Apa yang dimaksud dengan Asas Legalitas Pemerintah?

Asas Legalitas Pemerintah

Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.

Apa yang dimaksud dengan Asas Legalitas Pemerintah ?

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraaan di setiap negara hukum terutama bagi negara- negara hukum dalam sistem eropa kontinental. Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di Inggris terkenal ungkapan; “No taxation without representation” , tidak ada pajak tanpa (persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan “Taxation without representation is roberry”, pajak tanpa (persetujuan), parlemen adalah perampokan. Hal ini berarti penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang- undang yang mengatur pemungutan dan penentuan pajak. Asas ini dinamakan juga dengan kekuasaan undang-undang (de herrschappij van de wet).

Asas legalitas apabila digunakan dalam bidang Hukum Administasi Negara memiliki makna dat het bestuur aan de wet is onderworpen (bahwa pemerintah tunduk pada undang-undang) atau het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (aglemene) de burgers bindende bepaligen op de wet moeten betusten (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang).

Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan het beginsel van wetmatigheid van bestuur yakni prinsip keabsahan pemerintah.

Secara historis, asas pemerintahan yang berdasarkan undang- undang itu berasal dari pemikiran hukum sejak abad ke-19 yang dimana keberadaan negara hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberal rehststaatidee) dan dikuasai oleh berkembangnya pemikiran hukum legalistik-positivistik, terutama pada pengaruh aliran hukum legisme, yang menganggap hukum itu hanya pada apa yang terulis saja dalam undang-undang. Sedangkan diluar undang-undang tidak dianggap sebagai hukum atau bukan hukum.

Oleh karena itu undang-undang dijadikan sebagai sendi pokok penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain asas legalitas dalam gagasan memilki kedudukan sentral atau sebagai suatu fundamen dari negara hukum (als een fundamenten van de rechtsstaat) .

Secara normatif, prinsip bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan ini memang dianut di setiap negara hukum, namun dalam praktiknya penerapan prinsip tersebut berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Ada negara yang sangat berpengang pada prinsip ini, ada pula negara yang tidak begitu ketat menerapkannya. Artinya bahwa untuk urusan pemerintahan yang tidak begitu fundametal maka prinsip tersebut dapat diabaikan. Berkenaan dari hal tersebut, Foulkes menyebutkan sebagai berikut.

“if the goverment has decided on certain action – to give grants and loans to firm, to encourage export, to abolish pay beds in hospitals, to ensure that secondary education is organized on the comprehensive principle, to hold a referendum and so on – it will have to ask itself whether it needs statutory authority to do it . It can do many things without having to rely on such authority . It can enter into contacts, it can conduct foreign affairs and sign treaties, … It can, like any other employer, direct the work of employees, it can send troops to Suez and bring them back. It can create new institutions by the grant of character or by purely administrative action . All these can do without having to get the prior consent of parliament whether by Act or otherwise ”.

Jika pemerintah telah memutuskan untuk melakukan tindakan tertentu–memberikan bantuan dan pinjaman pada perusahaan, mendorong ekspor, membebaskan biaya perawatan dirumah sakit, menjamin pendidikan lanjutan yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip umum, melaksanakan pemilihan umum dan sebagainya, ia akan menanyakan pada dirinya apakah ia memerlukan kewenangan menurut undang-undang untuk melaksanakannya. Pemerintah dapat memerlukan banyak hal tanpa harus menyadarkan pada kewenangan seperti itu. Pemerintah dapat membuat kontrak melaksanakan urusan luar negrei dan menandatangani perjanjian, … Pemerintah dapat, seperti halnya pengusaha lainnya, mengarahkan pekerjaan para pegawai. Pemerintah dapat mengirim pasukan ke Suez dan mengembalikan mereka. Pemerintah dapat membuat institusi baru dengan jaminan anggaran dasar atau dengan melakukan tindakan administrasi belaka. Pemerintah dapat melakukan semua itu tanpa terlebih dahulu harus mendapatkan izin parlemen apakah melalui undang-undang ataupun lainnya).

Penerapan asas legalitas menurut Indarto, akan dapat menunjang berlakuknya suatu kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Kesamaan perlakuan terjadi karena setiap orang berada dalam situasi yang ditentukan dalam undang-undang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti yang ditentukan dalam undang- undang tersebut. Sedangkan kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang berlaku maka pada dasanya dapat dilihat atau diharapkan apa yang dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan. Dengan demikian warga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan tersebut.

Disamping itu, menurut H.D Stout Het legaliteitsbeginsel beoogt de rechtpositie van de burger jogens de overheid te waarborgen (asas legalitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah). Pemerintah hanya dapat melakukan suautu perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang yang merupakan perwujudan aspirasi warga negara.

Menurut kamus umum bahasa Indonesia. Asas mempunyai beberapa arti, salah satu diantaranya adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, juga berarti sebagai alas atau landasan. Jika kata itu dihubungkan maka yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir atau alasan berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanan hukum.

Kegunaan asas adalah sebagai landasan dasar tentang apa-apa yang menjadi aturan. Maksudnya adalah bahwa aturan-aturan atau segala sesuatu yang disusun itu dapat diterapkan dan diperluas pengertiannya asal dalam hal ini tidak bertentangan dengan asasnya. Jadi dapat diibaratkan bahwa asas adalah pondasi dari segala aturan hukum.

Hans Kelsen Mengatakan makna dari sebuah Keadilan adalah legalitas, dimana suatu peraturan umum adalah adil apabila diterapkan sesuai dengan aturan tertulis yang mengaturnya, dan sama penerapannya pada semua kasus serupa. Asas legalitas dibangun dengan dengan tujuan meligitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah agar tercipta Negara Hukum di mana pengertiannya adalah negara berdasarkan hukum; hukum menjamin keadilan dan perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah negara yang bersangkutan. Segala kegiatan negara berdasarkan hukum atau dalam konteks Negara Hukum Indonesia yaitu Negara Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.

Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana.

Asas ini tersirat didalam pasal 1 KUHP yang dirumuskan demikian:

  • Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

  • Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang- undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa “ ketentuan pidana dalam perundang-undangan indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di indonesia”. Berdasarkan rumusan pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat pidana tentu saja bukan perbuatannya yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan itu, yaitu :

  • Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.

  • Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

Dalam RUU KUHP YANG MENYATAKAN :

Pasal 1 :

  • Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

  • Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

pasal 2 :

  • Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat patut di pidana walaupun perbuatan itu tidakdiatur dalam peraturan perundang-undangan.

  • Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksudkan pada pasal 2 ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai- nilai pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarkat bangsa-bangsa.

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi Menurut Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu. Menurut moeljatno menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang- undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Moelyatno (2008) menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :

  • Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang- undang.

  • Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias).

  • Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Sejarah Asas Legalitas


Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana jerman dalam bukunya Lehrbuch dea penlichen recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo, apa yang dirumuskan oleh Feurrbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feuerbach menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali.

Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsipal hukum romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu. Menurut Moejatno diutarakan bahwa pada zaman romawi dikenal dengan adanya crimine extra ordinaria , yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Diantara crimine extra ordinaria ini terdapat crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abat pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan para raja itu cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhannya.

Pada zaman itu hukum pidana tidak tertulis sehingga dengan kekuasaan absolutnya raja dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-wenang. Penduduk tidak mengetahui pasti mana perbuatan yang dilarang dan mana perbuatan yang tidak dilarang. Proses pengadilan tidak berjalan adil karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum yang dari hakim yang mengadili.

Sebagai puncak reaksi terhadap sistim absolutisme raja-raja yang berkuasa tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime, maka di situlah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih dahulu (Prof. Moeljatno mempergunakan istilah wet ) perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar warga lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam bukunya “L’esprit des Lois” (1748), dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama tama dapat diketemukan pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi dalam undang-undang adalah dalam pasal 8 “ Declaration des Droits de l’homme et du citoyen ” (1789), semacam undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari peraturan tersebut, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis, di bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sinilah asas ini dikenal di Belanda karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan kemudian karena adanya asas konkordansi, antara Nederland Indie (Indonesia) dan Nederland, masuklah ke dalam pasal 1 Wetboek van Strafrecht Nederland Indie 1918.

Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa latin tersebut dikemukakan sehubungan dengan teori vom psychologischen zwang , yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan- perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macam perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam pidana yang dikenakan. Dengan cara demikian ini, maka setiap orang yang akan melakukan perbuatan yang dilaran tersebut terlebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam hatinya, lalu terdapat suatu kesadaran atau tekanan untuk tidak berbuat hal tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan tadi tetap dilakukan, maka apabila pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana tersebut, dapat dianggap pelaku telah mneyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).

Asas legalitas dibangun dengan dengan tujuan meligitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah agar tercipta Negara Hukum di mana pengertiannya adalah negara berdasarkan hukum; hukum menjamin keadilan dan perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah negara yang bersangkutan.

Segala kegiatan negara berdasarkan hukum atau dalam konteks Negara Hukum Indonesia yaitu Negara Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.

Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi.

Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat didalam pasal 1 KUHP yang dirumuskan demikian :

  1. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

  2. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa “ ketentuan pidana dalam perundang-undangan indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di indonesia”. Berdasarkan rumusan pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat pidana tentu saja bukan perbuatannya yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan itu, yaitu :

  1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.

  2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

Dalam RUU KUHP YANG MENYATAKAN,
Pasal 1 :

  1. Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

  2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

pasal 2 :

  1. Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat patut di pidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

  2. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksudkan pada pasal 2 ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilainilai pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarkat bangsa-bangsa.

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi Menurut Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.

Menurut moeljatno menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang.

  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias).

  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang jadi aturan hukum yang tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam pasal 1 KUHP, dimana dalam teks belanda disebutkan: wettelijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Akan tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya adalah bahwa berbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis, bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara.

Di indonesia juga dan juga negeri belanda pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun masih ada beberapa sarjana yang belum dapat menyetujuinya misalnya Taverne, Pompe, dan jonkers. Jadi seseorang dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh suatu undang-undang atau menurut pikiran dasar (Grundgedanken) suatu undang-undang pidana dan menurut perasaan sehat dari rakyat patut dipidana.

Bentuk analogi yang dilarang dikutip dari pendapat Vos, yang mengatakan bahwa penerapan analogi tidak di izinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undangundang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu.

Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif merupakan dua jalur tetapi satu hasil. Beberapa Aspek Asas legalitas :

  1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana undangundang.
  2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan Analogi.
  3. Tidak boleh ada delik yang berlaku tidak jelas.
  4. Ketentuan pidana tidak berlaku surut.
  5. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.

Makna yang terkandung dalam Asas Legalitas


Menurut Sudarto mengemukakakn adanya dua hal yang terkandung dalam asas legalitas.

  1. Pertama, bahwa suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.

  2. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.

Sudarto kemudian menambahkan bahwa dari makna yang pertama terdapat dua konsekuensi, yaitu perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagimana dirumuskan dalam undang-undang sedangkan konsekuensi dari makna yang kedua adalah tidak boleh berlaku surutnya hukum pidana.

Menurut Jan Remmelink ada tiga hal sebagai makna yang terkandung dalam asas legalitas, ketiga hal yang dikemukakakn oleh Remmelink adalah :

  1. Pertama, konsep perundang-undangan, yang diandaikan dalam ketentuan pasal 1. Menurutnya, tidak hanya perundang-undangan dalam arti formil saja yang dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan tetapi menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara legitimate, termasuk didalamnya adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten atau kotamadya.

  2. Kedua, undang-undang yang dirumuskan secara terperinci dan cermat atau lex certa. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah bestimmtheitsgebot. Perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan pidan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagi pedoman beralaku.

  3. Ketiga, perihal analogi. Pada asas legalitas juga terkandung makna larangan untuk menetapkan ketentuan pidana secara analogis, yang dikenal dengan adagium “nullum crimen noela poena sine lege stricta”