Apa yang dimaksud dengan Al-Waahid atau Maha Tunggal ?

al-Waahid

Nilai yang terkandung di dalam al-Waahid:

Barangsiapa yang beriman dan membaca “Ya Waahid” sebanyak 100x setiap selesai shalat fardhu. Insya Allah akan dapat menumbuhkan kedekatan antara anggota keluarga.

Apa yang dimaksud dengan Al-Waahid atau Maha Tunggal ?

Allah adalah Yang Maha Esa. Tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada yang seperti Dia, tidak ada sekutu dalam zat, sifat, perbuatan, perintah, atau nama-nama-Nya yang indah. Dialah Yang Esa di dalam zat-Nya.

Kata Al-Wâhid berasal dari kata wahada yang berarti satu, tunggal. Kata Al-Wâhid untuk menunjukkan nama Allah diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 22 kali. Selain nama Al-Wâhid, yang sama makna adalah Al-Ahad yang diulang dalam Al-Qur’an hanya sekali, yaitu surat al-Ikhlâsh: 1.

Allah Al-Wâhid, Allah yang Mahatunggal Zat-Nya, tidak terdiri dari sesuatu yang terbagi-bagi. Tidak ada yang menyerupai atau menyamai atau menyekutui Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, nama- nama-Nya, dan perbuatan-Nya. Dia-lah yang Maha Esa, tidak ada duanya, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Allah berkalam, yang artinya,

“Dan Sembahanmu adalah Sembahan Yang Maha Esa; tidak ada Sembahan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 163).

Ayat lain menegaskan, yang artinya,

“Allah berkalam, “Janganlah kamu menyembah dua tuhan. Sesungguhnya Dialah Rabb Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut.” (an-Nahl: 51).

Sedang kata Al-Ahad yang biasa diartikan esa, dalam Al- Qur`an ada 53 kali, tetapi hanya satu yang menunjukkan nama Allah. Hal ini menunjukkan bahwa keesaan Allah sangatlah murni, tidak ada dua-Nya secara mutlak.

Secara bahasa, kata ahad apabila dalam bentuk nakirah dan dalam konteks redaksi positif, seperti dalam surat al-Ikhlâsh: 1, tidak digunakan kecuali untuk menunjukkan Allah. Namun, apabila kata ahad dalam konteks redaksi negatif atau pertanyaan atau syarat, maka digunakan untuk selain Allah, seperti dalam surat al-Ikhlâsh :4, Maryam: 98, dan at-Taubah: 6.

Perbedaan antara Al-Wâhid dan Al-Ahad ialah dalam makna dan penggunaannya. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan, baik dalam benak, apalagi dalam kenyataan. Karena itu, kata ini ketika berfungsi sebagai sifat, tidak termasuk dalam rentetan bilangan. Berbeda dengan kata wâhid yang dapat ditambah hingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya.

Al-Qur`an menyebutkan, bahwa Allah juga disifati dengan kata wâhid seperti dalam surat al-Baqarah: 163. Sebagian ulama memaknai bahwa dalam ayat tersebut kata wâhid menunjukkan kepada keesaan Zat-Nya, disertai dengan keragaman sifat-Nya. Bukankah Dia Maha Pengasih, Penyayang, dan sebagainya? Sedangkan kata ahad dalam surat al-Ikhlâsh dimaksudkan keesaan Zat-Nya saja, tanpa memperhatikan sifat-sifat-Nya.

Meneladani nama Al-Wâhid dan Al-Ahad, seorang hamba tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, di mana pun, baik dalam beribadah maupun berdoa. Allah itu Esa. Keesaan-Nya yang mutlak, sempurna dan menyeluruh, tidak ada yang menyamai atau menyerupai-Nya, baik dalam Zat-Nya, sifat dan asma-Nya, maupun perbuatan-Nya. Karena itu, seorang hamba tidak boleh menyekutukan Allah dalam ibadah maupun doa.

Referensi :

  • Dr. Hasan el-Qudsy, The Miracle of 99 Asmaul Husna, Ziyad Book, 2014
  • Sulaiman Al-Kumayi, Asma’ul Husna For Super Woman, Semarang, Pustaka Nuun, 2009

Kata al-Wahid terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf wawu, ha dan dal yang mengandung arti tunggal atau ketersendirian. Kata ini terulang se banyak 30 kali dalam Alquran, 23 kali di antaranya menunjuk kepada Tuhan dan tujuh kali selebihnya menunjuk kepada macam-macam hal, makanan, salah satu orang tua, saudara, pintu, air, penzina dan kebinasaan.

Kata ahad berakar sama dengan wahid, yang berarti esa,

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Q.s. al-Baqarah /2: 163).

Adapun ayat menggunakan al-ahad terdapat di dalam Surat al-Ikhlas, ayat satu dan empat,

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, … dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Imam Ghazali berpendapat bahwa kata wahid berarti sesuatu yang tidak terdiri dari bagian-bagian, dan tidak berdua. Allah adalah wahid dalam arti tidak terdiri dari bagian-bagian, tidak ada tandingannya, Dia tidak terdiri dari unsur-unsur pada zat-Nya, tidak bersyerikat bagi-Nya, Keesaan-Nya absolut, mustahil ada unsur-unsur pada Zatnya. Matahari dalam sistem tata surya boleh jadi dapat dikatakan tidak ada duanya, tetapi di sisi lain matahari terbentuk dari aneka unsur, karena itu, ia tidak dapat dinamai wahid yang sempurna.

Menurut Zujaji seperti yang dikutip Umar Sulaiman al-Asyqar, kata- kata al-wahid dan al-ahad berarti tidak ada duanya, tidak ada sekutu, tidak ada yang menyerupai, tidak ada yang menandingi dan tidak ada yang mendahului. Allah itu satu, tempat bersandar hamba-hambanya, tempat memohon, tempat mengantungkan segala keperluannya.

Quraish Shihab berpendapat kedua kata tersebut sekalipun ada persamaan tetapi juga ada perbedaan, jika anda berkata tidak seorang pun yang datang, maka kata satu orang pun dalam bahsa Arab dilukiskan dengan kata “ahad”.

Keesaan itu mencakup Keesaan zat, Keesaan sifat, Keesaan perbuatan, serta keesaan dalam beribdah kepada-Nya.

Sesungguhnya Allah meniupkan ke dalam diri manusia sebagai satu fitrah. Karena itu setiap orang ada keinginan untuk menjadi yang terbaik, tidak ada saingannya, menjadi nomor satu di lingkungannya dalam kanca perlombaan. Artinya dalam diri manusia ada perwujudan al-wahid dan al-ahad tetapi tidak maha sempurna, tetap ada kekurangannya, yang membedakan hamba dengan Allah Yang Maha Sempurna. Keinginan seperti itu adalah suatu cita-cita yang baik, terpuji, dan kemampuan merealisasikan sifat-sifat Tuhan itu yang ada dalam dirinya, membawa manfaat terhadap dirinya dan orang lain.

Dengan demikian pengamalan secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari dari al-wahid dan al-ahad, dengan memberdayakan secara kontinyu merupakan bagian dari pengabdian kepada Allah Yang Maha Esa, sebagai wujud manusia yang menghamba kepada penciptanya, Allah Yang Maha Esa.

Pengamalan dari sifat-sifat Allah ini tidak bisa dipisah-pisahkan dengan sifat-sifat yang lain seperti jujur “al-mu’min” dan adil “al-adl”, peramah “al- halim” dan syukur “al-syakur”,

Siapa saja bisa berusaha untuk menjadi yang terbaik, tidak ada yang menyainginya di lingkungannya, dalam bidang apa saja dengan catatan tetap memperhatikan nilai-nilai yang lain dari al-Asma al-Husna, karena merupakan satu kesatuan yang tidak bisa di pisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Islam juga menuntut kepada penganutnya bahkan seluruh manusia agar melakukan amalan-amalan atau melahirkan karya-karya yang terbaik (ayyukum ahsanu amalan), kualitas nomor satu. Konsep ini tidak sebatas hanya sebagai teori yang tersimpan didalam memori otak, tetapi harus dibuktikan dalam bentuk amalan nyata. Seseorang yang berusaha untuk melahirkan karya terbaik merupakan perbuatan terpuji, akan mendapatkan, selain pahala yang dijanjikan Allah, juga memperoleh sanjungan atau penghargaan dari sesama manusia, bukan hanya dari manusia tetapi lebih dari itu, dari Allah Yang Maha tidak ada tandingan-Nya.

Dengan demikian, sesungguhnya pengamalan dari sifat al-Wahid dan al-ahad adalah pengabdian kepada Allah, refleksi kerinduan kepada Tuhannya, suatu kelak akan berjumpa dengan-Nya. Itulah sebabnya Islam sangat melarang sifat malas, berpangku tangan atau bekerja tidak sungguh-sungguh, hasilnya pun sekedar apa adanya sehingga ketertinggalan, bahkan kemunduran (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan beberapa bidang lainnya mengiringi kehidupan umat Islam, jauh dari kemajuan sebagaimana yang di alami oleh bangsa-bangsa yang maju di belahan dunia ini.

Sumber : Abd Rahman R, Memahami esensi Asmaul Husna dalam al-Qur’an (Implementasinya Sebagai Ibadah dalam Kehidupan), UIN Alauddin.