Apa yang Dimaksud dengan Batas Waktu Antara yang Lama dan yang Baru dalam Perkembagan Sastra?


Batas waktu antara perpustakaan lama dan yang baru ialah permulaan abad yang ke XX ini.

Apa yang dimaksud dengan batas waktu antara yang lama dan yang baru?

Oleh Prof. Dr. C. Hooykaas mengatakan bahwa perpustakaan baru dimulainya dengan kitab-kitab yang dikarang oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsji ±100 tahun yang lalu. Betul Abdullah sudah banyak dipengaruhi oleh murid-muridnya bangsa Inggris, seperti Raffles dan Perguhar dll. Dalam kitab-kitabnya, ia telah menuliskan perasaannya sendiri dan sudah berani pula menyiasati adat kebiasaan lama, tetapi bahasanya masih mempunyai corak bahasa perpustakaan lama; ia masih menggunakan kata-kata seperti: maka, syahdan, alkian, alkisah, arkian, kalakian, dsb.

Abdullah sebagai seorang peranakan Keling, menyiasati adat kebiasaan lama itu lebih mudah daripada orang Indonesia sejati yang lebih terikat oleh suasana dan keadaan sekelilingnya.

Yang betul-betul mempunyai cara baru dalam pemakaian bahasa ialah majalah Bintang Hindia yang mulai diterbitkan dalam tahun 1903, suatu majalah dalam bahasa Indonesia yang betul-betul telah bersifat modern, dihiasi dengan potret dan bahasanya telah mengutamakan bahasa yang hidup sehari-hari. Kalimatnya pendek-pendek, tetapi hidup dan tepat lukisannya.

Yang menjadi kepala pengarang majalah itu ialah Dr. A. Rivai (alm) yang waktu itu menjadi mahasiswa di Amsterdam. Perbedaan yang dilakukan oleh Dr. A. Rivai demikian besarnya, sehingga majalahnya itu yang dikirimkan oleh pemerintah Kolonial Belanda ke sekolah-sekolah lanjutan dengan cuma-cuma, pada beberapa sekolah, terutama sekolah guru dilarang oleh guru-guru membaca dan menerimanya, dikatakan merusak bahasa yang lazim.

Siapakah Abdullah bin Abdul Kadir Munsji? Abdullah ialah pengarang Melayu yang mula-mula keluar dari kebiasaan lama, yang melanggar dan mematahkan tradisi yang sudah turun-temurun, yang memalingkan penanya dari menceritakan kisah yang ghaib-ghaib atau dari alam khayal ke dunia kenyataan.

Prof. Dr. C. Hooykaas memasukkan Abdullah dalam golongan perintis (permulaan) pengarang baru, karena pandangannya dalam karang-mengarang sudah lain sekali dari pengarang-pengarang Melayu sebelumnya. Sezaman Abdullah ada dua orang pengarang Melayu bersaudara Radja Ali Hadji dan Siti Saleha tidak dimasukkan orang ke dalam golongan pengarang kesusastraan baru, karena kedua pengarang itu tidak membawa perubahan apa-apa dalam lapangan sastra. Yang pertama terkenal karena Gurindam Dua Belasnya dan yang kedua karena Sjair Abdul Muluknya. Keduanya itu masih tetap berpegang pada bentuk puisi lama.

Abdullah pun dalam puisi masih tetap menggunakan bentuk lama, yaitu sjair dan pantun. Oleh karena itu ada yang mengatakan kaki Abdullah sebelah telah menginjak zaman baru dan yang sebelah lagi masih tetap terikat pada zaman lama. Abdullah banyak bergaul dengan orang-orang Barat, khususnya dengan Raffles; ia pun berkenalan dengan Milne dan Thomson dari kalangan penyiar agama Kristen. Kepada Milne, Abdullah belajar bahasa Inggris dan sebaliknya Milne belajar bahasa Melayu kepadanya.

Abdullah banyak pula membantu penyiar-penyiar agama Kristen itu memperbaiki terjemahan kitab Injil; oleh anak negeri ia digelari Abdullah Padri.

Dalam diri Abdullah mengalir dua percikan darah kebudayaan di samping darah Melayu. Dari pihak bapak diterimanya percikan darah Arab, bapak dari kakeknya seorang Arab yang berasal dari Yaman yang bernama Sjech Abdulkadir, seorang guru agama dan ahli bahasa. Mula-mula ia menetap di Nagore, tanah Keling, dan kawin dengan seorang perempuan Keling.

Kakek Abdullah akhirnya menuju lebih ke Timur dan menetap di Malaka dan kawin dengan anak seorang ulama yang terkenal pada saat itu. Dari perkawinan itulah lahir bapak Abdullah yang juga bernama Abdulkadir, yang juga sebagai guru agama dan guru bahasa. Abdulkadir, pada perkawinannya yang kedua kali (thn. 1785) beroleh anak lima orang laki-laki; Abdullah yang bungsu. Keempat saudaranya meninggal semasa kecil.

Abdullah dilahirkan kira-kira dalam tahun 1796; dari kecil ia penyakitan. Mula-mula ia diobati oleh seorang tabib bangsa Keling, kemudian oleh dukun Melayu; ia tetap penyakitan. Ia pernah dijual kepada beberapa orang ibu dengan pengharapan, ia dipanjangkan Tuhan umurnya. Sejak umur tujuh tahun, Abdullah suka sekali bermain-main dengan kalam dan tinta di rumah.

Dalam otobiografinya, Hikayat Abdullah, Abdullah menceritakan dirinya bahwa setelah ia agak besar ia disekolahkan di bawah asuhan neneknya, yang mengepalai sekolah sendiri. Bapaknya sangat keras didikannya, sebab itu ia amat takut berhadapan dengan bapaknya. Sampai Abdullah menginjak dewasa tidak pernah bapaknya memberi hati atau memperlihatkan kasih sayang kepadanya.

Pada hari tuanya, Abdullah berhasrat mengunjungi Tanah Suci, Mekah, dan menyaksikan keadaan tanah Arab dengan matanya sendiri, tetapi malang ia meninggal di Djeddah dalam tahun 1854 kira-kira dalam umur enam puluh tahun. Dalam perjalannya ke Djeddah itu ditulisnya: Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Djeddah.

Buah tangan Abdullah:

  1. Hikayat Abdullah (otobiografinya)
  2. Kisah Perjalanan ke Malaka Utara
  3. Perjalanan Abdullah ke Kelantan dan Tranggano
  4. Pancatanderan (salinan)
  5. Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Djeddah
  6. Naskah Kitab Kamus Bahasa Melayu
  7. Syair Singapura Dimakan Api (puisi)