Apa yang Dimaksud dengan Antropologi Fisis?

image
Antropologi fisis sekarang lebih dikenal dengan sebuatn antropobiologi.

Apa yang dimaksud dengan antropologi fisis?

Antropologi fisis, yang kini sering dinamakan antropobiologi, adalah suatu ilmu biologi yang menyelidiki bentuk-bentuk penampilan lahiriah (anatomi perbandingan, morfologi) dan gejala-gejala hidup (fisiologi, neurologi, dan psikologi empiris) manusia dalam ketetapan keturunannya (jadi genetika). Di sini yang menjadi masalah bukannya kemampuan-kemampuan atau sifat-sifat yang diperoleh manusia karena belajar, akan tetapi diperolehnya menurut keturunan yang merupakan wataknya.

Ilmu keturunan atau genetika merupakan ilmu-dasar bagi ahli antropologi fisis, demikian juga bagi semua ahli biologi. Perhatiah ahli-ahli antropologi budaya dan ahli-ahli etnologi secara khusus ditujukan kepada morfologi manusia dalam perbandingan, dengan kata lain untuk ras manusia; umat manusia itu dapat dibagi-bagi ke dalam ras, terutama dihadapkan kepada pertanyaan apakah ada hubungan antara ras dan kebudayaan, suatu pertanyaan yang menjurus kepada persoalan bakat yang relatif pada tiap-tiap dari berbagai macam ras tersebut.

Yang dimaksud orang dengan ras ialah pengelompokan umat manusia secara alamiah, yang dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lain yang serupa karena adanya ciri-ciri yang mudah diamati dan yang ditentukan oleh keturunan. Jadi dalam definisi ini, kata ras digunakan secara sangat khusus. Di dalam bahasa lisan sehari-hari, kata ras pada umumnya tidak diberi arti seketat itu.

Orang-orang Inggris dengan seenaknya berbicara tentang “the British race”. Dengan kata itu mereka maksudkan orang-orang dengan bangunan badan yang sangaf berjauhan bedanya (dengan tengkorak panjang atau pendek) hitam atau pirang, pendek atau tinggi, ialah tipe-tipe yang oleh para ahli antropologi mungkin akan digolongkan pada sub-ras dari ras kulit putih yang lebih terpencar, ialah sub-ras Keltik, Mediteran, dan Dinaris; dan sub-ras ini disebutnya sebagai ras hanya dan sematamata karena mereka semuanya menggunakan bahasa Inggris. Sedangkan menggunakan bahasa Inggris itu sebenarnya bukan pembawaan sejak lahir, akan tetapi dipelajarinya, seperti bahasa yang pertama-tama digunakan oleh anak-anak. Contoh-contoh tentang campur-aduknya kebudayaan dan alam bisa ditemukan dalam ungkapan Prancis “les races arrierees” (bangsa-bangsa terbelakang) dan kata-kata ras Aria dan ras Yahudi yang di negeri Belanda bukannya tidak lazim digunakan orang. Dari istilah-istilah tersebut contoh pertama dari kata-kata Belanda itu menunjukkan pada perbedaan bahasa (bangsa-bangsa Aria merupakan suatu kelompok bahasa dan bukan kelompok ras) dan yang kedua menunjukkan pada perbedaan agama, ialah agama Yahudi. Dalam bahasa Indonesia kata bangsa dapat berarti sedemikian banyak macamnya, sehingga kata ras dalam arti biologi diambil alih menjadi kata Indonesia, ialah ras manusia.

Satu dari semua pertanyaan yang paling menjadi perhatian para ahli antropologi dan ahli etnologi ialah, apakah ras yang satu lebih berbakat dari yang lainnya, dengan kata lain apakah benar, ada superioritas yang jelas dari ras manusia kulit.putih. Penelitian ke arah itu agak mengecewakan bagi ras kulit putih. Dilihat secara fisis tulang-belulang yang berbobot berat dan pertumbuhan rambut yang amat subur di tempat-tempat lain selain di tengkorak, tentu tidak menunjukkan evolusi ras kulit putih yang jauh lebih maju. Sejenak nampaknya perbedaan kapasitas (isi) tengkorak antara orang-orang asli Australia dan orang-orang berkulit putih merupakan suatu sarana yang dapat digunakan untuk membuktikan superioritas orang-orang kulit putih. Tetapi hal itu segera terbentur pada penemuan, bahwa suatu hubungan langsung antara bakat dan isi otak dalam lingkungan ras kulit putih tidak dapat dibuktikan.

Dari psikologi, orang berusaha untuk mengukur bakat itu dengan cara yang lebih langsung. Semula nampak bahwa seakan-akan orang sudah menemukan sarana dalam bentuk kosien inteligensi atau IQ, yang hingga hari ini memegang peran besar dalam berbagai macam tes. Untuk membandingkan inteligensi mereka yang tergolong dalam berbagai ras (dan perbedaan ras ini berjalan bergandengan dengan perbedaan kebudayaan) hingga sekarang ini, oleh karena beberapa alasan, tidak menghasilkan suatu pun.

Pertama-tama orang terbentur pada kenyataan, bahwa perbedaan-perbedaan inteligensi antara individu-individu di dalam satu lingkungan kelompok ras dan kebudayaan yang sama, tidak kurang besar daripada di antara kelompokkelompok itu masing-masing. Lebih buruk lagi ialah inteligensi yang diukur itu selamanya hanya inteligensi, yang khusus ada hubungannya dengan percobaanpercobaan itu, misalnya dengan m’enyusun bentuk-bentuk menurut urut-urutan tertentu, perbedaan warna menurut tolok ukur tertentu, pemecahan soal-soal dari macam tertentu. Orang yang tidak dapat memecahkan soal-soal tersebut secara baik, sekalipun demikian ia sangat cerdas dalam menemukan jalan di hutan atau melacak perburuan.

Faktor-faktor yang sangat berbeda ragamnya mempunyai pengaruh dalam menentukan hasil tes inteligensi. Salah satu di antaranya ialah pengetahuannya tentang macam teka-teki yang diberikan. Saya masih ingat akan suatu tes kecerdasan sebelum perang yang diberikan kepada anak-anak dari lingkungan orang-orang kaya dan orang-orang miskin di negeri Belanda. Tes ini diambil dengan menggunakan mainan yang dapat dijadikan macam-macam mainan. Tes itu menunjukkan, demikianlah dikatakan orang, bahwa anak-anak dari lingkungan miskin kurang cerdas daripada mereka yang berasal dari lingkungan kaya.

Sebenarnya tes itu hanya menunjukkan apa yang telah diketahui, ialah bahwa anak-anak dari lingkungan kaya lebih mengenali mainan semacam itu daripada anak-anak dari orang tua yang miskin. Sebab bagi anak-anak yang miskin, mainan itu merupakan hal yang baru. Rintangan lain ialah perbedaan-perbedaan bahasa. Pertanyaan-pertanyaan selamanya diajukan dalam logat pergaulan kalangan menengah intelektual. Anak-anak dari kalangan pekerja atau pedesaan, yang di rumah menggunakan logat yang sangat berlainan, mendapat kesulitan untuk memahami dengan baik logat kelas menengah yang digunakan dalam tes (dan di sekolahan!), lalu membuat kesalahan-kesalahan.

Jika mengenai anak-anak ini dikatakan—seperti terjadi juga di negeri Belanda—bahwa mereka itu datang dari lingkungan bahasa yang miskin, berarti orang itu sering mengatakan sesuatu yang lebih daripada apa yang diketahuinya secara pasti. Sebab, lingkungan semacam itu tidak perlu miskin bahasa: orang hanya berbicara dengan jenis bahasa yang berlainan. Mungkin juga bahasa itu lebih miskin, akan tetapi hal itu belum tentu demikian, sebab ahli sosiologi bukan ahli bahasa dan penyelidikan mereka tentang bahasa biasanya tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh ilmu bahasa.

Dan lagi, semua itu tak banyak artinya. Yang menjadi masalah bukanlah kemiskinan atau kekayaan bahasa, akan tetapi perbedaan bahasa, dan di dalam hal ini perbedaan kebudayaan yang berkaitan dengan hal itu. Faktor yang lain lagi ialah perhatian dan ambisi orang (anak) yang dites dalam menghadapi tes tersebut. Jika orang itu berpendapat, bahwa tes tersebut merupakan suatu permainan yang membosankan dan tidak menarik hati, maka hasilnya akan kurang daripada jika permainan itu dianggapnya menyenangkan, atau jika orang yang diuji itu ingin menunjukkan kebolehannya. Bisa juga terjadi, bahwa orangorang yang dites tersebut tidak menanggapi maksud tes itu.

Telah diketahui, bahwa dalam kebudayaan-kebudayaan, di mana anak-anak diajarkan, bahwa semua harus sama dan semua harus dikerjakan bersama, anak-anak yang ikut serta dalam tes akan saling menunggu, sehingga semuanya dapat diselesaikan secara bersamaan; dengan demikian, gagallah maksud untuk mengetahui siapa yang lebih dahulu selesai.

Semua ini menyimpulkan, bahwa sarana-sarana yang digunakan untuk mentes itu sendiri ditentukan secara budaya. Maka dari itu sarana itu tidaklah cocok untuk mengukur inteligensi antara orang-orang dari berbagai kebudayaan: dengan demikian maka di dalam prakteknya tidak mungkin mengukur perbedaan-perbedaan ras dalam hal bakat. Hal ini sangat jelas pada penyelidikan-penyelidikan di antara orang-orang Negro di Amerika-Serikat; secara resmi semua anak-anak Negro adalah peserta kebudayaan yang sama, namun sebagian mereka tergolong pada subkebudayaan lain dengan ukuran-ukuran nilai yang lain daripada orang-orang Amerika berkulit putih.

Orang belum juga menemukan suatu sarana yang dapat digunakan secara mutlak mengukur IQ secara transkultural. Sebabnya, ialah karena di dalam setiap IQ faktor-faktor budaya ikut dicernakan. Selain itu IQ tidak konstan sepanjang waktu. Bilamana perhatian seseorang setelah beberapa tahun berlalu menjadi meningkat atau berkurang atas hal-hal yang membuat pengukuranpengukuran IQ itu relevan, maka IQ itu akan naik atau turun. Jadi ada faktor-faktor lain yang memegang peran selain dari faktor-faktor keturunan, yang selalu merupakan faktor konstan. Bandingkan hal ini dengan penyelidikan Deutsch di kalangan orang-orang Negro di New York (Journal of Social Issues 20, 1964, hlm. 30).

Sebab itu tidaklah mungkin menunjukkan perbedaan-perbedaan bakat antara ras manusia. Pengertian bakat adalah terlalu rumit dan terlalu banyak seginya untuk keperluan itu. Terlepas dari hal itu, ada manfaatnya juga untuk memikirkan bahwa diferensiasi besar antara kebudayaan-kebudayaan terpenting umat manusia baru mulai sesudah ± 1200 tahun Masehi. Kepeloporan Barat dalam artian jangka waktu secara praktis adalah nol, dan ini menutup kemungkinan untuk menjelaskan inteligensi lewat perbedaan genetika. Salah seorang yang pertama-tama mencatat hal tersebut dan hal-hal lain, ialah ahli antropologi Franz Boas, yang pada 1911 telah membuat kesimpulan yang demikian di dalam bukunya The Mind of Primitive Man. Di dalam buku ini ia terutama memberikan tekanan pada nilai yang sederajat dari berbagai-bagai ras manusia.

Pikiran mengenai kesederajatan ini semenjak itu sudah menjadi milik umum, sehingga sekarang di dalam bidang keahlian, kurang lebih telah menjadi dogma, bahwa tidak ada perbedaan kerohanian antara ras manusia; tentu saja pendapat ini juga suatu pendapat balik yang sama ekstremnya, dan juga tidak bisa dibenarkan. Bilamana di sisi luar terdapat perbedaan-perbedaan yang demikian pentingnya, maka di sisi dalamnya juga terdapat perbedaan-perbedaan. Hanya kita tidak dapat menunjukkannya. Untuk itu juga ada alasannya, bahkan lebih dari satu.

Alasan yang terpenting ialah, bahwa dalam kehidupan manusia, pendidikan memegang peran yang lebih besar daripada kehidupan binatang yang mana pun. Manusia itu, jelasnya, dilahirkan dalam suatu keadaan begitu tanpa daya, sehingga dengan beralasan orang dapat mengatakan tentang janin yang hidup di luar badan ibu. Ia dilahirkan pada saat dalam perkembangannya, yang bagi seekor binatang yang menyusui masih harus berada dalam kandungan ibunya. Ini berarti bahwa pengaruh-pengaruh sosial (berbeda dari kelompok yang satu ke kelompok yang lafn) relatif lebih dahulu campur tangan dalam kehidupan janin tersebut daripada dalam kehidupan janin binatang-binatang lain, yang hingga pada saat (hampir) mencapai keterampilan untuk bergerak sendiri, masih berada dalam kandungan ibunya.

Oleh karena itu binatang muncul ke dunia dalam keadaan yang lebih mantap daripada manusia, yang lebih dini mengalami pengaruh lingkungan sosialnya daripada binatang-binatang yang menyusui lainnya. Oleh karenanya, manusia dalam kelakuannya menunjukkan juga tingkat variabilitas yang lebih besar.

Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa semua perbedaan di antara manusia dapat dihubungkan pada perbedaan lingkungan, yang di dalam prakteknya berarti: perbedaan dalam pendidikan. Sama sekali tidak benar, bahwa perbedaan-perbedaan genetik itu akan hilang. Keadaannya adalah sedemikian, sehingga perbedaanperbedaan yang sifatnya jasmani cukup mudah dikenali dan ditentukan, sedangkan perbedaan yang bersifat rohani (di dalamnya termasuk perbedaan bakat) tidak demikian halnya.

Dalam pola kebudayaan Barat, di mana terdapat kecenderungan yang besar untuk membuat perbedaan yang bersifat rohani menjadi perbedaan sosial, karena idaman sosial tentang persamaan mutlak dengan demikian dapat didekati dengan sebaik-baiknya, hanya sedikit saja perhatian yang dicurahkan pada perbedaan genetik, kecuali di lingkungan ilmu pengetahuan sosial. Hal ini sangat kelfru. Perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya adalah pembawaan alam yang seakan-akan bersusah-payah membenamkan diri dalam perbedaan. Sementara alam di satu pihak berpegang teguh pada tipe jenis, yang kita dapati kembali dalam segala macam jenis dari keturunan ke keturunan, namun pada waktu yang bersamaan alam menciptakan dalam jenis itu variasi besar dalam perbedaan individu.

Perbedaan-perbedaan inilah, yaitu variasi-variasi dalam pola standar ini, yang pada akhirnya memungkinkan adanya mutasi-mutasi yang menjadi dasar terjadinya jenis-jenis baru. Variabilitas adalah pembawaan alam, oleh karena itu tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa semua ras manusia itu sama secara rohani, dengan kata lain tidak ada bedanya. Akan tetapi selama kita hanya sedikit saja mengetahui tentang hal tersebut, tidaklah pantas untuk mengaitkan dugaan tentang hal-hal yang tidak sama itu pada hal-hal yang tidak sederajat. Tidak ada kata yang dapat diterima akal yang dapat membenarkannya berdasarkan pengetahuan kita dewasa ini, lebih-lebih tidak boleh karena semuanya menunjukkan, bahwa perbedaan-perbedaan yang bersifat rohani itu tidaklah begitu besar perbedaannya.

Pada tahun-tahun terakhir ini telah berkembang suatu ilmu baru, ialah ethologi atau ilmu tentang perilaku, yang khususnya menyelidiki perilaku binatang yang bertulang belakang dari berbagai macam jenis. Ternyata sekarang, bahwa dalam perilaku itu diketahui adanya pola standar, yang tidak terbatas pada perilaku binatang sejenis, akan tetapi terdapat juga pada perilaku jenis-jenis yang serumpun. Jadi nampaknya, pola-pola perilaku ini lambat-laun dapat digunakan juga secara relatif dalam menetapkan umur dari suatu jenis terhadap yang lainnya, dengan kata lain untuk menetapkan jenis mana yang muncul dari yang lainnya atau jenis mana yang lebih tua.

Dalam kaitannya dengan manusia, maka terutama perilaku monyet, yaitu kelompok yang disebut anthropoidae, adalah penting. Misalnya di Utrecht, Van Hooff telah menunjukkan adanya persamaan pada ekspresi muka beberapa monyet dan manusia. Nampaknya semua ini menakjubkan, sebenarnya tidak demikian halnya. Kita mengetahui dari pengalaman, bahwa binatang-binatang dengan saling mengamati, segera mengetahui, apakah. yang lain itu akan bertindak agresif atau tidak. Juga segera kita dapat melihat pada kucing atau anjing, apakah binatang itu akan menyerang, melarikan diri, atau mencari pendekatan.

Dalam alam memang terdapat pola-pola perilaku dan ekspresi maksud yang tetap dan karena itu wajar untuk diterima, bahwa perbedaan-perbedaan antara pola-pola pada ras yang serumpun (jadi sub-ras) tidak pernah besar adanya. Kalau diterapkan pada ras manusia, hal ini berarti, bahwa perbedaan-perbedaan dalam hal yang kita namakan bakat, perbedaan-perbedaan yang justru demikian pentingnya untuk perilaku, sangat besar kemungkinannya tidak besar perbedaannya.

Dengan pola-pola perilaku yang tetap sampailah kita pada pertanyaan lain. Kita membanggakan diri dengan pikiran, bahwa manusia bebas dalam bertindak. Pikiran pada pola-pola perilaku yang tetap, tidak sejalan dengan pikiran mengenai kebebasan. Memang benar, jumlah pola perilaku yang sudah ditentukan oleh keturunan pada manusia adalah sangat terbatas, akan tetapi kenyataan itu membuat kita berpikir: juga kultur mengenal pola perilaku yang tetap, yang membatasi kebebasan para anggota kelompok, oleh karena telah ditetapkan oleh peraturan, bagaimana mereka dalam hal-hal tertentu harus memberikan reaksi.

Namun ada perbedaan yang penting antara peraturan kultur dan peraturan keturunan: orang tidak dapat menyimpang dari peraturan perilaku yang ditetapkan oleh keturunan. Peraturan itu merupakan secuil hukum alam. Sebaliknya orang dapat saja menyimpang dari peraturan yang dibuat oleh manusia. Bahkan peraturan itu sendiri dapat diubah. Dan kebebasannya tetap terpelihara. Yang dipertanyakan ialah sejauh mana jangkauan kebebasan itu. Contoh yang paling terkenal dari perpaduan hukum dan kebebasan adalah peraturan tentang berzinah dengan saudaranya (incest-regels). Orang mengenal hukum itu di mana-mana (yang menunjuk pada hukum alam) dan hukum itu berbeda-beda dari kultur ke kultur (yang menunjuk pada kebebasan).