Salah satu isu yang semakin gencar diperbincangkan akhir-akhir ini adalah isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau dengan istilah lain isu kesetaraan gender. Pemaknaan terhadap istilah kesetaraan gender ini khususnya mengenai masalah ketimpangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan perempuan masih memiliki kesempatan terbatas dibandingkan dengan laki-laki untuk berperan aktif dalam berbagai program dan aktivitas lainnya di masyarakat, seperti kegiatan ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, organisasi dalam kelembagaan, dan sebagainya. Keterbatasan ini berasal dari berbagai nilai dan norma masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dibandingkan gerak laki-laki.
Menurut Rianingsih Djohani (1996:7) bahwa yang yang dimaksud dengan gender adalah pembagian peran, kedudukan dalam tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Gender berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat tersebut. Gender lebih menekankan pada pembagian peran laki-laki dan perempuan yang diatur oleh manusia (masyarakat). Gender berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, bahkan dalam suatu masyarakat pun senantiasa mengalami perubahan.
Menurut Rahminawati (2001), Bias gender terjadi apabila salah satu pihak dirugikan, sehingga mengalami ketidakadilan. Yang dimaksud ketidakadilan disini adalah apabila salah satu jenis gender lebih baik keadaan, posisi, dan kedudukannya. Bias gender tersebut bisa saja terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi khususnya di Indonesia, bias gender ini lebih dirasakan oleh kaum perempuan. Sebenarnya ketimpangan gender yang merugikan perempuan itu, secara tidak langsung dapat merugikan masyarakat secara menyeluruh. Apabila perempuan diposisikan tertinggal, maka perempuan tidak dapat menjadi mitra sejajar laki-laki, sehingga hubungan kedua pihak akan menjadi timpang. Akibatnya, terjadilah ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkungan kehidupan berkeluarga maupun dalam lingkungan kehidupan masyarakat secara umum. Lebih jauh lagi dengan semakin tingginya tuntutan, kesadaran, dan kebutuhan perempuan terhadap pengembangan diri, timbullah konflik, karena perempuan membutuhkan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Munculnya bias gender ini (lebih banyak menimpa perempuan) diakibatkan oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang membatasi gerak langkah perempuan serta pemberian tugas dan peran yang dianggap kurang penting dibandingkan jenis gender lainnya (laki-laki). Sehingga sdalam pengambilan keputusan, kepemimpinan, kedudukan yang tinggi, dsb. sedikit sekali diberikan kepada perempuan. Munculnya tuntutan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan perlu direspon secara proporsional baik oleh laki-laki maupun perempuan. Jika tidak maka tetap saja isu kesetaraan ini hanya menjadi suatu wacana yang tak berujung. Oleh karena itu sikap yang perlu dilakukan sebagai upaya merespon isu kesetaraan ini adalah dengan memperjuangkan keseimbangan gender (menghapus ketimpangan gender), menguntungkan kedua gender, memberikan kesempatan yang sama pada kedua gender, serta menegakkan keadilan bagi kedua gender.
Apa yang dimaksud dengan Bias Gender?
Sumber
Rahmninawati N. 2001. Isu kesetaraan laki-laki dan perempuan (bias gender). Mimbar (3): 272-283.
Rianingsih Djohani, Dimensi Gender dalam Pengembangan Program Secara Partisipatif, Driya Media Bandung, 1996.