Kata al-Khaliq berasal dari kata khalaqa berarti menentukan sesuatu juga berarti memperhalus sesuatu. Makna ini kemudian berkembang antara lain dengan arti, menciptakan dari tiada, menciptakan tanpa ada satu contoh terlebih dahulu, mengatur, membuat dan sebagianya. Biasanya kata khalaqa dalam berbagai bentuknya memberikan aksentuasi tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya, berbeda dengan kata ja’ala yang berarti menjadikan yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari suatu yang dijadikan-Nya itu.
Kata khâliq, terdapat dalam Al-Qur`an sebanyak 8 kali, selain bentuk-bentuk lain yang menunjukkan akar kata yang sama. Para pakar bahasa membedakan antara kata “khalaqa” (menciptakan) dengan ja’ala (menjadikan). “Khalaqa” menunjukkan arti penciptaan sesuatu dari tidak ada. Sedang ja’ala menjadikan sesuatu dari sesuatu yang lain. Karena itu, kata “khalaqa” biasanya memiliki pengertian tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Berbeda dengan kata ja’ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang dapat diperoleh dari sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Misalnya dalam surat al-An’âm: 1,
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka.”
Dalam ayat ini, kata khalaqa digunakan untuk penciptaan langit dan bumi, karena memang penciptaannya dari tidak ada. Sedang kata ja’ala untuk pembuatan cahaya dan kegelapan, karena kejadiannya berasal dari sesuatu yang sudah ada, yaitu pergerakan matahari dan bumi.
Nama Allah Al-Khâliq memberikan pengertian, bahwa hanya Allah yang Maha Menciptakan jagat raya beserta isinya, termasuk manusia. Dalam menciptakan sesuatu, pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan sesuatu atau bantuan siapa pun. Kalau Allah menginginkan sesuatu, maka jadilah. Sebagaimana kalam Allah, yang artinya,
“Demikianlah, Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia.” (Q.s. Ali Imran: 47).
Jadi al-Khaliq adalah pencipta awal dari segala sesuatu dan menetukan hukum-hukumnya,
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Q.s. al Furqan: 2).
Maksud penciptaan adalah sejak proses pertama hingga lahirnya sesuatu dengan ukuran tertentu, bentuk, rupa, cara dan substansi tertentu, sering hanya dilukiskan Alqur’an dengan kata Al-Khalq. Kata ini dengan berbagai bentuknya ditemukan tidak kurang dari 150 kali. Allah Swt. Menciptakan segala sesuatu secara sempurna dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ukuran yang diberikan kepada setiap makhluk adalah yang sebaik-baiknya sesuai firman-Nya;
“(Allah) Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah”, (Q.s. as - Sajadah : 7).
Manusia diciptakan-Nya dalam Ahsani Taqwim, sesuai dengan firman-Nya,
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.s. At-Tin : 4).
Dengan demikian Alalh sebagai pencipta al-Khaliq segala sesuatu, selain kesempurnaan pada bentuknya, ukuran-ukuran dan keseimbangannya, juga tujuan dan tugas tertentu, maka jika demikian pasti Allah Maha Berpengetahuan (Al-‘Alim).
Alqur’an secara tegas menyatakan bahwa Allah adalah sebaik-baik pencipta Ahsanu al-Khaliqin, sesuai dengan firman-Nya,
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Q.s. al-Mu’minn: 14).
Ini memberi kesan bahwa ada semacam keterlibatan makhluk dalam terwujudnya satu ciptaan, karena itu Allah menggunakan redaksi dengan kata Khalaqna al-Insana. Kata berkaitan penciptaan reproduksi manusia, menujukkan keterlibatan selain Allah, yaitu manusia, ibu bapaknya. Sedang ketika menggunakan kata Khalaqtu , seperti pada penciptan Adam menunjukkan tidak ada keterlibatan pihak lain (ibu bapak).
Menurut pakar bahasa, jika kata Al-Khâliq berbentuk jamak (Al-Khâliqîn) seperti dalam surat al-Mu`minûn: 14 dan asy Shâffât: 125, maka hal itu menunjukkan bahwa dalam penciptaan tersebut, Allah menyertakan makhluk-Nya. Sedang ketika menggunakan kata tunggal (Aku ciptakan), seperti pada surat Shâd: 75, yang berkaitan dengan penciptaan Adam, maka penciptaan tersebut tidak menyertakan makhluk-Nya.
Ketika Allah menciptakan sesuatu, bukan berarti Allah membutuhkan ciptaan-Nya atau mengambil manfaat darinya. Namun, dengan ciptaan-Nya, Allah ingin menunjukan kebesaran dan keagunganNya, sehingga seluruh makhluk dapat mengenali-Nya.
Seorang hamba yang selalu berzikir dengan nama Al-Khâliq, akan lahir dalam dirinya rasa untuk mengagungkan Allah dan selalu berusaha untuk menemukan hikmah dan karunia di balik ciptaan-ciptaan Allah yang Mahaagung.
Seperti yang dilakukan oleh Ulil Albab, yang diterangkan dalam kalam-Nya, yang artinya,
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 191).
Maka, timbul dalam diri seseorang untuk meneladani nama Al-Khâliq, dengan selalu berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk melahirkan ciptaan-ciptaan kreatif dan memberi nilai manfaat yang tinggi untuk kehidupan manusia. Misalnya, apa yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Imam Syafi’i, al-Ghazâli, Ibu Sina, al-Khawarizmi, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.
Jika seseorang kreatif, membuat sesuatu, ahli dalam melakukanya, bahan, ukuran, bentuk dan tujuan penciptaannya diperhitungkan berarti dia telah mengamalkan sifat ini. Karya-karya yang lahir dari ahlinya akan mendatangkan manfaat pada dirinya dan pada masyarakat luas. Tentu saja dalam mengamalkannya harus atas nama Allah Yang Mahapencipta (al- Khaliq), bukan karena motivasi yang lain. Dengan demikian pekerjaan/berkarya merupakan pengabdian kepada Allah, maka orang itu tidak akan jenuh menghadapi pekerjaannya itu karena yang dicari, hidup di dunia ini bukan popularitas atas suatu keahlian, tetapi dipahami sebagai jalan untuk dekat kepda Allah, mendapatkan ridhah-Nya.
Karena Dia yang meletakkan dalam diri setiap manusia potensi (kreatif) tersebut, maka dalam mengerjakan/ membuat sesuatu harus atas nama-Nya.
Referensi :
- Dr. Hasan el-Qudsy, The Miracle of 99 Asmaul Husna, Ziyad Book, 2014
- Abd Rahman R, Memahami esensi asmaul husna dalam alqur’an (Implementasinya Sebagai Ibadah dalam Kehidupan), UIN Alauddin