Apa yang dimaksud dengan Adversity Quotient?

Adversity Quotient

Adversity quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup, dalam hal ini tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap kesulitan hidup.

Bagaimana penjelasan yang lebih rinci terkait dengan Adversity quotient ?

image

Konsep Adversity quotient (AQ) yang dikemukan oleh Stoltz ini member wacana baru mengenai kualitas pribadi yang diperlukan seseorang untuk meraih kesuksesan di segala aspek kehidupannya. Konsep ini merupakan hasil penelitian selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun serta melibatkan laporan dari 7500 orang yang pernah mengikuti seminarnya.

Melalui konsep AQ ini, Stoltz memberikan teknik yang menjamin individu menjadi seseorang yang lebih psroduktif, kreatif dan kompetitif sekaligus mampu mengurangi lingkungan yang terus berubah dan bergejolak, serta dapat mengatasi ancaman-ancaman dan kegagalan-kegagalan yang dialami.

Pengertian Adversity Quotient


Menurut Stolzt (2000), defenisi AQ dapat dilihat dalam tiga bentuk yaitu :

  • Adversity quotient (AQ) adalah suatu konsep kerangka kerja guna memahami dan meningkatkan semua segi dari kesuksesan.
  • Adversity quotient (AQ) adalah suatu pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan
  • Adversity quotient (AQ) merupakan alat yang didasarkan pada pengetahuan sains untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam berespon terhadap kesulitan.

Adversity quotient (AQ) adalah suatu konsep mengenai ketahanan individu dalam menghadapi berbagai kesulitan di berbagai aspek kehidupannya.

Melalui Adversity quotient (AQ) dapat diketahui seberapa jauh individu tersebut mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan yang dialami, sekaligus kemampuannya untuk mengatasi kesulitan tersebut. AQ dapat meramalkan siapa yang akan tampil sebagai pemenang dan siapa yang akan putus asa dalam ketidakberdayaan sebagai pecundang.

Selain itu, Adversity quotient (AQ) dapat pula meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan saat menghadapi suatu kesulitan. Dalam konsep Adversity quotient (AQ), hidup diumpamakan sebagai suatu pendakian. Kesuksesan adalah sejauh mana individu terus maju dan menanjak, terus berkembang sepanjang hidupnya meskipun berbagai kesulitan dan hambatan menjadi penghalang (Stolzt,2000).

Peran Adversity quotient (AQ) sangat penting dalam mencapai tujuan hidup atau memperhatankan visi seseorang, Adversity quotient (AQ) digunakan untuk membantu individu memperkuat kemapuan dan ketekunannya dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sambil tetap berkembang pada prinsip dan impian yang menjadi tujuan.

Teori Dasar Adversity Quotient


Adversity quotient (AQ) sebagai faktor utama yang menentukan kemampuan individu untuk tetap bertahan menghadapi berbagai kesulitan, dibentuk berdasarkan tiga bidang ilmu yang berbeda (The Three Building Block of AQ).

Ketiga bidang ilmu tersebut terdiri dari beberapa teori yang menyusunnya, yaitu Psikologi Kognitif, Psikoimunologi dan Neuropsikologi. Penjelasan ketiga teori tersbut dijelaskan sebagai berikut :

Balok Pembangunan Pertama : Psikologi kognitif

Pembangunan pertama ini berdasarkan pada beberapa penelitian yang berkaitan dengan kebutuhan manusia akan kendali (kontrol) atau penguasaan terhadap hidupnya. Psikologi Kognitif mencakup beberapa konsep penting untuk memahami motivasi, efektifitas dan kinerja manusia. Beberapa teori Psikologi Kognitif yang berhubungan dengan Adversity quotient (AQ) adalah sebagai berikut :

  • Learned Helplessness
    Learned Helplessness menjelaskan tentang hilangnya kontrol yang dipersepsikan terhadap kejadian yang menyulitkan. Teori ini menggambarkan tentang kekuatan kepercayaan bahwa apapun yang dilakukkan oleh seseorang tidak akan memiliki pengaruh terhadap hidupnya atau dengan kata lain, individu tersebut merasa ia tidak memiliki kendali atas kegagalan atau hambatan dalam kehidupannya.

    Menurut American Psychological Associattion (APA), ketidakberdayaan yang dipelajari ini merupakan alasan banyaknya individu yang menyerah saat menghadapi tantangan hidup. Learned Helplessness akan melemahkan kinerja, produktifitas, motivasi, energi, balajar, peningkatan, pengambilan resiko, kreativitas, kesalahan, vitalitas, ketangguhan dan ketekunan (Stoltz,2000).

    Sama halnya dengan rasa ketidakberdayaan yang dapat diperoleh dengan pembelajaran, Adversity quotient (AQ) pun adalah suatu aspek yang dapat dipelajari. Walaupun faktor hereditas dapat mempengaruhi intelegensi seseorang, termasuk adversity intelligence, namun faktor tersebut bukanlah faktor penentu yang mutlak.

    Melalui pembelajaran dan pelatihan, ketangguhan seseorang dalam menghadapi tantangan dapat ditingkatkan.

  • Gaya penjelasan, Atribusi dan Optimisme
    Gaya penjelasan setiap individu terhadap kemalangan atau kesulitan yang dihadapinya berbeda-beda, tergantung pada bagaimana ia merespon situasi sulit tersebut. Berkaitan dengan teori atribusi, Weiner ( Bintari, dalam Lasmono,2001) memaparkan bahwa atribusi memiliki dimensi stabilitas, kuasalitas dan pengendali.

    Mengenai optimisme dan pesimisme, penelitian yang dilakukkan oleh Dweck (dalam Stoltz, 2000) menunjukkan bahwa indvidu yang pesimis akan merespon kegagalannya sebagai sesuatu yang permanen dan bersifat personal. Sedangkan individu yang optimis akan merespon kegagalan yang dideritanya sebagai sesuatu yang temporal dan bersifat eksternal.

    Optimisme dapat terbentuk melalui pengajaran yang didapat semasa kanak-kanak. Wanita pada umumnya akan cendrung merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sulit dirubah karena kurangnya kemampuan yang mereka miliki, sedangkan pria cenderung meyakini bahwa mereka meyakini bahwa mereka akan dapat merubah segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka dikarenakan semasa kanak-kanak lingkungan mengajarkan bahwa mereka adalah kaum pria yang memiliki kemampuan lebih dari wanita.

  • Keteguhan dan Kemampuan Bertahan dalam Menghadapi Kesulitan
    Kobasa (Sarafino, 1994 dalam Lasmono, 2001) menjelaskan bahwa dalam keadaan di bawah tekanan, individu yang lebih teguh akan lebih sehat daripada individu yang kurang teguh. Hal ini disebabkan oleh individu yang teguh bisa mengatasi tekanan lebih baik dan kurang memiliki kecenderungan untuk menjadi cemas dan terusik dengan tekanan itu. Oulette (dalam Stoltz, 2000) menemukan bahwa individu yang teguh relative lebih sedikit merasakan akibat yang negative dari kemalangannya ketimbang individu yang tidak teguh.

    Keteguhannya (hardiness) merupakan predictor dari kesehatan fisik dan mental serta kualitas kehidupan secara menyeluruh. Individu yang terbiasa mengalami kesulitan dalam hidupnya, memiliki kemampuan finansial yang kurang serta sering mengalami pengalaman kegagalan dan kemampuan untuk kembali bangkit akan dapat merespon kesulitan tersebut lebih baik. Mereka dapat menghayati kesulitan yang mereka alami sebagai hal biasa yang akan segera berlalu sehingga kesulitan-kesulitan ini tidak mempengaruhi hal lain dalam hidup mereka

  • Ketabahan atau Reseliensi (Resilience)
    Resiliensi, stress resistence atau invulnerability adalah proses-proses yang terjadi saat individu menghadapi resiko sedemikinan rupa hingga ia memperoleh hasil yang sama baiknya atau bahkan lebih baik lagi dari saat tidak ada resiko.

    Dalam defenisi ini, individu yang resilian adalah individu yang tidak begitu saja menghindari hasil yang paling negative berkaitan dengan resiko, akan tetapi justru menunjukkan adaptasi yang cukup atau bahkan lebih dari cukup dalam menghadapi situasi sulit atau kemalangan.

    Resiko itu sendiri adalah hal-hal yang menyebabkan individu memperoleh hasil yang negative atau tidak diinginkan (Cowan,Hetherington & Blechman, 1996 dalam Lasmono, 2001).

  • Self-efficacy dan Locus of Control
    Bandura (1986) mengemukakan defenisi Self-efficacy sebagai penilaian individu mengenai kemampuannya untuk mengelola dan melakukan suatu performa yang spesifik. Kualitas ini tidak berkaitan dengan keterampilan melainkan berkaitan dengan penilaian mengenai apa yang dapat ia lakukan dengan keterampilan apa pun yang dimilikinya.

    Self-efficacy memiliki berbagai perilaku, usaha yang dilakukan, ketekunan, pola-pola perilaku dan reaksi-reaksi emosional. Locus of Control internal akan membuat individu secara aktif akan mengejar atau menolak imbalan (rewards) dan hukuman (punishments) karena dia merasa dia sendirilah yang mengendalikan imbalan dan hukuman, sebaliknya, Locus of Control eksternal cenderung akan membuat individu bersikap pasif menerima hukuman maupun imbalan.

Dari kombinasi teori-teori tersebut, Stoltz (2000) mengemukakan Master Theory of Control, yaitu:

  • Kesuksesan sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan atau menguasai kehidupan.

  • Kesuksesan sangat dipengaruhi dan dapat diramalkan melalui bagaimana individu merespon terhadap kesulitan dan gayanya dalam menjelaskan situasi sulit tersebut.

  • Dalam merespon kesulitan atau kemalangan, individu-individu menampilkan responnya dalam pola-pola yang khusus.

  • Apabila tidak mendapat hambatan atau koreksi, maka pola-pola tersebut akan konsisten seumur hidup.

  • Pola-pola ini tidak sepenuhnya disadari karena bekerja di bawah sadar.

  • Dengan demikian, apabila individu dapat mengukur dan memperkuat caranya dalam berespon terhadap kesulitan maka dia akan dapat menikmati produktivitas, kinerja, vitalitas, ketabahan, proses belajar, peningkatan, motivasi dan kesuksesan yang lebih baik.

Balok Pembangunan kedua : Psychoneuroimmunologi

Berbagai penelitian di bidang psikoneuroimunologi telah membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung antara apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu dengan proses yang terjadi dalam tubuhnya. Kesimpulan yang di peroleh dari penelitian-penelitian tersbut adalah:

  1. Terdapat hubungan langsung antara bagaimana individu berespon terhadap kesulitan dengan kondisi mental dan kesehatan fisik.

  2. Kemampuan mengendalikan (kontrol) sangat penting bagi kesehatan dan umur panjang.

  3. Bagaimana individu beresponterhadap kesulitan (AQ) akan mempengaruhi fungsi-fungsi kekebalan, pemulihan dari pembedahan dan kerentanan terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya.

Balok Pembangunan Ketiga : Neurophisiology

Menurut Nuwer (dalam Stoltz, 2000) proses pembelajaran pada manusia dapat terjadi dalam otak. Kesimpulan dari berbagai penelitian di bidang neurofisiology adalah sebagai berikut:

  • Otak secara ideal dipergunakan untuk membentuk kebiasaan
  • Kebiasaan-kebiasaan menjadi semakin kuat di bagian bawah sadar
  • Kebiasaan tak sadar (unconscious habits), seperti halnya Adversity quotient (AQ) dapat dengan cepat dihentikan, atau diubah untuk membentuk suatu kebiasaan baru yang semakin lama semakin kuat seiring dengan berjalannya waktu.

Adversity quotient adalah bentuk kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan sehari-harinya.

Dimensi-dimensi Adversity Quotient


Stoltz (2000) membagi Adversity Quotient dalam empat dimensi, yaitu : kontrol, asal usul dan kepemilikan, jangkauan serta daya tahan. Penjelasan lebih jauh mengenai dimensi-dimensi tersebut akan dipaparkan sebagai berikut :

Kendali (control)

Kontrol dapat diartikan sebagai:

  • Seberapa jauh seseorang dapat secara positif mempengaruhi situasi.
  • Seberapa jauh seseorang dapat mengandalikan responnya terhadap situasi
  • Gambaran seberapa besar Kendali yang ditangkap (perceived) individu atas kegagalan yang mereka hadapi (Stoltz, 2000).

Individu dengan skor tinggi pada dimensi ini merasa mereka memiliki kendali yang besar hal-hal yang terjadi pada mereka, sehingga mereka cendrung untuk lebih mengambil tindakan atau penjelasan terhadap peristiwa-peristiwa buruk. Sedangkan respon kontrol yang rendah akan membuat seseorang merasa tidak berdaya dan tidak mampu mengubah situasi.

Mereka merasa peristiwa- peristiwa buruk terjadi di luar kendali mereka dan hanya sedikit yang bisa mereka lakukkan untuk mencegahnya. Menurut penelitian Selligman, Dweck dkk, perasaan tidak berdaya ini adalah hasil pembelajaran. Ketidakberdayaan diajarkan pada individu sejak kecil. Penelitian lain oleh Dweck menyatakan bahwa anak perempuan lebih sering menerima kritik yang bersifat sementara sehingga akibatnya wanita dididik untuk lebih merasa tidak berdaya dibandingkan pria.

Asal usul dan Kepemilikan (Origin and Qwnership)

Sumber berkaitan dengan rasa menyalahkan diri (blame). Pada derajat yang tepat rasa menyalahkan diri ini berfungsi sebagai cara untuk belajar dan menyesuaikan perilaku serta untuk membantu kita untuk menilai apakah cara-cara kita berperilaku menyakiti orang lain atau tidak.

Respon asal yang rendah dapat membuat seseorang menjadi menyalahkan diri secara terus menuerus dan mengurangi kemapuanya untuk belajar dari kesalahan-kesalahannya. Bila rasa menyalahkan diri ini menjadi bersifat destruktif maka akan membuat seseorang kehabisan energi, harapan, makna diri dan sistem kekebalan tubuh sehingga pada akhirnya akan menghambat seseorang dalam bertindak.

Pada wanita terdapat kecenderungan untuk menyalahkan diri secara deduktif, sementara pria lebih terfokus pada hasil atau akibat daripada terhadap perannya sebagai penyebab adanya kegagalan. Sebaliknya, seseorang dengan respon asal yang tinggi akan mampu menilai sumber kesulitan secara tepat, mampu menempatkan diri dan lebih efektif ketika menghadapi situasi yang sama di lain waktu.

Kepemilikan (Ownership) adalah sejauh mana seseorang menganggung suatu akibat dari situasi atau keadaan tertentu, tanpa peduli apa penyebabnya (Stoltz, 2000). Hal ini berkaitan dengan rasa memiliki hasil atau akibat dari perilakunya (accountability). Respon terhadap kepemilikan yang tinggi akan membuat mereka lebih bertindak dan merasa berwenang (empowered) atas apa yang mereka lakukkan.

Jangkauan (Reach)

Dimensi ini menggambarkan seberapa jauh kegagalan atau hambatan mempengaruhi area lain dalam hidup suatu individu. Respon tinggi pada aspek ini dapat membuat seseorang dapat membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi saja dan tidak akan ada hubungannya dengan peristiwa buruk lain. Mereka akan merespon suatu kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik atau terbatas.

Sedangkan respon yang rendah terhadap dimensi ini dapat menimbulkan pikiran katastrofi atau pikiran berlebih-lebihan pada suatu individu untuk melibatkan kegagalannya pada bidang-bidang lain. Individu dengan perilaku emmeshment tidak dapat memisahkan permasalahan yang ia hadapi di salah satu aspek kehidupannya dengan aspek kehidupannya yang lain, sehingga bila mereka menghadapi masalah maka dampaknya akan terbawa-bawa di setiap aspek kehidupannya.

Ini dapat menjelaskan mangapa kehidupan sosial orang dengan perilaku seperti itu akan terganggu dan mereka cenderung menarik diri dari pergaulan atau lingkungan sosialnya. Secara psikologis pun mereka akan terganggu, mereka tidak dapat menikmati aktifitasnya dan juga akan cenderung berperilaku reaktif.

Daya tahan (Endurance)

Dimensi ini menggambarkan berapa lama suatu individu menangkap kegagalan atau hambatan serta akibat dari kegagalan tersebut berlangsung. Suatu individu dapat menangkap kegagalan sebagai suatu hal yang bersifat permanen atau suatu yang bersifat sementara. Semakin rendah respon pada aspek ini, semakin besar seseorang memandang kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai suatu peristiwa yang akan berlangsung lama atau permanen. Mereka juga akan menganggap peristiwa-peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang hanya bersifat sementara.

Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan (Echols & Shadily, 1993: 14).

Menurut Rifameutia (Reni Akbar Hawadi, 2002: 195) istilah adversity dalam kajian psikologi didefinisikan sebagai tantangan dalam kehidupan.

Adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya. Nashori (2007: 47)

Adversity quotient secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Leman (2007: 115)

Adversity quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. Stoltz (2000: 9)

Menurut Stoltz (2000: 12), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :

  • Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
  • Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan, dan
  • Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000: 102) menawarkan empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan adversity quotient yang tinggi, yaitu :

Kendali / control ( C )

Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.

Daya tahan / endurance ( E )

Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi.

Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan orang yang mempunyai adversity quotient yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki.

Jangkauan / Reach ( R )

Jangkauan merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress.

Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.

Kepemilikan / Origin and Ownership ( O2 )

Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal-usul dan pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan.

Orang yang skor origin (asal-usulnya) rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya.

Pengertian Adversity Quotient


Adversity quotient merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan (Stoltz, 2000).

Menurutnya konsep ini bisa terwujud dalam tiga bentuk yaitu:

  • sebagai kerangka konseptual baru untuk memahami dan meningkatkan semua aspek keberhasilan;
  • sebagai ukuran bagaimana seseorang merespon kemalangan; dan
  • sebagai perangkat alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kemalangan.

Dengan kata lain adversity quotient merupakan suatu kemampuan untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala masalah ataupun kesulitan hidup.

Aspek-aspek Adversity Quotient


Adversity quotient sebagai suatu kemampuan terdiri dari empat dimensi yang disingkat dengan sebutan CO2RE yaitu dimensi control, origin- ownership, reach, dan endurance (Stoltz, 2000). Berikut ini merupakan penjelasan dari keempat dimensi tersebut:

  • Control (pengendalian)
    Kendali yaitu sejauh mana seseorang mampu mempengaruhi dan mengendalikan respon individu secara positif terhadap situasi apapun. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur, kendali yang dirasakan jauh lebih penting. Dimensi control ini merupakan salah satu yang paling penting karena berhubungan langsung dengan pemberdayaan serta mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya.

  • Origin-Ownership (asal-usul dan pengakuan)
    Yaitu sejauh mana seseorang menanggung akibat dari suatu situasi tanpa mempermasalahkan penyebabnya. Dimensi asal-usul sangat berkaitan dengan perasaan bersalah yang dapat membantu seseorang belajar menjadi lebih baik serta penyesalan sebagai motivator.

    Rasa bersalah dengan kadar yang tepat dapat menciptakan pembelajaran yang kritis dan dibutuhkan untuk perbaikan terus-menerus. Sedangkan dimensi pengakuan lebih menitik beratkan kepada “tanggung jawab” yang harus dipikul sebagai akibat dari kesulitan. Tanggungjawab di sini merupakan suatu pengakuan akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya.

  • Reach (jangkauan)
    Yaitu sejauh mana seseorang membiarkan kesulitan menjangkau bidang lain dalam pekerjaan dan kehidupannya. Seseorang dengan AQ tinggi memiliki batasan jangkauan masalahnya pada peristiwa yang dihadapi. Biasanya orang tipe ini merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas.

  • Endurance (daya tahan)
    Yaitu seberapa lama seseorang mempersepsikan kesulitan ini akan berlangsung. Individu dengan AQ tinggi biasanya memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung lama, sedangkan kesulitan-kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara.

Stoltz mendefinisikan adversity quotient (AQ) sebagai kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Adversity Quotient memiliki beberapa dimensi, yaitu control, origin-ownership, reach, dan endurance.

image

Dalam definisi di atas, terdapat beberapa bagian yang penting yang menjelaskan makna adversity quotient, yaitu:

individu/orang, kemampuan mengamati, kesulitan, mengolah dengan kecerdasan, mengubah, tantangan menjadi peluang, mengontrol kognisi, tanggungjawab, membatasi jangkauan masalah, daya tahan menghadapi masalah.

image

Gambar diatas menggambarkan sebuah pola bagaimana kecerdasan advesity berpengaruh terhadap kemampuan manusia dalam mengatasi tantangan-tantangan yang ada.

Adversity quotient (AQ) dikembangkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz. seorang konsultan yang sangat terkenal dalam topik-topik kepemimpinan di dunia kerja dan dunia pendidikan berbasis skill (kemampuan yang dimiliki seseorang). Paul G. Stoltz. membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu quitter , camper , dan climber. Pertama, quittters (orang-orang yang berhenti), orang-orang jenis ini berhenti ditengah proses pendakian, mudah putus asa, dan menyerah. Kedua, campers (perkemahan) yaitu orang-orang yang tidak mencapai puncak, sudah puas dengan yang telah dicapai. Ketiga, climbers (pendaki) yaitu orangorang yang selalu optimistik, melihat peluang-peluang, melihat celah, melihat senoktah harapan di balik keputusasaan, dan selalu bergairah untuk maju (Stoltz, 2005).

Menurut Stoltz (2005) AQ merupakan kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menyelesaikannya. Adanya AQ membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. AQ juga merupakan kemampuan individu untuk menggerakan tujuan hidup kedepan, dan juga sebagai pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan.

Leman (2007) mendefinisikan AQ secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi berbagai masalah yang di alami dalam menjalani berbagai aktivitas kehidupannya. Menurut Agustian (dalam Rachmawati, 2007) AQ sebagai kecerdasan yang dimiliki individu dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup yang berakar pada bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan yang ada dalam berbagai peristiwa di hidup seseorang. Nashori (2007) menyatakan bahwa AQ adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya.

Aspek-Aspek Adversity Quotient (AQ)

Stoltz (2005) menyatakan bahwa seseorang yang dapat bertahan, mengelola, dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang di hadapinya merupakan definisi dari AQ. Menurut Binet dan Simon (dalam Alder, 2001) seseorang dapat mengatasi masalah dalam kehidupannya ketika memiliki tiga komponen dalam dirinya, yaitu :

1. Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan

Kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan merupakan kemampuan seseorang dalam menentukan hasil dari pikirannya kemudian melakukan tindakan yang tepat untuk menjalani aktivitanya.

2. Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan

Kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan merupakan kemampuan seseorang dalam mengubah pandangan sebelumnya dengan berbagai strategi yang digunakan, ketika pandangan tersebut dianggapnya dapat merugiakan.

3. Kemampuan mengkritik diri sendiri

Kemampuan mengkritik diri sendiri merupakan kemampuan seseorang dalam mengevaluasi tindakannya, dimana seseorang tersebut akan mengkritisi dirinya kemudian menjadikannya sebuah gambaran untuk menjadi lebih baik.

Nashori (2007) berpendapat bahwa adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya. Leman (2007) mendefinisikan adversity quotient sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah.

Menurut Chaplin (2006) dalam kamus psikologi, intelligence atau quotient berarti cerdas, pandai. Binet dan Simon (dalam Napitupulu dkk, 2007) merangkum pengertian intelligence atau quotient dalam tiga komponen, yaitu kemampuan seseorang dalam mengarahkan pikiran atau tindakannya, kemampuan seseorang untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah terlanjur dilakukan dan kemampuan seseorang untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.

Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz (2007) adversity quotient sebagai kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi.

Adversity quotient adalah kemampuan berpikir, mengelola, dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan dan atau kesulitan (Yazid, 2005). Individu yang tidak memiliki adversity quotient berakibat pada ketidakmampuan untuk mengatasi masalah (Widyaningrum & Rachmawati, 2007).

Menurut Stoltz (2007), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :

  1. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
  2. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan, dan
  3. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

Adversity quotient merupakan suatu kemampuan individu dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan memecahkan berbagai macam permasalahan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap kesulitan tersebut.

Dimensi-Dimensi Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2007) ada empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan adversity quotient yang tinggi, yaitu :

  1. Kendali/control ( C )
    Kendali adalah seberapa besar orang mampu mengontrol kesulitan- kesulitan yang dihadapinya sehingga tidak sampai mengganggu kehidupan individu tersebut dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

    Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah kendali, seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.

  2. Daya tahan/endurance ( E )
    Daya tahan atau endurance adalah persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi.

    Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin tinggi tingkat harapan dan rasa optimis individu. Sebaliknya semakin rendah daya tahan yang dimiliki individu, maka semakin rendah pula tingkat harapan dan rasa optimis individu.

  3. Jangkauan/reach ( R )
    Jangkauan merupakan sejauh mana kesulitan- kesulitan yang dialami oleh individu akan menjangkau bagian lain dari kehidupan individu itu. Reach juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress.

    Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.

  4. Kepemilikan/origin and ownership ( O2 )
    Kepemilikan adalah pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab kesulitan. Orang yang memiliki rasa kepemilikan yang rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri.

Karakter Manusia Berdasarkan Tinggi Rendahnya Adversity Quotient

Didalam merespon suatu kesulitan terdapat tiga kelompok tipe manusia ditinjau dari tingkat kemampuannya (Stolz, 2007) :

  1. Quitters
    Quitters, mereka yang berhenti adalah seseorang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Quitters (mereka yang berhenti), orang-orang jenis ini berhenti di tengah proses pendakian, gampang putus asa, menyerah (Ginanjar Ary Agustian, 2001). Orang dengan tipe ini cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau fisiologis saja dan cenderung pasif, memilih untuk keluar menghindari perjalanan, selanjutnya mundur dan berhenti.

    Para quitters menolak menerima tawaran keberhasilan yang disertai dengan tantangan dan rintangan. Orang yang seperti ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan. Dalam hierarki Maslow tipe ini berada pada pemenuhan kebutuhan fisiologis yang letaknya paling dasar dalam bentuk piramida.

  2. Campers
    Campers atau satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi) Golongan ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Tipe ini merupakan golongan yang sedikit lebih banyak, yaitu mengusahkan terpenuhinya kebutuhan keamanan dan rasa aman pada skala hierarki Maslow.

    Kelompok ini juga tidak tinggi kapasitasnya untuk perubahan karena terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Campers setidaknya telah melangkah dan menanggapi tantangan, tetapi setelah mencapai tahap tertentu, campers berhenti meskipun masih ada kesempatan untuk lebih berkembang lagi. Berbeda dengan quitters, campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan yang dihadapinya sehingga telah mencapai tingkat tertentu.

  3. Climbers
    Climbers (pendaki) mereka yang selalu optimis, melihat peluang- peluang, melihat celah, melihat senoktah harapan di balik keputusasaan, selalu bergairah untuk maju. Nokta kecil yang dianggap sepele, bagi para Climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah kesuksesan (Ginanjar Ary Agustian, 2001).

    Climbers merupakan kelompok orang yang selalu berupaya mencapai puncak kebutuhan aktualisasi diri pada skala hierarki Maslow. Climbers adalah tipe manusia yang berjuang seumur hidup, tidak perduli sebesar apapun kesulitan yang datang. Climbers tidak dikendalikan oleh lingkungan, tetapi dengan berbagai kreatifitasnya tipe ini berusaha mengendalikan lingkungannya.

    Climbers akan selalu memikirkan berbagai alternatif permasalahan dan menganggap kesulitan dan rintangan yang ada justru menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang, dan mempelajari lebih banyak lagi tentang kesulitan hidup. Tipe ini akan selalu siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya perubahan- perubahan.

Kemampuan quitters, campers, dan climbers dalam menghadapi tantangan kesulitan dapat dijelaskan bahwa quitters memang tidak selamanya ditakdirkan untuk selalu kehilangan kesempatan namun dengan berbagai bantuan, quitters akan mendapat dorongan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan yang sedang ia hadapi.

Kehidupan climbers memang menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada hentinya. Kesuksesan yang diraih berkaitan langsung dengan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan, setelah yang lainnya meyerah, inilah indikator- indikator adversity quotient yang tinggi.