Apa Yang Dimaksud Dengan Asbabun Nuzul?

Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, “Demi Allah, tidak ada sebuah ayat pun yang turun, kecuali saya mengetahuinya mengenai apa, siapa, dan di mana ayat itu diturunkan.”

Kata asbabun nuzul identik dengan mengenai apa, siapa, dan di mana ayat Al-Quran diturunkan. Sebenarnya apa pengertian dari asabun nuzul itu sendiri ?

Menurut bahasa Asbabun nuzul berasal dari dua kata yaitu asbabun dan nuzul. Asbabun artinya sebab atau karena, sedangkan nuzul artinya turun. Jadi asbabun nuzul adalah sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Adapun menurut istilah syara’ Asbabun nuzul adalah Suatu hal yang karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan suatu hukum pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal yaitu:

  1. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa tersebut, seperti kisah turunnya surat Al-Lahab.

  2. Apabila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya. seperti ketika khaulah binti sa’labah dikenakan zihar oleh suaminya Aus bin tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hukumnya, maka turunlah surat Al-Mujadalah ayat 3.

Namun tidak semua ayat Al-Qur’an diturunkan karena adanya suatu peristiwa atau karena suatu pertanyaan. Ada diantara ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab. Seperti kewajiban muslim, mengenai akidah dan syari’at Allah SWT dalam kehidupan umat manusia.

Manfaat/Fungsi Mengetahui Asbabun Nuzul Yaitu:

  1. Dapat membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, dan menghilangkan keraguan tentangnya.

  2. Dapat mengetahui hikmah rahasia yang terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam suatu ayat Al-Qur’an.

  3. Asbabun Nuzul sangat bermanfaat bagi orang mukmin dan yang bukan mukmin. Adapun bagi orang mukmin akan semakin kuat keimanannya dan jelas baginya hikmah disyari’atkannya suatu hukum oleh Allah SWT. Sedangkan bagi yang bukan mukmin dapat mengetahui lewat Asbabun Nuzul ini, bahwa syari’at islam itu sesungguhnya mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan bagi pemeluknya.

  4. Menentukan hukum dengan sebab.

  5. Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan apabila terdapat keragu-raguan. karena jika kita tidak mengetahui Asbabun Nuzul bisa jadi kita mentakhsiskan ayat yang seharusnya ‘amm atau sebaliknya.

  6. Dapat memudahkan dalam memahami Al-Qur’an serta menguatkan ingatan terhadap hukum dari suatu ayat, dengan karena mengetahui sebab dan akibatnya, kapan dan kepada siapa ayat tersebut diturunkan, dan sebagainya.

Macam-Macam Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul ada 2 macam yaitu

  1. Dalam bentuk peristiwa

    Asbabun Nuzul dalam bentuk peristiwa ada 3 yaitu:

    • Peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan antara segolongan dari suku Aus dan segolongan dari suku Khasraj. Peristiwa itu timbul dari intik-intik yang ditiupkan orang-orang yahudi sehingga mereka bertetiak-teriak “senjata-senjata”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an surah Ali-imran ayat 100:

      Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”.(QS.Ali’Imran: 100)

    • Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti: peristiwa seseorang yang mengimami sholat sedang dalam keadaan mabuk sehingga salah membaca surah Al-kafirun. dari peristiwa tersebut maka menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 43:

      Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghampiri sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” (QS.An-nisa’: 43)

    • Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian Umar Bin Khattab dengan ketentuan ayat Al-Qur’an. Seperti beberapa harapan umar bin khatab yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian turun ayat yang dikandungnya sesuai dengan harapan-harapan Umar tersebut. Seperti yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Umar berkata :" Aku sepakat dengan Tuhanku dalam 3 hal: Aku katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kalau kita jadikan makam Ibrahim sebagai tempat sholat". Maka turunlah ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 125:

      Artinya: “Dan jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat sholat”.(QS.Al-Baqarah:125)

  2. Dalam Bentuk Pertanyaan

    Asbabun Nuzul dalam bentuk pertanyaan ada 3 yaitu:

    • Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah berlalu, seperti pertanyaan tentang Zulkarnain, maka turunlah ayat Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat 83:

      Artinya: “Mereka akan bertanya kepadamu Muhammad tentang Zulkarnain, Katakanlah :"Aku akan bacakan cerita tentangnya”.(QS. Al-Kahfi : 83)

    • Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada saat itu, seperti pertanyaan tentang ruh maka turunlah ayat al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 85:

      Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, Katakanlah "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Isra’:85)

    • Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti pertanyaan tentang hari kiamat maka turunlah ayat Al-Qur’an surah An-Nazi’aat ayat 42:

      Artinya: “Mereka bertanya tentang hari kiamat, bila terjadinya…” (QS. An-Nazi’at:42).

Asbāb al-nuzūl adalah konsep, teori atau berita tentang adanya “sebab-sebab turun”-nya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi saw, baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat atau satu surat. Konsep ini muncul karena dalam kenyataan, seperti diungkapkan para ahli biografi Nabi, sejarah al-Qur’an maupun sejarah Islam, diketahui dengan cukup pasti adanya situasi atau konteks tertentu diwahyukan suatu firman. Beberapa diantaranya bahkan dapat langsung disimpulkan dari lafal teks firman bersangkutan.

Seperti, misalnya, lafal permulaan ayat pertama surat al-Anfāl menunjukkan dengan jelas bahwa firman itu diturunkan kepada Nabi untuk memberi petunjuk kepada beliau mengenai perkara yang ditanyakan orang tentang bagaimana membagi harta rampasan perang. Atau seperti surat al-Masad (Tabbat), adalah jelas turun dalam kaitannya dengan pengalaman Nabi yang menyangkut seorang tokoh kafir Quraisy, paman Nabi sendiri, yang bernama atau dipanggil Abu Lahab, beserta istrinya. Demikian juga, dari lafal dan konteksnya masing-masing dapat diketahui dengan jelas sebab-sebab turunnya surat ‘Abasa al-Tahim, ayat tentang perubahan bentuk rembulan (al-ahillah) dalam surat al-Baqarah/2:189, dan lain sebagainya.

Manfaat Pengetahuan Asbāb al-Nuzūl

Di antara hal-hal yang dapat dengan jelas menjadi petunjuk tentang sebab turunnya sebuah firman ialah jika dimulai dengan ungkapan dialogis, seperti “Mereka bertanya kepadamu (Nabi)”, “Katakan kepada mereka”, dan lain-lain. Juga jika di situ disebutkan nama pribadi orang seperti, sudah dikemukakan di atas, nama Abu Lahab, dan juga Zaid (ibn Haritsah).
Pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah firman, dan memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikan sebuah firman itu dalam situasi yang berbeda.

Dengan mengutip berbagai sumber otoritas dalam bidang ini, Ahmad von Denffer memberi rincian arti penting bagi pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl, khususnya mengenai ayat-ayat hukum, sebagai berikut:

  1. Makna dan implikasi langsung dan segera terpahami (mukhābir, immediate) dari sebuah firman, sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dari konteks aslinya.

  2. Alasan mula pertama yang mendasari suatu kepentingan hukum.

  3. Maksaud asal sebuah ayat.

  4. Menentukan apakah makna sebuah ayat mengandung terapan yang bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau demikian, dalam keadaan bagaimana itu dapat atau harus ditetapkan.

  5. Suatu historis pada zaman Nabi dan perkembangan komunitas muslim.

Sebagai suatu contoh ialah firman Allah,

“Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Meliputi dan Mahatahu,” (Q 2:115).

Firman ini turun kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka bersembahyang dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa ke mana pun seseorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu, sehingga Tuhan pun “ada di mana-mana, timur ataupun barat.” Tetapi karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu di atas, tidaklah berarti dalam sembahyang seorang muslim dapat menghadap ke mana pun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di Makkah. Tetapi ia dibenarkan menghadap mana saja dalam shalat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.

Sumber Berita Asbāb al-Nuzūl

Sumber pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl diperoleh dari penu- turan para sahabat Nabi. Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan Kerasulan Beliau, yaitu berita-berita hadis. Karena itu bersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahīh dan dla‘īf, serta otentik dan palsunya. Semua ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik hadis (ilmu tajrīh dan ta‘dīl) para ahli. Dan seperti halnya persoalan hadis pada umunya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka- ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis.

Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman yang dikutip di atas. Berdasarkan penuturan Jabil ibn Abdullah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi lain tentang sebab turunnya firman tersebut, sehingga implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda. Pertama, berdasarkan penuturan Abdullah ibn Umar, seseorang boleh melakukan shalat sunnah ke mana pun di atas kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap ke mana pun dalam keadaan darurat, apalagi sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunnah, tidaklah menjadi persoalan.

Sebab yang penting adalah nilai shalat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertakwa kepada-Nya. Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid al-Haram di Makkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut sebenarnya nilai shalat itu. Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia.

Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum Muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan. Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar dan jauh di antara seluruh umat Islam di dunia dalam hal shalat dan peribadatan lain. (Dalam agama lain, perbedaan sangat terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte).

Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu demikian pentingnya, namun berdasarkan firman Allah yang menegaskan bahwa ke mana pun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba-mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Makkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna. Meski- pun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang.

Seterusnya, pandangan lain berdasarkan penuturan Abdullah ibn Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan shalat Jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim. Najasyi adalah Raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum Muslim, dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penyiksaan kaum musrik Makkah. Perlakuan yang amat simpatik kepada kaum Muslim dan sikapnya yang penuh pengertian kepada ajaran Islam yang menyebabkan turunnya firman Allah yang lain, yang menegaskan bahwa sedekat-dekatnya umat manusia dalam rasa cintanya kepada kaum Muslim ialah

“mereka yang berkata, “Kami adalah orang-orang Nasrani,’” (Q 5:82).

Dan Nabi dalam memerintahkan sahabat beliau untuk melakukan shalat jenazah bagi Raja Najasyi menggambarkan raja Habasyah itu sebagai “saudara” kaum beriman.
Dari balik pertanyaan sementara sahabat di atas itu dapat diketahui dengan jelas bahwa sekalipun Najasyi adalah seorang Kristen, Nabi memerintahkan mereka berdoa baginya, mengingat jasa-jasanya yang besar itu. Dan firman Allah yang terkait itu, menurut versi penuturan asbāb al-nuzūl ini, menegaskan bahwa masalah ke mana pun orang menghadap dalam sembahyang bukanlah perkara penting. Yang penting ialah sikap batin yang ada dalam dada. Sebab, seperti difirmankan di tempat lain, setiap kelompok manusia mempunyai arah (wijhah) ke mana mereka menghadap atau berorientasi. Dan umat manusia dalam orientasi yang berbeda-beda itu hendaknya berlomba menuju kepada berbagai kebaikan, tanpa terlalu banyak mempersoalkan perbedaan antara mereka. Lengkapnya firman Allah itu, terjemahnya, kurang lebih adalah demikian:

“Dan bagi setiap (kelompok manusia) ada arah (wijhah) yang kepadanya kelompok itu menghadap. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian untuk berbagai kebaikan. Di (kelompok) mana pun kamu berada, Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” (Q 2:148).

Jadi firman Allah tentang “timur dan barat” tersebut di atas mempunyai kemungkinan implikasi dan aplikasi yang luas.

Versi ketiga tentang sebab turunnya firman itu menyangkut kaum Yahudi Madinah. Menurut penuturan Ibn Abi ftalhah, ketika Nabi dengan izin Allah mengubah kiblat sembahyang dari arah Yerusalem menjadi ke arah Makkah, kaum Yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama serupa itu?!

Maka firman Allah tersebut dimaksudkan untuk menampik ejekan kaum Yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap dalam sembahyang bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan persoalan nilai keagamaan yang lebih mendalam seperti keteguhan dan konsistensi (istiqāmah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan. Sebab akhirnya semua penjuru angin, seperti barat dan timur, adalah milik Allah semata, tanpa kelebihan nilai salah satu yang lain.

Berkenaan dengan masalah itu bahkan turun firman yang me- negaskan bahwa kebaikan tidaklah diperoleh hanya menghadapkan muka ke arah timur ataupun barat, melainkan hal-hal yang lebih sejati seperti iman kepada Allah yang selalu hadir (omnipresent) dalam hidup manusia sehari-hari, percaya kepada adanya pertanggungjawaban pribadi mutlak di Hari Kemudian (Akhirat). Dan berbuat kepada sesama manusia dan makhluk untuk dibawa ke Hadirat Tuhan di Akhirat nanti. Lengkapnya, firman berkenaan dengan masalah kiblat ini, terjemahnya adalah demikian:

“Bukanlah kebaikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat. Tetapi kebaikan ialah jika orang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab Suci dan para Nabi; dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, yatim piatu, orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, para peminta-minta, guna membebaskan budak; juga jika orang menegakkan sembahyang dan mengeluarkan zakat; serta mereka yang menepati janji jika mereka berjanji, dan tabah dalam menghadapi penderitaan dan kesusahan, serta dalam masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa,” (Q 2:177).

Para ulama telah menuangkan masalah asbāb al-nuzūl ini dalam berbagai karya ilmiah yang kini menjadi rujukan para ahli.

Implikasi Asbāb al-Nuzūl

Salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama, khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum, ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu. Para ahli fiqih sepakat bahwa dalam hukum berubah menurut perubahan zaman dan tempat. Kaidah mereka mengatakan, “taghayyur al-ahkām bi-taghayyur al-zamān wa al-makān” (perubahan hukum oleh perubahan zaman dan tempat). Tetapi mereka berselisih tentang batas terjauh dibenarkannya perubahan itu.

Asbāb al-nuzūl menunjukkan banyaknya kasus suatu nilai ajaran atau hukum kepada Nabi dalam kaitannya dengan peristiwa nyata tertentu yang menyangkut Nabi dan masyarakat Islam di zaman beliau. Telah dikemukakan bahwa adanya nama pribadi Zaid yang tersebutkan dalam al-Qur’an. Suatu peristiwa pribadi, berupa perceraian Zaid (“ibn Muhammad”) dan istrinya, Zainab, telah menjadi titik-tolak ditetapkannya suatu hukum Tuhan tentang pembatalan atau penghentian makna kehukuman (legal significance) praktik pengambilan anak angkat (tanpa memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang siapa ayah-ibu biologis anak tersebut).

Pembatalan ini dipertegas dengan contoh nyata, yaitu dinikahkannya Nabi oleh Allah dengan Zainab setelah bercerai dengan Zaid, bekas anak angkatnya. Kemudian Zaid pun tidak lagi menyandang nama “ibn Muhammad” tapi dikembalikan kepada nama aslinya, yaitu “ibn Haritsah”. Firman Allah yang menyangkut tentang Zaid dan Zainab itu demikian:

“Dan ingatlah tatkala engkau (Nabi) berkata kepada dia (Zaid) yang Allah telah karuniakan kebahagiaan dan engkau pun telah pula memberinya kebahagiaan, ‘Pertahankanlah istrimu (Zainab) dan bertakwalah kepada Allah’, namun engkau sendiri (Nabi) merasakan apa yang ada dalam dirimu yang Allah akan memperlihatkannya, dan engkau (Nabi) takut kepada sesama manusia padahal Allah lebih patut engkau takuti; maka setelah putus Zaid untuk bercerai dari dia (Zainab), agar tidak ada lagi halangan bagi kaum beriman untuk (kawin dengan bekas) istri anak-anak angkat mereka, jika mereka (anak-anak angkat) itu telah putus menceraikan istri-istri mereka. Dan perintah Allah haruslah terlaksana. Tidak sepatutnya bagi Nabi ada perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang sangat pasti. Mereka (yang telah lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalat (pesan-pesan suci) Allah; mereka takut kepada- Nya, dan tidak takut kepada seorang pun selain Allah. Cukuplah Allah sebagai penghitung. Muhammad bukanlah ayah seseorang (tanpa keterkaitan keorangtuaan biologis) di antara kamu, melainkan dia adalah Rasul Allah dan Penutup para Nabi. Allah Mahatahu akan segala sesuatu,” (Q 33:37-40).

Jadi firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan suatu peristiwa konkret yang menyangkut sepasang suami-istri. Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang “ditangani” langsung oleh Kitab Suci itu terdapat kaitan antara suatu nilai hukum kullī (universal), yaitu pembatalan makna legal praktik mengangkat anak, dengan sebuah kasus juz’ī (partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan Nabi dengan Zainab, bekas “menantu”-nya.

Masalah selanjutnya yang lebih esensial dari contoh di atas itu ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat ditarik dari dataran generalitas yang setinggi-tingginya. Dengan begitu nilai tersebut tidak lagi terikat oleh kekhususan peristiwa asalmulanya dan dapat diperlakukan pada kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan inilah makna universalitas suatu nilai). Para ahli hukum Islam telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka, “Pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal, tidak berdasarkan partikularitas penyebab” (al- ‘ibrat-u bi-‘umūm-i ’l-lafzh-i, lā bi-khushūsh-i ’l-sabab-i). Tetapi sebuah generalisasi hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu firman dapat ditangkap. Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya. Lalu, pada urutannya, tersangkut pula masalah tafsir, atau bahkan mungkin takwil (interprestasi metaforis) yang tidak jarang menimbulkan kontroversi. Sebab dalam melakukannya selalu ada kemungkinan dicapai suatu pandangan, atau tindakan, yang pada lahirnya seperti meninggalkan atau menyimpang dari ketentuan Kitab Suci.

Contoh klasik dari persoalan tersebut ialah tindakan Umar ibn al-Khaththab pada waktu menjabat sebagai khalifah. Komandan kaum beriman (Amīr al-Mu’minīn) itu tidak membenarkan seorang tokoh sahabat Nabi kawin dengan Ahli Kitab (Yahudi atau Kristen), padahal al-Qur’an jelas membolehkannya. Penyebutan tentang dibolehkannya lelaki Muslim kawin dengan wanita Kristen atau Yahudi dalam al-Qur’an ada dalam rangkaian dengan penyebutan tentang dihalalkannya makanan kaum Ahli Kitab itu bagi kaum beriman, sebagaimana makanan kaum beriman halal bagi mereka:

“Mereka bertanya kepada engkau (Nabi) tentang apa yang dihalalkannya untuk mereka. Jawablah, ‘Dihalalkannya bagi kamu apa saja yang baik; juga (dihalalkan bagi kamu binatang yang ditangkap) oleh binatang-binatang berburu yang kamu latih dengan kamu biasakan menangkap binatang buruan dan kamu ajari binatang-binatang itu dengan sesuatu (keterampilan) yang diajarkan Allah kepada kamu; karena itu makanlah apa yang ditangkap oleh binatang berburu itu untuk kamu, dan sebutlah nama Allah atasnya, serta bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahacepat dalam perhitungan. Pada hari ini dihalalkan pada kamu perkara yang baik-baik. Makanan mereka yang mendapatkan Kitab Suci (Ahli Kitab) adalah halal bagi kamu, dan makanan kamu halal bagi mereka. Dan (halal, yakni dibenarkan kawin, bagi kamu) para wanita merdeka dari kalangan wanita beriman, juga wanita merdeka dari kalangan mereka yang mendapat Kitab Suci sebelum kamu, jika kamu beri mereka mahar- mahar mereka, dan kamu nikahi mereka (secara sah), tanpa kamu menjadikan mereka objek seksual semata (zina), dan tanpa kamu memperlakukan mereka sebagai gundik. Barangsiapa menolak untuk beriman, maka sungguh sia-sialah amal perbuatannya, dan ia di akhirat akan tergolong orang-orang yang merugi,’” (Q 5:4-5).

Tapi Umar seperti dalam beberapa kasus lain, tidak berpegang kepada makna lahiriah bunyi lafal firman itu. Suatu ketika Umar menerima surat dari Hudzaifah ibn al-Yamman, yang isinya menceritakan bahwa ia telah kawin dengan seorang wanita Yahudi di Kota al-Mada’in. Ketika Hudzaifah meminta pendapat maka Umar, dalam surat jawabannya memberi peringatan keras, antara lain dengan mengatakan: “Kuharap engkau tidak akan melepas surat ini sampai dia (wanita Yahudi) itu engkau lepaskan. Sebab aku khawatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka mengutamakan para wanita ahl al-dzimmah (Ahli Kitab yang dilindungi) karena kecantikan mereka. Hal ini sudah cukup sebagai bencana bagi para wanita kaum Muslim.”

Menurut jalur penuturan lain, Umar menegaskan bahwa kaum lelaki Muslim kawin dengan wanita Ahli Kitab tidaklah terlarang atau haram. Ia hanya mengkhawatirkan terlantarnya wanita Muslimah. Disebabkan oleh meluasnya daerah kekuasaan politik kekhalifahan Islam, dan banyaknya bangsa-bangsa bukan Muslim yang menjadi rakyat kekhalifahan itu, maka kesempatan nikah dengan wanita Kristen dan Yahudi juga menjadi terbuka lebar.

Apabila kelak, setelah Persia dibebaskan (di zaman Umar sendiri) dan lembah Indus oleh Muhamad ibn Qasim (di zaman al-Walid ibn al-Malik), konsep tentang Ahli Kitab diperluas meliputi kaum Majusi dan Hindu- Buddha. Karena itu banyak ahli fiqih yang berpandangan bahwa konsep Ahli Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi atau Kristen saja, tetapi dapat diperluas juga kepada kaum Majusi atau Zoroastri (sudah sejak Umar), dan kepada kaum Hindu, Buddha, Konfusianis, Taois, Shinthois dan lain-lain. Sebab, seperti dikatakan oleh Abdul Hamid Hakim, seorang tokoh terkemuka pembaruan Islam di Sumatera Barat, asal-usul agama-agama Asia itu pun adalah paham Ketuhanan Yang Mahaesa atau Tauhid, dan agama-agama itu mempunyai Kitab Suci.

Maka apa yang dikhawatirkan khalifah sungguh-sungguh dapat menjadi kenyataan, yaitu terlantarnya kaum Muslimah sendiri jika kaum Muslim lelaki diizinkan dengan bebas menikah dengan wanita Ahli Kitab. Sebab waktu itu kaum Muslim itu hanya terbatas kepada minoritas kecil para penguasa politik dan militer dan hampir terdiri hanya dari bangsa Arab saja, dan belum banyak kalangan dari bangsa lain yang memeluk Islam, sekalipun berada di negara Islam. Meskipun ternyata larangan (sementara) Umar itu lambat laun ditinggalkan (dan bangsa Arab umumnya melakukan integrasi total dengan penduduk di mana mereka hidup sehingga lebur dengan bangsa setempat), namun kebijakan khalifah kedua itu menjadi preseden dalam yurisprudensi Islam tentang kemungkinan dilakukannya kebijakan khusus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Jadi ada timbangan sisa historis dan humanis dalam menetapkan suatu hukum.

Masalah Kepentingan Umum (al-Mashlahah al-‘Āmmah)

Maka berdasarkan tindakan Umar itu, para ahli hukum Islam lalu, seperti, misalnya, Muhamad ibn al-Husain, mengatakan “kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang perkara tersebut (lelaki Muslim kawin dengan wanita Ahli Kitab) sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya para wanita Muslim diutamakan, dan itulah juga pendapat Abu Hanifah.”

Kemudian Rektor Universitas al-Azhar, Syaikh Abd al-Fattah Husaini, mengatakan bahwa tindakan khalifah kedua itu menyalahi nash atau lafal Kitab Suci, juga menyalahi apa yang dilakukan sebagian para sahabat Nabi. Sebab, selain Hudzaifah, ada beberapa tokoh sahabat Nabi yang beristrikan wanita Ahli Kitab, seperti, misalnya, Utsman ibn Affan, khalifah ketiga, yang beristrikan wanita Kristen Arab, Na’ilah al-Kalbiyah, dan ftalhah ibn Ubaidillah yang beristrikan seorang wanita Yahudi dari Syam (Syiria).

Tetapi, kata Rektor al-Azhar lebih lanjut, Umar tidak melakukan larangan itu kecuali setelah melihat adanya hal yang kurang menguntungkan bagi masyarakat Islam. Dan Umar tidaklah mengatakan sebagai haram — hal mana tentu akan berarti menentang hukum Allah — melainkan hanya sekadar menjalankan suatu patokan yang sudah tetap di kalangan para ahli, bahwa pemerintah boleh melarang sementara sesuatu yang sebenarnya halal jika ada faktor yang merugikan masyarakat. Tetapi faktor ini lenyap, maka dengan sendirinya lenyap pula alasan melarangnya.

Karena itu ada yang menyatakan bahwa tindakan khalifah kedua itu adalah sejenis tindakan politik (tasharruf siyāsī), yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat. Kekhalifahan Umar adalah masa permulaan pembebasan negeri-negeri sekitar Arabia, khususnya Syiria, Mesir, dan Persia, yang dalam hal ini adalah jauh lebih kaya daripada Hijaz di Jazirah Arabia. Kekayaan yang melimpah-ruah secara tiba-tiba akibat banyaknya harta rampasan perang, termasuk juga wanita tawanan (yang menurut hukum perang di seluruh dunia pada waktu itu tawanan perang, lelaki maupun lebih-lebih lagi perempuan, adalah sepenuhnya berada di bawah kekuasaan dan menjadi “milik” perampasnya), membuat ibukota, Madinah, mengalami berbagai perubahan sosial yang besar, yang dapat menjadi sumber krisis. Maka Umar dengan berbagai kebijakannya adalah seorang penguasa yang berusaha mengurangi sesedikit mungkin efek kritis perubahan sosial itu.

Dan Umar tidak hanya menerapkan kebijakan politik melarang sementara perkawinan dengan wanita Ahli Kitab. Ia juga dicatat membuat deretan berbagai kebijaksanaan “kontroversial” seperti meniadakan hukum potong tangan bagi pencuri di masa sulit seperti paceklik; penghapusan perlakuan khusus pada para mu’allaf; larangan berkumpul untuk selamanya bagi wanita dengan lelaki yang tidak dikawininya pada saat menunggu (‘iddah), pengefektifan hukum talak tiga (talak ba’in yang dilarang rujuk) bagi orang yang menyatakan talak tiga kali kepada istrinya meskipun pernyataan itu diucapkan sekaligus dan tanpa renggang waktu; pembagian tanah-tanah pertanian di Syiria dan Irak kepada penduduk setempat (tidak kepada tentara Islam seperti sebagian besar sahabat Nabi berpendapat demikian); pembagian tingkat penerimaan “ransum” (semacam gaji tetap) bagi tentara Islam berdasarkan seberapa jauh ia banyak atau kurang berjasa dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi (padahal Abu Bakar, pendahulunya, menerapkan prinsip penyamarataan antara semuanya).

Semua tindakan tersebut tidaklah dilakukan khalifah menurut kehendak hatinya sendiri. Menurut Abd al-Fattah, khalifah dalam menetapkan kebijakan hukumnya menerapkan prinsip bahwa semua hukum agama mengandung alasan hukum (‘illah, ratio legis) yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, sejalan dengan kepentingan umum (al-mashlahah al-‘āmmah) dan sesuai dengan tanggung jawab seorang penguasa dan pelaksana hukum bersangkutan.5 Dan meskipun, sebagai misal, Umar berbeda dengan Abu Bakar dalam kebijakannya tentang penyamarataan atau pembedaan besarnya jumlah ransum tentara, namun kedua-duanya bermaksud membela keadilan. Abu Bakar beerpendapat bahwa keadilan terwujud dengan penyamarataan antara semua tentara Islam, tanpa memandang masa lampau mereka. Sebaliknya Umar justru berpendapat akan tidak adil jika masa lalu masing-masing tentara itu diabaikan, padahal sebagian dari mereka benar-benar jauh lebih berjasa daripada sebagian yang lain. Rasa keadilan mengatakan bahwa sebagian orang yang berbuat lebih banyak tentunya juga harus mendapatkan balas jasa dan penghargaan lebih banyak.

Masalah Historis Ajaran Keagamaan

Itulah wujud contoh apa yang dikemukakan di atas, yaitu bahwa masalah penarikan atau pengangkatan makna umum (generalisasi) suatu nilai hukum akan menyangkut masalah penafsiran dan kemampuan memahami lebih mendalam inti pesan yang dikan- dungnya. Dan karena kemampuan tersebut dapat berbeda-beda antara berbagai pribadi, maka hasilnya pun dapat berbeda-beda pula. Yang jelas ialah, seperti dikatakan Rektor al-Azhar, pendirian Abu Bakar dan Umar membuktikan bahwa yang dituju oleh hukum ialah makna atau pesan yang dikandungnya (al-ahkām turadd-u li- ma‘ānīhā).

Ini membawa kita kembali pada polemik sekitar kiblat shalat yang telah dikemukakan di atas. Yaitu bahwa kiblat, dalam arti wujud fisiknya yang menyangkut formalitas penghadapan wajah ke suatu arah tertentu, tidaklah dimaksudkan pada dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan maknanya. Dan karena lebih penting daripada formalitas, maka makna tidak boleh ditinggalkan, sementara formalitas dalam keadaan tertentu boleh ditinggalkan.

Konsep Asbāb al-Nuzūl mempunyai kaitan yang erat dengan konsep lain yang juga amat penting, yaitu nāsikh-mansūkh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik Kitab maupun Sunnah. Konsep itu, seperti yang pandangan teoretisnya dikembangkan oleh para ahli fiqih dengan kepeloporan Imam al- Syafi’i, menyangkut masalah adanya bagian tertentu dari al-Qur’an ataupun hadis yang “dihapus” (mansūkh) dan yang “menghapus” (nāsikh).

Pembahasan panjang lebar diberikan Imam al-Syafi’i dalam kitabnya yang terkenal, al-Risālah (Kairo: Markaz al-Ahram, 1988), h. 96-144 dan 170-176. (Buku ini dapat diperoleh dalam terjemahan Indonesia, Risalah). Termasuk masalah nāsikh-mansūkh atau “hapus-menghapus” ini adalah keterangan Umar, khalifah kedua, bahwa ada firman bahwa hukuman orang yang sudah beristri atau bersuami kemudian berzina ialah dirajam sampai mati, bukan sekadar dicambuk seratus kali seperti yang ada dalam al-Qur’an sekarang ini. Menurut Umar, firman itu berbunyi (artinya): “Lelaki maupun perempuan kawin jika berzina, maka rajamlah mereka sama sekali.”

Menurut para ulama, firman ini dalam isi hukum atau makna legalnya telah menghapus firman Allah: “Orang yang berzina, perempuan dan lelaki, cambuklah masing-masing seratus kali,” (Q 4:24). Segi amat menarik dari masalah ini ialah adanya teori dalam nāsikh-mansūkh bahwa suatu firman mungkin saja masih tetap bertahan (tidak dihapus) dari segi bunyi lafalnya, tetapi maknanya sudah tidak berlaku, seperti “ayat cambuk” di atas: sebaliknya, ada kemungkinan suatu firman dihapus (terhapus?) dari segi lafalnya, seperti “ayat rajam” di atas, namun hukumnya masih berlaku. Dalam bahasa fiqihnya, ada “penghapusan lafal tapi makna hukumnya tetap” (naskh al-lafzh wa baqā’ al-hukm) atau sebaliknya “penghapusan hukum tapi lafalnya tetap” (naskh al- hukm wa baqā’ al-lafzh).

Bagaimana umat Islam memperoleh teori yang “aneh” ini, dapat dilihat dari kesepakatan hampir seluruh para ulama bahwa orang yang sudah kawin dan berzina memang harus dihukum rajam sampai mati, seperti dapat dilihat dalam praktik di Kerajaan Saudi Arabia.

Meskipun teori “hapus-menghapuskan” ini tidak lepas dari kontroversi, namun sebagian besar ulama menganutnya, dengan perbedaan di sana-sini dalam hal materi mana yang menghapus dan mana pula yang dihapus. Yang jelas ialah bahwa dalam kaitannya dengan konsep tentang Asbāb al-Nuzūl, konsep nāsikh-mansūkh juga mengandung kesadaran historis di kalangan ahli hukum Islam. Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson, yang ikut berharap bahwa umat Islam akhirnya akan mampu menjawab tantangan zaman:

Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab, kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apa pun ke dalam realita dari warisan dan dari titik-tolak mulanya yang kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman ruhani baru. Al-Syafi’i membawa ke depan kecenderungan yang sudah ada secara laten dalam karya (Nabi) Muhammad sendiri ketika ia menekankan pemahaman al-Qur’an secara benar-benar konkret dalam interaksi historisnya dengan kehidupan Nabi Muhammad dan masyarakat beliau. Ia (al-Syafi’i) melakukan hal ini memang tanpa ketepatan sejarah tertentu, tetapi itu bukanlah maksudnya yang semula; dan meskipun oleh kaum Muslim kemudian hari kajian yang jujur tentang kenyataan sejarah masa silam Islam ditukar dengan gambaran stereotipikal dan berang, namun mereka tidak pernah mengingkari prinsip bahwa ketepatan historis adalah fondasi semua pengetahuan keagamaan.

Sekarang bandingkan ungkapan Hodgson itu dengan yang dapat kita baca dalam sebuah kitab klasik, yaitu kitab Muhyi al- Din ibn al-Arabi, Fushūsh al-Hikam, dalam syarah al-Syaikh Abd al-Razzaq al-Qasyani. Dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya konteks sejarah bagi ajaran agama-agama sehingga menghasilkan manifestasi lahiriah yang berbeda-beda. Padahal inti semua agama yang benar, sepanjang ajaran tentang pasrah kepada Allah (islām) berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa (tawhīd).

Dalam pembahasannya, Ibn Taimiyah antara lain mengatakan: Hakikat perbedaannya adalah bahwa arti “islām” ialah “dīn”, dan “dīn” adalah masdar dari kata kerja “dāna-yadīnu” (yang menunjuk makna) jika (seseorang) tunduk dan patuh. “Agama Islam” yang diridai Allah dan dengan itu diutus-Nya pada Rasul ialah “istislām” (sikap tunduk-patuh) kepada Allah semata. Pangkalnya pada kalbu ialah sikap tunduk kepada Allah semata, dengan menyembah (beribadat) kepada-Nya semata, tanpa orang lain. Orang yang menyembah-Nya dan bersama Dia menyembah “tuhan” yang lain bukanlah seorang yang tunduk patuh (muslim). Dan orang yang tidak menyembah-Nya, bahkan besar kepala untuk menyembah-Nya, bukanlah seorang muslim. “Islām” ialah “istislām” kepada Allah, yaitu tunduk dan penghambaan diri kepada-Nya. Para ahli bahasa mengatakan begini: “Seseorang melakukan islām (aslama) jika ia melakukan istislām (istaslama). Jadi “islām” pada asalnya termasuk bab tindakan (bukan nama), yaitu tindakan kalbu dan anggota badan.”

Dalam syarah Fushūsh al-Hikam diuraikan sebagai berikut:

Jika cara turunnya ajaran ke dalam jiwa para Nabi itulah yang dimak- sud dengan kesatuan cara yang diturunkannya semua ajaran (dari Tuhan), lalu mengapa agama para Nabi itu berbeda-beda? Jawabnya ialah, karena terdapat perbedaan kesiapan antara berbagai umat maka berbeda pula bentuk-bentuk jalan tauhid dan bagaimana jalan itu ditempuh, semantara maksud, tujuan, dan hakikat metode itu semuanya satu, seperti jari-jari yang menghubungkan garis luar lingkaran dengan titik pusat lingkaran itu. Jari-jari tersebut merupakan jalan-jalan yang berbeda-beda menurut perbedaan garis yang menghubungkan antara titik pusat lingkaran itu dengan setiap titik yang ditentukan pada garis lingkar luarnya. Sama juga dengan cara pengobatan yang berbeda-beda, namun tujuannya adalah satu, yakni kesehatan, dan semua cara pengobatan itu sebagai cara menyingkirkan penyakit dan mengembalikan kesehatan adalah satu. Maka begitu pula cara turunnya ajaran kepada para Nabi adalah satu, dan tujuannya ialah hidayah ke arah kebenaran. Jadi jalan tauhid pun satu, tetapi perbedaan kesiapan umat manusia mengakibatkan perbedaan agama dan aliran. Sebab perbaikan setiap umat adalah dengan menghilangkan keburukan yang khusus ada padanya, dan hidayah mereka bersumber dari berbagai sentra dan martabat yang berbeda-beda menurut tabiat dan kejiwaan mereka.

Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Justru dalam penegasan tentang kesatuan agama para Nabi terkandung makna yang tegas bahwa ada sesuatu yang benar-benar universal dalam setiap agama dan menjadi titik-pertemuan antara semua agama. Dan karena yang universal ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, maka dapat disebut “tidak historis”.

Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana menangkap pesan inti yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada suatu sebab khusus dari Asbāb al-Nuzūl munculnya suatu ajaran atau hukum. Maka banyak para ahli yang akhirnya sampai kepada persoalan bahasa: bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melakukan generalisasi tinggi dari makna immediate-nya ke makna universalnya.

Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam Kitab Suci bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya (Q 14:4). Maka meskipun bahasa para Nabi itu bermacam-macam, namun tujuan dan makna risalah mereka semua sama. Hal yang sudah amat jelas ini perlu dipertegas, agar kita waspada agar jangan sampai kita terkungkung oleh lingkaran kebahasaan semata dan terjerumus ke dalam sikap mental seolah- olah suatu nilai akan hilang kebenarannya jika tidak dinyatakan dalam bahasa tertentu atau ungkapan kebahasaan tertentu yang dianggap suci. Bahasa termasuk kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis. Tentang hal ini, keterangan yang cukup baik diberikan oleh Ibn Taimiyah, demikian:

Jadi diketahui bahwa Tuhan mengajari jenis manusia agar mengung- kapkan apa yang dikehendaki dan digambarkan dalam benaknya dengan bahasanya. Dan yang pertama mengetahui hal itu ialah bapak mereka, yaitu Adam, dan umat manusia pun kemudian mengetahui seperti Adam mengetahui, meskipun bahasa mereka berbeda-beda. Allah telah memberi wahyu kepada Musa dalam bahasa Ibrani (Hebrew) serta kepada Muhamad dalam bahasa Arab, dan semuanya itu adalah sabda (kalām) Allah, dan dengan sabda itu Allah menjelaskna apa yang dikendaki dari makhluk-Nya dan apa perintah-Nya, meskipun bahasa itu berlainan. Padahal bahasa Ibrani adalah paling dekat ke bahasa Arab, sedemikian dekatnya sehingga kedua bahasa itu lebih dekat daripada bahasa bukan Arab (‘Ajam) satu dari yang lain.

Namun masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga kulturalnya. Misalnya, jika dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan tujuh lapis langit (Q 67:3), terdapat kemungkinan bahwa “tujuh lapis langit” adalah bahasa kultural (yang historis), karena kosmologi yang umum pada waktu itu, khususnya sekitar Timur Tengah, memang mengenal adanya konsep demikian. Dan jika masalah kebahasaan menyangkut pula segi kultural ini, maka konsep Asbāb al-Nuzūl dapat diperluas sehingga tidak hanya menyangkut sebuah ayat tertentu saja misalnya, melainkan menyangkut seluruh Kitab Suci itu seutuhnya; dan tidak hanya berkaitan dengan kasus spesifik dalam kehidupan Nabi dan masyarakat beliau pada saat itu, tetapi meliputi seluruh kondisi kultural dunia, khususnya Timur Tengah, lebih khusus lagi Jazirah Arabia sebagai “situs” langsung wahyu Allah kepada Nabi Muhammad. Karena itu, dari sudut pendekatan historis dan ilmiah kepada wahyu Tuhan, sebagai kelanjutan dan pengembangan ide Imam al-Syai’i, kita tidak hanya akan mendapat manfaat dari pengetahuan tentang Asbāb al-Nuzūl saja, tetapi juga, pengetahuan yang lebih menyeluruh tentang pola budaya Arabia dalam sejarahnya yang panjang, sebelum Islam, semasa Nabi, dan (bagi kita sekarang) sesudah Islam. Maka dari sudut ini sungguh besar harapan kita kepada kegiatan penelitian ilmiah di bidang kultural yang mulai tumbuh di Jazirah Arabia. Terutama kegiatan arkeologis yang baru-baru ini secara spektakuler, berkat teknologi satelit, berhasil menemukan kota kina Ubar (Iram) yang didirikan oleh Syaddad ibn Ad hampir empat ribu tahun yang lalu. Jika benar temuan itu maka kita akan lebih mampu memahami penuturan al- Qur’an (87:6-8) tentang kaum ‘Ad dan pesan suci di balik penuturan itu.

Sumber : Nurcholish madjid, Konsep asbāb al‐nuzūl : Relevansinya bagi pandangan historis segi-segi tertentu ajaran keagamaan

Asbāb an-Nuzūl secara etimologi terdiri dari kata asbāb dan an-nuzūl. Asbāb dapat berarti (sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatu yang lain), (tali, tambang), dan (tiap tali yang kamu turunkan dari atas), sedang an-nuzūl artinya (menempati dan menempati tempat mereka).

Secara terminologi menurut Az-Zarqani dalam bukunya Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān, pengertian asbāb an- nuzūl adalah sesuatu yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa terjadinya sebab itu.

Subhi As-Salih mengartikannya sebagai berikut, sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.

Sedangkan Hasbi Ash-Siddieqy mendefinisikannya sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’ān untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalam suasana itu al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmat.

Dari beberapa definisi dan pengertian asbāb an-nuzūl di atas dapat dipahami bahwa latar belakang turunnya ayat atau pun beberapa ayat Al-Qur’ān dikarenakan adanya suatu peristiwa tertentu dan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW… Adapun ayat yang diturunkan karena suatu peristiwa menurut Az-Zarqani ada tiga bentuk.

  • Pertama, peristiwa khushūmah (pertengkaran) yang sedang berlangsung, semisal perselisihan antara kelompok Aus dan Khazraj yang disebabkan oleh rekayasa kaum Yahudi sampai mereka berteriak: “as-silāh, as-silāh” (senjata, senjata).

    Dari kejadian ini turunlah beberapa ayat dari surat Ali ‘Imrān yang di mulai dari ayat 100 hingga beberapa ayat berikutnya.

    “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman” (Ali ‘Imrān: 100).

  • Kedua, peristiwa berupa kesalahan seseorang yang tidak dapat di terima akal sehat. Seperti orang yang masih mabuk mengimani salat sehingga ia salah dalam membaca surat al-Kāfirūn. Kemudian turunlah ayat dari surat an-Nisā.

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (An-Nisā: 43).

  • Ketiga, peristiwa mengenai cita-cita dan harapan, seperti muwāfaqāt (persesuaian, kecocokan) Umar RA. Aku ada persesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku katakan kepada Rasulullah bagaimana kalau Maqām Ibrahim kita jadikan tempat salat, maka turunlah ayat

    “Dan jadikanlah sebahagian maqām Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125).

    Dan aku berkata wahai Rasulullah: “Sesungguhnya di antara orang-orang yang menemui istri-istrimu ada yang baik (al-barru) dan ada yang jahat (al-fājir), bagaimana kalau anda memerintahkan kepada mereka untuk membuat hijāb (tabir). Kemudian turunlah ayat hijāb, yakni ayat dari surat al-Ahzāb ayat 53.14

Sedang ayat atau pun ayat-ayat yang diturunkan karena ada pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi SAW. juga ada tiga bentuk.

  • Pertama, pertanyaan tentang peristiwa yang sudah lampau, semisal firman Allah SWT. dalam surat al-Kahfi ayat 83.

    “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya.”

  • Kedua, pertanyaan tentang peristiwa yang sedang berlangsung, semisal firman Allah SWT. dalam surat al-Isrā ayat 85.

    “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

  • Ketiga, pertanyaan tentang peristiwa yang akan datang, semisal firman Allah SWT. dalam surat an-Nāzi‘āt ayat 42.

    “(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya.”

Menurut Az-Zarqani tidak semua ayat atau beberapa ayat mempunyai asbāb an-nuzūl, diantaranya ayat yang berbicara mengenai kejadian atau keadaan yang telah lampau dan akan datang, semisal kisah nabi-nabi dan umat terdahulu dan juga kejadian tentang as- sā‘ah (kiamat) dan yang berhubungan dengannya. Ayat-ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur`’an al-Karim.

Pengelompokkan Ayat-ayat al-Qur’an dari Segi Asbab an-nuzul

Paling sedikit ada tiga kemungkinan mengapa tidak seluruh ayat al-Qur’an dapat diketahui sebab-sebab yang melatarbelakangi penurunannya. Dan masing-masing kemungkinan itu terkait erat antara satu dengan yang lain.

  • Kemungkinan pertama tidak semua hal yang bertalian dengan proses turun al-Qur’an ter-cover oleh para sahabat yang langsung menyaksikan proses penurunan wahyu al-Qur’an.

  • Kedua, penyaksian para sahabat terhadap hal-hal yang berkenaan dengan proses penurunan wahyu al-Qur’an tidak semuanya dicatat. Kalaupun kemudian dicatat, pencatatan itu sendiri dapat dikatakan sudah terlambat. Sehingga, kalaupun semua proses penurunan al- Qur’an itu secara keseluruhan terekam oleh para sahabat, tentu ada yang hilang dari ingatan mereka mengingat keterlambatan pencatatan itu tadi.

  • Ketiga, terbuka lebar kemungkinan ada sejumlah ayat- ayat al-Qur’an yang penurunannya memang tetap dipandang tepat dengan atau tanpa dikaitkan langsung dengan suatu peristiwa/untuk mengenali sebab nuzul ayat, selain bisa ditelusuri melalui sejumlah kitab tafsir, atau dengan pertanyaan yang mendahuluinya.

Redaksi Asbāb An-Nuzūl

Bentuk redaksi yang menerangkan asbāb an-nuzūl terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya.

  • Pertama, jika perawi mengatakan “sebab turun ayat ini adalah begini”, atau menggunakan “kira-kira seperti “maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa” yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan.

    Misalnya, ia mengatakan: “telah terjadi peristiwa begini” atau "Rasulullah di tanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini”.

  • Kedua bentuk tersebut merupakan pernyataan yang jelas tentang asbāb an-nuzūl dan tidak mengandung pengertian yang lain.

    Bentuk kedua, yaitu redaksi yang kemungkinan menerangkan asbāb an-nuzūl atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan: “ayat ini turun mengenai ini”, “aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini”.

Bentuk- bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan asbāb an-nuzūl dan mungkin pula menunjukkan hal lain.

Jalan Mengetahui Asbāb An-Nuzūl

Al-Wahidi mengatakan bahwa tidak boleh berbicara tentang sebab-sebab turun Al-Qur’ān kecuali dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat itu dan mengetahui sebab-sebab turunnya serta membahas pengertiannya.

Dari Ibnu Abbas berkata: “bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

“Berhati-hatilah dalam berbicara (mengenai diriku), kecuali apa yang telah kalian ketahui, maka barang siapa yang sengaja berdusta atasku maka bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka, dan barang siapa berdusta atas Al-Qur’ān tanpa mempunyai pengetahuan maka bersiap-siaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka” (Dikeluarkan oleh Ahmad, at-Tabrani dan at-Tirmizi).

Muhammad bin Sirin berkata: “Aku bertanya kepada Ubaidah tentang ayat dari Al-Qur’ān. Ia menjawab: “Bertakwalah kepada Allah dan katakanlah yang benar. Orang-orang yang mengetahui tentang perihal kepada siapa ayat diturunkan telah pergi”.

Berdasarkan keterangan di atas, maka jika sabab an-nuzūl diriwayatkan dari seorang sahabat maka dapat di terima (maqbūl) sekalipun tidak dikuatkan dan di dukung dengan riwayat yang lain. Karena, perkataan sahabat tidak ada celah untuk diijtihadkan dalam masalah ini dan sahabat adalah orang yang melihat serta bertemu langsung dengan Rasulullah. Adapun jika sabab an-nuzūl diriwayatkan dengan hadis mursal, yaitu hadis yang sanadnya gugur dari seorang sahabat dan hanya sampai kepada seorang tabi‘i, maka hukumnya tidak dapat di terima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan oleh hadis mursal lainnya. Dan perawinya harus dari imam-imam tafsir yang mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa‘id bin Jubair.

Dari sini jelaslah bahwa cara untuk mengetahui sabab an- nuzūl adalah melalui hadis sahih maupun hadis mursal—dengan syarat sanadnya sahih dan harus dikuatkan dengan hadis mursal yang lain—yang diriwayatkan oleh para sahabat maupun tabi‘i. Karena, sahabat adalah orang yang menyaksikan dan bertemu langsung dengan Rasulullah.

Keumuman Lafal dan Kekhususan Sebab

Apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum atau sesuai dengan sebab secara khusus, maka yang umum (‘ām) diterapkan pada keumumannya dan khusus (khās) pada kekhususannya. Contoh yang pertama firman Allah dalam surat al- Baqarah ayat 222

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.

Anas berkata: Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak di beri makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah di tanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid, kemudian kata Rasulullah:

“Bersama-samalah dengan mereka di rumah dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya.”

Contoh kedua ialah firman-Nya:

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya yang Maha Tinggi, dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan”. Surat Al-Lail Ayat 17-21

Ayat-ayat ini diturunkan mengenai Abu Bakar, karena kata al-atqā (orang yang paling taqwa) menurut tasrif berbentuk af‘ala untuk menunjukkan superlatif, tafdīl yang disertai al-‘ahdiyah (kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata: al-atqā adalah Abu Bakar as-Siddiq menurut pandangan para ahli tafsir.

Adapun jika sebab itu khusus sedangkan ayat yang turun berbentuk umum, maka ada ikhitilāf (perselisihan) antara ahli usul mengenai apakah al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafzhi atau bi khusūs as-sabab (yang harus diperhatikan keumuman lafal atau kekhusuan sebab)?

  • Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah ‘ibrah bi ‘umūm al-lafzhi (yang harus diperhatikan keumuman lafal). Seperti turunnya ayat zhihār dalam kasus Salamah bin Sakhr, ayat li‘ān dalam masalah Hilal bin Umayah dan juga ayat tentang seorang wanita yang mencuri pada zaman nabi. Kesemua peristiwa di atas berlaku umum untuk semua orang tanpa kecuali, bukan hanya sebatas pada Salamah bin Shakhr, Hilal bin Umayah ataupun wanita yang mencuri pada zaman nabi (as-Saraqah).

  • Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa al-‘ibrah bi khushūs as-sabab (yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab). Mereka berkomentar bahwa kasus zhihār, li‘ān, dan wanita yang mencuri pada zaman nabi itu hanya berlaku bagi mereka saja, tidak berlaku bagi yang lain. Oleh karenanya harus dicarikan dalil lain dengan menggunakan qiyās (analogi).

Banyaknya Asbāb An-Nuzūl dalam Satu Ayat

Bentuk pertama, yaitu salah satu riwayatnya saja yang sahih, ketentuannya adalah menggunakan yang sahih itu untuk menjelaskan sebab turun dan menolak yang tidak sahih. Misalnya antara hadis yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan yang lain melalui jalur Jundab dan hadis yang dikeluarkan oleh at-Tabrani dan Ibnu Abi Syaibah melalui jalur Hafs bin Maisarah dari ibunya dari neneknya, yang merupakan pelayanan Rasulullah SAW. mengenai kenapa Allah belum menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. pada surat ad-Dhuhā ayat 1-3

“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”. Maka kami (az-Zarqani) dalam hal ini hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslimlah yang lebih didahulukan karena, kesahihan riwayatnya.

Bentuk kedua, jika kedua riwayat sama-sama sahih dan salah satu dari keduanya mempunyai murajjih (penguat), maka yang di ambil adalah yang lebih rajah. Dan murajjih (penguat) bisa di lihat dari segi lebih sahih dari yang lain atau perawi salah satunya menyaksikan langsung kejadiannya. Semisal hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibnu Mas‘ud dan hadis yang dikeluarkan oleh Tirmizi dari jalur Ibnu Abbas mengenai ruh pada surat al-Isrā ayat 85

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Antara kedua riwayat ini yang di ambil adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibnu Mas‘ud karena, Ibnu Mas‘ud menyaksikan langsung kisah itu dari awal hingga akhir, sedangkan Ibnu Abbas tidak. Tidak diragukan lagi orang yang menyaksikan langsung lebih kuat daripada yang tidak menyaksikan secara langsung.

Bentuk ketiga, jika kedua riwayat sama-sama sahih dan tidak ada murajjih bagi salah satu dari keduanya, maka dikompromikan. Ibnu Hajar berkata: “tidak ada masalah banyaknya sebab turun pada satu ayat”. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas dan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalur Sahal bin Sa‘ad tentang qazaf (tuduhan) seorang suami kepada istrinya melakukan zina yang ada pada ayat enam dari surat an-Nūr

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.

Dari kedua riwayat ini maka caranya adalah dikompromikan. Lebih utama mengkompromikan daripada meninggalkan salah satunya, sebab tidak ada halangan untuk mengambil keduanya. Dan juga tidak boleh menolak keduanya, karena keduanya sama-sama sahih dan tidak ada ta’ārud (pertentangan). Di samping itu tidak dibenarkan mengambil salah satunya dan membuang yang lainnya karena, itu merupakan tarjih tanpa ada murajjih (yang menguatkan).

Bentuk keempat, jika dua riwayat sama-sama sahih, tidak ada murajjih} (yang menguatkan) dan tidak bisa mengambil salah satunya karena sebab-sebab turunnya tersebut waktunya berjauhan, maka dalam ini kita (az-Zarqani) pahami sebagai berulangnya turunnya ayat dengan banyaknya asbāb an-nuzūl. Seperti hadis yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dan al-Bazzar dari jalur Abu Hurairah dan riwayat yang dikeluarkan oleh Tirmizi dan Hakim dari jalur Abu bin Ka‘ab mengenai balasan atas gugurnya sahabat di perang Uhud. Ini terekam dalam surat an-Nahl ayat 126

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”.

Maka dari kedua riwayat tersebut tidak masalah bila dikatakan bahwa banyaknya waktu turun, satu diturunkan pada perang Uhud dan satunya pada hari Fathu Makkah.

Banyaknya Ayat yang Turun dan Sebabnya Satu

Terkadang ada satu peristiwa tapi ayat yang turun banyak. Semisal hadis yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Hakim dari Ummu Salamah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya tidak mendengar Allah menyebutkan sesuatu kepada kaum wanita tentang hijrah”, maka Allah menurunkan ayat 195 dari surat Ali ‘Imrān

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.

Diriwayatkan juga oleh Hakim dari Ummu Salamah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, laki-laki disebutkan sedang perempuan tidak di sebut”, maka turunlah surat al-Ahzab ayat 34:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim”

Dan surat Ali ‘Imrān ayat 195:

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.

Dan diriwayatkan juga dari Ummu Salamah, bahwa ia berkata: “laki-laki berperang dan perempuan tidak berperang, dan kita mendapat warisan nishf (setengah)”, maka Allah menurunkan ayat 32 dari surat an-Nisā:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain”

dan ayat 35 dari surat al-Ah}zāb

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim”.

Asbab an-nuzul sebagai Salah Satu Cara Memahami Makna Al-Qur’an

Para mufassirūn (para ahli tafsir) telah memperhatikan dan memberikan pembahasan khusus masalah asbāb an-nuzūl dalam buku-buku mereka. Di antaranya Ali bin Madini syaikh Bukhari, kemudian karangan termasyhur yang di tulis oleh al-Wahidi dengan judul Asbāb Nuzūl Al-Qur’ān. Telah salahlah yang mengira bahwa tidak ada gunanya mengetahui asbāb an-nuzūl. Karena, menurut mereka mempelajarinya hanya bagaikan mengikuti peristiwa sejarah. Padahal tidaklah demikian, sebab mempelajari asbāb an nuzūl memiliki beberapa faidah.

Al-Wahidi mengatakan tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat tanpa bersandar kepada kisah dan penjelasan sebab turunnya. Ibnu Daqiq al-Id juga mengatakan bahwa menjelaskan sabab nuzūl adalah cara yang kuat dalam memahami makna-makna ayat Al-Qur’ān. Demikian juga Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengetahui sabab nuzūl membantu dalam memahami sebuah ayat, karena pengetahuan tentang as-sabab (sebab) akan menghasilkan al-musabbab (akibat).

Az-Zarqani menjelaskan secara detail tentang fawā`id (faedah-faedah) mengetahui asbāb an-nuzūl, di antaranya:

  • Pertama, membantu dalam memahami ayat dan menghilangkan kesulitan. Semisal firman Allah SWT. dalam surat al- Baqarah ayat 115

    “Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

    Lafal ayat ini secara tekstual menunjukkan bahwa seseorang boleh melaksanakan salat menghadap kemana saja, tidak diwajibkan baginya untuk menghadap al-Bait al-Haram baik dalam berpergian maupun di rumah. Akan tetapi jika ia mengetahui bahwa ayat ini turun bagi orang yang berpergian atau pun orang yang salat dengan hasil ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah tidak sesuai dengan yang di maksud, maka ia akan memahami bahwa maksud ayat di atas adalah memberikan keringanan bagi musafir dalam salat sunnah atau terhadap orang yang berijtihad dalam menentukan arah kiblat, kemudian salat dan ternyata hasil ijtihadnya salah dalam menentukan arah kiblat.

    Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa ayat ini turun berkaitan dengan salat musafir yang sedang dalam kendaraan dan kendaraan itu mengarah kemanapun.

  • Kedua, pengkhususan hukum dengan sebab (takhsīs al-hukm bi as-sabab) bagi yang menganut paham al-‘ibrah bi khusūs as-sabab lā bi ‘umūm al-lafzhi (ketentuan berlaku untuk kekhususan sebab, bukan pada keumuman lafal, maka dari itu ayat-ayat zihār di permulaan surat al-Mujādilah sebabnya adalah bahwa Aus bin as-Samit men-zihār istrinya, Khaulah binti Hakim as-Sa‘labah. Hukum yang di kandung dalam ayat-ayat ini khusus untuk keduanya saja (menurut paham ini), sedang yang lain bisa diketahui melalui dalil lain, baik dengan qiyās (analogi) atau yang lain. Sudah semestinya bahwa tidak mungkin mengetahui maksud hukum dan juga analogi kecuali jika mengetahui sebabnya, dan tanpa mengetahui sebab turunnya, maka ayat itu menjadi tidak berfaidah sama sekali.

  • Ketiga, dengan sabab nuzūl berfungsi untuk mengetahui ayat ini diturunkan kepada siapa, sehingga tidak terjadi keraguan yang akan mengakibatkan penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan membebaskan tuduhan terhadap orang yang bersalah. Oleh karena itu, Aisyah menolak tuduhan Marwan terhadap saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, bahwa Abdurrahman adalah orang yang di maksud dalam ayat 17 dari surat al-Ahqab

    “Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya”. Aisyah berkata: “Demi Allah, bukan dia yang di maksud dengan ayat itu, kalau seandainya aku ingin menyebutnya maka akan aku sebutkan siapa namanya” sampai akhir kisah itu.

  • Keempat, pemudahan hafalan, pemahaman dan pengukuhan wahyu dalam benak setiap orang yang mendengarnya, jika ia menge- tahui sebab turunnya. Karena hubungan antara sebab dan akibat, hu- kum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, semua itu merupakan faktor-faktor pengokohan sesuatu dan terpahatnya da- lam ingatan.

Faedah mempelajari asbab an-nuzul

Menurut Muhammad Amin Suma, faedah mempelajari asbab an-nuzul yang mengatakan kesulitan dalam menafsirkan al-Qur’an tanpa melibatkan ilmu asbab an-nuzul mungkin tidak terlalu terasa ketika seseorang hendak menafsirkan ayat-ayat ilmu pengetahuan dan teknologi (ayat-ayat kauniyah) misalnya, tetapi diduga kuat akan menghadapi masalah ketika dihubungkan dengan ayat-ayat qashash dan terutama ayat-ayat hukum.

Pasalnya, karena ayat-ayat kauniyah dapat dikatakan lebih banyak berhubungan dengan kondisi kekinian dan kemungkinan masa depan, sementara ayat-ayat sejarah dan hukum sangat berhubungan dengan masa silam di samping masa sekarang dan akan dating. Selanjutnya, atas dasar ini, maka terlepas dari sikap pro-kontra para pakar ulumul Quran akan keberadaan ilmu asbab an- nuzul berikut urgensi-fungsionalnya, yang pasti keberadaan ilmu ini telah memasyarakat dalam dunia tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Ilmu asbab an-nuzul telah menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dari ilmu-ilmu al-Qur’an secara keseluruhan, dan keberadaannya sama sekali tidak merugikan penafsiran dan justru semakin memperkaya dalam penafsiran.

Sumber : Ahmad zaini, Asbab an-nuzul dan urgensinya dalam memahami makna al-Qur’an, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian asbabun nuzul yaitu:

  • Menurut Mohammad Ali al-Shabuny asbabun nuzul adalah sebagai sebab atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat al-Quran.

  • Menurut al-Zarqani asbabun nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunya atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunya suatu ayat.

  • Menurut Shubhi al-Shalih asbabun nuzul adalah sesuatu yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya peristiwa itu.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa asbabun nuzul adalah sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Quran, maka ayat yang diturunkan itu adakalanya didahului oleh sebab tertentu, dan adakalanya tanpa didahului oleh sebab, demikian tidak semua ayat harus mempunyai sebab-sebab turun, bahkan ayat-ayat yang tidak mempunyai sebab turun jumlahnya lebih banyak dari ayat- ayat yang mempunyai sebab-sebab, contohnya adalah ayat-ayat tentang keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, ayat-ayat tentang akhlak, beserta dengan nabi-Nya, ayat-ayat tentang keimanan kepada yang ghaib, dan ayat-ayat tentang kejadian di hari akhirat nanti.

Manfaat mengetahui asbabun nuzul


Mengetahui tentang asbabun nuzul atau sejarah turunya ayat-ayat al-Quran amatlah diperlukan bagi seseorang yang hendak memperdalam pengertiannya tentang ayat-ayat al-Quran, dengan mengetahui latar belakang turunya ayat sehingga orang dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika ayat itu diturunkan: sehingga hal itu memudahkan untuk memikirkan apa yang terkandung di balik teks-teks ayat al-Quran.25 Jadi mengetahui asbabul nuzul adalah cara yang terbaik untuk memahami makna al- Quran dan menyingkap kesamaan yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengertahui asbabun nuzul nya. Menurut al-Zarqani ada beberapa manfaat mengetahui asbabun nuzul yaitu:

  • Wawasan tentang asbabun nuzul dapat memberikan pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus dalam mensyariatkan hukum-hukum agama di dalam al-Quran,

  • Wawasan tentang asbabun nuzul dapat membantu dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan menghindarkan kesulitannya,

  • Wawasan tentang asbabun nuzul dapat menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang secara zahirnya terlihat ada hasr (pembatasan).

  • Wawasan tentang asbabun nuzul dapat mengkhususkan hukum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafaz,

  • Wawasan tentang asbabun nuzul dapat memberikan pengetahuan bahwa sebab turunya suatu ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun ada yang mentakhsisnya,

  • Wawasan tentang asbabun nuzul dapat mengarahkan terhadap terjadinya kesamaran dan kesalahan memandang objek ayat tersebut diturunkan,

  • Wawasan tentang asbabun nuzul dapat mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-Quran dan memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya, jika mengetahui sebab turunnya.

  • Menurut Ibn Taimiyah manfaat mengetahui asbabun nuzul untuk membantu, dan mengetahui turunnya ayat al-Quran, karena sesungguhnya mengetahui sebab mengetahui asbabun nuzul , akan menghasilkan pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat) turunnya al-Quran.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa manfaat belajar memahami asbabun nuzul sebagai salah satu perangkat pengetahuan memiliki peranan penting dan strategis bagi pemahaman hukum Islam, khususnya pemahaman ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran, untuk memperoleh hasil pemahaman yang maksimal, dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang asbabun nuzul , maka asbabun nuzul hendaknya dipandang sebagai sebuah konsep yang menyeluruh.

Konsep asbabun nuzul dapat diperluas ruang lingkupnya, sehingga tidak hanya menyangkut tentang sebuah ayat tertentu saja, akan tetapi meliputi seluruh ayat-ayat al-Quran, selain itu tidak hanya menyangkut kasus spesifik dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw dan masyarakat Nabi Muhammad Saw pada saat itu saja, tetapi meliputi seluruh kondisi kultur dunia pada saat itu, khususnya Timur Tengah dan lebih khusus lagi jazirah Arab sebagai situs turunnya wahyu Allah.

Referensi :

  • Idhoh Anas, Kaidah-Kaidah Ulumul Quran , (Pekalongan: al-„Asri, 2008).
  • Mohammad Ali Ash Shabuny, Pengantar Studi al-Quran, (Bandung: al-Ma’arif, 1987),
  • Azyumardi Azra, Sejarah Ulumul al-Quran , (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
  • Ahmad Syadali, Ulumul Quran I, (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
  • Tim Tashih Departemen Agama, Mukadimah al-Quran dan Tafsirnya , (Universitas Islam Indonesia, 1990).
  • Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Ilmu-Ilmu al-Quran Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Quran, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002).