Apa yang dimaksud Antropologi Hukum?

Antropologi hukum

Antropologi hukum merupakan salah bidang ilmu hukum yang masih sangat jarang diketahui oleh masyarakat luas. Orang lebih mengenal antropologi sebagai bidang ilmu yang dekat dengan peristiwa sejarah dan budaya dan karena itu tidak mungkin memiliki kaitan dengan ilmu hukum. Namun inilah hukum, bidang ilmu yang sangat luas dan mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia.

Pengertian antropologi adalah ilmu yang tentang manusia. Menurut Hilman Hadikusumah, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia, baik dari segi hayati maupun dari segi budaya. Sasaran pokok dari antropologi adalah manusia, baru kemudian perilaku budayanya.

Antropologi melihat hukum hanya sebagai aspek dari kebudayaan, yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku dan masyarakat, agar tidak terjadi penyimpangan dan penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang ditentukan dapat diperbaiki.

Antropologi hukum merupakan cabang ilmu pengetahua hukum yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang mengalami modernisasi. Batasan ini dikemukakan oleh Paul Bohanan.

Menurut J.B. Daliyo dkk, antropologi hukum adalah antropologi yang mempelajari hukum sebagai salah satu aspek kebudayaan. Kemudian Hilman Hadikusuma memberikan pendapat mengenai antropologi hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dengan kebudayaan yang khusus di bidang hukum.

Sumber: http://www.ensikloblogia.com

Menurut William Nixon (1998), Antropologi hukum adalah bidang kajian yang mencoba menjelaskan keteraturan di dalam masyarakat. Hukum dipandang sebagai komponen penting dalam kebudayaan.

Dalam Antropologi Hukum, Hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan, karena dirumuskan, ditetapkan, dan diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat.

Menurut T.O. Ihromi, Antropologi Hukum mengkaji hukum sebagai bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai Pedoman Berlaku dan Pengendalian Sosial

  • Dalam konteks Pedoman Berlaku, hukum dilihat sebagai seperangkat peraturan yang mengatur / memberikan pedoman bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku.

    Pandangan ini juga dianut oleh Hoebel.

  • Dalam konteks Pengendalian Sosial, hukum terlebih dahulu melalui suatu proses pengajaran. Yang diajarkan adalah nilai-nilai atau norma-norma sosial. Norma-norma sosial itu diinternalisasikan sehingga menjadi bagian dari kepribadian dan perilaku anggota masyarakat yang memang diharapkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Proses tersebut tidak selalu berjalan lancar, dapat juga terjadi pengingkaran norma.

    • Pengingkaran/pelanggaran norma yang dianggap ringan masih diganjar dengan teguran, bujukan.

    • Pengingkaran/pelanggaran yang dianggap berat akan mendapatkan hukuman/sanksi yang keras pula.

    Pandangan mengenai hukum sebagai proses dianut oleh Laura Nader.

Untuk dapat memperoleh gambaran yang tepat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses pengendalian masyarakat kita harus mengenal lebih dahulu nilai-nilai budaya masyarakat tersebut.

Antropologi Hukum menyoroti fungsi hukum dalam rangka mempertahankan nilai-nilai budaya yang dianut dalam kehidupan bersama dari manusia.

Antropologi Hukum juga mengungkapkan apa yang disebut Hoebel sebagai postulat-postulat hukum dari suatu masyarakat. Postulat adalah anggapan-anggapan yang dianut suatu masyarakat mengenai cara hidup yang wajar di dunia. Anggapan-anggapan ini menjiwai seluruh kebudayaan masyarakat, hal itu termasuk juga hukum rakyat setempat.

Antropologi hukum merupakan spesialisasi dari antropologi budaya, yang secara khusus mengamati perilaku manusia dalam kaitannya dengan aturan hukum. Aturan hukum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hukum normatif, tetapi juga meliputi hukum adat dan juga budaya perilaku manusianya. Meskipun merupakan pengembangan dari antropologi budaya, antropologi hukum tidak bersifat etnosentris, artinya tidak membatasi pada kebudayaan tertentu. Objek penelitiannya adalah melihat hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial.

Dalam perspektif antropologi, hukum adalah bagian integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dan lain lain.

Di sisi yang lain hukum juga dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat.

Ini berarti secara empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk perundang-undangan (hukum positif), juga berwujud sebagai hukum agama dan hukum adat. Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial.

Implementasi antropologi hukum dalam penelitian memerlukan berbagai pendekatan atau metode, seperti metode historis, normatif, eksploratif, deskriptif perilaku, dan studi kasus. Dengan demikian antropologi hukum memiliki urgensi untuk menjelaskan evolusi hukum dalam masyarakat, menemukan ideologi dalam sebuah aturan hukum, mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya, serta meneliti secara induktif kasus- kasus perselisihan hukum dalam masyarakat.

Penerapan disiplin keilmuan ini akan membantu mengungkap budaya hukum masyarakat, yang merupakan manifestasi dari penerimaan atau penolakan terhadap aturan hukum. Sistem hukum yang berlaku dianggap sebagai bentuk simbiosis antara manusia, masyarakat, kekuasaan, dan aturan-aturan.

Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktifitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat.

  1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu :

    • struktur sistem hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum;

    • substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa normanorma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum;

    • budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaankepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum.

  2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan norma-norma informal (informalnorms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dengan mengkaji komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu sistem hukum, maka dapat dicermati bagaimana suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (social field) tertentu. Kultur hukum menjadi bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam kehidupan masyarakat; kultur hukum menjadi motor penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan substansi hukum dalam memperkuat sistem hukum.

Antropologi Hukum

  • Antropologi Hukum sebagai ilmu dipengaruhi oleh Antropologi dan Ilmu Hukum, sehingga sebagai “anak”, ia memiliki “bapak” Antropologi dan “ibu” Ilmu Hukum, maka memahami Antropologi dan Ilmu Hukum adalah prasayrat untuk dapat mengerti Antropologi Hukum. Antropologi Hukum sebagai Ilmu mempelajari perilaku manusia dengan segala aspeknya yang terkait dengan norma-norma hukum tertulis dan tidka tertulis secara empiris.

  • Interaksi empirik dalam masyarakat itu tidak hanya menyangkut masyarakat yang budayanya masih sederhana (primitif), tetapi juga masyarakat yang budayanya modern. Dalam hal ini, budaya yang dimaksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum (Hilman Hadikusuma, 2004).

  • Antropologi hukum mempelajari hukum dari konteks kultur masyarakat tertentu, baik pada masyarakat modern, maupun masyarakat sederhana. Dengan kata lain, Antropologi Hukum adalah Antropologi yang mempelajari Hukum sebagai salah satu aspek dari kebudayaan (J. B. Daliyo cs : 1992).

  • Itulah sebabnya penelitian antropologis terhadap hukum sebagai salah satu aspek budaya dibedakan menjadi dua kelompok tujuan, yaitu: penelitian untuk kepentingan pengembangan Antropologi, dan penelitian untuk pengembangan Ilmu Hukum. Antropologi Hukum menekankan pada penelitian untuk pengembangan Ilmu Hukum (J.B.Daliyo cs : 1992 ).

  • Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bila perkembangan Antropologi Hukum di Indonesia berkorelasi positif dengan perkembangan Ilmu Hukum Adat, sehingga antara keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.

Referensi

Hilman Hadikusuma. 1986. Anthropologi Hukum Indonesia . Bandung : Alumni.

—————————————. 2004. Pengantar Antropologi Hukum , Bandung : citra Aditya Bakti.

J.B. Daliyo cs. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa . Jakarta : Gramedia.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Anthropologi, Edisi baru. Jakarta : Rineka cipta

Di dalam perkembangan antropologi, masalah hukum sebenarnya juga sudah pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu kerangka kebudayaan yang serba luas. Sarjana sarjana antropologi seperti Barton, Radcliffe-Brown, Malinowski dan lainnya, pernah memusatkan perhatian pada hukum sebagai suatu gejala sosial-budaya. Sesudah embrio dari antropologi hukum timbul, maka pandangan para sarjana seperti Schapera, Gluckman, Hoebel, Bohannan, Pospisil, Nader dan lainnya mempunyai peranan besar di dalam perkembangan A.H. (Soekanto, 1984).

Menurut Ihromi (1986) relevansi menelaah hukum dari segi antropologi, antara lain adalah:

  • Berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang (tentunya termasuk Indonesia) yang secara budaya bersifat pluralistis dalam cita-citanya mewujudkan unifikasi hukum atau modernisasi hokum;
  • berkenaan dengan kemungkinan munculnya masalah bila warga masyarakat dari lingkungan sukubangsa tertentu masih mempunyai norma-norma tradisional yang kuat dan sedangkan dalam norma hukum yang sudah tertulis dan berlaku secara nasional, hal- hal yang harus ditaati itu justru dirumuskan sebagai hal yang terlarang.

Secara faktual, masalah-masalah yang dirumuskan ke dalam dua point utama itu sudah terjadi, baik berkenaan dengan munculnya konflik horisontal di pelbagai wilayah, pertikaian antara state (maupun pemda) dengan masyarakat, maupun antar kelompok masyarakat sendiri. Hukum, menurut Benda-Beckmann (1979) adalah suatu cara khusus untuk membatasi otonomi anggota-anggota masyarakat. Kebanyakan penulis menyetujui bahwa hukum adalah suatu bentuk pengawasan sosial, itulah mengapa secara esensial sifatnya normatif, dan hal itu merujuk pada apa yang disebut (sebagai) konsepsi-konsepsi yang obyektif.

Implikasi pendekatan semacam ini adalah: bahwa hukum memberi input kepada pranata pengendalian sosial (apapun variant-nya) dan kemudian kepada rujukan berpikir masyarakat, dan sebaliknya. Hukum, di sisi lain, dapat pula menyebabkan perubahan perangkat berpikir, dan rujukan kemasyarakatan lainnya atau dikenal dalam sosiologi hukum sebagai “law as tool of social engineering”. Namun, bila kesemua hal itu berubah (dan pada kenyataannya memang selalu demikian), maka hukum pun berubah mengikuti perubahan masyarakat dan lingkungannya.

Pendekatan antropologi (hukum) sengaja menggeser pusat perhatian dari aturan-aturan kepada individu atau manusia sebagai aktor yang dalam mengambil keputusan mengenai perilakunya dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan dari tatanan hukum yang dihadapinya (Ihromi, 2000). Sejalan dengan itu, Spiertz dan Wiber (1979) menegaskan, bahwa:

“But to study the real position of people in relation to law requires a different methodological approach from that used in traditional legal studies. The focus have to swift away from law as a codified or customary set of rules and turn instead to the individual who stands at the intersection point of many different legal domains"

Kajian yang diusulkan tersebut lazimnya disebut sebagai kajian terhadap gejala hukum empiris ( law in action ).

Dengan demikian, hukum dalam lingkup kajian Antropologi Hukum (selanjutnya ditulis A.H.) ditanggapi sebagai gejala empirik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam konteks ini tidak ditanggapi seperti halnya para yuris mengkaji hukum (secara dogmatik).

Secara umum metode AH adalah sebagai berikut:

  • deskriptif – yakni pemerian gejala hukum empirik dalam masyarakat yang diteliti;
  • ideology (menelusuri aturan normatifnya);
  • telaah kasus ( case study method ), ditambah dengan metode komparasi (perbandingan). Metode yang satu ini mendorong, antara lain diberlakukannya konsepsi cultural relativism (relativisme budaya).

Selain metode di atas, dapat ditambahkan pendekatan historis yang mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya dengan sudut proses sejarah (Hadikusuma, 1992). Berikut ini akan dijabarkan, dianalisis, dan diulas beberapa pendekatan yang digunakan dalam sejarah perkembangan sub disiplin antropologi hukum dalam mengkaji hubungan hukum dengan masyarakat dan kulturnya.

Mulanya kajian A.H. dimulai dengan mengkaji hal-hal besar, misalnya evolusi hukum (secara umum), sebut saja sekedar contoh kajiannya J.J. Bachofen tentang evolusi hukum (dalam bukunya das muterrecht ). Dalam buku itu, Bachofen menjabarkan tahaptahapan evolusi hukum pada pelbagai masyarakat. Landasan kajiannya seringkali disebut sebagai “ armchair theory ” (kajian yang bukan berasal dari data primer atau field research ). Kritik yang kemudian muncul adalah: sifat kajian mereka-mereka ini tergolong ke dalam “ conjectural history ” (“sejarah rekaan”).