatan Zainab binti Jahsy

Dari Anas bin Mâlik ra berkata: “Ketika Nabi Saw masuk mesjid tiba-tiba ada tali yang terikat di antara dua tiang. Nabi bertanya: apa ini? Para sahabat menjawab: itu milik Zainab ra yang digunakannya untuk berpegang apabila ia lelah shalat. Nabi bersabda: “Jangan seperti itu, lepaskan tali itu. Lakukanlah shalat semampu kalian (ketika kuat), jika lelah duduklah (istirahat).”

Dalam hadis ini Nabi melarang ijtihad atau kesungguhan yang berlebihan dalam beribadah, karena itu bisa menimbulkan masyaqqah atau mudarat, di samping juga bertentangan dengan hadis Nabi:

“Jika salah seorang di antara kamu ngantuk ketika shalat maka tidurlah sampai hilang rasa ngantuknya, sebab jika kamu shalat dalam keadaan ngantuk barangkali bisa mencela diri sendiri (mendo’akan tidak baik) padahal ingin minta ampun.”

Selain hadis-hadis di atas masih banyak lagi hadis-hadis yang menunjukkan bagaimana sikap Nabi dalam menanggapi setiap perkara baru yang dilakukan oleh para sahabat. Jika perkara baru itu sesuai dengan ajaran Islam maka disetujui dan diterima oleh Nabi, bahkan dalam beberapa kasus mendapatkan apresiasi dari para Malaikat atau kabar gembira berupa surga atau keridaan Allah Swt terhadap amal tersebut, meskipun Nabi sendiri belum pernah melakukannya atau memerintahkannya secara khusus, namun amal tersebut masuk dalam dalil umum dari al-Qur’an atau hadis yang memerintahkan untuk memperbanyak melakukan kebaikan.

Sebaliknya, jika hal baru itu bertentangan dengan ajaran Islam (misalnya bertentangan dengan akidah Islam seperti kasus Mu‘âdz ra, atau menyebabkan kemudaratan dengan menyiksa diri seperti kasus Abȗ Isrâîl, atau berlebihan sehingga menimbulkan masyaqqah seperti kasus umm al-mu’minîn Zainab ra) maka itu ditolak oleh Nabi, dan itulah yang termasuk bid’ah yang sesat.

Pandangan Khulafâ Al-Râsyidîn terhadap Perkara-Perkara Baru


Di dalam hadis ‘Irbâdh bin Sâriyah di atas Nabi juga berpesan agar umat Islam berpegang kepada sunnah khulafâ al-râsyidîn. Sikap khulafâ al-râsyidîn dan para sahabat lainnya juga sama seperti sikap Nabi. Hal itu disebabkan karena mereka sangat mengikuti sunnah (cara) Nabi dalam setiap perbuatan, termasuk dalam hal menanggapi segala perkara baru yang terjadi di masa mereka. Berikut ini beberapa contoh tersebut:

Ijtihad ‘Umar ra dan persetujuan Abȗ Bakar terhadap pembukuan al-Qur’an

Pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf adalah sesuatu yang baru yang belum pernah dilakukan oleh Nabi. Ide ini pada awalnya muncul dari ‘Umar ra dan pada akhirnya disetujui oleh Khalîfah Rasȗlillâh Abȗ Bakar ra dan Kâtib al-Wahyi Zaid bin Tsâbit dan sahabat-sahabat lainnya.

Ijtihad ‘Umar ra dan ijmâ‘ sahabat terhadap shalat tarawih berjama’ah

Adanya kreatifitas dalam shalat tarawih yang disampaikan oleh ‘Umar bin al-Khaththâb ra, yaitu shalat tarawih secara berjama’ah. Padahal pada masa Nabi hal itu tidak pernah dipraktekkan. Pendapat ‘Umar ini pun disetujui oleh para sahabat sehingga mereka shalat tarawih dengan berjama’ah yang diimami oleh Ubay bin Ka‘ab ra.

Ijtihad ‘Utsmân ra perihal penambahan adzan Jum’at

‘Utsmân bin ‘Affân ra telah menambahkan adzan pada hari Jum’at, yaitu adzan yang pertama. Padahal, sebelumnya adzan hanya dua kali (yaitu adzan dan Iqamah). Ijtihad ini dilakukannya karena banyaknya umat Islam di Madinah waktu itu, sehingga perlu untuk dipanggil ke Mesjid melalui adzan tersebut.27

Penolakan Abȗ Bakar terhadap wanita muslimah yang melaksanakan haji dengan tidak berbicara

Ada seorang perempuan yang tidak mau berbicara ketika melaksanakan ibadah haji. Abȗ Bakar kemudian menegurnya dan menyuruhnya agar berbicara, karena perbuatannya tadi merupakan kebiasaan orang-orang jahiliyah, sehingga ia pun berbicara.

Referensi
  • Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Kitâb al-Dzikr, Bab Keutamaan Berkumpul Untuk Membaca al-Qur’an dan Dzikir No. 2701.
  • Al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, Kitâb al-Aymân wa al-Nudzȗr Bab Nadzar Terhadap Sesuatu Yang Tidak Dimiliki dan Dalam Kemaksiatan No. 6704.
  • Ibnu Mâjah Abȗ ‘Abdillâh Muhammad bin Yazîd al-Qazwainiy, Sunan Ibni Mâjah, tahqîq Syu’aib al-Arnâuth (Damaskus: Dâr al-Risâlah, 2009 M/1430 H), Bab Hak Suami Dari Istri No. 1853.
  • Abȗ al-‘Abbâs Ahmad bin Muhammad bin Abî Bakar al-Qustullâniy, Irsyâd al-Sâriy (Mesir: Maktabat al-Amîriyyah, 1323 H), jilid II.
  • Al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, Kitâb Manâqib al-Anshâr Bab Kejadian-Kejadian Masa Jahiliyah No. 3834.
  • Al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, Kitâb al-Shulh No. 2697 dan Muslim bin al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Kitâb al-Aqdiyyah No. 1718.
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalâniy, Fath al-Bâriy (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1379 H), jld 2

Al-bid’ah merupakan nama yang diberikan ke atas perbuatan yang sengaja diada-adakan dan jamaknya adalah bida’ , atau apa yang diciptakan, dan siapa yang mengada-adakan sesuatu dia dianggap telah melakukan bid’ah, ia juga merupakan amalan yang bertentangan dengan sunnah yang berupa sesuatu urusan yang diada- adakan.

Kalimah bid’ah terdapat di dalam Al-Qu’ran melalui potongan ayat di bawah ini:

Artinya; Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia.

Penggunaan kalimah bid’ah pada ayat di atas adalah yang paling tepat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian kalimah bid’ah menurut bahasa, karena hakikatnya hanya Allah SWT saja pencipta (melakukan bid’ah) hingga terciptanya langit, bumi dan segala sesuatu yang ada di alam ghaib atau di alam nyata. Segala ciptaan Allah SWT yang ada ini tidak pernah didahului oleh suatu contoh atau pencipta sebelum-Nya, hanya Dialah pencipta yang mengadakan dan memulai seluruh penciptaan yang terdapat di langit, di bumi, di alam dunia atau di alam akhirat.

Persoalan bid’ah adalah persoalan khilafiyaḥ, meskipun demikian dalam realitasnya, perbedaan paham mengenai bid’ah secara langsung maupun tidak langsung ternyata telah melahirkan banyak konflik, antara satu kelompok dengan kelompok yang lain sehingga menimbulkan perbalahan dan lain sebagainya.

Bid’ah sudah ada pada zaman shahabat r.a, berdasarkan peristiwa yang diceritakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Daripada Abu Hurairah r,a, katanya: sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda ketika solat subuh, “wahai Bilal, ceritakan kepadaku mengenai amalan terbaik yang pernah kamu lakukan dalam Islam, sesungguhnya aku mendegar seretan terompah kamu dihadapanku di dalam syurga” jawab Bilal, “amalan terbaik yang telah aku lakukan ialah tidak sekali- kali aku berwudhuk pada bila-bila masa saja, sama ada waktu malam atau siang melainkan aku akan bershalat dengan wudhu tersebut apa-apa jua shalat yang telah ditakdirkan untuk aku melaksakan”.

Imam Syaukani telah mengulas hadits tersebut yang hampir sama dengan ulama hadiTs yang lain, ia berkata:

Hadis ini banyak faedah dan pengajaran, antaranya ialah boleh berijtihad dalam memilih waktu ibadah dan ia menggalakkan supaya meklakukan shalat selepas wuḍhu‟.

Salah satu alasan yang digunakan dalam menilai bid’ah, adalah pratek keagamaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Disamping itu juga di dasarkan pada hadis nabi yang mengatakan bahwa:

Dari Aisyah berkata, Rasulullah SAW, telah bersabda: barang siapa mengada-ngadakan dalam urusan agama kami, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.”

Berikut beberapa pengertian bid’ah menurut beberap ulama :

  1. Definisi bid’ah menurut Imam Syafi’i

Seperti yang dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, bahwa Imam Syafi’i berkata:

Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baik dan tidak menyalahi al Quran, Sunnah, mau pun Ijma, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela

  1. Definisi bid’ah memurut Ibnu Hazm az-Zahiri

Menurut Ibnu Hazm, ia berkata bid’ah adalah:

Bid’ah adalah tiap-tiap yang dikatakan atau perbuatan yang tiada asal pada sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadis Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid’ah ini.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadis) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak dijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.

  1. Definisi bid’ah menurut Imam Abu Umar Yusuf Bin Abdil Barr.

Ibnu Abdil Barr merupakan ahli hadis dan ahli fiqih yang bermazhab Maliki.Ia lahir tahun 368 H. Ia membagi bid’ah kepada dua macam, hal ini dapat dilihat kepada pernyataannya:

Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bidah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bidah.

  1. Definisi bid’ah menurut Syekh Abdul Rahman Bin Abdul Rahim al-Mubarakfuri

Syekh Abdul Rahman merupakan pengarang kitab Tuhfah al-Aḥwazi, syarah kepada Sunan al-Tirmizi. Wafat tahun 543 H . Ia juga menerima konsep pembagian bid’ah kepada yang baik dan yang tercela. Sebagian tulisannya mengenai bid’ah seperti dikutip dalam buku Ensiklopedia Bidaah adalah seperti berikut:

“Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan daripada Abdullah Ibnu Umar, katanya: “azan yang pertama hari jumaat adalah bid’ah.” Boleh jadi kenyataan ia tersebut merupakan satu pengingkaran, dan boleh jadi juga ia maksudkan bahwa azan yang pertama tidak wujud pada zaman Rasulullah. Kesimpulannya, setiap amalan yang tidak wujud pada zaman Rasulullah dinamakan bid’ah. Tetapi, ada diantara bid’ah yang baik dan yang dikeji dan dicela di sisi syara’.”

Nampak jelas kenyataan Abdullah Ibnu Umar itu kerana sesungguhnya Uthman r.a merupakan orang yang mula-mula mengadakan azan pertama solat juma’at dengan tujuan umtuk memberitahu manusia dengan masuknya waktu shalat jum’at, dikiaskan dengan tindakan itu dengan azan ketika shalat lima waktu.

  1. Definisi bid’ah menurut Imam Ibnu Atsir al-Jazari

Imam Ibnu Atsir lahir tahun 554 H mengatakan:

Bid’ah ada dua macam: bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Bid’ah yang menyalahi perintah Allah danRasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Sedangkan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan sesuatu yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sesuatu bid’ah (hal baru) yang belum pernah ada yang serupa sebelumnya seperti jenis kedermawanan yang baru atau kebajikan yang baru tentunya itu termasuk hal terpuji dan tidakmungkin digolongkan kepada sesuatu yang menyalahi syariat.

  1. Definisi bid’ah menurut Izzudin Ibni Abdi as-Salam

Imam Izzudin Abdi al-Salam mempelopori pembahagian bid’ah menjadi lima, Ia lahir 577 H dan wafat 660 H, dalam hal ini ia mengatakan:

Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah. Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah.

Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka ia menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka ia bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka ia bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaidah mubah, maka ia bid’ah mubahah.

  • Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh.Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Qu’ran dan Sunnah Rasulullah. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu.S edangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Contoh kedua, pembahasan mengenai jarh dan ta’dil untuk membedakan hadis yang shahih dan yang lemah.

  • _Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bidah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib.

  • Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang tidak pernah dikenal pada abad pertama, dan diantaranya shalat tarawih (berjamaah dalam satu imam).

  • Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushaf Al-Qur’an.

  • Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai songkok thaylasan, memperlebar lengan baju dan lain-lain

  • Definisi Bid’ah Menurut Imam al-Hafizh Muhammad Bin Ahmad al- Qurtubi

Al-Qurtubi lahir tahun 580 H, ia berkata:

Saya katakan bahwa makna Hadis Nabi SAW yang berbunyi “Seburuk- buruk perkara adalah hal yang baru. Semua hal yang baru adalah Bidah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ maksudnya hal-hal yang tidak sejalan dengan al Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Shahabat Rasul SAW. Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadis lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat-buat satu gagasan yang baik dalam Islam maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dari pahalanya. Dan barangsiapa membuat gagasan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.Hadis ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya bid’ah pada yang baik dan bid’ah yang sesat”.

  1. Definisi bid’ah menurut Imam Abu Syamah

Imam Abu Syamah merupakan guru kepada Imam Nawawi, lahir tahun 596 H dan wafat 665 H, yang berpendapat seperti yang dikutip dlam kitab I’anah al-Talibin bahwa:

sebaik-baik amalan baru yang diadakan pada zaman kita ini ialah amalan kebajikan yang dilakuakan pada setiap tahun. Dengan kata lain, pada hari yang menepati hari kelahiran Rasulullah SAW, yaitu bersedekah, melakukan perkara kebaikan, manzahirkan perhiasan diri, dan melahirkan rasa kegembiraan. Semua amalan kebajikan tersebut, beserta dengan berbuat baik kepada fakir, mengandungi maksud yang menyerlah kecintaan kepada Nabi SAW, mengagungkannya dan memuliakannya, yang nampak dan yang tersirat pada hati si pelaku. Malah dapat memperlihatkan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dikurniakan oleh-Nya. Daripada kelahiran Nabi SAW sehingga diutus sebagai pembawa rahmat bagi sekalian alam.

  1. Definisi bid’ah menurut Imam Qarafi al-Maliki

Imam Qarafi dalam kitabnya yang populer disebut dengan al-Furuq, dimana beliau membagi bid’ah kepada lima macam dengan katanya:

yang benar ada perincian (dalam masalah bid’ah). Bid’ah terbagi menjadi lima jenis: jenis yang wajib yaitu yang masuk dalam kaidah wajib dan dalil wajib dari syariat seperti penyusunan al Quran dan hukum-hukum syariat ketika dikhawatirkan akan terbengkalai. Jenis yang haram yakni bid’ah berada dalam naungan kaidah haram dan dalil keharaman dari syariat seperti cukai, memberikan jabatan syariat melalui jalur turun temurun kepada orang yang tidak layak. Jenis ketiga bid’ah yang sunnah, yaitu yang berada dalam naungan kaidah-kaidah sunah dan dalil-dalilnya dari syariat seperti shalat tarawih (berjamaah dalam satu imam). Jenis keempat bid’ah makruh yakni yang tercakup dalam dalil-dalil makruhdari syariat dan kaidah-kaidahnya seperti mengkhususkan hari-hari utama atau lainnya dengan satu jenis ibadah. Jenis yang mubah, yakni yang dicakup dalil-dalil mubah dan kaidah-kaidahnya dari syariat seperti membuat ayakan tepung.

  1. Definisi bid’ah memurut Ibnu Taimiyah

Ibnu taimiyah yang dijuluki sebagai Syaikul Islam, dalam fatawanya menyebut sebagai berikut:

“Dari sini diketahui kesesatan orang yang membuat jalan atau aqidah yang menganggap bahwa iman tidak sempurna kecuali dengan jalan atau aqidah itu bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa Rosul tidak menyebutkannya dan sesuatu yang bertentangan dengan nas maka semua itu adalah bid’ah sesuai dengan kesepakatan umat islam. Sedangkan bid’ah yang tidak diketahui bertentangan dengan nas, maka sesungguhnya terkadang ia tidak disebut bidah.Imam Syafi’i berkata: Bid’ah ada dua. (Pertama) Bid’ah yang bertentangan dengan kitab, sunah, ijma dan asar dari sebagian sahabat nabi, maka ini adalah bid’ah yang sesat. (Kedua) bid’ah yang sama sekali tidak bertentangan dengan empat hal tersebut maka bid’ah ini terkadang baik sebab ucapan Umar : ini adalah sebaik-baik bidah. Ucapan ini dan yang semisalnya diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shaḥiḥ dalam Al- Madkhal.

  1. Definisi bid’ah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali

Ibnu Rajab, lahir tahun 736 H dan wafat 795 H, berpandangan bahwa bid’ah sebgai berikut:

Adapun sabda Nabi SAW: “Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru karena setiap bid’ah adalah sesat.” Ini adalah peringatan kepada umat dari mengikuti perkara-perkara bid’ah dan ditekankan lagi dengan ucapan setiap bid’ah adalah sesat. Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang dibuat tanpa memiliki asal dari syariat yang menunjukkan kepadanya. Adapun hal baru yang dibuat namun memiliki asal dari syariat maka ia tidak dinamakan bid’ah secara syariat walaupun itu disebut bid’ah secara bahasa.

  1. Definisi bid’ah menurut Ibnu Haj al-Maliki

Ibnu al-Haj berkata:

Sesungguhnya bid’ah telah dibagi oleh ulama kepada lima macam:.Bid’ah yang wajib seperti menyusun fan-fan ilmu, karena itu tidak termasuk perbuatan orang terdahulu, sebab ilmu mereka terjaga dalam dada mereka.Termasuk dalam hal ini, mengharokati dan memberi titik dalam al Quran. Bid’ah yang sunnah, mereka mengatakan seperti membangun benteng-benteng, membersihkan jalan-jalan, membuat jambatan, membangun sekolah dan pesantren dan yang serupa dengannya. Bid’ah ketiga yang mubah seperti membuat ayakan, asynan (semacam pembersih) dan yang serupa dengannya.Bid’ah keempat yang makruh seperti makan di atas meja dan semisalnya.Bid’ah kelima yang haram dan itu terlalu banyak untuk disebutkan.

  1. Definisi bid’ah memurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani

Ibnu Hajar al-Asqalani telah menjelaskan pendapatnya mengenai bid’ah adalah:

beliau berkata: bid’ah pada asalnya adalah suatu amalan baru yang dikerjakan tanpa contoh yang sebelumnya, Dalam syariat pula, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syariat, maka disebut bid’ah hasanah.Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syariat, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela).Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.

Seterusnya ia berkomentar tentang muhdhasat dalam hadis Rasulullah SAW yang berarti, seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang di ada- adakan. Ia berkata:

muhdhathat huruf dal dibaca dengan baris di atas, merupakan jama’ daripada muhdathat, ialah suatu perkara baru yang dilakukan tidak ada asal dalam syarak, maka dinamakan bid’ah.Dan suatu amalan baru yang dilakuakan ada dalil-dalil di dalam syarak, maka tidaklah dinamakan bid’ah. Hal ini, kerana bid’ah yang di dalam syarak adalah dikeji, berbeda dari segi bahasa yaitu setiap perkara baru yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya di namakan bid’ah, sama ada terpuji atau dikeji.

  1. Definisi bid’ah menurut Ahmad Bin Yahya al-Wansyarizi al-Maliki

Al-Wansyarizi, dalam kitabnya ia menyatakan:

Sahabat-sahabat kami walaupun mereka sepakat mengingkari bid’ah secara global namun mereka mentahqiq pembagiannya. Kemudian Ia menyebutkan lima bagian dan contoh di setiap bagian dan berkata : "Sejatinya dalam hal bid’ah apabila disandingkan dengan kaidah syariat maka mana saja kaidah yang cocok dengannya maka akan dihukumi dengan kaedah tersebut. Setelah engkau mengetahui kesimpulan dan hukum asalnya maka jangan ragu lagi bahwasanya sabda Nabi SAW “Kullu bid’atin dhalalah” termasuk kata "umum yang dikhususkan" seperti yang dijelaskan oleh para imam radhiyallahu anhum.

  1. Definisi bid’ah menurut Imam al-Alusi

Imam al-Alusi lahir tahun 1217 H, dalam tafsirnya seperti dikutip dalam forum penulis santri ia berpendapat bahwa:

Perincian pembahasan mengenai bid’ah disebutkan oleh Imam Muhyiddin an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim. Berkata Ulama bahwa bid’ah ada lima jenisnya: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

  1. Definisi bid’ah menurut Ibnu A’syur

Ibnu A’syur, dalam menafsirkan surah al-Hadid ayat 27 yang berarti:

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka.

Pada bagian akhir beliau berkata:

Dalam ayat ini terdapat dalil atas terbaginya bid’ah kepada yang baik dan yang tercela sesuai dengan tercakupnya ia di bawah naungan jenis- jenis perbuatan yang disyariatkan. Maka bid’ah diliputi oleh hukum yang lima sebagaimana telah ditahqiq oleh As Syihab al-Qorofi dan para ulama yang cerdas. Adapun orang-orang yang berusaha membatasi bid’ah pada yang tercela saja mereka tidak menemukan jalan keluar. Sungguh Sayidina Umar telah berkata ketika mengumpulkan manusia dalam satu imam saat tarawih “Inilah sebaik-baiknya bidah.

  1. Definisi bid’ah menurut Syekh Utsaimin

Syekh Utsaimin merupakan ulama’ di abad modern, lahir 1347 H, dan wafat 1421 H. Ia menyebutkan bahwa:

Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia (Bid’ah dunia) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya.Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama) adalah dilarang.Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya .

  1. Definisi bid’ah menurut Syekh Soleh Abdul Aziz

Syekh Soleh yang merupakan ulama era baru lahir 1378 H, berkata:

Dengan begitu maka kita simpulkan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam. Pertama, Bid’ah Asliyah, yaitu hal baru dilihat dari segi asal dan sifat.Kedua Bid’ah idhofiyah yaitu asalnya disyariatkan, tetapi cara/bentuknya adalah hal baru. Seperti membaca sholawat atas Nabi setelah selesai azan. Contoh lainnya adalah berkumpul untuk berzikir dengan sifat tertentu. Contoh-contoh ini pada asalnya disyariatkan. Sebab membaca sholawat atas nabi merupakan perintah al-quran dan hadits. Tetapi cara pelaksanaanya adalah merupakan hasil ciptaan. Maka Bid’ah ini disebut sebagai bid’ah idhofiyah, bukan bid’ah asliyah sebab pada asalnya ia disyariatkan. Tetapi bid’ah tersebut hanya merupakan idhofiyah, yakni bid’ah dilihat dari segi cara pelaksanaannya bukan dilihat dari segi asalnya. Ini adalah merupakan ibadah yang bid’ah tetapi pada asalnya ia disyariatkan.

Referensi
  • Ishak Ibrahim Bin Musa Bin Muhammad al-Lakhmi asy-Syatibi, I’tisham , Jilid I, (Terj. Shalahuddin Sabki, Bangun Sarwo Aji Wibowo), (Jakarta: Buku Islam Rahmatan, 2006).
  • Jamaluddin Muhammad Bin Mukram Bin Ibnu Manzur, Lisan al-'Arabi , Jilid VI, (Beirut: Dar al- sadir, t.t).
  • Ali Bin Muhammad Sayyid as-Syarif aj-Jurjani, Mu’jam at-Ta’rifat , (Kaerah: Dar al-Fadhilah, t.t).
  • Zakaria Mahyudin Bin Syarif, Tahzib al-Asma Wa Lughat , Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al- Alamiyah, t.t).
  • Muhammad Ali Bin Ahmad Bin Sa’id Bin Hazm, Al-Ihkam Fi usul al-Ahkam , Juz I, (Mesir: Badar al-Kutub, t,t).
  • Ibnu Abdill Barr, al-Istidzkar , Juz IV, (Kaherah: Darul wa’i, 1993 M)
  • Mohammad Subki Abdul Rahman al-Hafiz Mohd Rifqi Myiddin, Ensiklopedia Bidaah , (Selangor: PSN Publication Sdn. Bhd, 2012)
  • Majid ad-Din Abi Sa’adah al-Mubarakah Bin Muhammad al-Jazari Ibnu Atsir, An-Nihayah fi Qarib al-Hadis wal atsar , Juz I, (Saudi: Darul Ibnu Jauzi, 1421H)
  • I’izuddin Abdul Aziz Bin Abdul Salam, Qawa’id al-Kubra , Juz II, (Damsyik: Darul Qalam, t,t),
  • Muhammad Bin Ahmad al-Ansar al-Qurtubi, Jami’ al-Ahkam Al-quran, Juz II, (Muasasah Risalah)
  • Abu Bakr al-Mayshur al-Bakri Bin Sayyid Muhammad Syata’ ad-Dimyati, I’anah al-Talibin, Juz I,(Indonesia: haramain, t,t)
  • Ahmad Bin Idris Bin Abdurrahman al-Masyhur al-Qarafi, al-Furuq , Juz IV, (Saudi: Dakwah Irsyadiyah, 1421H)
  • Ahmad Bin Taimiyah, Majmu’ Fatawa , Juz XX, (Saudi: Dakwah Isyadiyah, 1425)
  • Zainuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Syihabbuddin al-Bagdadi as-Syahir Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum Wal Ahkam , Juz I, (Beirut: Darul Ibnu Katsir, t,t)
  • Abdullah Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad al-a’bdari, Al-Madkhal, Juz II, (Khaherah: Darul at-Thurhas, t.t)
  • Abi Abbas Ahmad Bin Yahya al-Wansyarizi, Mi’yar al-Mu’rab Wal Jami’ al-Mu’rab , Juz I, (Maghribiyah: Darul Qarib Islami, 1401H)
  • M. Rafiq Ramzy, Ngaji Bid’ah Dari Ulama’ Salaf ,Forum Penulis Santri (e-book)
  • Imam Syekh Muhammad Thahir Ibnu A’syur, At-Thahrir Wa at-Tanwir , Juz XXVII, (Tunisia: Darul tanawiyah lil-nasthar, 1984M)

Sebagian orang kadang memahami apa yang dimaksud dengan bid’ah. Mereka menganggap bahwa bid’ah adalah setiap perkara baru. Sehingga karena saking tidak suka dengan orang yang meneriakkan bid’ah, ia pun mengatakan, “Kalau memang hal itu bid’ah, kamu tidak boleh pakai HP, tidak boleh haji dengan naik pesawat, tidak boleh pakai komputer, dst karena semua itu baru dan bid’ah adalah suatu yang baru dan dibuat-buat“. Padahal sebenarnya hal-hal tadi bukanlah bid’ah yang tercela dalam Islam karena bid’ah yang tercela adalah bid’ah dalam masalah agama. Begitu juga ada yang tidak setuju dengan nasehat bid’ah, ia menyampaikan bahwa para sahabat dahulu mengumpulkan Al Qur’an dan di masa ‘Umar dihidupkan shalat tarawih secara berjama’ah. Syubhat-syubhat yang muncul ini karena tidak memahami hakekat bid’ah. Untuk lebih jelas dalam memahami bid’ah, kita seharusnya memahami tiga syarat disebut bid’ah yang disimpulkan dari dalil-dalil berikut ini.

  • Pertama: Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut disebutkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    “Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

  • Kedua: Hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”

    Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,

    “Setiap kesesatan tempatnya di neraka.”

  • Ketiga: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”

  • Keempat: Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan apa yang dimaksud bid’ah yang terlarang dalam agama, yaitu:

  • Sesuatu yang baru (dibuat-buat).
  • Sesuatu yang baru dalam agama.
  • Tidak disandarkan pada dalil syar’i.

Pertama: Sesuatu yang baru (dibuat-buat).

Syarat pertama ini diambil dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Siapa yang berbuat sesuatu yang baru.” “Setiap yang baru adalah bid’ah.”

Sehingga masuk dalam definisi adalah segala sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya baik berkaitan dengan urusan agama maupun dunia, baik sesuatu yang terpuji (mahmudah) maupun yang tercela (madzmuma). Sehingga perkara yang sudah ada sebelumnya yang tidak dibuat-buat tidak termasuk bid’ah seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Perkara dunia juga termasuk dalam definisi pertama ini, namun akan semakin jelas jika kita menambah pada syarat kedua.

Kedua: Sesuatu yang baru dalam agama.

Karena dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,

“Dalam urusan agama kami.” Sehingga perkara dunia tidak termasuk dalam hal ini. Yang dimaksudkan bid’ah dalam urusan agama berarti:

  1. bid’ah mendekatkan diri pada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan,
  2. bid’ah telah keluar dari aturan Islam, dan
  3. sesuatu dilarang karena dapat mengantarkan pada bid’ah lainnya.

Ketiga: Tidak disandarkan pada dalil syar’i yang bersifat umum maupun khusus.

Hal ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak asalnya (dalilnya) dalam Islam.”

Ini berarti jika sesuatu memiliki landasan dalam Islam berupa dalil yang sifatnya umum seperti dalam permasalahan ‘maslahah mursalah’, contoh mengumpulkan Al Qur’an di masa sahabat, maka tidak termasuk bid’ah. Begitu pula jika ada sesuatu yang mendukung dengan dalil yang sifatnya khusus seperti menghidupkan kembali shalat tarawih secara berjama’ah di masa ‘Umar bin Khottob tidak termasuk bid’ah.
Tiga syarat di atas telah kita temukan pula dalam perkataan para ulama berikut.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,

“Setiap yang dibuat-buat lalu disandarkan pada agama dan tidak memiliki dasar dalam Islam, itu termasuk kesesatan. Islam berlepas diri dari ajaran seperti itu termasuk dalam hal i’tiqod (keyakinan), amalan, perkataan yang lahir dan batin.”

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki landasan (dalil) dalam syari’at sebagai pendukung. Adapun jika didukung oleh dalil syar’i, maka itu bukanlah bid’ah menurut istilah syar’i, namun bid’ah secara bahasa.”

Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

“Yang dimaksud setiap bid’ah adalah sesat yaitu setiap amalan yang dibuat-buat dan tidak ada dalil pendukung baik dalil khusus atau umum.”

Ibnu Hajar juga menyatakan mengenai bid’ah,

“Siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh.”

Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata,

“Sesuatu yang memiliki landasan dalil dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.”

Setelah memahami yang dikemukakan di atas, pengertian bid’ah secara ringkas adalah,

“Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil.”

Inilah yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela dan dicela oleh Islam.

Bid’ah


Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua, ia berhubungan banyak hal di dalam Islam. Sayangnya, banyak orang yang belum memahami makna Bid’ah dengan benar. sehingga tidak jarang mereka yang terjebak dengan perselisihan. Dalam lisanul arab, Bid’ah berasal dari akar kata bada’a, yang memiliki berbagai derivasi (berbagai macam bentuknya). Diantaranya bid’un dengan kata kerja idtada’a artinya, membuat dan memulai sesuatu. Sedangkan al-bid’atu artinya sesuatu yang baru (al-Hadts).

Dalam pengertian di atas, bahwa yang disebut Bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak didahului contoh-contoh. Artinya dalam pengertian bahasa ini, bid’ah tidak diberikan batasan-batasan. Segala sesuatu, baik itu berkaitan dengan perkara agama maupun tidak, maka sesuatu tersebut masuk dalam perkara bid’ah. Akan tetapi, dalam perngertian di atas, pembatasan diberikan pada hal-hal yang tidak didahului dengan contoh, artinya perkara tersebut dapat dikategorikan Bid’ah manakala sesuatu tersebut tidak ada yang mendahuluiya atau tidak ada yang menyerupainya atau dengan kata lain disebut dengan sesuatu yang baru.
Sedangkan secara syari’at, masyarakat berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah Bid’ah. Perbedaan pendapat tersebut sebenarnya telah terjadi di kalangan ulama salaf. Akan tetapi, secara umum sekarang ini ditemukan dua pendapat yang saling bertentangan dalam mendefinisikan istilah Bid’ah menurut syari’at.

  1. Kelompok yang mendefinisikan Bid’ah dengan definisi yang lebih luas. Menurut kelompok ini Bid’ah adalah segala sesuatu yang baru dalam urusan agama. Agama menjadi semacam garis pembatas, yang membatasi wilayah operasi konsep Bid’ah. Sebaliknya, jika sesuatu yang baru terjadi di luar urusan agama, maka konsep Bid’ah tidaklah berlaku. Tetapi muncul pertanyaan, adakah satu aspek dari kehidupan manusia yang tidak disentuh oleh agama? Bukankah agama mengurus kehidupan manusia secara terperinci? Dengan kata lain seluruh kehidupan manusia secara otomatis tidak ada satu aspek kehidupanpun yang tidak terlepas dari urusan agama. Jadi konsep Bid’ah berlaku di seluruh aspek dan lini kehidupan manusia.

    Oleh karena itu, kelompok ini dalam memberikan definisi Bid’ah secara syari’at, membagi Bid’ah menjadi dua yaitu Bid’ah hasanah dan Bid’ah alalah. Selain itu kelompok ini juga mengutip pendapat dari imam Syafi’i yang mengatakan bahwa setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi al-Qur‟an, sunnah Rasulullah, ijma‟, dan atsar adalah Bid’ah yang sesat, dan setiap perkara yang baik yang diadakan kemudian, tetapi tidak menyalahi satupun dari ajaran Islam yang ada adalah Bid’ah yang terpuji.

  2. Kelompok yang mendefinisikan Bid’ah dengan definisi yang lebih sempit. Kelompok ini berpendapat bahwa Bid’ah adalah seluruh hal baru yang berkaitan dengan ibadah, yang tidak dikenal di zaman Nabi, sahabat, dan salafus-shalih . Semua hal baru tersebut adalah Bid’ah yang dlalalah. Sebagaimana yang dikutip dari pendapatnya imam asy-Syathibi yang mengatakan bahwa Bid’ah adalah suatu metode atau model dalam agama yang dikreasikan yang menyerupai ibadah yang syar’i. Tujuan menempuh atau melakukannya adalah sebagaimana tujuan ibadah yang syar’i. Dari sini jelas, perkara-perkara yang berkaitan dengan dunia tidak termasuk Bid’ah secara syari’at, seperti adanya mobil, motor, radio, televisi, internet, dan lain-lain. Oleh karena itu kelompok ini menentang adanya pembagian Bid’ah menjadi dua, yaitu Bid’ah hasanah dan dlalalah. Karena telah jelas bahwa Bid’ah yang semacam itu adalah dlalalah atau sesat.

    K.H. Hasyim Asy’ari juga mendefinisikan Bid’ah dalam kitabnya, risalah ahlu al-sunnah wa al-jamaah, menurut beliau, Bid’ah adalah pembaruan-pembaruan perkara agama seakan-akan (pembaruan tersebut) adalah bagian dari agama, padahal sebenarnya bukan baik dari sisi bentuk maupun hakikatnya.

Latar Belakang Munculnya Bid’ah


Berawal dari hadis yang telah disebutkan di atas, istilah Bid’ah mulai muncul dan berkembang dalam masyarakat Islam. Bid’ah digunakan sebagai istilah untuk menghukumi kasus baru yang berkembang dalam masyarakat Islam. Dan masyarakat Islam pun mulai merespon keberadaan Bid’ah di tengah-tengah mereka dengan respon yang berbeda-beda.

Tidak diragukan lagi bahwa berpegang teguh dengan al-Kitab dan as- Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada Bid’ah dan kesesatan; dalam al-Qur’an Allah berfirman :

Artinya : “dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adlah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah Dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan- Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” (Al- An‟am: 153).

Rasulullah SAW telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadis yang diriwayatkan olehIbnu Mas‟ud Ra. Berkata Rasulullah SAW. Membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda:

“ini adalah jalan Allah”.

Kemudian beliau membuat garis-garis disebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda:

“dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak manusia kepada jalan tersebut”

kemudian beliau membaca ayat :

“dan bahwa (yang kami perintahkan ) ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikiti jalan-jalan (yang lain)”, (HR. Imam Ahmad, Nasa‟i, ad-Darimi dan Ibnu Hatim).

Barangsiapa yang berpaling dari al-Kitab dan as-Sunnah: maka akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan Bid’ah. Sehingga yang melatarbelakangi penyebab munculnya Bid’ah adalah bodoh terhadap hukum- hukum ad-din, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap pendapat orang–orang tertentu, menyerupai dan taqlid (Mengikuti suatu paham yang tidak tau dasarnya) terhadap orang-orang kafir.

1. Ketidaktahuan terhadap hukum-hukum ad-din

Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjelajahi atsar- atsar risalah islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana yang telah dijelaskan rasulullah SAW. dalam sabdanya :

“Barang siapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan “.(HR. Abu Daud, at-Tirmidzi).

Dan dalam sabda rasulullah saw juga :

“Sesungguhnya Allah Ta‟ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hambanya, akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada yang tersisa seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi dengan ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari).

Tidak akan ada yang bisa meluruskan Bid’ah kecuali ilmu dan para ulama‟: maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.

2. Mengikuti Hawa Nafsu

Barang siapa yang berpaling dari al-Kitab dan as-Sunnah pasti mengikuti hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT :

Artnya : “Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS.Al-Qashsash : 50).

Allah Ta‟ala berfirman :

Artinya : “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (al-Jatsiyat: 23)

Dan Bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti

3. Fanatisme Terhadap Pendapat Orang-orang Tertentu

Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq. Allah SWT berfirman : \

Artinya: "dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk” (al-Baqarah:170)

Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti al-kitab dan as-Sunnah serta membuang segala sesuatu yang menyelisihi keduanya (al-Kitab dan as-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak, dan nenek moyang.

4. Menyerupai orang-orang kafir

Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada Bid’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abi Waqid Al-Laitsy berkata :

“kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW. menuju Hunain dan kami baru saja masuk islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu berkata: ” Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath,

Lalu Rasulullah SAW. bersabda:

“Allahu Akbar ! sungguh ini adalah kebiasaan untuk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa AS. Artinya: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka Mempunyai beberapa illah (berhala) ”. (al-A‟raf:138) lalu beliau bersabda : ”Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu”. (HR. Turmudzi).

Di dalam hadis ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi SAW. Menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan- tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta‟ala. Hal ini yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan Bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar- gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan peringatan hari suka dan duka, Bid’ah terhadap jenazah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.

Penggolongan Bid’ah

Sebagian ulama memberikan beberapa Penggolongan dalam masalah Bid’ah . , tergantung dengan sudut pandang yang diambil. Adapun penggolongannya antara lain :

1. Pembagian Bid’ah secara umum
Pembagian Bid’ah secara umum ini berdasarkan penggolongan yang dibuat oleh para ahli ushul dan ahli fiqh. Adapun penggolongannya antara lain :

  • Fi’liyah (melakukan suatu perbuatan).

  • Tarkiyah (meninggalkan suatu perbuatan) yaitu meninggalkan suatu tuntunan agama, baik wajib maupun sunnah dengan memandang bahwa meninggalkan itu, agama. Jika lantaran malas tidak disebut Bid’ah, hanya menyalahi perintah saja.

  • Amaliyah , yaitu Bid’ah-Bid’ah yang dikerjakan dengan anggota panca indra yang lima, baik luar maupun dalam, seperti mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan oleh nabi saw.

  • I’tiqodiyah , yaitu memegang suatu kepercayaan / I‟tikad yang berlawanan dengan yang diterima dari rasulullah saw dan para sahabatnya. Baik yang bersangkutan ataupun tidak.

  • Zamaniyah, yaitu melakukan ibadah di masa tertentu.

  • Makaniyah , yaitu melakukan suatu ibadah di tempat tertentu.

  • Haliyah, yaitu meletakkan suatu ibadah di masa tertentu atau di tempat tertentu atau dalam keadaan tertentu.

  • Haqiqiyah, yaitu suatu pekerjaan yang semata-mata Bid’ah tidak ada sedikit kaitannya dengan syara‟.

  • Idafiyah yaitu sesuatu Bid’ah yang terdapat padanya dua aspek, apabila ditinjau dari aspek pertama ia bukan Bid’ah, apabila ditinjau dari aspek kedua nyatalah ke bid’ah annya.

  • Kuliyyah , yaitu yang mendatangkan kecederaan yang umum.

  • Juz’iyah , yaitu merasakan sebagian pekerjaan saja

  • ‘Ibadiyah , yaitu yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah

  • ‘Adiyah , yaitu yang dikerjarkan bukan dengan maksud ibadah. Bid’ah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. yakni yang dijadikan ibadah dinamakan id‟ah „ibadiyah. Bid’ah yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadah dinamakan Bid’ah „adiyah.

2. Pembagian Bid’ah berdasarkan hukum

Al-Qarafi telah menjelaskan dengan penjelesan yang baik, dan dasar dari pendapatnya tersebut adalah pendapat Syaikhnya, Izzudin Ibnu Abdus Salam menggolongkan Bid’ah berdasarkan hukumnya ke dalam lima bagian, antara lain :

  • Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang diwajibkan. Contohnya belajar ilmu nahwu, memperindah cetakan al-Qur‟an dan hadis, belajar ilmu kedokteran, biologi, strategi perang, kepemimpinan, dan ilmu-ilmu serta sarana yang sifatnya mendukung pada perkembangan dan kejayaan islam.

  • Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang diharamkan. Contohnya mengikuti faham-faham sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, atau Mujassimah, serta berbuat sirik kepada Allah. Bid’ah ini disebut Bid’ah d}alalah (sesat).

  • Bid’ah Mandhubah, yakni Bid’ah yang diperbolehkan jika dipandang baik untuk kemashlahatan umat meski tidak terdapat pada masa Rasulullah. Contohnya membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, atau penelitian-penelitian ilmiah, penemuan-penemuan modern yang sifatnya memperjelas kebenaran isi ayat al-Qur‟an.

  • Bid’ah Makruhah. Yakni Bid’ah yang dimakruhkan. Contohnya memperindah atau menghiasi masjid, tempat beribadah, mushaf yang berlebihan.

  • Bid’ah Mubahah, yakni Bid’ah yang dimubahkan. Contohnya berjabat tangan setelah shalat shubuh dan isya, membuat hidangan (makanan dan minuman), serta bersolek untuk ibadah.

Referensi :
  • Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Lebanon: Dar al Kitab al-Ilmiyah, 2009)
  • Firanda Andirja Abidin, Bid’ah Hasanah: Mengenal Bid’ah dan Sunnah (Jakarta: Naasirussunah, 2013).
  • Hasyim Asy‟ari, Risalah Ahlu al-Sunnah Wa Al-jama’ah (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
  • Ahmad, Musnad Ahmad, Bab: Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadis , Kitab: Musnad Abdullah bin Mas‟aud Ra. No. Hadis 4.205 dalam Ensiklopedi Kitab Hadis 9 Imam.
  • Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Bab: Mengikuti Sunnah Menyingkiri Bid’ah , Hadis No. 2.600, dalam Ensiklopedi Kitab Hadis 9 Imam.
  • Al-Bukhari, Shohih Bukhori, bab: Cara dicabutnya ilmu , Hadis No.98, dalam Ensiklopedi kitab 9 Imam.
  • Hammud bin Abdullah al-Mathar, Ensiklopedia Bid’ah
  • T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kriteria Sunnah dan Bid’ah , cet, KE II, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999)

Dalam lisanul arab, Bid‟ah berasal dari akar kata bada’a , yang memiliki berbagai derivasi (berbagai macam bentuknya). Diantaranya bid’un dengan kata kerja idtada’a artinya, membuat dan memulai sesuatu. Sedangkan al-bid’atu artinya sesuatu yang baru ( al-Hadats ),

Dalam pengertian di atas, bahwa yang disebut bid‟ah adalah segala sesuatu yang tidak didahului contoh-contoh. Artinya dalam pengertian bahasa ini, bid’ah tidak diberikan batasan-batasan. Segala sesuatu, baik itu berkaitan dengan perkara agama maupun tidak, maka sesuatu tersebut masuk dalam perkara bid’ah .

Namun dalam perngertian di atas, pembatasan diberikan pada hal-hal yang tidak didahului dengan contoh, artinya perkara tersebut dapat dikategorikan bid‟ah manakala sesuatu tersebut tidak ada yang mendahuluiya atau tidak ada yang menyerupainya atau dengan kata lain disebut dengan sesuatu yang baru.

Sedangkan secara syari‟at, masyarakat berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah bid‟ah. Perbedaan pendapat tersebut sebenarnya telah terjadi di kalangan ulama salaf. Namun, secara umum sekarang ini ditemukan dua pendapat yang saling bertentangan dalam mendefinisikan istilah bid‟ah menurut syari‟at.

Pertama adalah kelompok yang mendefinisikan bid‟ah dengan definisi yang lebih luas. Menurut kelompok ini bid‟ah adalah segala sesuatu yang baru dalam urusan agama. Agama menjadi semacam garis pembatas, yang membatasi wilayah operasi konsep bid‟ah. Sebaliknya, jika sesuatu yang baru terjadi di luar urusan agama, maka konsep bid‟ah tidaklah berlaku.

Tetapi muncul pertanyaan, adakah satu aspek dari kehidupan manusia yang tidak disentuh oleh agama? Bukankah agama mengurus kehidupan manusia secara terperinci? Dengan kata lain seluruh kehidupan manusia secara otomatis tidak ada satu aspek kehidupanpun yang tidak terlepas dari urusan agama. Jadi konsep bid‟ah berlaku di seluruh aspek dan lini kehidupan manusia. Oleh karena itu, kelompok ini dalam memberikan definisi bid‟ah secara syari‟at, membagi bid‟ah menjadi dua yaitu bid‟ah hasanah dan bid‟ah dalalah .

Selain itu kelompok ini juga mengutip pendapat dari imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi al-Qur‟an, sunnah Rasulullah, ijma‟, dan atsar adalah bid‟ah yang sesat, dan setiap perkara yang baik yang diadakan kemudian, tetapi tidak menyalahi satupun dari ajaran Islam yang ada adalah bid‟ah yang terpuji.

Kedua , adalah kelompok yang mendefinisikan bid‟ah dengan definisi yang lebih sempit. Kelompok ini berpendapat bahwa bid‟ah adalah seluruh hal baru yang berkaitan dengan ibadah, yang tidak dikenal di zaman Nabi, sahabat, dan salafus-shalih . Semua hal baru tersebut adalah bid‟ah yang dlalalah.

Sebagaimana yang dikutip dari pendapatnya imam asy-Syathibi yang mengatakan bahwa bid‟ah adalah suatu metode atau model dalam agama yang dikreasikan yang menyerupai ibadah yang syar‟i. Tujuan menempuh atau melakukannya adalah sebagaimana tujuan ibadah yang syar‟i.

Dari sini jelas, perkara-perkara yang berkaitan dengan dunia tidak termasuk bid‟ah secara syari‟at, seperti adanya mobil, motor, radio, televisi, internet, dan lain-lain. Oleh karena itu kelompok ini menentang adanya pembagian bid‟ah menjadi dua, yaitu bid‟ah hasanah dan dlalalah. Karena telah jelas bahwa bid‟ah yang semacam itu adalah dlalalah atau sesat.

K.H. Hasyim Asy‟ari juga mendefinisikan bid‟ah dalam kitabnya, risalah ahlu al-sunnah wa al-jamaah, menurut beliau, Bid‟ah adalah pembaruan-pembaruan perkara agama seakan-akan (pembaruan tersebut) adalah bagian dari agama, padahal sebenarnya bukan baik dari sisi bentuk maupun hakikatnya.

Latar belakang munculnya Bid’ah

  1. Ketidaktahuan terhadap hukum-hukum ad-din
    Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjelajahi atsar- atsar risalah islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan,
  2. Mengikuti Hawa Nafsu
    Barang siapa yang berpaling dari al-Kitab dan as-Sunnah pasti mengikuti hawa nafsunya.
  3. Fanatisme Terhadap Pendapat Orang-orang Tertentu
    Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.
  4. Menyerupai orang-orang kafir
    Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid‟ah.

Penggolongan Bid’ah

Sebagian ulama memberikan beberapa Penggolongan dalam masalah bid‟ah . , tergantung dengan sudut pandang yang diambil. Adapun penggolongannya antara lain:

1. Pembagian bid‟ah secara umum

Pembagian bid‟ah secara umum ini berdasarkan penggolongan yang dibuat oleh para ahli ushul dan ahli fiqh. Adapun penggolongannya antara lain :

  1. Fi’liyah (melakukan suatu perbuatan).

  2. Tarkiyah (meninggalkan suatu perbuatan) yaitu meninggalkan suatu tuntunan agama, baik wajib maupun sunnah dengan memandang bahwa meninggalkan itu, agama. Jika lantaran malas tidak disebut bid‟ah, hanya menyalahi perintah saja.

  3. Amaliyah , yaitu bid‟ah-bid‟ah yang dikerjakan dengan anggota panca indra yang lima, baik luar maupun dalam, seperti mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan oleh nabi saw.

  4. I’tiqodiyah , yaitu memegang suatu kepercayaan / I‟tikad yang berlawanan dengan yang diterima dari rasulullah saw dan para sahabatnya. Baik yang bersangkutan ataupun tidak.

  5. Zamaniyah, yaitu melakukan ibadah di masa tertentu.

  6. Makaniyah , yaitu melakukan suatu ibadah di tempat tertentu.

  7. Haliyah , yaitu meletakkan suatu ibadah di masa tertentu atau di tempat tertentu atau dalam keadaan tertentu.

  8. Haqiqiyah , yaitu suatu pekerjaan yang semata-mata bid‟ah tidak ada sedikit kaitannya dengan syara‟.

  9. Idafiyah yaitu sesuatu bid‟ah yang terdapat padanya dua aspek, apabila ditinjau dari aspek pertama ia bukan bid‟ah, apabila ditinjau dari aspek kedua nyatalah ke bid’ah annya.

  10. Kuliyyah , yaitu yang mendatangkan kecederaan yang umum.

  11. Juz’iyah , yaitu merasakan sebagian pekerjaan saja

  12. ‘Ibadiyah , yaitu yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah

  13. ‘Adiyah , yaitu yang dikerjarkan bukan dengan maksud ibadah. Bid‟ah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. yakni yang dijadikan ibadah dinamakan id‟ah „ibadiyah. Bid‟ah yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadah dinamakan bid‟ah „adiyah.

2. Pembagian bid‟ah berdasarkan hukum

Al-Qarafi telah menjelaskan dengan penjelesan yang baik, dan dasar dari pendapatnya tersebut adalah pendapat Syaikhnya, Izzudin Ibnu Abdus Salam menggolongkan bid‟ah berdasarkan hukumnya ke dalam lima bagian, antara lain:

  1. Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang diwajibkan. Contohnya belajar ilmu nahwu, memperindah cetakan al-Qur‟an dan hadis, belajar ilmu kedokteran, biologi, strategi perang, kepemimpinan, dan ilmu-ilmu serta sarana yang sifatnya mendukung pada perkembangan dan kejayaan islam.

  2. Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang diharamkan. Contohnya mengikuti faham-faham sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, atau Mujassimah, serta berbuat sirik kepada Allah. Bid‟ah ini disebut bid‟ah dalalah (sesat).

  3. Bid’ah Mandhubah, yakni bid‟ah yang diperbolehkan jika dipandang baik untuk kemashlahatan umat meski tidak terdapat pada masa Rasulullah. Contohnya membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, atau penelitian-penelitian ilmiah, penemuan-penemuan modern yang sifatnya memperjelas kebenaran isi ayat al-Qur‟an.

  4. Bid’ah Makruhah. Yakni bid‟ah yang dimakruhkan. Contohnya memperindah atau menghiasi masjid, tempat beribadah, mushaf yang berlebihan.

  5. Bid’ah Mubahah, yakni bid‟ah yang dimubahkan. Contohnya berjabat tangan setelah shalat shubuh dan isya, membuat hidangan (makanan dan minuman), serta bersolek untuk ibadah.