Kata al-Wahid terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf wawu, ha dan dal yang mengandung arti tunggal atau ketersendirian. Kata ini terulang se banyak 30 kali dalam Alquran, 23 kali di antaranya menunjuk kepada Tuhan dan tujuh kali selebihnya menunjuk kepada macam-macam hal, makanan, salah satu orang tua, saudara, pintu, air, penzina dan kebinasaan.
Kata ahad berakar sama dengan wahid, yang berarti esa,
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Q.s. al-Baqarah /2: 163).
Adapun ayat menggunakan al-ahad terdapat di dalam Surat al-Ikhlas, ayat satu dan empat,
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, … dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.
Imam Ghazali berpendapat bahwa kata wahid berarti sesuatu yang tidak terdiri dari bagian-bagian, dan tidak berdua. Allah adalah wahid dalam arti tidak terdiri dari bagian-bagian, tidak ada tandingannya, Dia tidak terdiri dari unsur-unsur pada zat-Nya, tidak bersyerikat bagi-Nya, Keesaan-Nya absolut, mustahil ada unsur-unsur pada Zatnya. Matahari dalam sistem tata surya boleh jadi dapat dikatakan tidak ada duanya, tetapi di sisi lain matahari terbentuk dari aneka unsur, karena itu, ia tidak dapat dinamai wahid yang sempurna.
Menurut Zujaji seperti yang dikutip Umar Sulaiman al-Asyqar, kata- kata al-wahid dan al-ahad berarti tidak ada duanya, tidak ada sekutu, tidak ada yang menyerupai, tidak ada yang menandingi dan tidak ada yang mendahului. Allah itu satu, tempat bersandar hamba-hambanya, tempat memohon, tempat mengantungkan segala keperluannya.
Quraish Shihab berpendapat kedua kata tersebut sekalipun ada persamaan tetapi juga ada perbedaan, jika anda berkata tidak seorang pun yang datang, maka kata satu orang pun dalam bahsa Arab dilukiskan dengan kata “ahad”.
Keesaan itu mencakup Keesaan zat, Keesaan sifat, Keesaan perbuatan, serta keesaan dalam beribdah kepada-Nya.
Sesungguhnya Allah meniupkan ke dalam diri manusia sebagai satu fitrah. Karena itu setiap orang ada keinginan untuk menjadi yang terbaik, tidak ada saingannya, menjadi nomor satu di lingkungannya dalam kanca perlombaan. Artinya dalam diri manusia ada perwujudan al-wahid dan al-ahad tetapi tidak maha sempurna, tetap ada kekurangannya, yang membedakan hamba dengan Allah Yang Maha Sempurna. Keinginan seperti itu adalah suatu cita-cita yang baik, terpuji, dan kemampuan merealisasikan sifat-sifat Tuhan itu yang ada dalam dirinya, membawa manfaat terhadap dirinya dan orang lain.
Dengan demikian pengamalan secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari dari al-wahid dan al-ahad, dengan memberdayakan secara kontinyu merupakan bagian dari pengabdian kepada Allah Yang Maha Esa, sebagai wujud manusia yang menghamba kepada penciptanya, Allah Yang Maha Esa.
Pengamalan dari sifat-sifat Allah ini tidak bisa dipisah-pisahkan dengan sifat-sifat yang lain seperti jujur “al-mu’min” dan adil “al-adl”, peramah “al- halim” dan syukur “al-syakur”,
Siapa saja bisa berusaha untuk menjadi yang terbaik, tidak ada yang menyainginya di lingkungannya, dalam bidang apa saja dengan catatan tetap memperhatikan nilai-nilai yang lain dari al-Asma al-Husna, karena merupakan satu kesatuan yang tidak bisa di pisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Islam juga menuntut kepada penganutnya bahkan seluruh manusia agar melakukan amalan-amalan atau melahirkan karya-karya yang terbaik (ayyukum ahsanu amalan), kualitas nomor satu. Konsep ini tidak sebatas hanya sebagai teori yang tersimpan didalam memori otak, tetapi harus dibuktikan dalam bentuk amalan nyata. Seseorang yang berusaha untuk melahirkan karya terbaik merupakan perbuatan terpuji, akan mendapatkan, selain pahala yang dijanjikan Allah, juga memperoleh sanjungan atau penghargaan dari sesama manusia, bukan hanya dari manusia tetapi lebih dari itu, dari Allah Yang Maha tidak ada tandingan-Nya.
Dengan demikian, sesungguhnya pengamalan dari sifat al-Wahid dan al-ahad adalah pengabdian kepada Allah, refleksi kerinduan kepada Tuhannya, suatu kelak akan berjumpa dengan-Nya. Itulah sebabnya Islam sangat melarang sifat malas, berpangku tangan atau bekerja tidak sungguh-sungguh, hasilnya pun sekedar apa adanya sehingga ketertinggalan, bahkan kemunduran (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan beberapa bidang lainnya mengiringi kehidupan umat Islam, jauh dari kemajuan sebagaimana yang di alami oleh bangsa-bangsa yang maju di belahan dunia ini.
Sumber : Abd Rahman R, Memahami esensi Asmaul Husna dalam al-Qur’an (Implementasinya Sebagai Ibadah dalam Kehidupan), UIN Alauddin.