Apa yang dimaksud dengan Anarkhi atau Anarki?

Anarki

Anarki menurut KBBI adalah hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban atau suatu kekacauan didalam suatu negara.

Anarkisme berasal dari kata dasar “anarki” dengan imbuhan -isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari anarchy (bahasa Inggris) atau anarchie (Belanda/Jerman/Perancis), yang berakar dari kata bahasa Yunani, anarchos/anarchein.

Ini merupakan kata bentukan a- (tidak/tanpa/nihil/negasi) yang disisipi dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas - secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani);

maka, anarchos/anarchein berarti “tanpa pemerintahan” atau “pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya”.

Bentuk kata “anarkis” berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki, sedangkan akhiran -isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi.

anarchist

Menurut Peter Kropotkin

Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia”

sedangkan menurut Errico Malatesta

“Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas”.

Menurut definisi lain, Anarkisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/dihancurkan.

Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan administratif, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa aturan birokrasi yang didefinisikan secara luas sebagai pihak yang superior dalam wilayah ekonomi, politik dan administratif (baik pada ranah publik maupun privat).

sumber web: Wikipedia.org

Dewasa ini anarki diartikan sebagai prinsip yang berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa destruktif, chaos, huru-hara, kekacauan, kerusuhan, keruwetan, dan pemberontakan.

Sedangkan arti kata anarkis adalah pemberontak, pengacau, perusuh (anarkis = menunjuk pada orangnya), kemudian sering juga ketegangan fisikal yang berlaku dalam masyarakat mudah dikonotasikan dengan Anarkisme. Terlebih di Indonesia sendiri Anarkisme juga kerap diposisikan berseberangan dengan demokrasi.

Pemahaman seperti itu muncul begitu saja tanpa ada pemahaman yang jelas dari masyarakat mengenai Anarkisme, hal ini juga karena minimnya literatur yang ada, baik mengenai sejarah, pemikiran filsafat maupun kajiannya dalam berbagai aliran filsafat dan pemikiran-pemikiran ilmu sosial.

Sering kali kita mendengar di berbagai talkshow , diskusi, seminar, media dan lain-lain, bahwa bentuk-bentuk destruktif, merusak, menghancurkan, membakar, dan tanpa tujuan dan arahan yang jelas (misal : amuk massa) dengan segera semena-mena diketegorikan sebagai tindakan anarkis. Kedangkalan seperti itu sangat menyedihkan ,terlebih diucapkan dengan sangat percaya diri oleh para intelektual yang menyandang gelar akademis (Sheehan, 2003).

Banyak media massa yang secara jelas telah melakukan pendistorsian makna dari Anarkisme, hal inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Indonesia anti terhadap Anarkisme, ditambah lagi media yang selalu menggiring opini publik untuk anti terhadap Anarkisme. Coba lihat di beberapa media, jika ada berita tentang amuk massa yang mengakibatkan kerusakan langsung disebut sebagai „aksi anarkis‟, ini akan berdampak sangat buruk apa lagi dengan keadaan masyarakat Indonesia yang hasrat membaca dan tingkat pendidikan mereka yang rendah, tentu saja mereka akan mengandalkan ilmu dari apa yang mereka lihat dari media yang paling mudah diakses yaitu televisi dan media cetak.

Usia gerakan Anarkisme di Indonesia terbilang sangat muda, dan juga efek dari pendistorsian makna dari yang melekat pada Anarkisme semakin membuat orang menjauh dan enggan untuk mengkaji gerakan ideologi yang sebenarnya sudah tua dan berpengaruh di dunia ini.

Apa itu Anakisme?


Kata anarki berasal dari bahasa Yunani, awalan an (atau a) , berarti “tidak”, “ingin akan”, “ketiadaan”, atau “kekurangan”, ditambah archos yang berarti “suatu peraturan”, “pemimpin”, “kepala”, “penguasa”, atau “kekuasaan”. Atau, seperti yang dikatakan Peter Kropotkin, anarki berasal dari kata Yunani yang berarti “melawan penguasa” (Kropotkin‟s Revolutionary Pamphlets, hal 284).

Anarkisme adalah teori politik yang bertujuan menciptakan anarki,” ketiadaan tuan, tanpa raja yang berkuasa.” (P.J Proudhon, What is Property).

Anarkisme adalah teori politik yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang di dalamnya individu bebas berkumpul bersama secara sederajat.

Anarkisme semacam itu melawan semua bentuk kontrol hierarkis-baik konrol oleh negara maupun kapitalis- karena merugikan individu dan individualitas mereka (Disampaikan dalam „Sekolah Anarkis‟ 2012).

Seperti dijelaskan pada bagian latar belakang bahwa Anarkis tidak bertujuan kepada “without order” tetapi lebih kepada “without leader”. Anarkisme menolak otoritas dalam bentuk apapun, terutama otoritas politik, yang termanifestasikan dalam bentuk Negara. Anarki adalah teori dan praktik kebebasan membela martabat individu yang menolak segala bentuk penindasan. Jika penindas itu pemerintah, anarki akan memilih masyarakat tanpa pemerintah. Jika penindas itu hierarki, anarki akan antihierarki. Jadi yang ditekankan di sini bukan pemerintah atau hierarki yang jadi target perlawanan, melainkan penindasan dalam dua otoritas tersebut.

Pada tahun 1923 Ir. Soekarno presiden pertama indonesia pernah menulis bahwa “Anarchisme ialah salah satu faham atau aliran dari socialisme, oleh karenanya anarchisme itu adalah lawannya kapitalisme. Seorang anarchist, ialah pemeluk faham anarchisme itu, tidak suka dengan milik (eigendom), oleh karena hak milik itu lahirnya dari kapitalisme.

Selain daripada itu anarchisme itu tidak mufakat dengan tiap-tiap pemerintahan, oleh karena katanya bagaimana demokratis atau kerakyatan pula pemerintahan itu di dalam hakikatnya, tiap-tiap pemerintahan itu mengandung paksaan. Menurut paham Anarchisme, seseorang yang hidup di dalam masyarakat itu berhak atas kemerdekaan seluas-luasnya”. Manusia dalam hakikatnya terlahir sebagai individu yang bebas dan mempunyai hak hak asasi tertentu secara alamiah.

Pierre Joseph Proudhon menjelaskan hak asasi tersebut berupa : hak atas kebebasan, hak atas kesamaan, dan hak atas kedaulatan pribadi. Proudhon mendiskripsikan bahwa hak-hak tersebut kemudian di dalam kapitalisme dipaksa untuk berubah, sehingga kemudian pola berpikir manusia di dalam sistem kapitalisme menjadi terlupa akan hak hak itu, dan hanya berpikir tentang persainggan antar individu yang kemudian sanggat tidak toleran sehingga antar individu akan menimbulkan ketidak samaan, yang ada adalah individu saling berperang untuk mencukupi hak hak nya yang sanggat tidak terbatas di dalam sistem kapitalisme tersebut. Sehingga menggakibatkan individu lain merasa tidak memperoleh bagian apa yang mereka ingginkan/hak mereka yang telah secara terang teranggan dicuri oleh kaum penghisap. Kemudian dalam karya termasyur Proudhon tahun 1840 “ Qu’est-ce que la propriete? ” (Apa itu hak milik?) “ La propriete c’est le vol ” (Hak milik itu adalah curian).

Yang dimaksud proudhon tentang pencurian hak milik tersebut adalah, apabila di dalam sistem kapitalisme yang di sini disebutkan pemodal tidak lagi memberikan apa yang seharusnya diberikan kepada para pekerja. Kapitalisme memaksa para pemodal untuk menekan biaya produksi,yang tidak bisa terlepas dari pekerja pekerja itu sendiri. Dan biasanya di dalam sistem kapitalisme ini para pekerja dapat dimonopoli hak nya. Mungkin karena banyaknya tenaga kerja,para pemodal dapat melakukan kebijakan yang sangat merugikan pekerja atau dapat menggurangi hak para pekerja. Inilah dasar dari pemikiran dalam sistem kapitalisme.

Jika Proudhon sangat kental dengan pemikiran ekonominya, berbeda dengan Peter Kropotkin, pada 1888 mengeluarkan serangkaian essay yang cenderung sosiologis yang berisi tentang bagaimana kerjasama di dalam satu spesies yang sama merupakan kunci bagi kemajuan sosial. Kropotkin menunjukkan dalam essay-essaynya bagaimana kerjasama bisa menjadi alat kemajuan sosial dengan mengambil contoh perilaku-perilaku binatang di alam liar, seperti semut dan lebah yang saling bekerjasama, kuda-kuda liar yang langsung membentuk benteng pertahanan ketika diserang oleh sekelompok serigala, rusa-rusa yang berkumpul bersama untuk menyeberang sungai yang besar. Kropotkin berpendapat bahwa kerjasama sukarela juga bisa menjadi alat yang penting bagi kemajuan sosial umat manusia. Dengan begitu, Kropotkin menolak pandangan yang menyatakan bahwa konflik dan kekerasan adalah faktor-faktor penentu yang paling penting untuk sebuah kemajuan sosial.

Selain itu Kropotkin juga mengkritik habis-habisan sistem pendidikan yang dia gambarkan sebagai “universitas kemalasan”. Kropotkin berpendapat sistem pendidikan sebagai sistem yang:

“Penuh kepalsuan, menuntut orang menjadi pembeo, keegoisan dan kelambanan berpikir adalah hasil dari metode pendidikan yang ada. Kita tidak pernah membuat anak-anak kita untuk belajar,”

Lebih lanjut lagi dalam pandanganya ia menjelaskan,

“Kita begitu terbenam dalam sebuah sistem pendidikan yang bertujuan membunuh jiwa pemberontak kita sejak kecil dan yang bertujuan mengembangkan mental tunduk pada otoritas; kita begitu terbenam dalam sistem yang berada di bawah pengaruh hukum-hukum, yang bertujuan mengatur setiap hal dalam hidup kita – kelahiran, pendidikan, pengembangan diri, cinta, persahabatan – sehingga jika hal ini terus berlanjut, kita lama-lama akan kehilangan semua inisiatif kita dan semua keinginan kita untuk berpikir bagi diri kita sendiri…”

Sistem pendidikan yang ada hanyalah mengekang hasrat kreatif manusia. Kropotkin adalah salah satu orang pertama di dunia yang berargumen bahwa proses belajar yang benar adalah lewat rekreasi di dunia luar dan lewat praktek serta observasi langsung. Dengan begitu, Kropotkin berpendapat bahwa dalam rangka mewujudkan perubahan di masyarakat, sistem pendidikan yang ada harus direformasi total.

Apakah Anarkisme itu kekerasan?

Alexander Berkman dalam bukunya „ABC Anarchism‟ menjawab, “tidak kawan, adalah kapitalisme dan pemerintah yang mempertahankan ketidakteraturan dan kekerasan. Anarkhisme sangat merupakan kebalikanya; ia memiliki arti keteraturan tanpa pemerintah dan keadilan tanpa kekerasan” (Berkman, 2001:8). Kemudian berkman melanjutkan dalam pengantar bukunya „What is Communism Anarchism?‟

“Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda.” (Berkman, 1929).

Anarkisme tidak hanya sekedar „tanpa pemerintahan‟ ataupun „anti pemerintahan‟, Anarkisme lebih pada pergerakan yang menentang hirarki, karena hirarki adalah struktur pengorganisasian yang memiliki otoritas yang mendasari bentuk penguasaan di dalamnya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada empat keyakinan kaum anarkis :

  • Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai diantara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia (Peter Kropotkin, Kropotkin’s Revolutionary Pamphlets ).

  • Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia oleh manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas (Errico Malatesta, Towards Anarchism ).

  • Kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidak adilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan (Mikhail Bakhunin, The Political Philosophy of Bakunin ).

  • Kami tidak perlu merangkul dan menggantungkan hidup kepada pengusaha sebab ujungnya mereka untung dan kami rugi. Tanpa mereka, kami tetap bisa mengorganisasikan pertunjukan, acara, demonstrasi, publikasi buku dan majalah, menerbitkan rekaman, mendistribusikan literatur dan produk kami, mengadakan boikot, dan berpartisipasi dalam aktivitas politik, dan kami dapat melakukan semua itu dengan baik (Craig O‟hara, The Philosophy of Punk ).

Maka, sederhananya sebagai akibat logis dari keempat sikap di atas ada beberapa hal yang ditentang Anarkisme disebutkan dalam „Tiga Belas zine‟ #1 (1998) :

  1. Melawan Korporasi dan Kapitalisme. Musuh besar, biang diskriminasi ekonomi yang selalu berujung pada keuntungan bagi kaum lapisan atas.

  2. Melawan rasisme. Kaum anarkis menandaskan semua bangsa, ras, warna kulit, dan golongan adalah sederajat, power of equality.

  3. Melawan Sexisme. Kaum anarkis menganggap laki-laki maupun perempuan, bahkan di luar dua jenis sex itu memiliki hak yang sama atas apapun.

  4. Melawan Fasisme atau Supranasionalis. Keum anarkis beranggapan tak ada bangsa yang melebihi bangsa lain. Semua setaraf dalam perbedaanya.

  5. Melawan Xenofobia – ketakutan dan kebencian apriori pada hal baru atau asing. Kaum anarkis melawanya sebab xenofobia bisa berkembang menjadi Fasisme.

  6. Melawan perusakan lingkungan hidup, habitat dan segala bentuk atau tindakan kekerasan terhadap semua makhluk hidup.

  7. Melawan perang dan 1001 sumber, alat dan perkakasnya, semisal militerisme.

  8. Melawan kesewenangan atas makhluk hidup lain. Anarkis percaya bahwa kehidupan adalah sesuatu yang tidak bisa diciptakan manusia, dan harus dihargai.

Anarki, sejarah dan perkembanganya


Anarkisme adalah teori politik yang berasumsi bahwa segala bentuk pemerintahan bukanlah sesuatu yang dikehendaki dan diperlukan manusia, yang diperlukan manusia adalah sebuah masyarakat yang didasarkan pada kerjasama yang bersifat sukarela diantara individu maupun kelompok-kelompok social.

Dimulai dari Zeno yang merupakan filusuf Yunani Kuno yang merumuskan anarkisme, Ia menolak intervensi dan segmentasi Negara dan mendukung adanya kedaulatan hokum moral individual. Hingga Anarkisme berkembang sampai pada abad 19 ketika gelombang kapitalisme mulai mendera, pengaruh ideologi Marxisme pun mulai mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gerakan buruh di Eropa. Pada tahun 1864 para wakil buruh Inggris dan Perancis serta banyak kaum revolusioner radikal lain mendirikan The International Working Men‟s Assosiation, atau yang selanjutnya lebih dikenal dengan Internasionale Pertama di London dengan tujuan menghimpun perlawanan kelas buruh dan aktivitas dari berbagai macam kelompok dan partai.

Kemudian di tengah jalan terjadi konflik antara Marx dengan kaum Anarkis yang juga ada di dalam Internasionale. Jika Marx, para wakil Inggris dan Jerman memperjuangkan pembentukan partai politik buruh dalam parlemen, wakil Rusia, Italia dan Spanyol lebih memilih agar buruh membantu diri sendiri dengan cara membuka koperasi dan bank rakyat serta aksi-aksi revolusioner. Kemudian pada tahun 1872 Karl Marx berhasil mengeluarkan Bakunin dan Anarkis lain dari Internasionale, sampai akhirnya gerakan Internasionale lumpuh dan empat tahun kemudian membubarkan diri. Itulah mengapa Marxisme dan Anarkisme tidak pernah damai hingga saat ini.

Kemudian pada 1970-an muncul Anarko-Punk, adalah bagian dari gerakan Punk yang dilakukan baik oleh kelompok, band, maupun individu – individu yang secara khusus menyebarkan ide-ide anarkisme, dengan kata lain, anarko–Punk adalah sebuah sub budaya yang menggabungkan musik Punk dan gerakan politik anarkisme.Keterlibatan kaum Punk dalam ideologi anarkisme memberikan warna tersendiri bagi pemaknaannya karena kaum Punk memiliki gerakan yang khas untuk menunjukkan keinginan dalam menyampaikan inspirasinya dan telah merubah kaum Punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekedar pemuja rock ‟n roll.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa makna anarkisme tidak seperti apa yang sering di gembor-gemborkan sebagai suatu hal yang bersifat destruktif. Anarkisme adalah ide tentang kebebasan individu, anti penindasan dan anti kapitalisme.

Sumber : Muhammad Fahmi Nur Cahya, Fenomenologi anarkisme,

Anarkisme dalam Perspektif

5 ]

  • Tindakan anarkis entah itu berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran tersangka, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif (collective behavior ). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan perilaku khas yang dilakukan sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair (dalam arti menghentikan perilakunya).

  • Kelompok yang lalu disebut entah itu crowd , craze dan mob itu, pada dasarnya sama pula secara kondisional yakni telah mengalami deindividuasi. Deindividuasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan- tindakan destruktif dan sadis di luar rasionalitas individual dari para pelakunya (Smelser, 1970).

Anarkis atau pasifis

  • Secara logis sebenarnya bisa dikatakan, bahwa tindakan anarkis akan menurun drastis bila frekuensi kemunculan perilaku kolektif juga ditekan habis-habisan. Dalam hal ini, yang paling efektif melakukan tekanan itu sebenarnya anggota masyarakat sendiri, dan bukan polisi, mengingat perilaku kolektif bisa muncul dimana saja kapan saja secara tak terduga padahal polisi tidak mungkin berada dimana-mana. Terlebih lagi bila diingat bahwa masyarakat Indonesia termasuk tipe masyarakat yang mudah terbawa atau hanyut dalam perilaku kolektif. Cara masyarakat melakukan tekanan itu adalah sebagai berikut:

    • Dengan tidak mudah kehilangan rasionalitas,
    • selanjutnya mengadakan penolakan berbasis individual terhadap dorongan itu.
  • Terhadap kecenderungan menyambut ajakan perilaku kolektif tersebut, yang masih saja menjadi misteri dari suatu tindak anarkis adalah sebagai berikut: Bila situasi anarkis adalah titik ekstrim dari perilaku kolektif, maka situasi pasifis (situasi aman dan tenang) adalah titik ekstrim lainnya. Bila perilaku a-sosial (perilaku menyimpang dan melanggar) adalah titik ekstrim, maka seharusnyalah perilaku pro-sosial (seperti perilaku menolong tanpa pamrih atau mengorbankan diri untuk orang lain) adalah ekstrim lainnya dari perilaku kolektif.

  • Baik situasi pasifis dan perilaku pro-sosial, dengan demikian, mestinya sama potensialnya untuk muncul dibanding situasi anarkis dan perilaku a- sosial. Permasalahannya adalah: mengapa yang selalu muncul adalah situasi anarkis dan perilaku a-sosial? Mengapa pada saat ada seseorang yang menganjurkan untuk anarkis, ternyata tidak ada (atau sedikit sekali) orang yang minimal berkata ”jangan” ? Padahal, di pihak lain, bisa diduga bahwa sebagian kecil atau sebagian besar peserta dari kelompok anarkis itu adalah orang-orang yang juga terdidik, memiliki sopan-santun, datang dari keluarga kelas menengah, menjalankan ibadah agama, telah menikah dan memiliki anak hingga juga menduduki status sosial tertentu di masyarakat.

  • Beberapa faktor itu, selama ini, kita yakini sebagai yang memberdayakan orang untuk menciptakan situasi pasifis dan melakukan tindakan pro-sosial. Nyatanya, untuk konteks Indonesia, hal- hal tersebut tidak ampuh sama sekali dalam menghadapi faktor tekanan kelompok ( peer pressure ) yang menganjurkan anarki tadi.

Keyakinan bersama

  • Salahsatu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama ( collective belief ). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling (dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).

  • Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi.

  • Media-massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku.

Keyakinan Bersama

(collective belief ) tentang suatu hal tersebut amat sering dibarengi dengan munculnya entah simbol, tradisi, grafiti, idiom/ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik. Sebagai contoh, mitos tentang “kompleks Siliwangi”, "STM Budut” atau “anak Berlan”.

  • Pada dasarnya kemunculan hal- hal seperti simbol, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu termasuk sebagai perilaku yang menyimpang. Adanya dukungan sosial terhadap suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah kompleksitas masalah serta, sekaligus, kualitas penanganannya.

  • Secara perilaku, dukungan itu bisa juga diartikan sebagai telah munculnya kebiasaan ( habit) yang telah mendarah-daging ( innate ) di kelompok masyarakat itu. Adanya graffiti atau coretan-coretan di gang-gang kampung berbunyi “mobil nyenggol pengemudi benjol”, unjuk rasa yang selalu diiringi kepalan dan teriakan, atau ungkapan khas Betawi “gue babat lu” adalah contoh-contoh kecil dari begitu eksplisitnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan. Pada suatu waktu, hal itu bakal menyumbang besar pada timbulnya anarki.

  • Maka, terhadap adanya kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, membakar dan lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap (lihat Meliala dalam Gamma, 2000).

  • Berkaitan dengan ketidak- sadaran dari banyak kalangan perihal beroperasinya suatu keyakinan bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah kebiasaan kita untuk kemudian menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut, secara teoritik, dapat dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil kerjanya berupa munculnya rasa marah dan kemauan berkonflik pada diri orang yang di-agitasi atau di-insinuasi.

  • Selanjutnya, kerap kita membayangkan bahwa provokator tersebut adalah orang di luar kelompok atau massa (entah yang cair atau terorganisasi) yang mengabarkan cerita buruk dan bohong. Tak cukup dengan itu, dapat pula diimajinasikan bahwa provokator itu melakukannya seraya berbisik-bisik dengan mata curiga dan berjalan mengendap-endap. Cukup mengherankan bila polisi, sebagai profesional yang seharusnya mengetahui bagaimana perilaku kolektif muncul dan bekerja, juga ikut-ikut mengemukakan hal yang sama.

  • Mengenai bayangan itu, diduga kuat tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa antar anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling memprovokasi, saling mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar melakukan tindak anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat dan lebih mungkin berhasil.

Kelompok terorganisir

987

  • Anarki, sebagaimana telah disinggung di atas, dilakukan dalam rangka perilaku kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan ( enforcement ) yang cukup.

  • Yang jauh lebih merepotkan adalah, bila anarki dilakukan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya (lihat Meliala, Pembaruan, 2001).

  • Maka singkatnya, anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal yang niscaya, wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada kelompok yang terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect), yang akibatnya sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain ( systematic effect) . Sehingga benar bila dikatakan efek itu sendirilah yang justru diinginkan untuk terjadi (intended effect ). Anarki oleh kelompok terorganisir ini umumnya terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan, memiliki motif tertentu dan juga target-target tertentu.

  • Kekerasan yang muncul kemudian, entah dalam rangka unjuk rasa, pawai atau mogok massal yang seluruhnya berawal secara damai, semakin mengundang media untuk meliput (studentadvantage.com,2001). Kekerasan, yang tidak dikehendaki kemunculannya oleh polisi, kemudian menghadirkan spiralling effect berupa adanya masalah baru, yakni ketika media datang. Hal ini juga kerap terjadi di Indonesia. Berbeda dengan anarki oleh kelompok cair yang secara teoritik sulit sekali dibendung oleh polisi sejak fase paling awal, maka kalau mau, polisi sebenarnya dapat membendung anarki yang diproduksi oleh kelompok terorganisir dan terencana ini.

  • Bila masyarakat sendiri yang perlu mencegah anarki oleh massa spontan, maka hanya polisilah yang mampu (dan diperbolehkan oleh undang-undang) untuk mencegah dan menindak anarki jenis kedua tadi sesuai fungsinya sebagai pemelihara ketertiban umum ( public-order policing ). Intelijen kepolisian yang kuat tentu dapat mendeteksi niat para perancang unjuk rasa, misalnya, untuk “menabrak” siapapun yang mencegah ulah brutal mereka.

Ketidakpercayaan pada hukum

  • Sering dikatakan, tindakan anarkis itu identik dengan ketidakpercayaan pada polisi. Daripada menyerahkan segala sesuatunya kepada polisi dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa sekaligus hakimnya.

  • Perihal ketidakpercayaan itu, diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun hendak disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya. Alih- alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian terjadi adalah transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar bisa ditahan luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya. Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat yang sebenarnya dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja hukum pada umumnya yang tidak memenuhi harapan”.

  • Ada yang mengatakan “penegak hukum bekerja lambat” ; tetapi bukankah jaksa dan hakim itu bekerja jauh lebih lambat dibanding polisi?. Ada pula yang mengatakan, “tuntutan buat tersangka rendah”; tetapi bukankah menuntut itu bukan pekerjaan polisi? Atau dikatakan pula, “pelaku akhirnya bisa lenggang-kangkung lagi”; tetapi bukankah memutuskan perkara juga bukan pekerjaan polisi?.

  • Hanya saja, selaku personifikasi hukum dan elemen terdepan dalam proses penegakkan hukum, polisi memang kerap terpaksa menerima getahnya mengingat polisilah yang secara langsung berurusan dengan tindak anarkis itu dan bukan aparat hukum lainnya.

  • Juga perlu disebutkan bahwa, terdapat kecenderungan yang semakin menyulitkan kepolisian pada umumnya berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban umum. Sebagai contoh, dapat kita lihat apa yang terjadi di Amerika Serikat berkaitan dengan upaya negara menjunjung terlaksananya hak kebebasan berbicara (dikenal dengan the First Amendment ) maka Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan sebagai berikut :

    “… citizens must tolerate insulting, and even outrageous, speech in order to provide adequate breathing space to the freedoms protected by the First Amendment…” (Boos v. Barry, 1988 in Schofield, 2001)

  • Menghadapi dilemma antara ketetapan konstitusional dan pelaksanaan teknis di lapangan, menurut Schofield (2001), kepolisian jelas menghadapi kesulitan besar. Sehubungan dengan itu pula, muncul pula keputusan pengadilan yang secara langsung atau tidak langsung membantu kepolisian, berkaitan dengan keharusan memperoleh ijin sebelum mengadakan kegiatan di wilayah publik, pengaturan terhadap ancaman kekerasan yang mungkin muncul selama unjuk rasa, pelarangan berkaitan dengan suara yang ditimbulkan atau wilayah-wilayah tertentu yang menurut kepolisian dilarang untuk diduduki oleh para demonstran.

Referensi

Bull, D. & Stratta, E. 1995 "Police-community consultative committees: a response to paramilitary policing”, ANZJS , vol. 31(3), November

Meliala, Adrianus. 2000 “Angkatan Perusuh," Gamma , 8-14 November 2001 “Orang-orang Radikal, Suara Pembaruan , 2 Januari

Schofield. 2001 “Controlling Public Protest: First Amendment Implications”,

Smelser, Neil J. 1970 The Theory of Collective Behavior , London:Routledge & Keegan Paul Publishing