Kata Al-Hamîd berasal dari akar kata hamida yang berarti memuji. Kata ini terulang dalam Al-Qur`an sebanyak 16 kali sebagai nama Allah. Kata Al-Hamid terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ha’, mim, dan dal, yang maknanya menunjuk kepada “antonym tercela”. Dari sini nabi terakhir dinamai Muhammad, karena tidak ada sifat tercela yang beliau sandang.
Sebagian ulama membedakan antara al-hamd, dan asy-syukru, yang mana keduanya memiliki kesamaan. Al-hamdu digunakan untuk memuji sebuah kebaikan yang sengaja dilakukan, baik kebaikan itu untuk orang yang memujinya atau orang lain. Sedangkan asy-syukru adalah bentuk pengakuan terhadap nikmat yang diperoleh dari pemberi, baik dengan lisan, hati, atau raga. Bedanya, al-hamdu lebih umum daripada syukur, karena kita memuji seseorang untuk seluruh sifat kebaikan dan pemberiannya. Adapun syukur hanya memuji terhadap pemberiannya, tidak termasuk sifat kebaikannya.
Allah Al-Hamîd, artinya Allah yang Maha Terpuji Zat-Nya, sifat-Nya, nama-nama-Nya, dan perbuatan-Nya. Dia-lah yang memiliki pujian dan berhak dipuji. Allah Mahakaya, sehingga tidak membutuhkan pujian dari siapa pun. Orang yang memuji-Nya tidak akan menambah kemuliaan-Nya. Orang yang mencela-Nya pun tidak akan mengurangi keagungan-Nya. Hanya Dia yang mampu memuji diri-Nya dengan sempurna sesuai dengan kedudukan-Nya.
Seluruh makhluk-Nya tidak ada yang mampu memuji dengan pujian yang patut dengan kedudukan-Nya. Karena, seluruh makhluk-Nya tidak ada yang mengetahui jumlah nikmat-Nya dan tidak mampu menghitungnya. Rasulullah saw mengatakan dalam doanya,
“Aku tidak dapat menghitung pujian-pujian bagi-Mu. Eng- kau adalah sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.” (HR. Muslim).
Karena itu, pantas jika Allah memuji diri-Nya sendiri. Dan yang berhak memuji diri sendiri hanyalah Allah. Jika ada makhluk yang memuji dirinya sendiri, jelas itu merupakan kesombongan yang tidak pantas dilakukannya.
Seorang hamba yang meneladani nama Al-Hamîd, akan selalu bersyukur dan memuji Allah dalam kondisi apa pun. Tidak pernah mengeluh dan selalu berbaik sangka terhadap keputusan Allah. Bisa jadi, yang dikira manusia itu buruk, di sisi Allah adalah kebaikan baginya. Dia pandai berterima kasih kepada sesama. Sebab, seseorang tidak bisa dikatakan telah bersyukur kepada Allah, sampai ia mampu berterima kasih kepada sesama.
Referensi :
- Dr. Hasan el-Qudsy, The Miracle of 99 Asmaul Husna, Ziyad Book, 2014
- Sulaiman Al-Kumayi, Asma’ul Husna For Super Woman, Semarang, Pustaka Nuun, 2009