Apa yang dimaksud dengan alergi?

alergi

Seringkali anak mengalami alergi pada makanan tertentu. Apa yang dimaksud dengan alergi?

image

Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906. Alergi dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas dan dapat diartikan sebagai reaksi imunologi terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya pernah terpapar dengan antigen bersangkutan (Kresno 2001).

Secara garis besar, reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu reaksi tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan tipe lambat (delayed type hypersensitivity).

  • Reaksi alergi tipe cepat dimediasi oleh sistem imun humoral (humoral-mediated) yang menunjukkan gejala secara cepat dalam hitungan menit atau jam setelah tubuh terpapar oleh antigen.

  • Reaksi tipe lambat dimediasi oleh sel (cell-mediated) dan gejala yang ditimbulkan muncul setelah beberapa hari terpapar oleh antigen.

Berdasarkan mekanisme terjadinya reaksi, alergi terdiri atas empat jenis yaitu tipe I (IgE-mediated hypersensitivity), tipe II (Antibody- mediated cytotoxic hypersensitivity), tipe III (Immune complex-mediated hypersensitivity) dan tipe IV (Delayed-type hypersensitivity, DTH). Tipe I hingga III termasuk reaksi alergi tipe cepat, sedangkan tipe IV termasuk reaksi alergi tipe lambat (Kuby 2007). Mekanisme umum terjadinya beberapa tipe alergi dapat dilihat pada Gambar berikut ini.

Reaksi alergi tipe I terjadi dengan cara alergen memicu sel limfosit B untuk berubah menjadi sel plasma dan mengeluarkan IgE. IgE ini kemudian terikat dengan reseptornya pada permukaan sel mastosit dan sel basofil darah. Hal ini menyebabkan sel mastosit dan basofil mengalami degranulasi dan mengeluarkan efektor.

Reaksi alergi tipe II melibatkan antibodi untuk merusak sel asing. Mekanisme seperti ini dijalankan dengan mengaktifkan sistem komplemen dan membentuk lubang pada sel asing. Mekanisme ini juga dapat dijalankan dengan melibatkan sel sitotoksik dan antiobdi untuk menghancurkan sel asing tersebut.

Reaksi alergi tipe III, kompleks imun yang dibentuk oleh antigen dengan antibodi menjadikan sel fagosit mengenali kompleks imun ini dan menghancurkan kompleks tersebut. Namun jika kompleks imun yang dibentuk sangat banyak, hal ini dapat membahayakan jaringan tubuh.

Reaksi alergi tipe IV berlangsung dengan melibatkan pelepasan sitokin. Ketika sel T pembantu mengenali antigen, sel ini akan mengeluarkan sitokin yang dapat menginduksi terjadinya reaksi peradangan yang dikenal dengan reaksi alergi yang tertunda. Reaksi ini ditandai dengan adanya sel penyebab radang seperti sel makrofag dalam jumlah besar (Kuby 2007).

The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara global. Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T.

Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang normal.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi anafilaktik atau reaksi alergi.

Etiologi Alergi


image

Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.

Antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan alergi misalnya zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin.

Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran tungau dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat juga dapat merangsang mediator alergi sehingga timbul manifestasi alergi.

Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian menimbulkan hipersensitivitas.

Epidemiologi Alergi


Prevalensi penyakit alergi terus meningkat secara dramatis di dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang, terlebih selama dua dekade terakhir. Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopi atau eksema dan anafilaksis.

WHO memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi anak di seluruh dunia. Pada fase 3 dari studi yang dilakukan oleh International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) pada tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial, rhinitis alergi dan dermatitis atopik cenderung meningkat di sebagian besar lembaga dibandingkan data 5 tahun sebelumnya.

Pada tahun pertama kehidupan bayi dengan kadar IgE <0,1 IU/ml, manifestasi alergi yang sering dijumpai adalah atopi simptom (40%), dermatitis atopi (35,3%), rhinitis alergi/hipersekresi nasal (15,4%), asma/”wheezy infant” (7,7%), gangguan gastrointestinal (7,7%), dan konjungtivitis alergi (1,5%).

Dermatitis atopi merupakan manifestasi awal penyakit atopi dengan insiden tertinggi pada 3 bulan pertama kehidupan dan mencapai prevalensi tertinggi selama 3 tahun pertama kehidupan.

The Copenhagen Prospective Study on Asthma in Childhood (COPSAC) melaporkan dermatitis atopi pertama kali dijumpai pada usia 1 bulan, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 2,5 tahun.

Patofisiologi Alergi


reaksi alergi

1 Mediator alergi

Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.

Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.

Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung dan bila penglepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.

Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan tromboksan. Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl chemotacting factor-anaphylazsis (ECF-A) dilepaskan segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan menghalangi aksi newly synthesized mediator dan histamin.

Plateletes Activating Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit yang juga akan menyebabkan kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar.

image
Gambar Jalur reaksi alergi

2 Fase sensitisasi

Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute diantaranya kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting Cells (APCs) di dalam endosom. Kemudian APC akan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi sel Th menjadi Th2. Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk memproduksi Imunoglobulin (Ig).

Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat menghasilkan interferon gamma (IFN-ɤ) untuk mengimbangi aktivitas Th2, sehingga Th2 akan lebih aktif memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B menukar produksi antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor IgE berafinitas tinggi (FcƐRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.

3 Fase reaksi

Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel yang berupa histamin, prostaglandin, serta sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala klinis.15, 24

4 Fase reaksi lambat

Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan puncaknya setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan menginduksi sel imun seperti basofil, eosinofil dan monosit bermigrasi ke tempat kontak dengan paparan alergen. Sel- sel tersebut akan mengeluarkan substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan aktivitas imun berkepanjangan serta kerusakan jaringan.

5 Mekanisme Transfer Alergi

Ibu yang memiliki riwayat alergi berpotensi mempengaruhi respon imun bayi melalui plasenta dan air susu ibu (ASI). Transfer alergen makanan atau inhalan melalui plasenta atau ASI juga diketahui bisa terjadi. Antibodi yang bisa diturunkan ke anak melalui plasenta adalah IgG, IgA. Sedangkan antibodi yang bisa diturunkan melalui ASI yaitu IgA, IgG, IgM, IgE. Transfer sitokin dan kemokin juga dapat terjadi. Misalnya, interferon-ɤ (IFN-ɤ) dan interleukin-6 (IL-6) terdeteksi dalam kolustrum wanita normal dan ini dapat diturunkan melalui ASI.

Penelitian in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa transfer tersebut dapat menyebabkan penurunan imunitas neonatus. Kemokin, misalnya IL-8 (sitokin yang diregulasi pada aktivasi sel T normal), IFN-ɤ-inducible protein dan monokin yang diinduksi oleh IFN-ɤ juga terdeteksi dalam ASI ibu.

Sitokin dan marker inflamasi lainnya ditemukan dalam ASI ibu dengan riwayat atopi maupun tanpa riwayat atopi. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah kandungan asam lemak pada ASI, yang juga mempengaruhi respon imun bayi. Selain faktor-faktor tersebut, sel juga ditransfer dalam rahim, misalnya sel leukosit yang dapat diturunkan dari ibu kepada bayi. Hal ini penting karena pada suatu penelitian menunjukkan bahwa sel T spesifik alergen diturunkan dari satu induk tikus yang dapat mentransmisikan risiko asma kepada anaknya. Transfer sel bertanggung jawab atas pewarisan risiko alergi dari ibu kepada fetus.

Faktor risiko Alergi


Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa faktor risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada bayi yaitu paparan asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola diet atau komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui, penggunaan antibiotik, metode persalinan seksio sesarea, bayi lahir prematur, bayi berat lahir rendah, nutrisi yang diperoleh bayi serta ada atau tidaknya hewan peliharaan.

image
Gambar Faktor yang mempengaruhi angka kejadian alergi

Manifestasi klinis Alergi


Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ target yang terkena. Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu.

Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan nasal pruritis, rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis.

Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan dengan gejala nyeri perut kolik, muntah, diare. Jika reaksi alergi terjadi sistemik dapat terjadi syok anafilaksis.

Penyakit alergi pada mata juga dapat dijumpai pada bayi namun dengan presentase kecil. Secara klinis ditandai dengan mata berair, hiperemia konjungtiva, gatal mata, bayi menunjukkan gerakan menggosok mata. Gejala muncul setidaknya 2 minggu dan tidak ada hubungannya dengan infeksi.

Diagnosis Alergi


Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dengan melakukan anamnesis. Anamnesis diperjelas dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan sensitivitas IgE, tes pada kulit atau allergen specific serum IgE measurements (RAST).

Skin-prick testing (SPT) dilakukan dengan ekstrak alergen, diujikan pada kulit. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik (RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan. IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi seperti infestasi parasit, sehingga kurang spesifik. Sedangkan pemeriksaan IgE spesifik untuk mengukur IgE spesifik alergen dalam serum pasien.

Adapun pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi adalah skrining antibody IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation test (CAST).

Penatalaksanaan


Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan immunotherapy. Untuk terapi farmakologi dengan obat anti inflamasi non steroid, anti histamin, steroid, teofilin atau epinefrin. Sedangkan immunotherapy atau yang juga dikenal dengan suntikan alergi, pasien diberikan suntikan berulang dari alergen untuk mengurangi IgE pada sel mast dan menghasilkan IgG.

Alergi


Alergi adalah reaksi sistem imun tubuh yang bersifat spesifik terhadap rangsangan suatu bahan yang pada orang lain biasanya tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh (Soedarto, 2012). Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen (Wistiani & Notoatmojo, 2011).

Etiologi Alergi


Banyak jenis alergen yang bertebaran di udara, sehingga sering menimbulkan masalah kesehatan bagi penderita alergi. Gejala gangguan pernafasan pada penderita asma umumnya disebabkan oleh alergen-alergen udara, antara lain tepung sari, spora jamur, tungau debu rumah, dan protein hewani. Tepung sari adalah butiran-butiran halus yang diproduksi oleh tanaman untuk berkembang biak. Alergi terhadap tepung sari sering dikenal sebagai hay fever . Alergi terhadap tepung sari memicu terbentuknya antigen spesifik, yaitu IgE. Spora jamur merupakan alat kembang biak yang dapat dihirup pada waktu bernafas dan dapat menimbulkan rhinitis alergi.

Ukuran spora jamur sangat kecil sehingga dapat masuk ke dalam paru-paru. Tungau debu rumah adalah organisme yang sangat kecil, hidup menempel pada debu di dalam rumah dan menjadi penyebab utama terjadinya rhinitis alergi yang berkepanjangan. Hewan peliharaan yang hidup di dalam rumah merupakan sumber utama terjadinya reaksi alergi terhadap hewan. Alergen utama penyebab alergi terhadap hewan adalah protein yang terdapat di dalam air liur hewan. Selain alergen udara, makanan tertentu dan karet lateks juga dapat menyebabkan alergi (Soedarto, 2012). Alergi terhadap makanan menimbulkan gejala klinis seperti gatal pada bibir, mulut, faring; sembab tenggorok, mual-muntah, nyeri perut, kembung, mencret, dan perdarahan usus (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010).

Patofisiologi Alergi


Reaksi tipe I diperantai oleh IgE, yang berikatan dengan high- affinity IgE specific Fc receptor (Fc e RI) yang diekspresikan di permukaan sel mast. Apabila terjadi cross-linked oleh alergen, maka terjadi degranulasi sel mast. Proses itu terdiri dari fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Sekali suatu pajanan oleh alergen terjadi lewat kontak mukosa, ingesti atau injeksi parenteral sehingga IgE terbentuk, maka individu yang bersangkutan tersensitisasi dengan terjadinya ikatan antara IgE dengan reseptor Fc e RI pada sel mast. Fase aktivasi berlangsung saat terjadi pajanan ke dua oleh alergen yang sama dan mencetuskan proses degranulasi sel mast. Fase efektor terjadi sebagai suatu respons yang kompleks akibat dari berbagai mediator inflamasi yang dikeluarkan sel mast seperti histamin, heparin, protease, leukotrien, dan berbagai sitokin lain (Wiradharma, et al., 2015).

Faktor Resiko Alergi

Faktor resiko untuk menjadi alergi disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Meningkatnya angka kejadian alergi di negara-negara berkembang menyiratkan adanya perubahan dalam faktor lingkungan. Anak-anak yang alergi umumnya hidup dalam rumah yang lebih bersih dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita alergi. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan peternakan cenderung memperlihatkan penurunan resiko alergi (Wiradharma, et al., 2015).

Manifestasi Alergi

  • Asma Bronkial
    Penyakit asma merupakan penyakit saluran nafas yang ditandai oleh peningkatan daya responsif percabangan trakeobronkial terhadap berbagai jenis stimulus. Penyakit asma memiliki manifestasi fisiologis berupa penyempitan yang meluas pada saluran pernafasan yang dapat sembuh dengan spontan atau sembuh dengan terapi yang secara klinis ditandai oleh serangan mendadak dyspnea, batuk, serta mengi. Penyakit ini bersifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi oleh periode tanpa gejala (Mcfadden, 2015).

  • Rhinitis Alergika
    Rhinitis alergika merupakan penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga infiltrasi eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gejala yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah rinorea yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan lakrimasi (Irawati, et al., 2012).

  • Dermatitis Atopik
    Dermatitis atopik adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi (fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas pada fase anak. Dermatitis atopik biasanya terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada saat remaja. Tempat predileksi dermatitis atopik pada fase anak (usia 2-10 tahun) lebih sering di fossa cubiti dan poplitea, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher, dan tersebar simetris. Lesi dermatitis cenderung menjadi kronis, disertai hiperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama (Boediardja, 2016).

  • Urtikaria
    Urtikaria adalah erupsi kulit yang menimbul ( wheal ) berbatas tegas, berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah, dan memucat bila ditekan, disertai rasa gatal. Hal yang mendasari terjadinya urtikaria adalah triple response dari Lewis, yaitu eritem akibat dilatasi kapiler, timbulnya flare akibat dilatasi arteriolar yang diperantarai reflex akson saraf dan timbulnya wheal , akibat ekstravasasi cairan karena meningkatnya permeabilitas vaskuler (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010).

Diagnosis Alergi


Untuk memastikan terjadinya alergi, berbagai uji alergi dapat dilakukan yaitu melalui uji kulit dan pemeriksaan darah. Uji kulit dilakukan untuk menentukan adanya antibodi IgE di dalam kulit. Uji kulit menggunakan ekstrak alergen yang diencerkan dan dilemahkan, kemudian disuntikkan di bawah kulit penderita, atau dengan cara ditorehkan pada lengan atau kulit punggung penderita. Jika reaksi positif, maka akan terbentuk benjolan kecil berwarna merah yang disebut wheal , dikelilingi area yang berwarna terang ( flare ). Pemeriksaan darah dilakukan apabila uji cukit kulit tidak bisa dilakukan, misalnya jika kelainan kulit terlalu luas, atau pada orang yang menderita eksem. Titer antibodi IgE dapat ditentukan melalui pemeriksaan darah, misalnya dengan Radio Allergo Sorben Test (RAST) (Soedarto, 2012).

Penatalaksanaan Alergi


Untuk mengatasi alergi, cara terbaik adalah menghindari kontak dengan alergen penyebabnya. Jika telah terjadi gejala alergi, obat-obat yang dapat digunakan adalah antihistamin, steroid hidung topikal, obat semprot hidung ( sodium cromolyn ), atau dilakukan imunoterapi (misalnya pada hay fever ) (Roitt, 2003).

  1. Uji cukit kulit
    Uji cukit kulit adalah metode yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit alergi yang dimediasi oleh IgE (reaksi hiperensitivitas tipe 1) (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010) seperti rinokonjungtivitis, asma, urtikaria, anafilaksis, eksema atopik, alergi obat dan makanan. Uji ini aman, mudah dilakukan, hasil cepat didapat, biaya yang relatif murah dengan sensitifitas tinggi. Uji cukit kulit digunakan apabila seseorang dicurigai menderita reaksi hipersensitivitas tipe 1 berdasarkan riwayat penyakit dan gejala klinis yang tampak, serta dapat digunakan untuk studi epidemiologi. Uji cukit kulit dapat dilakukan pada orang dewasa dan anak-anak (Heinzerling, et al., 2013).

    Uji cukit kulit memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Puluhan alergen dapat dikerjakan dalam satu kali tes. Uji dilakukan pada bagian volar lengan bawah dengan penusukan sedalam epikutan sehingga tidak melewati membran basalis yang dapat menimbulkan pendarahan yang bisa menyebabkan hasil tes menjadi tidak akurat. Uji ini meggunakan jarum tuberculin no 26 G atau blood lancet . Uji cukit kulit ini hampir tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga lebih disukai penderita. Hasil tes dapat dievaluasi dalam waktu singkat (10-15 menit), serentak untuk 25-30 alergen. Alergen yang digunakan terdiri atas satu seri alergen hirup, satu seri alergen makanan, larutan histamin sebagai kontrol positif, serta larutan salin atau buffer fosfat sebagai kontrol negatif. Jumlah alergen sebaiknya terbatas sampai sekitar enam alergen utama saja ( house dust mite 2-3 spesies, pollen , mold dan binatang peliharaan). Tes kulit untuk alergen hirup memiliki nilai klinis yang lebih berharga daripada alergen makanan (Pawarti, 2004).

    Prinsip tes cukit kulit adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau sel mast pada kulit. IgE merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan pada uji cukit kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol ( wheal ) dan kemerahan ( flare ) (Irawaty, 2014).

    Untuk menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) seperti dikutip Pawarti (2004) sebagai berikut:

    0 : reaksi (-)
    1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
    2+ : diameter bentol 1-3mm dari kontrol (-)
    3+ : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)

    Uji cukit kulit dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu karena teknik yang salah atau bahan ekstrak alergen yang kurang baik. Jika Histamin (kontrol positif) tidak menunjukkan gambaran wheal atau flare maka interpretasi harus dipertanyakan, Apakah karena sedang mengkonsumsi obat-obat anti alergi berupa anti histamin atau steroid. Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena kualitas dan potensi alergen yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi alergi, penyakit- penyakit tertentu. Hasil positif palsu disebabkan karena dermografisme, reaksi iritan, reaksi penyangatan ( enhancement ) non spesifik dari reaksi kuat alergen yang berdekatan, atau perdarahan akibat cukitan yang terlalu dalam. Dermografisme terjadi pada seseorang yang apabila hanya dengan penekanan saja bisa menimbulkan wheal dan flare . Dalam rangka mengetahui ada tidaknya dermografisme ini maka kita menggunakan larutan garam sebagai kontrol negatif.

    Jika Larutan garam memberikan reaksi positif maka dermografisme. Semakin besar wheal maka semakin besar sensitifitas terhadap alergen tersebut, namun tidak selalu menggambarkan semakin beratnya gejala klinis yang ditimbulkan. Pada reaksi positif biasanya rasa gatal masih berlanjut 30-60 menit setelah tes. Uji cukit kulit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Uji cukit kulit untuk alergen makanan seringkali menghasilkan negatif palsu (Nelson, et al., 2000).