Apa yang dimaksud dengan analisis semiotika dalam pengkajian novel?

Tujuan analisis karya sastra adalah mengungkapkan maknanya. Karena novel merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna sesuai dengan konvensi ketandaan, maka analisis struktur tidak dilepaskan dari analisis semiotik. Culler (1981) menegaskan bahwa ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, artinya menganggap sastra sebagai sistem tanda.

Banyak peneliti sastra yang berpandangan bahwa tanpa mengikutsertakan aspek kemasyarakatannya yakni tanpa memandangnya sebagai tindak komunikasi, atau sebagai tanda, sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah (Teeuw, 1984). Ditegaskan oleh Tynjanov (dalam Luxemburg, 1984) bahwa dalam sastra ada relasi ganda, yang pertama synfungsi, yakni relasi sastra dengan unsur yang berada di luar sastra, dan autofungsi, yakni relasi di dalam sastra itu sendiri. Dengan demikian sastra harus ditempatkan dalam fungsinya sebagai gejala sosio-budaya. Sastra adalah tindak komunikasi atau gejala semiotik. Tegasnya lagi, sastra adalah tanda.

Pendekatan semiotik yang dimaksudkan di sini berpijak pada pandangan bahwa karya sastra sebagai karya seni, merupakan suatu sistem tanda (sign) yang terjalin secara bulat dan utuh. Sebagai sistem tanda ia mengenal dua aspek yakni penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Sebagai penanda, karya sastra hanyalah artefak, penghubung antara pengarang dengan masyarakat pembaca. Di sini karya sastra mencapai realisasi semesta menjadi objek estetik (Mukarovsky, 1976; Vodicka, 1976).

Proses pengungkapan makna karya sastra di sini tentulah tidak berlangsung dengan mudah, sebab harus dilakukan dengan pembongkaran tanda (decoding) secara struktural. Karya sastra sering sekali mempermainkan atau mendobrak konvensi yang berlaku sebelumnya. Keasingan atau keanehan yang tampak itu haruslah diwajarkan kembali dengan cara menaturalisasikannya (Culler, 1975). Dalam usaha mewajarkan keasingan untuk memperoleh signifikasi itulah berlangsung ketegangan estetis di dalam diri pembaca. Ketegangan itu dapat juga terjadi karena pengarang mempermainkan horison harapan pembaca.

Manusia sebagai homo significans, dengan karyanya akan memberi tanda kepada dunia nyata atas dasar pengetahuannya. Pemberian makna itu dilakukan dengan cara mereka dan hasil karyanya berupa tanda (Chamamah-Soeratno, 1991). Sebagai tanda, karya sastra merupakan dunia dalam kata yang dapat dipandang sebagai media komunikasi antara pembaca dan pengarangnya. Karya sastra bukan merupakan media komunikasi biasa, karena itu karya sastra dapat dipandang sebagai gejala semiotik (Teeuw, 1984).

Pendekatan semiotik menganggap semua yang terdapat dalam karya sastra merupakan tanda yang bermakna tertentu. Pendekatan semiotik itu berpandangan bahwa:

  • Karya sastra sebagai tanda tidak diciptakan melalui kekosongan, karena pengarang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan

  • Pembaca sebagai penikmat sastra, dipengaruhi oleh pandangan umum tentang nilai keindahan, sistem bahasa, dan konvensi sastra

  • Alam semesta merupakan acuan bagi karya sastra

  • Penerimaan pembaca terhadap karya sastra tidaklah tetap

Semiotik merupakan suatu disiplin ilmu yang meneliti semua bentuk komunikasi antarmakna yang didasarkan pada sistem tanda (Segers, 1978). Dalam semiotik, penalaran atau logika berperan penting. Karena itu Peirce mengusulkan semiotik bersinonim dengan logika, yang mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu berlangsung melalui tanda-tanda (Sudjiman dan Zoest, (Ed)., 1992). Lebih jauh dikatakan oleh Peirce (dalam Zaimar, 1991) bahwa: "Tanda-tanda memungkinkan kita untuk berpikir, berkomunikasi dengan yang lain, memberi arti pada yang diusulkan dunia kepada kita. Kita mempunyai bermacam-macam tanda, di antaranya tanda-tanda linguistik yang merupakan kelompok besar dan tidak terdiri atas satu bahasa saja.

Dalam mengerjakan teori semiotiknya, Peirce memberikan tempat yang penting pada tanda-tanda linguistik, namun bukanlah tempat yang utama. Yang berlaku pada tanda pada umumnya, berlaku pula pada tanda-tanda linguistik, dan bukan sebaliknya. Sanders Peirce (dalam Abrams, 1981) membedakan tiga kelompok tanda yakni ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbols). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

  • Ikon (icon), adalah suatu tanda yang menggunakan kesamaan dengan apa yang dimaksudkannya, misalkan kesamaan peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya

  • Indeks (index) adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, misalnya asap merupakan tanda akan adanya api

  • Simbol (symbols) adalah hubungan antara hal/sesuatu (item) penanda dengan item yang ditandainya yang sudah menjadi konvensi masyarakat, misalnya lampu merah berarti berhenti.

Zoest (1990) menjelaskan bahwa untuk memahami makna tanda-tanda, perlu dipahami kodenya, yaitu sistem konvensi yang membuat tanda menjadi sebuah tanda. Ikonitas, indeksikalitas, dan simbolisitas memainkan perannya dalam komunikasi yang dimungkinkan oleh teks. Tanda-tanda ikonis sering memiliki daya tersembunyi, yang membuat teks menjadi indah dan menghasilkan interpretasi tak terduga.

Tanda-tanda simbolis berperan dalam membentuk pengenalan kembali budaya, dan memberikan kekuatan untuk meyakinkan pembacanya. Simbolisme adalah wilayah masa depan ikonisitas, karena semua keorisinilan yang berhasil ditakdirkan menjadi konvensi, sedangkan indeksikal akan membuat sebuah teks menjadi kumpulan tanda. Hubungan antara tanda dengan kenyataan itulah yang menentukan apakah seseorang dapat memahami teks, menerima, dan bereaksi secara emosional terhadapnya.

Ahli semiotik terkenal, Roland Barthes, dalam bukunya My- thologies (1957; lihat pula Hawkes, 1978), menjelaskan cara kerja semiotik. Terlebih dulu ia menjelaskan maksud mitos (mythe). Menurut Barthes, mitos adalah suatu sistem komunikasi, sesuatu yang memberikan pesan. Baginya, mitos bukanlah suatu benda, gagasan atau konsep, melainkan suatu cara signifikasi suatu bentuk. Mitos adalah suatu tuturan (parole) dan semua yang dapat dianggap wacana (discours) dapat menjadi mitos.

Dengan pengertian itu Barthes mengemukakan, bahwa mitos dapat berupa tulisan, reportase, film atau pertunjukan di samping dapat dikemukakan secara lisan. Jelasnya, semua wujud mitos baik yang berupa gambar maupun tulisan mengandung kesadaran bermakna, meskipun dalam kadar yang tidak sama. Barthes berkesimpulan, bahwa bahasa, wacana dan tuturan, baik yang bersifat verbal maupun visual, semuanya bermakna. Berpijak pada pandangan itu, Barthes mengutarakan mitos sebagai sistem semiotik. Menurutnya, mitologi adalah suatu fragmen dari ilmu tentang tanda yang luas, yakni semiotik.

Mengutip pendapat Saussure, Barthes menyatakan bahwa semiotik mengacu pada dua istilah kunci yakni signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Penanda adalah imaji bunyi yang bersifat psikis, sedangkan petanda adalah konsep. Adapun hubungan antara imaji dan konsep itulah disebut tanda. Barthes selanjutnya mengemukakan bahwa dalam mitos sebagai sistem semiotik tahap kedua terdapat tiga dimensi, yakni penanda, petanda, dan tanda. Tanda dalam sistem pertama -yakni asosiasi total antara konsep dan imajinasi- hanya menduduki posisi sebagai penanda dalam sistem yang kedua. Pandangan Barthes tentang sistem tanda itu digambarkan dalam skema berikut.

Terlihat pada diagram di atas, sistem tanda tataran pertama mencakup: (1) penanda (signifier), (2) petanda (signified), dan (3) tanda (sign). Dalam proses selanjutnya, tanda pada tataran pertama menjadi penanda pada tataran kedua, untuk menyampaikan pengenalan kepada apa yang ditandai dalam rangka menciptakan tanda. Dalam konkretisasi karya sastra, karya sastra dimungkinkan memperoleh makna yang bermacam-macam mengingat adanya berbagai kelompok pembaca, yang dipengaruhi oleh faktor yang variabel, sesuai dengan masa, tempat dan keadaan sosio-budaya yang melatarinya. Perubahan latar belakang sosial pembaca akan mempengaruhi makna yang diungkapkannya (Chamamah-Soeratno, 1991). Dalam pengkajian karya sastra dengan pendekatan Semiotik, baik teori Peirce maupun Barthes dapat digunakan secara satu persatu, dapat pula digunakan secara bersama-sama dengan saling melengkapi.