Apa yang dimaksud dengan Alat Bukti didalam KUHAP ?

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa

Mengenai macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dari :

1. Keterangan Saksi

Keterangan saksi adalah alat bukti urutan pertama dalam Pasal

184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan saksi memiliki pengertian dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Penting untuk diketahui tidak semua alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang sah, keterangan saksi harus memenuhi ketentuan agar dapat menjadi alat bukti yang sah. Ketentuan tersebut yaitu:

  1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.

    Saksi harus mengucapkan sumpah agar keterangannya dapat menjadi alat bukti yang sah. Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan:

    “ (3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya,.”

    Jika saksi tidak mau mengucapkan sumpah maka akibat hukumnya keterangan saksi tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti. Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:

    “(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.”

  2. Keterangan saksi harus diberikan di dalam persidangan.

    Hal ini diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan:

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”

  1. Keterangan tersebut adalah keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri yang berkaitan dengan peristiwa pidana.

    Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti adalah keterangan saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu keterangan yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri.

  2. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

    Hal ini sesuai dengan prinsip minimum pembuktian bahwa untuk menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti. Pasal 185 ayat
    (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan:

    “(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”

    Sebenarnya Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan kembali apa yang dirumuskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai batas minimum pembuktian. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang mengatakan bahwa seperti yang pernah dikatakan di muka, dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat
    (2) KUHAP, yang mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa terkandung suatu asas yang sangat penting untuk diperhatikan, baik oleh penyidik, penuntut umum, hakim maupun penasihat hukum, yakni asas unus testis nullus testis, atau yang di dalam praktik juga sering disebut dengan perkataan satu saksi bukan saksi.

2. Keterangan Ahli

Pasal 1 angka (28) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut:

“Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

3. Surat

Pengertian surat tidak didapatkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi bisa didapatkan dari para ahli. Pengertian surat menurut Asser-Anema dalam Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.
Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut:

“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”

Surat dari rumusan pasal tersebut agar dapat dijadikan alat bukti yang sah yaitu :

  • dibuat atas sumpah jabatan atau
  • dikuatkan dengan sumpah.

Ketentuan dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menimbulkan persoalan karena surat pada huruf d yaitu surat lain tidak dibuat atas sumpah maupun dikuatkan dengan sumpah. Selain itu surat pada huruf d hanya dapat berlaku jika ada hubungannnya dengan isi alat bukti lain. Hal ini dapat diartikan keberadaan surat lain sangat bergantung dengan isi alat bukti lain. Oleh karena itu, nilainya sebagai alat bukti, tergantung pada isinya. Jika isinya tidak ada hubungan dengan alat bukti yang lain, surat bentuk “yang lain” tidak mempunyai nilai pembuktian.
Nilai kekuatan pembuktian surat:

  • Secara formal alat bukti surat sebagaimana pada Pasal 187 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bukti yang sempurna. Alasan kesempurnaan tersebut dikemukakan Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, bahwa alat bukti surat dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

    Alat bukti surat sempurna hal ini dapat diartikan:

    • Surat tersebut benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain.
    • Semua pihak tak dapat menilai lagi kesempurnaan baik bentuk dan pembuatannya.
    • Semua pihak juga tidak bisa menilai lagi keterangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang sepanjang isi dari keterangan itu tidak dapat dilumpuhkan oleh alat bukti lain.
  • Secara materiil surat bukan alat bukti yang mengikat dan menentukan. Artinya hakim memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian. Secara materiil surat bukan alat bukti yang mengikat dan menentukan memiliki beberapa alasan yang dikemukakan oleh Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril yang mengatakan bahwa:

“Alasan ketidak terikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain: asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formil. Lalu asas keyakinan hakim sebagaimana terncantum dalam Pasal 183, bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana kepada seorang Terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kemudian asas batas minimum pembuktian.”

  1. Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan sebagai berikut:

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”

Dilihat dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa alat bukti petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain. Dalam hal ini penilaian yang dilakukan oleh hakim diperlukan sikap arif lagi bijaksana setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

5. Keterangan Terdakwa.

Keterangan Terdakwa merupakan alat bukti terakhir dalam proses pembuktian. Terdakwa juga dalam memberikan keterangan di persidangan harus bebas tanpa tekanan. Ketika Terdakwa ditempatkan sebagai subjek dan bebas dari tekanan dalam memberikan keterangannya diharapkan Terdakwa akan memberikan keterangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Keterangan Terdakwa diberikan tanpa harus mengucapkan sumpah terlebih dahulu hal itu yang sering membuat keterangan Terdakwa seringkali diabaikan oleh hakim. Selain itu keterangan Terdakwa seringkali diabaikan karena ada kecenderungan seseorang untuk mengelak melakukan kejahatan yang dilakukannya yang disebabkan faktor psikologis. Andi Hamzah mengatakan bahwa psikologi memegang peranan penting. Pada umumnya manusia takut menerima pidana. Dan walaupun dalam hatinya terbenih keinginan menerangkan yang sebenarnya, kadang- kadang takut menerima pidana itu akhirnya yang menang, sehingga pada umumnya Terdakwa mengkhianati hati nuraninya sendiri.

Keterangan Terdakwa meskipun demikian, seharusnya hakim jangan selalu mengabaikan keterangan Terdakwa karena keterangan Terdakwa merupakan alat bukti yang sah di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Keterangan Terdakwa memang ditempatkan di posisi terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal itu salah satu alasan agar dalam pemeriksaan Terdakwa memberikan keterangannya paling akhir agar Terdakwa dapat secara jelas mengerti tidak pidana yang didakwakan kepadanya.

Keterangan Terdakwa sebenarnya memiliki sifat yang sama dengan keterangan saksi. Menurut Andi Hamzah yang mengatakan bahwa perubahan alat pembuktian dari pengakuan Terdakwa menjadi keterangan Terdakwa sangat penting dan membawa akibat jauh, bahwa keterangan Terdakwa itu mempunyai sifat yang sama dengan keterangan saksi.

Alat bukti keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari empat ayat yang terumuskan sebagai berikut:

  1. Keterangan Terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
  2. Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
  3. Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
  4. Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas dapat ditarik beberapa asas untuk menentukan keterangan Terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni di antaranya:

  1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan;
  2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan Terdakwa menurut Yahya Harahap adalah sebagai berikut:

  1. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya bebas
    Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan Terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya.

  2. Harus memenuhi batas minimum pembuktian
    Adanya keharusan untuk mencukupkan alat bukti keterangan Terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup.

  3. Harus memenuhi asas keyakinan hakim.
    Kendati kesalahan Terdakwa telah terbukti memenuhi asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan keyakinan hakim, bahwa memang Terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP.

Dengan melihat penjelasan di atas maka yang keterangan Terdakwa tersebut haruslah dinyatakan di dalam persidangan yang berisi apa yang Terdakwa lakukan berdasarkan pengalamannya dan hakim bebas menentukan apakah keterangan Terdakwa dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim ataupun tidak sesuai dengan keyakinan hakim.

Pengertian Alat Bukti


Menurut Hari Sasangka dan Lily Rosita:

“Alat Bukti adalah segala sesuatu perbuatan, dimana dengan alat- alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang terlah dilakukan terdakwa.”

Darwan Prinst mengatakan bahwa:

“Sedangkan definisi alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.”

Macam-Macam Alat Bukti


Setelah pada bagian sebelumya dijelaskan mengenai bagaimana tentang sistem atau teori dari suatu pembuktian dan apa saja sistem pembuktian yang diatur oleh KUHAP, maka pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana pengaturan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Sebagaimana yang diuraikan terdahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limintatif alat bukti yang sah menurut Undang- undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum. Terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan.

Lilik Mulyadi beranggapan bahwa pada dasarnya perihal alat-alat bukti diatur sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu apabila ditelaah secara global proses mendapatkan kebenaran materiel ( materieele waarheid ) dalam perkara pidana alat-alat bukti memegang peranan sentral dan menentukan. Oleh, karena itu secara teoritis dan praktik suatu alat bukti haruslah dipergunakan dan diberi penilaian secara cermat, agar tercapai kebenaran sejati sekaligus tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa.

Dalam hal ini adapun yang menjadi alat-alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP , adalah sebagai berikut:

  • Keterangan saksi
  • Keterangan ahli
  • Surat
  • Petunjuk
  • Keterangan terdakwa

Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1), Undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahan dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua (2) jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1). Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit” dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah.

1. Keterangan Saksi

Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27 KUHAP menentukan, bahwa:

“Keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”

Sedangkan menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Menurut M.Yahya Harahap:

“Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “ the degree evidence ” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh saksi.”

Melalui kajian teoritis dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorang saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila seseorang dipanggil menjadi saksi akan tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP). Dengan demikian asasnya setiap orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa dapat di dengar sebagai saksi (Pasal 1 angka 26 KUHAP), akan tetapi dalam hal eksploitasi sifatnya seseorang tidak dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi: “Kecuali ketentuan lain dalam Undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

  • Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
  • Saudara dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubugan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
  • Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.”

2. Keterangan ahli

Keterangan ahli atau verklaringen van een deskundige/expect testimony adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 KUHAP). Menurut M. Yahya Harahap:

“Perbedaan antara keterangan seorang saksi dengan seorang ahli, ialah bahwa keterangan seorang saksi mengenai hal-hal yang di alami oleh saksi itu sendiri ( eigen waarneming ), sedang keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penghargaan dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu.”

Dalam KUHAP sendiri tidak diberikan penjelasan khusus mengenai apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, dan menurut Andi Hamzah dapat merupakan kesengajaan pula. Dalam terjemahan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah:

“Seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangan.”

Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Jadi pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Meskipun tidak ada pengertian dan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, namun KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Bahkan ditempatkan pada urutan kedua sesudah alat bukti keterangan saksi. Melihat tata urutannya, pembuat Undang- undang menilainnya sebagai alat bukti yang penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana. Adapun ahli yang dimaksud dalam pasal ini, misalnya ahli kedokteran, ahli toxin dan lain-lain. Bantuan yang dapat diberikan oleh para ahli tersebut, adalah untuk menjelaskan tentang bukti-bukti yang ada. Setiap orang yang dimintai pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli-ahli lainnya wajib memberikan keterangan demi keadilan.

3. Surat

Ada beberapa pengertian surat secara umum yang dikemukakan oleh para ahli diantarannya adalah sebagai berikut:

Menurut Sudikno Metrokusumo: “Surat adalah yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. “

Pirlo, menyebutkan bahwa: “Tidak termasuk dalam kata surat, adalah foto dan peta, barang-barang ini tidak memuat tanda-tanda bacaan.”

Sejalan dengan itu Sudikno Metrokusumo menyatakan bahwa: “Potret atau gambar tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran, demikian pula denah atau peta, meskipun ada tanda-tanda bacaannya tetapi tidak mengandung suatu buah pikiran atau isi hati seseorang. Itu semua hanya sekedar merupakan barang atau benda untuk meyakinkan saja ( demonstratif evidence) .”

Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat bukti surat ini juga mempunyai syarat agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah pada sidang pengadilan. Dimana pengaturan mengenai alat bukti surat ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Dalam hal ini aspek fundamental surat sebagai bukti diatur pada Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP. Secara substansial tentang bukti surat ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

  • Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum, yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang semua keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
  • Surat yang dibuat menurut ketentuan Peraturan Perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
  • Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadannya
  • Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Dalam peraktek peradilan, sering terjadi kesulitan dalam menerapkan alat bukti petunjuk itu. Dimana akibat dari kekurang hati- hatian dalam menggunakan alat bukti petunjuk itu dapat berakibat fatal pada putusannya.

Yahya Harahap mendefenisikan petunjuk dengan menambah beberapa kata yakni petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tidak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinnya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, petunjuk merupakan bagian keempat sebagai alat bukti. Esensi alat bukti petunjuk ini diatur dalam ketentuan Pasal 188 KUHAP yang selengkap-lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

  • Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara satu dan yang lain, maupun tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
  • Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa
  • Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

5. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa (erkentenis) merupakan bagian kelima ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP. Apabila perbandingan dari segi istilah dengan pengakuan terdakwa (bekentennis) sebagaimana ketentuan Pasal 295 jo Pasal 317 HIR istilah keterangan terdakwa (Pasal 184 jo Pasal 189 ) tampaknya lebih luas maknanya dari pada pengakuan terdakwa karena aspek ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang diterangkan oleh terdakwa sekalipun tidak berisi pengakuan salah merupakan alat bukti yang sah. Dengan demikian, proses dan prosedural pembuktian perkara pidana menurut KUHAP tidak mengejar dan memaksa agar terdakwa mengaku.

Pada dasarnya keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya di dengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat:

  • Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.
  • Mengaku ia bersalah.

Selanjutnya, terhadap keterangan terdakwa secara limintatif diatur oleh Pasal 189 KUHAP, yang berbunyi :

  • Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
  • Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan padanya;
  • Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
  • Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.