Apa yang dimaksud dengan Al-Masyaqqah?

Masyaqqah (kesukaran) menurut asal-usul bahasanya berarti keletihan ( al -juhd), kepayahan ( al -‘ina’), dan kesempitan (asy-syiddah).

Apa yang dimaksud dengan Al-Masyaqqah?

Dari segi bahasa masyaqqah berarti sesuatu yang meletihkan. Manakala dari sudut istilah pula masyaqqah digunakan khusus bagi merujuk kepada sesuatu yang pada kebiasaannya mampu dilakukan, tetapi dalam kes tertentu ia telah terkeluar dari batas-batas kebiasaan dan menyebabkan seseorang mukallaf mengalami kesukaran untuk melaksanakannya.

Dalam konteks yang lain, ia membawa maksud supaya syariat Islam dapat dilaksanakan oleh mukallaf bila dan di mana sahaja. Yaitu dengan memberi kelonggaran dan keringanan ketika seseorang itu berada dalam kesempitan dan kesukaran.

Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan ukuran kesulitannya:

  1. pertama, al-Masyaqqah al-‘Azimah yaitu kesulitan yang sangat berat dalam bentuk kemudharatan, seperti kekhawatiran akan hilangnya nyawa atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa atau anggota badan mengakibatkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.

  2. Kedua, al-Masyaqqah al-Mutawasitah yaitu kesulitan yang pertengahan, ia tidak terlalu berat tapi juga tidak ringan. Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah yang penulis maksud bahwa masyaqqah itu bersifat individual.

  3. Ketiga, al-Masyaqqah al-Khafifah yaitu kesulitan ringan yang bisa diatasi tanpa mengurangi pelaksanaan ibadah tersebut. seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sa’i, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.

Berdasarkan ketiga jenis masyaqqah tersebut maka pada jenis pertama dan kedua mukallaf diberikan keringanan dalam pelaksanaannya. Sementara pada jenis ketiga bisa dilakukan pertimbangan apakah bisa mendapatkan keringanan atau tidak dalam pelaksanaan suatu ibadah. Semuanya dikembalikan kepada akibat dari keadaan masyaqqah tersebut.

Masyaqqah atau kesulitan yang dimaksud dalam kaidah ini adalah yang sudah melewati batas kebiasaan dan kesulitan tersebut tidak bertentangan dengan nash syariat dan tidak pula lari dari kewajiban syariat sepert jihad, pedihnya hudud, hukuman bagi pezina zina, para pembuat kerusakan dan lain sebagainya. Untuk hal-hal yang demikian itu tidak berlaku keringanan.

Wahbah Az-Zuhaily membagi masyaqqah menjadi dua bagian yaitu:

  1. pertama, kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Karena itu Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak mengugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak meringankan, karena hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qayyim menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhirat dapat mengikuti kadar kepayahan itu.

  2. Kedua, kesulitan gairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika dia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah). Seperti wanita yang selalu istihadah, maka wudhunya cukup untuk salat wajib serta untuk salat sunah yang lainnya tidak diwajibkan, dan diperbolehkan salat khauf bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya.

Imam As-Suyuti membagi masyaqqah yang mengakibatkan gugurnya suatu kewajiban ke dalam tiga jenis, yaitu:

  1. Pertama, Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung (a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada taraf inilah syari’at memberlakukan keringanan hukum (rukhsah). Sebab, pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at lebih diutamakan dari pada tidak melakukan sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’ melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa maupun raganya. Hal ini tentu akan membuat kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan diberlakukannya rukhs}ah, maka kewajiban tersebut tetap bisa terlaksana.

  2. Kedua, Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal, pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada sama sekali legitimasi syari’at untuk memberi rukhs}ah. Sebab ke-maslahat-an ibadah masih lebih penting dari pada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari hal- hal seperti ini masih sangat minim, sehingga kemaslahatan ibadah yang nyata-nyata punya nilai lebih besar harus lebih diutamakan.

  3. Ketiga, Masyaqqah pertengahan (al-mutawasitah) yang berada pada titik interval di antara dua bagian sebelumnya. Jenis masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhs}ah, jika telah mendekati kadar masyaqqah pada urutan yang tertinggi (a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat menyebabkan rukhsah.