Apa Yang Dimaksud Dengan Al-Azhiim atau Maha Agung?

Agung

Dalam Al-Qur’an kata Azhim (Maha Agung), muncul sebanyak seratus kali. Kata Azhim dapat dipahami bahwa keagungan Allah itu melebihi keagungan yang agung. Keagungan makhluk bersumber dari keagungan-Nya.

Keagungan Allah itu berlangsung terus menerus, mutlak, tak bertepi, dan tidak bisa diverifikasi manusia. Dalam al-Qur’an, kata ‘Azhim yang merujuk sebagai sifat Allah, selain berdiri sendiri, ada juga yang berangkaian dengan sifat lainnya, seperti al-Aliy (Yang Maha Tinggi).

Nilai yang terkandung di dalam al- Azhiim:

Apabila seseorang beriman dan membaca “Ya Azhiim” sebanyak 1.051x setelah shalat Tahajjud, Insya Allah ia akan menjadi pribadi yang berwibawa terhadap orang lain.

Apa yang dimaksud dengan Al-‘Azhiim atau Maha Agung ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Alangkah mengherankan, bagaimana mungkin keberadaan sesuatu yang “pasti ada” (Allah) bisa terhalang oleh sesuatu yang (sebelumnya) “tidak ada” (yaitu makhluk)? Bagaimana mungkin pula sesuatu yang baru (al-hadits, yaitu makhluk) dapat bersama dengan Zat yang memiliki sifat Qidam (tidak berpermulaan)?

Telah sepakat pendapat ulama Arifin dan Muhaqqiqin, yakni para ulama Islam yang memiliki akhlak Tasawuf dan Ketuhanan sangat luas dan mendalam, bahkan disertai pula dengan perasaan mereka sendiri bahwa sesuatu selain Allah s.w.t. pada hakikatnya tidak ada.

Semuanya itu tidak dapat dikatakan ada sebagaimana adaNya Allah s.w.t. Sebab barangsiapa yang berpendapat bahwasanya alam ini bersifat ada seperti adanya sifat Allah s.w.t., maka berarti ia telah musyrik, mempersekutukan Allah s.w.t. dengan lainnya. Dan hal itu bertentangan dengan hakikat Tauhid yang suci murni.

Firman Allah Ta’ala dalam Al-Quran:

Dan janganlah kamu seru Tuhan yang lain di samping Allah. Tidak ada Tuhan selain daripadaNya. Segala sesuatu akan binasa selain Dia Allah s.w.t. Hukum kekuasaan itu kepunyaan Allah dan kepadaNya kamu akan dikembalikan.” (Al-Qashash: 88)

Teranglah dengan ayat ini bahwa yang bersifat ada pada hakikatnya dan sebenarnya adalah Allah s.w.t. Selain Allah, meskipun kita lihat keberadaannya, tetapi hal itu hanyalah menurut pandangan lahiriah. Karena segala-galanya yang terjadi pada selain Allah adalah dengan kehendakNya menurut ilmuNya dan dengan kekuasaanNya.

Pada satu waktu, semua selain Allah akan tiada dan akan binasa. Berkata penyair:

“Ketahuilah! Segala sesuatu selain Allah adalah batil (pada hakikatnya tidak ada). Dan sesuatu nikmat bukanlah ahl yang mustahil akan hilang (pada waktunya).”

Hamba-hamba Allah yang ‘Arifin dan Muhaqqiqin, dalam hati dan perasaan mereka telah begitu tebal keyakinan dan aqidah tentang Allah s.w.t., sehingga mereka tidak memerlukan selainNya. Segala-galanya itu adalah dari Allah s.w.t. yang Maha Cukup dengan DzatNya dan sifat-sifatNya. Dia adalah Qadim, adaNya tidak berpermulaan, dan lagi kekal selama-lamanya.

Berkata Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily r.a.: Bahwasanya kita melihat Allah s.w.t. adalah dengan penglihatan iman dan yakin.

Ulama Muwahhidin Mutashauwifin berkata :

“Jikalau aku dipaksa melihat selain Allah, niscaya aku tidak akan sanggup, karena tidak ada sesuatu yang lain beserta Allah sehingga aku melihatnya serta
melihat Allah.”

Maksudnya, apabila aqidah Tauhid telah begitu mendalam, maka meskipun mata kita melihat segala sesuatu dalam alam ini, tetapi Allah yang selalu terlihat oleh kita dan tidak lain.

Oleh sebab itu, tidak perlu lagi bagi kita dalil dan burhan yang menunjukkan ujudnya Allah. Bahkan Allah yang kita lihat adalah dalil atas makhluk-makhlukNya. Pada hakikatnya, sesuatu yang maujud di dalam alam ini adalah dari Allah yang Maha Esa lagi Maha Benar.

Kebanyakan kita manusia, penglihatan kita, pendengaran kita, dan perasaan kita terdinding dari Allah s.w.t. karena disebabkan oleh syahwat keduniaan. Meskipun pada syariat dan hukum fiqh, syahwat keduniaan itu tidak diharamkan, tetapi hal itu dapat melupakan kita kepada Allah s.w.t., apabila kita mengelola dan menguasai syahwat kita.

Demikian juga pahala-pahala akhirat dan kemuliaan-kemuliaan yang datang dari amal ibadah, pada hakikatnya juga dapat menjadi dinding kita dengan Allah s. w.t. Sebab ini menurut hamba-hamba Allah yang Arifin, ibadah kita merupakan debu-debu yang nihil dan tiada. Tetapi yang Maha Agung dan Perkasa adalah Allah s.w.t.

Oleh sebab itu apabila segala hijab-hijab ini sudah terangkat dari kita, maka kita pasti akan lupa pada dunia dan akhirat, bahkan juga, kepada hal-hal, derajat-derajat dalam tingkatan-tingkatan aqidah kita dan zikir-zikir kita. Pada waktu itu kita fana pada segala-galanya dan terbukalah bagi kita dalam perasaan dan penglihatan kita sendiri atas kebesaran dan keagungan Allah s.w.t. Kita tenggelam dalam pengagungan ta’zim kepada Allah, sehingga akal perasaan kita tertumpah padaNya.

Menurut ulama Tasawuf, fana terbagi atas 3 macam:

  • Fana Fil-Af’aal. Bahwa tidak ada seorang pun yang berkuasa di dalam alam ini selain hanya Allah s.w.t.

  • Fana Fis-Shifaat. Yakni diri kita tenggelam dalam perasaan, bahwa pada hakikatnya tidak ada yang hidup, pada hakikatnya tidak ada yang berilmu,
    pada hakikatnya tidak ada yang berkuasa, pada hakikatnya tidak ada yang berkehendak, pada hakikatnya tidak ada yang Maha Mendengar dan pada hakikatnya tidak ada yang berkata-kata selain Allah s.w.t.

  • Fana Fidz-Dzaat. Yakni apabila baginya segala alam yang ada ini telah hilang, karena perasaannya tertuju atas yang maujud hakiki, yaitu pada Allah s.w.t.

Berkata Muhyiddin Ibnul ‘Araby:

“Barangsiapa yang melihat makhluk di mana tidak ada kekuasaan pada mereka, maka sungguh menang ia. Dan barangsiapa melihat makhluk dimana tidak ada hidup pada mereka, maka sungguh telah meliputi ia (meningkat naik pada tingkatan-tingkatan aqidah Ilahiah). Dan barangsiapa yang melihat makhluk adalah nihil, maka sungguh ia telah sampai (ke titik yang dituju).”

Berkata penyair:

Barangsiapa yang melihat makhluk (keseluruhannya sebagai fatamorgana) penglihatan yang lain dari kenyataan, maka sungguh ia telah naik jauh dari hijab-hijab yang mendindingnya.

Ia telah naik menuju wujud yang dilihatnya dengan sesungguhnya (yakin) tidak jauh dan tidak hampir.

Ia tidak melihat dengan penglihatannya terkecuali ujud yang hakiki (Allah s.w.t.) di sanalah ia dapat petunjuk kepada jalan yang betul.

Marilah kita angkat semua hijab dan dinding yang membatasi kita dengan Allah s.w.t. Segala hijab-hijab itu ialah segala syahwat duniawi dan ambisi mencapai pahala ukhrawi dan tingkatan-tingkatan dalam ukuran ibadah yang terlintas dalam hati. Semuanya ini harus diangkat dari hati kita dan perasaan kita demi supaya betul-betul terarah kepada Allah s.w.t. dengan keridhaanNya yang kita cari, dan yang kita kehendaki. Apabila semua hijab-hijab ini telah terangkat, maka barulah kita mencapai tawakkal yang sebenarnya kepada Allah s.w.t.

Dia adalah Maha Agung pada DzatNya, pada segala perbuatanNya dan pada segala sifatNya.

Insya Allah kita akan terus dipimpin oleh Allah kepada jalan yang betul, kita mendapat keridhaanNya dengan nikmat makrifat yang sempurna terhadapNya. Amin!

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing