Apa yang dimaksud dengan Akad?

image

Akad merupakan hal yang penting dalam melakukan transaksi yang sesuai dengan syariah.

Lalu, Apa yang dimaksud dengan Akad?

1 Like

Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqad yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Secara etimologi fiqh, akad didefinisikan sebagai: “Perkataan ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan”.

Rukun Akad

Jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun akad terdiri dari:

  1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat akad)
  2. Pihak-pihak yang berakad (al-muta’aqidain)
  3. Obyek akad (al-ma’kud ‘alaih) Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun akad itu hanya sighat akad (ijab qabul).

Adapun menurut ulama fiqh, syarat-syarat ijab qabul adalah:

  1. Tujuan dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya.
  2. Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian
  3. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu kepada suatu kehendak masingmasing pihak secara pasti.

Syarat-syarat Akad

Syarat-syarat akad secara umum adalah:

  1. Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cukup bertindak hukum atau mukallaf
  2. Obyek akad itu diakui oleh syara’
  3. Akad itu tidak dilarang oleh syara’
  4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu
  5. Akad itu bermanfaat
  6. Pernyataan ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul
  7. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi
  8. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’

Adapun unsur-unsur akad itu ada 4, yaitu:

  1. Sigat akad
  2. Dua orang yang saling mengadakan akad
  3. Tempat akad
  4. Tujuan akad

Adapun syarat-syarat aqid (orang yang akad) antara lain adalah ahli akad. Ahli adalah suatu kepantasan atau kelayakan, sedangkan ahli menurut istilah adalah kepantasan seseorang untuk mendapatkan hak yang telah ditetapkan. Ahli akad dibagi menjadi 2, yaitu:

  1. Ahli wajib
    Yaitu kepantasan atau kelayakan seseorang untuk menetapkan suatu kemestian yang harus menjadi haknya.

  2. Ahli wilayah
    Wilayah menurut bahasa adalah penguasaan terhadap suatu urusan dan kemampuan untuk menegakkannya. Menurut istilah, wilayah adalah kekuasaan seseorang berdasarkan syara’ yang menjadikannya mampu untuk melakukan akad dan tasarruf.

Definisi Akad

Akad dalam bahasa Arab al-‘aqdu yang merupakan jama’ dari al- ‘uqud, yang mempunyai arti ikatan atau yang mengikat (ar-rabth). Al- ‘aqdu adalah Ar-rabthu wa al-ikhaam wa at-taqwiyah ( mengikat, menetapkan, menguatkan) dalam kamus Misbaah al-Muniir dinyatakan ‘Aqadtu al-habla ‘aqd (an) fa (i) n’ aqada ( aku mengikat tali dengan satu ikatan sehingga menjadi terikat). Al-Uqdah adalah apa yang diikat dan dikuatkan. Jadi Aqdu bermakna al-istiisyaaq (mengikat kepercayaan) dan As-syadd (penguatan). Hal ini tak akan terjadi apabila tidak ada dua belah pihak yang berakad.

Secara istilah, al-‘aqdu adalah keterpautan antara ijab dengan kabul menurut konteks yang dibenarkan syariah, yang memunculkan implikasi pada objeknya. Ijab adalah ucapan pertama yang keluar dari salah satu pihak sebagai ungkapan dari ketegasan kehendaknya dalam
melangsungkan akad, baik dengan perkataan “Aku menjual (Bi’tu)” atau “Aku membeli (Isytaraytu)”. Adapu Kabul adalah apa yang keluar dari pihak kedua setelah adanya ijab yang mengungkapkan persetujuan terhadap ijab. Apabila ijab dan kabul telah dilaksanakan sesuai dengan syarat syarinya, maka salah satu pihak telah melakukan suatu ikatan.

Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.

Rukun Akad

Rukun akad ada tiga, yaitu :

  1. Dua pihak yang berakad (al-‘aqidain) yaitu: dua pihak dalam akad yang tanpa keduanya tidak akan terjadi suatu akad.

  2. Objek akad (mahal al-'aqd) yaitu: suatu objek yang dijadikan akad.

  3. Redaksi akad (shighat al-‘aqdi) yaitu: ungkapan timbal balik yang menunjukan kesepakatan kedua pihak. Lafaz sighat haruslah memberikan makna kepastian dengan deskripsi yang tidak ada keraguan didalamnya dan tidak ada pula penundaan. Redaksi dalam ijab dan kabul adalah redaksi kata kerja lampau (madhi), seperti bi’tu (aku menjual) dan qabiltu (aku menerima), akan tetapi apabila akad tersebut menggunakan redaksi mudhari
    (kata kerja kekinian), dengan maksud sekarang, maka jual beli itu terakadkan. Jual beli juga sah dengan tulisan atau pelabelan harga yang kemudian harganya diserahkan kepada penjual dengan sukarela.

Syarat Umum Suatu Akad

Para ulama fikih menetapkan ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad , di samping setiap akad juga mempunyai syarat-syarat khusus. Umpamanya akad jual beli memiliki syarat-syarat tersendiri, berikut ini yang merupakan syarat-syarat suatu akad adalah :

  1. Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). Apabila belum mampu, harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu suatu akad yang dilakukan oleh orang yang kurang waras (gila) atau anak kecil yang belum mukallaf secara langsung hukumnya tidak sah.

  2. Obyek akad itu, diakui oleh syara’. Obyek akad harus memenuhi syarat:
    a) Berbentuk harta
    b) Dimiliki seseorang
    c) Bernilai harta menurut syara’

    Dengan demikian, yang tidak bernilai harta menurut syara’ tidak sah seperti khamar (minuman keras). Disamping itu, Jumur Fukaha selain ulama Mazhab Hanafi mengatakan, bahwa barang najis seperti anjing, babi, bangkai dan darah tidak boleh dijadikan obyek akad, karena barang tersebut tidak bernilai menurut syara’.

    Menurut Mustafa az-Zarqa’ harta wakaf pun tidak dapat dijadikan sebagai obyek akad. Sebab harta wakaf bukanlah hak milik yang dapat diperjualbelikan. Harta wakaf adalah hak milik bersama kaum muslimin, bukan milik pribadi seseorang. Dengan demikian, harta wakaf sebagai obyek jual beli itu tidak sah. Lain halnya menurut Mustafa az-Zarqa’ sewa-menyewa harta wakaf diperbolehkan, karena harta wakaf itu tidak berpindah tanggan secara penuh kepada pihak penyewa.

    Obyek akad juga harus ada dan dapat diserakan ketika akad berlangsung, karena memperjualbelikan sesuatu yang belum ada dan tidak mampu diserahkan hukumnya tidak sah. Contohnya: jual padi yang belum berbuah, menjual janin hewan yang masih dalam kandungan.

    Menurut Fukaha, ketentuan diatas tidak berlaku terhadap ‘aqd salam (indent), istishna’ (pesanan barang), dan musaaqah (transaksi antara pemilik kebundan pengelolanya). Pengecualian ini dibenarkan atas dasar, bahwa akad-akad semacam itu dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat kebiasaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat.

  3. Akad itu tidak dilarang oleh nash dan syara’. Atas dasar ini, seseorang wali (pemelihara anak kecil), tidak dibenarakan menghibahkan harta anak kecil tersebut. Seharusnya harta anak kecil itu dikembangkan, dipelihara dan tidak diserahkan kepada seseorang tanpa dananya suatu imbalan (hibah). Apabila terjadi akad, maka akad itu batal menurut syara’.

  4. Akad yang dilakukan ini memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disamping harus memenuhi syaratsyarat umum. Syarat-syarat khusus, umpamanya : syarat jualbeli berbeda dengan syarat sewa-menyewa dan gadai.

  5. Akad itu bermanfaat. Umpamanya: seorang suami mengadakan akad dengan istrinya, bahwa suami akan memberi upah kepada istrinya dalam urusan rumah tangga. Akad semacam ini batal, karena seorang istri memang berkewajiban menggurus rumah.

  6. Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul. Umpamanya: dua orang pedahgang dari dua daerah yang berbeda, melakukan transaksi dagang dengan surat (tulisan), pembeli barang melakukan ijabnya melalui surat yang memerlukan waktu beberapa hari. Sebelum surat itu sampai kepada penjual, pembeli telah wafat atau hilang ingatan (gila). Transaksi semacam ini menjadi batal, sebab salah satu pihak telah meninggal atau gila (tidak bisa lagi bertindak atas nama hukum).

  7. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan suatu proes transaksi. Menurut Mustafa az-Zarqa’, majelis itu dapat berbentuk tempat dilangsungkan akad dan dapat juga berbentuk keadaan selama proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak pada satu tempat.

  8. Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara’. Umpamanya: maalah jual-beli, jelas bahwa tujuannya untuk memindahkan hak-milik penjual kepada pembeli dengan imbalan. Begitupula dengan akad-akad lainnya. Bentuk lain yang tidak diakui syara’ adalah menjual anggur kepada pabrik pengelola minuman keras.

Referensi

Sayyidah, Sayyidah (2017) Penerapan akad mudharabah pada produk Simpanan Hari Raya Idul Fitri (SHaRi) di KSPPS Arthamadina Banyuputih Batang. Diploma thesis, UIN Walisongo, Semarang.