Apa yang anda ketahui tentang tokoh filsafat David Hume?

filusuf David Hume

David Hume adalah filsuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Dia dimasukan sebagai salah satu figur paling penting dalam filosofi barat dan Pencerahan Skotlandia. Walaupun kebanyakan ketertarikan karya Hume berpusat pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah dia mendapat pengakuan dan penghormatan. Karyanya The History of England merupakan karya dasar dari sejarah Inggris untuk 60 atau 70 tahun sampai Karya Macaulay.

Hume merupakan filusuf besar pertama dari era moderen yang membuat filosofi naturalistis. Filosofi ini sebagian mengandung penolakan atas prevalensi dalam konsepsi dari pikiran manusia merupakan miniatur dari kesadaran suci; sebuah pernyataan Edward Craig yang dimasukan dalam doktrin ‘Image of God’.Doktrin ini diasosiasikan dengan kepercayaan dalam kekuatan akal manusia dan penglihatan dalam realitas, dimana kekuatan yang berisi seritikasi Tuhan. Skeptisme Hume datang dari penolakannya atas ideal didalam’.

  • Hume adalah seorang filosof yang mengambil dunia sehari-hari sebagai titik awalnya.

  • Hume adalah penganut empiris.

  • Hume memulai dengan menetapkan bahwa manusia mempunyai dua jenis persepsi, yaitu kesan dan gagasan.

  • Kesan yang dimaksudnya adalah pengindraan langsung atas realitas lahiriah.

  • Gagasan yang dimaksudnya adalah ingatan akan kesan-kesan semacam itu.

  • Hume ingin menyelidiki setiap gagasan untuk mengetahui apakah gagasan tersebut disusun dengan cara yang tidak berkaitan dengan realitas.

  • Dari kesan mana asalnya gagasan ini? Pertama-tama Hume harus menemukan ‘gagasan-gagasan tunggal’ mana yang dapat membentuk suatu gagasan kompleks.

  • Hume juga menekankan bahwa bahwa semua unsur yang kita satukan di dalam gagasan kita kadang-kadang memasuki pikiran kita dalam bentuk ‘kesan-kesan sederhana’.

  • Bagaimanapun juga Hume menentang semua pemikiran dan gagasan yang tidak dapat dilacak kaitannya dengan persepsi indra.

  • Hume mengungkapkan bahwa kita tidak mempunyai ‘jati diri pribadi’ yang menyokong kita di bawah atau di balik persepsi-persepsi dan perasaan-perasaan yang datang dan pergi ini.

  • Menurut Hume, tidak ada ‘Aku’ atau ego yang tak berubah.

  • Konsep ego merupakan gagasan kompleks.

  • Hume adalah seorang agnostik yaitu orang yang berpendapat bahwa keberadaan Tuhan atau dewa tidak dapat dibuktikan kebenarannya atau ketidakbenarannya.

  • Menurut Hume, keajaiban adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam.

  • Saat Hume membahas tentang kekuatan dari kebiasaan, dia memusatkan perhatian pada ‘hukum sebab-akibat’. Hukum ini menetapkan bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya.

  • Hume menekankan bahwa harapan agar satu hal mengikuti hal yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, melainkan pada pikiran kita. Dan harapan seperti kita tahu, dikaitkan dengan kebiasaan.

  • Hume adalah seorang yang juga memberontak melawan pemikiran rasionalis dalam bidang etika.

  • Menurut Hume, bukan akal yang menentukan apa yang kita katakan dan kita lakukan. Menurutnya itu adalah perasaan.

  • Hume mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat menarik kesimpulan dari kalimat berita menjadi kalimat perintah.

Bagaimana pemikiran filsafat dari David Hume ?

Seperti Descartes yang hendak membangun sebuah sistem filsafat dengan bertolak dari dasar yang sama sekali baru, yakni rasio, demikian pula David Hume ingin membangun sebuah sistem filsafat dengan bertolak dari dasar yang sama sekali baru, yakni pengalaman manusia empiris. Jadi kedua filsuf ini sama- sama ingin membangun sebuah sistem filsafat tapi dari titik awal yang saling bertolak belakang. Hume tidak hendak menghancurkan filsafat, sekalipun ia selalu melancarkan kritik yang sangat keras dan tajam kepada filsafat dan para filsuf sebelumnya.

Tujuan Hume adalah membangun sebuah sistem filsafat yang dapat dipertanggung-jawabkan, artinya, yang tidak dibangun di atas asumsi-asumsi atau spekulasi-spekulasi yang sama sekali tidak dapat dibuktikan secara empiris. Ia sendiri berpendapat bahwa filsafat rasionalisme Descartes itu tidak mungkin karena semata-mata mengandalkan pemikiran spekulatif yang tidak dapat dibuktikan.

Dalam pandangan Hume, rasionalisme Descartes itu adalah sejenis takhyul modern, yakni ilmu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan oleh karena itu, penerimaan atas ilmu itu lebih merupakan masalah kepercayaan.

Hume menjadikan manusia sebagai titik tolak penelitian filsafatnya. Mengapa manusia?

Jawaban atas pertanyaan ini diuraikannya dalam bagian pengantar untuk bukunya, A Treatise of Human Nature. Judul buku ini sendiri sudah dengan jelas menggambarkan isinya, bahwa ini adalah sebuah traktat mengenai hakikat manusia. Dalam pengantar untuk buku ini, Hume mengatakan bahwa karena ilmu pengetahuan itu adalah ilmu pengetahuan manusia, artinya, pengetahuan yang diperoleh dan diusahakan oleh manusia, maka sudah barang tentu, semua pengetahuan itu tidak dapat dilepaskan dari hakikat manusia sendiri.

Misalnya, ilmu logika. Satu-satunya tujuan ilmu logika, dalam perspektif Hume, adalah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan cara kerja kemampuan penalaran manusia dan hakikat ide-ide dalam pikiran kita. Etika atau ilmu moral serta estetika menyangkut cita rasa dan perasaan-perasaan manusia. Ilmu politik menyangkut relasi dan ketergantungan manusia-manusia yang terdapat dalam sebuah masyarakat.

Bagaimana dengan ilmu-ilmu yang tidak berkaitan secara langsung dengan manusia, misalnya ilmu agama, matematika dan filsafat alam?

Hume mengatakan bahwa ilmu-ilmu tersebut juga tidak terlepas dari hakikat manusia itu sendiri. Misalnya, agama. Agama, katanya tidak terutama berkaitan dengan hakikat Tuhan atau perintah Tuhan kepada manusia atau kewajiban kita terhadap-Nya. Akar agama atau faktor-faktor paling mendasar yang mendorong manusia beragama, menurutnya, justru terletak pada hakikat manusia itu sendiri, yakni ketakutan-ketakutan, ketidaktahuan terhadap masa depan, harapan-harapan, kelemahan-kelemahan, serta kelemahan-kelemahan lainnya. Semua sifat ini menjadi akar yang mendorong manusia untuk beragama, katanya.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, Hume berkeyakinan bahwa semua ilmu haruslah terjangkarkan pada hakikat manusia itu sendiri, dan oleh karena itu kita perlu lebih dulu mengetahui hakikat manusia sebelum kita mengetahui secara jelas semua ilmu lainnya, karena semua ilmu lainnya itu terjangkarkan pada hakikat manusia tersebut. Tidak ada yang dapat kita ketahui secara pasti sebelum kita memiliki kepastian mengenai hakikat manusia. Implikasi dari prinsip ini adalah bahwa kita perlu mengembangkan sebuah ilmu mengenai manusia yang menjadi basis bagi pengembangan ilmu-ilmu lainnya.

“Karena itu jelas bahwa semua ilmu berhubungan, secara erat atau kurang erat, dengan hakikat manusia; dan kendatipun ilmu-ilmu tersebut kelihatan tidak berhubungan dengan hakikat manusia itu, mereka tetap terkait dengan salah satu atau sebagian dari hakikat tersebut. Bahkan matematika, filsafat alam, atau agama alam, hingga tingkat tertentu tergantung dari ilmu manusia, karena ilmu-ilmu tersebut dikembangkan dengan pikiran manusia, dan dinilai melalui daya dan kemampuan manusia tersebut.”

Hume berkeyakinan bahwa hanya dengan lebih dulu mengetahui hakikat manusia itulah maka kita baru dapat mengembangkan sebuah ilmu dengan jangkauan kepastian yang memadai.

“Karena itu, dalam usaha untuk menjelaskan hakikat manusia, kita hendak mengajukan sebuah sistem ilmu pengetahuan yang lengkap, yang dibangun di atas fondasi yang sepenuhnya baru, dan hanya di atas fondasi itulah ilmu pengetahuan dapat berdiri dengan kepastian,” Hume.

Dalam konteks pengembangan sebuah “ilmu manusia” inilah kita dapat memahami proyek filsafat Hume melalui judul-judul buku utamanya, yakni A Treatise of Human Nature (Sebuah Traktat Mengenai Hakikat Manusia) dan An Enquiry Concerning Human Understanding (Sebuah Penelitian Mengenai Pemahaman Manusiawi). Buku-buku Hume lainnya, yakni Natural History of Religion, Dialogues Concerning Natural Religion, History of England juga bertolak dari hakikat hakikat manusia ini.

Pertanyaan berikutnya adalah: bagaimanakah penelitian manusia dengan menggunakan metode ilmu alam itu harus dijalankan?

Di atas kita sudah melihat usaha para filsuf empirisme lainnya untuk menerapkan metode ilmu alam Newton ke bidang-bidang non-ilmu alam. Sekarang Hume mau menerapkannya terhadap manusia. Untuk melihat bagaimana manusia dapat diteliti dengan menggunakan metode yang sama dengan yang digunakan oleh Newton untuk ilmu alam, maka kita perlu melihat sepintas metode yang digunakan oleh Newton.

Menurut Newton, titik tolak penelitian ilmu alam adalah kompleksitas fenomena alam itu sendiri. Melalui eksperimen, peneliti mengurai dan menganalisa fenomena alam dengan tujuan untuk menentukan penyebab fenomena itu. Penelitian ilmu alam selalu bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai kausalitas, berusaha menjelaskan penyebab sebuah fenomena/fakta. Contoh paling gamblang mengenai hal ini adalah hukum gravitasi Newton.

Berdasarkan eksperimen, hukum atau teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena itu kemudian disimpulkan secara induktif. Selanjutnya hukum-hukum yang ditentukan itu harus diuji kembali melalui pengalaman empiris untuk membuktikan kesahihannya. Karena itu, dalam penelitian ilmu alam, pengalaman adalah titik tolak sekaligus akhir/batu-uji penelitian. Dan itu mengimplikasikan bahwa pengetahuan tidak pernah dapat melampaui pengalaman, dan karena itu pula, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan metafisika, yakni pengetahuan mengenai objek-objek supra indrawi, tidak mungkin.

Sama dengan Newton, Hume juga bertolak dari kompleksitas fenomena manusia itu sendiri. Manusia itu disebut makhluk kompleks kalau kita melihat apa dilakukannya dalam hidupnya. Kompleksitas manusia ini dipaparkan Hume dalam buku-buku sejarah, dan sosial politik yang ditulisnya. Manusia, menurutnya, tidak diatur dan dikendalikan oleh akal budinya (reason), sebagaimana dengan bangganya sering diklaim filsafat, melainkan oleh keinginan atau nafsu-nafsunya (passions).

filsafat David Hume

Akal budi adalah, dan harus menjadi, budak passions. Akal budi tidak pernah dapat bertindak sebagai kemampuan kecuali untuk melayani dan menaati nafsu-nafsu. Akal budi manusia itu terlalu lemah untuk bisa mengendalikan perasaan-perasaan, katanya dalam Treatise. Ke dalam passions ini termasuk, emosi dan keinginan (desire) yang menurut Hume menjadi hakikat manusia.

Itu membuat fenomena manusia menjadi kompleks dan sulit dipahami. Sejarah atau peradaban manusia tidak bertolak dari pemikiran rasional (sebagaimana diasumsikan oleh para pemikir Pencerahan lainnya), melainkan dari keinginan- keinginan atau nafsu-nafsu tertentu, entah itu keinginan untuk terkenal, untuk diakui, untuk hidup lebih bahagia, dan seterusnya. Dan dalam keseluruhan proses itu, akal budi hanya berfungsi untuk melayani keinginan-keinginan tersebut. Hume memperlihatkan bahwa perang antarbangsa sering terjadi justru atas nama keinginan yang tidak “rasional”, misalnya, untuk menyebarkan agama tertentu atau menguasai daerah tertentu.

Berdasarkan pengamatan atas fenomena manusia tersebut, terutama manusia Eropa pada zamannya, Hume tiba pada konsepsi yang anti-rasionalistik mengenai manusia. Hume lalu meneliti kompleksitas fenomena manusia itu dengan metode yang sama dengan ilmu alam, yakni melalui “pengalaman dan observasi”. „Dan sebagaimana ilmu pengetahuan mengenai manusia adalah satu-satunya fondasi yang solid bagi semua ilmu lainnya, demikian pula satu-satunya fondasi yang solid yang dapat kita berikan untuk ilmu-ilmu manusia ini harus didasarkan atas pengalaman dan observasi.“

Teori Pengetahuan


Hume memulai penelitiannya mengenai manusia dengan bertolak dari problematika epistemologi, yakni dengan meneliti bagaimana manusia itu memperoleh pengetahuan ?

Dan sesuai dengan inti ajaran empirisme, Hume berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan atas pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi itu disebut persepsi. Jadi persepsi adalah objek pengetahuan manusia. Kita tidak boleh salah memahami pendapat ini. Hume tidak mengatakan bahwa objek pengetahuan adalah benda empiris yang ada di luar diri kita. Ia mengatakan bahwa objek pengetahuan adalah persepsi, dan persepsi terbentuk sebagai tiruan (copy) dari benda empiris yang ada di sana. Hume tidak ambil pusing memikirkan apakah benda yang dipersepsi itu ada atau tidak ada secara aktual, yang penting bagi dia adalah bagaimana pengetahuan kita mungkin berdasarkan persepsi (mengenai objek) tertentu yang kita peroleh. Posisi ini yang membuat empirisme Hume menjadi sangat radikal, karena ia bahkan skeptis terhadap keberadaan dunia empiris material.

Apa itu persepsi?

Hume membagi persepsi menjadi dua bagian: kesan-kesan (impressions) dan ide-ide (ideas). Apa itu kesan-kesan, dan apa itu ide-ide? Dalam An Enquiry, ia menulis:

„Oleh karena itu kita dapat membagi semua persepsi pikiran ke dalam dua kelas atau spesies, yang dibedakan berdasarkan derajat daya (force) dan kegamblangan (vivacity)nya. Persepsi yang kurang berdaya dan kurang hidup disebut sebagai pikiran (thoughts) atau ide- ide (ideas). Jenis yang lain … disebut kesan-kesan (impressions), kata yang digunakan dalam arti yang agak berbeda dari biasaya. Karena itu, dengan istilah persepsi saya memaksudkan semua persepsi yang lebih hidup dan langsung, ketika kita mendengar, melihat, merasa, mencintai, membenci, menginginkan atau menghendaki. Dan kesan-kesan itu dibedakan dari ide-ide, yang merupakan persepsi yang kurang hidup dan langsung; ide-ide itu kita sadari ketika merefleksikan sensasi- sensasi atau gerakan yang disebut di atas.“

Jadi, menurut Hume, keseluruhan isi pikiran kita (persepsi) terbagi ide-ide atau pikiran, dan kesan-kesan. Ide dapat juga disebut makna (meaning), dan di sini kita bisa berbicara mengenai teori empirisme tentang makna (meaning theory).

Sekalipun Hume adalah seorang filsuf Pencerahan yang sangat memuja akal budi, namun melalui refleksi yang sangat kritis, Hume tiba pada konsepsi manusia yang justru beranggapan bahwa manusia itu bukanlah mahluk rasional.

Makna itu terbentuk dari ide atau pikiran saya mengenai objek-objek. Artinya, bagaimana saya memahami benda yang disebut kuda, itu tergantung dari ide atau pikiran saya tentang kuda. Hume mengatakan bahwa ide itu adalah persepsi yang kurang hidup dan kurang berdaya. Ide itu sendiri terbentuk berdasarkan pertemuan kita mengenai objek. Ide itu adalah tiruan dari objek empiris yang kita tangkap melalui/berupa kesan-kesan. Atau, lebih tepat: ide itu tiruan dari kesan-kesan yang kita peroleh sebelumnya. Sementara kesan-kesan adalah apa yang kita tangkap dengan segera, langsung, dalam kesadaran, sebelum ia berubah menjadi ide/pikiran. Ide itu, kata Hume, muncul dari kesan-kesan yang pernah kita miliki. Kalau kita memikirkan rumah maka dalam konsep/atau pikiran kita mengenai rumah itu mesti ada kesan-kesan yang membentuk ide atau pikiran kita mengenai rumah. Kesan-kesan itu bisa, misalnya, dinding, atap, pintu atau jendela.

Semua kesan ini kemudian tersatukan dalam ide mengenai rumah. Sama halnya kalau kita memiliki ide tentang bola, maka pasti karena sebelumnya kita telah punya kesan-kesan (misalnya) mengenai kebulatan, kelenturan, dan lain-lain. Karena itu, demikian Hume, setiap ide mesti merupakan tiruan sekaligus kesatuan dari kesan- kesan sebelumnya. Dan karena pengetahuan dihasilkan melalui kesan dan ide, maka
semua ilmu pengetahuan manusia berasal dari pengalaman atau kesan-kesan indrawi. Di sini kita melihat kemiripan ajaran Hume dengan ajaran Locke mengenai tabula rasa, sebagaimana disinggung di atas.

Bagaimana membuktikan bahwa pengetahuan adalah tiruan, atau didasarkan atas pengalaman?

Hume mengajukan dua argumen.

  • Pertama, kalau kita menganalisa ide kita (mengenai sesuatu) maka setiap ide itu selalu dapat dipreteli ke dalam ide-ide tunggal/sederhana (simple ideas) yang asal-usulnya adalah kesan-kesan indrawi yang pernah kita peroleh. Misalnya, ide tentang malaikat. Kita tidak pernah melihat malaikat, tapi toh kita punya pikiran tentang malaikat.

    Bagaimana ide malaikat itu muncul?

    Kalau dianalisa, maka kesan-kesan yang membentuk ide malaikat itu, misalnya, adalah kesan mengenai sayap, kebaikan, kedamaian, dan lain-lain. Jadi setiap ide atau pengetahuan selalu bisa dicari asal-usulnya hingga ke kesan-kesan indrawi yang paling sederhana, yang kemudian tersatukan dan membentuk ide tersebut. Bahkan ide mengenai Tuhan atau malaikat pun, yang tidak pernah kita temui secara langsung dalam bentuk kesan-kesan indrawi, dapat dipreteli hingga ke ide-ide sederhana (simple ideas) yang pernah kita peroleh.

    „Bahkan ide tentang Tuhan, yang bermakna sebagai yang intelek yang tanpa batas, bijaksana, dan mahluk yang baik, muncul berdasarkan refleksi atas cara kerja pikiran, dan memperbesar, tanpa batas, kualitas kebaikan dan kebijaksanaan.“

    • Kedua, orang yang mengalami masalah dalam hal indra, tidak memiliki ide mengenai sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui organ tersebut. Misalnya, orang yang buta tidak punya ide mengenai warna, dan orang tuli tidak punya ide mengenai suara. Ini membuktikan bahwa ide itu hanya bisa berasal dari kesan-kesan indrawi. Bahwa ide/pikiran itu berasal dari kesan indrawi, itu juga kiranya dapat kita buktikan dari pengalaman kita sehari-hari. Biasanya kita kesulitan memahami sebuah konsep kalau kita tidak punya gambaran dalam pikiran kita mengenai penampakan empiris konsep tersebut; artinya, kita tidak punya kesan (dalam pikiran) seperti apa objek tersebut dalam kenyataan. Kalau kita misalnya tidak tahu mahluk yang disebut centaurus, maka kita akan bertanya, seperti apa tampangnya mahluk itu, dan melalui pertanyaan itu kita berharap memiliki bayangan dalam pikiran (kesan) mengenai mahluk tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Hume, ide atau pikiran itu berasal dari kesan-kesan.

filsafat David Hume

Tiga prinsip asosiasi


Bagaimana kesan-kesan indrawi itu tersatukan menjadi pikiran/ide? Atau dengan kata lain, bagaimana pengetahuan itu muncul?

Jawaban Hume: pengetahuan muncul karena kita menyatukan ide-ide itu dalam sebuah konsep mengenai sesuatu. Pengetahuan terbentuk sebagai hasil sintesa ide-ide. Tanpa adanya ide-ide yang tersatukan itu maka kita hanya memiliki kesan-kesan indrawi yang tidak sampai membentuk sebuah pengetahuan.

„Jelas terdapat sebuah prinsip koneksi antara pikiran-pikiran yang berbeda atau ide-die dalam pikiran,“ kata Hume.

Tindakan menyatukan ide-ide dari kesan-kesan indrawi itu disebut Hume dengan asosiasi.

„Jelas bahwa ada sebuah prinsip koneksi antara pikiran yang berbeda-beda atau ide-ide dalam pikiran, dan bahwa, dalam penampakan mereka kepada ingatan atau imajinasi, ide-ide itu saling bertemu satu sama lain dengan derajat metode dan keteraturan tertentu.“

Di sini Hume berpandangan bahwa berdasarkan analisa atas isi pikiran, kita bisa menyimpulkan bahwa kita secara spontan menghubungkan ide-ide dalam pikiran itu berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Artinya, tindakan mensintesakan ide-ide itu berlangsung secara spontan dalam pikiran.

Penyatuan ide-ide yang kemudian membentuk pengetahuan itu – ini disebut asosiasi – berlangsung melalui prinsip-prinsip tertentu. Hume menulis:

„Bagi saya, hanya ada tiga prinsip koneksi antar ide, yakni kemiripan (resemblance), kedekatan (contiguity) dan sebab atau akibat (cause and effect). Saya percaya, bahwa prinsip-prinsip ini berfungsi untuk menghubungkan ide-ide, itu tidak dapat lagi diragukan.“

Untuk prinsip kemiripan, Hume memberi contoh mengenai pengalaman kalau kita melihat sebuah gambar. “Sebuah gambar secara alami membawa pikiran kita ke asal-usulnya,” katanya. Artinya, kalau kita melihat gambar sebuah pemandangan, maka pikiran kita secara spontan menghubungkan gambar itu dengan gambar pemandangan lain yang pernah kita lihat. Kita selalu secara alami menghubungkan sebuah objek dengan objek lain yang mirip yang pernah kita lihat. Dan itu hanya mungkin karena pikiran kita diatur oleh prinsip kemiripan.

Untuk prinsip kedekatan, ia memberi contoh mengenai pembicaraan mengenai sebuah apartemen di sebuah bangunan secara alami akan membawa kita untuk mencari tahu atau bertanya mengenai apakah, misalnya, apartemen itu sama atau berbeda dengan apartemen-apartemen lain di bangunan tersebut.

Contoh lain: kita biasanya menghubungkan ide mengenai makanan dan nikmat. Dan kita melakukan ini karena pikiran kita bekerja berdasarkan prinsip kedekatan.

Untuk prinsip sebab-akibat, ia memberi contoh bahwa kalau kita melihat sebuah luka, maka kita secara alami langsung membayangkan rasa sakit yang diakibatkan luka itu. Kita secara alami juga selalu mencari sebab dari fakta-fakta atau kejadian yang kita lihat. Kalau misalnya kita melihat pohon tumbang, atau melihat jejak kaki di pantai, atau melihat kendaraan berhenti di tengah jalan, maka kita langsung bertanya mengenai “sebab” bagi fakta atau peristiwa itu.

Demikianlah menurut Hume pikiran manusia bekerja. Prinsip asosiasi ini sangat penting dalam filsafatnya karena ini menjadi latar belakang bagi pemikirannya mengenai hukum sebab akibat (kausalitas) yang sangat terkenal itu.

filsafat David Hume

Pengetahuan dan pengalaman


1. Validitas metode induksi

Kontribusi terpenting Hume dalam filsafat terletak pada pemikirannya mengenai hukum kausalitas (sebab akibat). Hukum sebab akibat ini misalnya paling menonjol dalam ilmu alam. Penelitian ilmu-ilmu alam bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam dalam kerangka kausalitas.

Sebagaimana dipraktikkan Newton dan juga Hobbes, perumusan hukum yang dikenal dengan hukum alam, misalnya, hukum gravitasi, berlangsung melalui metode induksi. Metode induksi adalah metode untuk mencari atau merumuskan hukum yanag bersifat umum dengan bertolak dari eksperimen-eksperimen khusus. Kesimpulan yang ditarik dari eksperimen itu kemudian diuniversalisasikan. Salah satu karakter utama yang menjadi ciri khas ilmu pengetahuan adalah bahwa hukum-hukum atau prinsip-prinsipnya itu bersifat universal dan niscaya.

Misalnya pernyataan: “semua kejadian ada penyebabnya”, atau “semua air kalau dipanasi hingga 100 derajat celcius pasti mendidih”, atau “semua benda padat akan jatuh dari atas ke bawah”. Pernyataan-pernyataan ini bersifat pasti, dan berlaku kapan pun dan di mana pun.

Pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin ilmu pengetahuan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang berlaku umum dan niscaya hanya berdasarkan eksperimen yang bersifat khusus?

Tentu hukum-hukum di atas disimpulkan tanpa lebih dulu melakukan eskperimen atas semua air yang ada di muka bumi ini, atau para ahli belum melakukan percobaan atas semua kejadian yang ada serta yang akan ada di muka bumi ini untuk dapat menyimpulkan sebuah pertanyaan umum dan niscaya bahwa semua kejadian ada penyebabnya. Tapi, sekalipun demikian, kita percaya bahwa hukum-hukum tersebut bersifat niscaya dan universal, dan akan berlaku hari ini, besok dan seterusnya.

Namun, Hume tidak percaya. Ia mengajukan pertanyaan lugu: bagaimana mungkin kita bisa memiliki kepercayaan demikian? Atas dasar apa kita menerima dan mengakui keniscayaan dan keuniversalan hukum-hukum tersebut? Bagaimana mungkin kita dapat memiliki pengetahuan atau kepercayaan yang sedemikian pasti mengenai hal yang belum terjadi? Apa jaminan bahwa kalau hingga saat ini air mendidih kalau dipanasi hingga 100 derajat Celcius, maka besok dan lusa hal yang sama juga akan terjadi? Atas dasar apa kita percaya bahwa kalau hingga saat ini “semua logam memuai kalau dipanasi” maka besok dan seterusnya hal serupa juga tetap akan terjadi?

Pertanyaan ini kelihatan sederhana, namun ia justru menghantam inti ilmu pengetahuan, yang secara metodis dibangun dengan menggunakan metode induksi melalui eksperimen dan observasi. Di sini, Hume tidak hendak menolak metode induksi. Ia bertujuan untuk mempertanyakan dasar rasional kita untuk mempercayai peristiwa-peristiwa yang belum terjadi itu. Di satu sisi, dari segi sains, pertanyaan Hume itu juga menjadi tantangan yang harus dijawab kalau sains atau ilmu pengetahuan mengklaim diri sebagai ilmu yang rasional. Apakah sains itu bertumpu sepenuhnya di atas metode atau prinsip yang rasional, sebagaimana sering diklaim, atau di atas prinsip lain yang sebenarnya tidak rasional?

2. Pengetahuan mengenai fakta dan relasi antaride-ide

Hume berpendapat bahwa kita tidak memiliki kapasitas untuk memiliki pengetahuan yang pasti mengenai alam dan masa depan, sebagaimana diklaim oleh ilmu pengetahuan. Argumentasi untuk mendukung posisi filosofis ini dilakukan Hume dengan bertolak dari pembedaan antara “relasi antaride-ide” (relation of ideas) dan masalah fakta (matters of fact). Kedua hal inilah yang menurut Hume menjadi objek pikiran manusia. Artinya, apapun yang dipikirkan manusia, itu bisa digolongkan kepada fakta atau relasi antaride.

“Semua objek pikiran manusia atau penelitian dapat secara alami dibagi ke dalam dua jenis, yakni relasi antar ide dan fakta.”

Contoh relasi antaride adalah ilmu-ilmu seperti geometri, aljabar, aritmetika, singkatnya, setiap ilmu yang baik secara intuitif maupun demonstratif bersifat pasti. Pernyataan: “tiga kali lima sama dengan setengah dari 30“, itu termasuk relasi antaride. Demikian juga misalnya pernyataan bahwa “besar tiga sudut sebuah segitiga adalah 180 derajat“. Ciri khas relasi antaride ini adalah bahwa ia dapat dipikirkan atau „ditemukan semata-mata melalui operasi pikiran, tanpa tergantung pada apa yang eksis dalam alam semesta ini.“26 Kebenaran pernyataan ini bersifat apriori dan tidak mengandaikan pengalaman.

Lain halnya dengan fakta. Kebenaran fakta tidak cukup hanya dengan mengandalkan pikiran apriori, melainkan harus bertolak dari pengalaman, dan karena itu bersifat aposteriori. Kalau dikatakan „ada 50 orang di dalam ruangan ini“, kebenaran pernyataan ini tidak bisa diperoleh hanya dengan menghubungkan antara ide mengenai „50 orang“ dan ide „ruangan“, melainkan harus dilakukan observasi untuk melihat apakah pernyataan itu benar atau tidak benar.

Tentu saja, berdasarkan kenyataan faktualnya, pernyataan itu bisa benar atau salah. Bagaimana dengan pernyataan: matahari tidak akan terbit besok? Itu menyangkut fakta. Namun, fakta itu belum terjadi. Umumnya, dengan akal sehat kita, kita akan beranggapan bahwa pernyataan itu aneh atau salah, namun, atas dasar apa kita menganggapnya salah? Dengan kata lain, atas dasar apa kita mempercayai bahwa matahari akan terbit besok?

Menurut Hume, pernyataan „bahwa matahari tidak akan terbit besok, adalah pernyataan yang tidak kurang masuk akalnya, dan mengimplikasikan tidak kurang kontradiksinya dibandingkan pernyataan afirmatif yang mengatakan: bahwa matahari akan terbit besok.“

Artinya, dari segi nilai kepastian kebenaran, pernyataan „matahari tidak terbit besok“ sama kemungkinannya dengan pernyataan „matahari terbit besok“. Sekalipun pengalaman umat manusia sejak ribuan tahun lalu memperlihatkan bahwa matahari terbit setiap hari, toh secara logis tidak ada jaminan rasional bahwa ia akan terbit besok. Oleh karena itu, orang juga dapat berkeyakinan hal yang sebaliknya, yakni bahwa matahari tidak akan terbit besok.

Pertanyaan ini membawa Hume untuk mempertanyakan kebenaran pernyataan- pernyataan ilmu pengetahuan alam, misalnya, soal air mendidih kalau dipanasi, soal logam yang memuai kalau dipanasi, soal benda padat yang jatuh ke bawah.

Apakah ada jaminan bahwa besok air akan mendidih kalau dipanasi, bahwa logam akan memuai kalau dipanasi, bahwa benda padat akan jatuh ke bawah? Tentu kita akan memberikan jawaban afirmatif atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun Hume akan bertanya: apa bukti yang dapat kita jadikan pegangan untuk mempercayai kebenaran mengenai fakta-fakta yang belum terjadi itu? Atas dasar apa kita mempercayai bahwa fakta-fakta yang belum terjadi itu akan terjadi juga besok? Kita umumnya percaya dan mengatakan bahwa contoh-contoh yang disebut di atas akan terjadi juga besok, dan kepercayaan mengenai hal itu cukup rasional, namun, Hume tidak menerima jawaban itu karena kita tidak memiliki bukti rasional apapun untuk mempercayainya. Bagaimana mungkin kita merasa pasti atas fakta yang belum terjadi dan belum dapat diobervasi? Bukti apa yang kita miliki untuk mempercayai fakta yang belum terjadi itu?

3. Penalaran sebab-akibat

Hume sendiri berpendapat bahwa semua penalaran mengenai fakta, sebagaimana terlihat dari beberapa pertanyaan dari wilayah ilmu alam di atas, didasarkan atas relasi sebab dan akibat (cause and effect). Hanya melalui penalaran relasi kausalitas itulah kita dapat mengambil kesimpulan mengenai fakta yang melampaui memori dan indra kita. Kalau kita mengajukan pertanyaan kepada seseorang mengenai alasannya untuk mempercayai fakta tertentu, maka ia akan mengajukan alasan-alasan yang mengacu ke sebab. Sebelumnya kita sudah melihat salah satu bentuk operasionalisasi pikiran manusia, yakni relasi kausalitas. Jika kita menemukan sebuah sepatu di pantai yang sepi, maka kita pasti langsung berpikir mengenai „sebab“ bagi keberadaan sepatu di sana, yakni bahwa sebelumnya pasti ada seseorang di sana yang menyebabkan adanya sepatu di pantai tersebut. Jadi pikiran kita beroperasi dalam skema sebab akibat, dan itu yang membuat kita untuk mempercayai atau memiliki pengetahuan mengenai relasi kausalitas.

Pertanyaan berikutnya adalah: dari mana pengetahuan atau kepercayaan yang sedemikian pasti mengenai fakta (yang belum terjadi itu) berasal dan apa pembenaran/alasan yang kita miliki untuk mempercayai adanya relasi kausalitas tersebut?

Tidak ada jalan lain, demikian Hume, bahwa pengetahuan mengenai relasi kausalitas hanya didasarkan atas pengalaman, dan bukan berdasarkan penalaran logis rasional. Bahwa air mendidih karena dipanaskan hingga 100 derajat Celcius, bahwa logam memuai kalau dipanaskan, bahwa benda padat jatuh ke bawah, pengetahuan mengenai hal tersebut tidak diperoleh berdasarkan penalaran rasional, melainkan melalui pengalaman empiris.

Sebab dalam pengalaman, demikian Hume, kita tidak pernah melihat relasi kausalitas dalam alam. Yang kita tangkap hanyalah relasi serialitas. Artinya, apa yang kita lihat dalam pengalaman hanyalah rangkaian „setelah“, dan bukan rangkaian „sebab-akibat“. Air mendidih setelah api dinyalakan, logam memuai setelah dipanasi. Secara empiris kita tidak pernah melihat karena (hubungan kausalitas yang niscaya) dalam hubungan antara dua peristiwa yang berbeda itu.

Hume menulis:

„Saya menegaskan, sebagai sebuah proposisi umum, yang tidak mengenal pengecualian, bahwa pengetahuan mengenai relasi ini tidak diperoleh melalui penalaran apriori; melainkan muncul sepenuhnya dari pengalaman, yakni ketika kita menemukan bahwa setiap objek partikular selalu berlangsung berurutan satu sama lain.“

Dengan kata lain, proposisi „sebab dan akibat ditemukan bukan melalui rasio, melainkan melalui pengalaman.“

Itu berarti, untuk mengetahui bahwa a menyebabkan b, kita tidak cukup hanya merenungkan hakikat a (apriori), melainkan kita harus mengalami sendiri apa akibat a itu (aposteriori). Hume menyebut contoh mengenai Adam, manusia pertama dalam Kitab Suci. Sekalipun akal budi Adam misalnya sudah sempurna, namun tidak mungkin bahwa dengan pikiran rasionalnya, ia – setelah merefleksikan air yang bersifat cair dan tembus pandang itu – memperoleh pengetahuan bahwa air itu akan menyebabkan sesak nafas kalau orang tenggelam di dalamnya.

Pengetahuan mengenai air yang dapat menyebabkan sesak nafas dan mati itu hanya mungkin diperoleh melalui pengalaman. Karena itu, tanpa pengalaman kita tidak mungkin memiliki pengetahuan mengenai relasi kausalitas.

Mari kita ringkas hasil penelitian kita hingga sejauh ini. Hume bertanya: apa pembenaran atas pengetahuan atau kepercayaan kita yang sedemikian kuat mengenai fakta yang kita hadapi?

Jawabannya: relasi kausalitas, yang merupakan salah satu bentuk operasional pikiran kita. Tapi atas dasar apa kita mempercayai relasi kausalitas itu? Jawabannya: atas dasar pengalaman. Hume menulis:

“Tapi kita belum memperoleh kepuasan yang masuk akal berkaitan dengan pertanyaan pertama yang diajukan. Setiap jawaban masih memunculkan pertanyaan baru yang sama sulitnya dengan pertanyaan sebelumnya, dan membawa kita ke penelitian lebih lanjut. Ketika ditanya: apakah hakikat penalaran kita mengenai fakta, jawaban yang tepat adalah bahwa mereka didasarkan atas relasi sebab-akibat. Ketika ditanyakan kembali: apakah fondasi semua penalaran dan konklusi kita mengenai relasi tersebut, pertanyaan ini dapat dijawab dalam satu kata: PENGALAMAN. Tapi ketika kita kembali menerapkan humor kita dan bertanya: apakah fondasi semua kesimpulan kita yang didasarkan atas pengalaman itu, ini memunculkan pertanyaan baru, yang mungkin lebih sulit dijawab dan diuraikan.”

Pertanyaan terakhir dalam kutipan di atas bisa diparafrasekan demikian: apakah pembenaran bagi kita untuk menarik kesimpulan berdasarkan pengalaman di masa lalu itu? Misalnya, bahwa api menyebabkan panas, dan kita percaya bahwa besok dan di masa depan juga, api akan (tetap) menyebabkan panas?

Jawaban Hume adalah bahwa pengetahuan tersebut didasarkan atas pengalaman kita di masa lalu mengenai hubungan api dan panas. Artinya, relasi sebab akibat itu didasarkan atas pengalaman masa lalu.
Bahwa panas akan menyebab logam memuai, itu juga karena di masa lalu juga kita selalu mengalami demikian. Namun, pertanyaan selanjutnya, yang menurut Hume “lebih sulit dijawab dan diuraikan” adalah: bagaimana mungkin saya dapat menarik kesimpulan mengenai masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu? Atas dasar apa saya dapat menjawab peristiwa di masa depan berdasarkan peristiwa masa lalu? Ini tentu sebuah pertanyaan logis.

Atas pertanyaan tersebut, Hume sendiri berpendapat bahwa tidak ada dasar rasional untuk menarik kesimpulan mengenai masa depan (fakta yang belum terjadi) berdasarkan pengalaman masa lalu. Kita percaya bahwa api akan tetap menyebabkan panas di masa depan, dan bahwa logam akan tetap memuai kalau dipanasi di masa depan, itu karena kita selalu melihat hal yang sama di masa lalu. Tapi apakah di masa depan juga akan tetap demikian? Tidak ada dasar rasional dalam pandangan Hume untuk mengakui bahwa di masa hal serupa juga akan terjadi. Ia mengatakan bahwa satu-satunya dasar bagi
kita untuk menerapkan penalaran di masa lalu atas peristiwa di masa depan hanyalah kebiasaan (custom).

Karena kita selalu menyaksikan api menyebab panas, logam memuai kalau dipanasi, maka kita terbiasa untuk beranggapan bahwa hal yang sama juga akan terjadi di masa depan. Kebiasaan itu mendorong kita untuk menghubungkan dua peristiwa yang berbeda dan beranggapan bahwa hubungan niscaya demikian juga akan tetap terjadi di masa depan. Karena itu, dalam pandangan Hume, hubungan antara api dan air mendidih sebenarnya terdapat dalam pikiran kita, dan bukan pada benda atau peristiwa itu sendiri, karena alam tidak menyajikan kepada kita relasi kausalitas demikian.

"Maka kebiasaan (custom) adalah pembimbing agung dalam kehidupan manusia. Hanya prinsip inilah yang dapat membuat pengalaman kita jadi berguna, dan membuat kita untuk mengharapkan bahwa, di masa depan, rangkaian peristiwa yang sama juga akan terjadi dengan yang terjadi di masa lalu. Tanpa pengaruh kebiasaan, kita sudah pasti masa bodoh dengan setiap fakta, masa bodoh terhadap apa yang melampaui memori dan indra kita.”

Jadi, karena di masa lalu kita selalu melihat dua peristiwa yang berurutan terjadi (api dinyalakan lalu panas terjadi), maka pikiran kita membentuk relasi kausalitas di antara dua peristiwa yang berbeda itu: post hoc ergo propter hoc (“setelah ini, oleh sebab itu, karena ini”).

“Koneksi ini, yang kita rasakan dalam pikiran, transisi imajiner yang biasa kita lihat dari sebuah objek ke peristiwa yang biasa menyertainya, adalah perasaan atau sentimen, yang menjadi dasar bagi kita untuk membentuk ide mengenai daya atau relasi niscaya antara dua peristiwa,” tulis Hume.

Dengan kata lain, relasi kausalitas itu adalah hasil imajinasi kita berdasarkan kebiasaan yang selalu kita lihat di masa lalu mengenai dua peristiwa yang selalu terjadi berurutan. Dan karena konsep kausalitas itu terbentuk secara psikologis dalam pikiran kita, maka menurut Hume, prinsip-prinsip ilmu alam yang juga bersifat kausalitas dan dirumuskan secara induktif itu tidak pasti. Jadi, air mendidih bukan karena dipanaskan, melainkan air mendidih setelah api dinyalakan. Relasi antara air mendidih dan api yang dinyalakan bukan relasi kausalitas yang niscaya, melainkan relasi tapi serialitas, bukan karena itu, melainkan setelah itu. Ini yang menjadi dasar filosofis bagi Hume untuk menganut skeptisisme, tidak hanya menyangkut ilmu-ilmu alam, tapi juga menyangkut agama dan Tuhan.

filsafat David Hume

Dari politeisme menuju monoteisme

Hume menulis dua buku yang berisi pemikirannya tentang Tuhan dan agama, yakni The Natural History of Religion (NHR) dan Dialogues Concerning Natural Religion (DCNR). Dalam NHR, ia memaparkan sejarah perkembangan agama-agama berdasarkan hakikat manusia itu sendiri, sementara DCNR, yang membahas hakikat Tuhan berdasarkan keteraturan ciptaan (alam semesta), didasarkan atas sikap skeptisisme radikal. Di atas kita telah melihat keyakinan Hume yang mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan, perilaku atau tindakan manusia terjangkarkan pada hakikat manusia itu sendiri. Pendapat itu juga diterapkan dalam melihat sejarah kelahiran dan perkembangan agama-agama.

1. Lahirnya Politeisme

Pada halaman-halaman awal NHR, Hume menunjukkan sebuah kenyataan yang tampaknya masuk akal bahwa kepercayaan religius yang terdapat pada hampir semua orang atau suku bangsa menjadi bukti bahwa asal-usul agama pasti bukan dari sesuatu yang transenden, melainkan dari hakikat manusia itu sendiri. Fakta bahwa kepercayaan religius terdapat pada hampir semua kelompok masyarakat, termasuk orang-orang yang sangat primitif dan sangat terpencil sejak zaman dahulu kala, memperlihatkan bahwa dalam diri manusia itu terdapat sifat-sifat tertentu yang mendorongnya untuk beragama.

Kalau agama itu adalah fenomena ilahi atau hasil pewahyuan Allah kepada orang atau suku tertentu, maka kecil kemungkinan bahwa hampir semua kelompok suku bangsa sepanjang sejarah memiliki kepercayaan religius. Dengan demikian, dalam analisisnya mengenai sejarah agama-agama, Hume mengatakan bahwa dasar agama bukanlah wahyu dari makhluk transendental (Tuhan), melainkan sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh semua orang.

Tanpa wahyu pun, manusia itu, sesuai dengan hakikatnya, akan menganut kepercayaan religius tertentu. Dan Hume mengatakan bahwa secara historis, agama berevolusi dari politeisme menuju monoteisme; politeisme adalah agama asali yang kemudian maju dengan mengerucut menjadi monoteisme.

Manakah sifat-sifat yang dengan sendirinya mendorong orang untuk menganut kepercayaan religius itu? Sifat-sifat itu, kata Hume, adalah ketakutan-ketakutan, ketidaktahuan, harapan-harapan, kelemahan, serta ketidakpastian yang senantiasa mengancam manusia sepanjang hidupnya.

Dalam hidupnya, manusia selalu mengalami ketidakpastian. Peristiwa-peristiwa alam, seperti banjir, guntur
dan kilat, gempa, atau wabah penyakit, terjadi secara acak, tanpa manusia itu mengetahui penyebabnya dan tanpa tahu kapan semua itu akan terjadi. Manusia juga mengkhawatirkan masa depannya (future events), ia tidak tahu apa yang akan terjadi bukan hanya setelah ia mati, melainkan satu menit ke depan. Ia juga tidak tahu kapan ia akan mati, dan maut dapat sewaktu-waktu menjemputnya. Manusia juga tidak memiliki pengetahuan mengenai alam tempatnya hidup. Manusia primitif itu beranggapan bahwa alam dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dan yang tidak diketahui oleh manusia (unkonwn cause).

Disebut saling bertentangan karena peristiwa-peristiwa alam terjadi secara tidak teratur dan justru saling menghancurkan satu sama lain. Matahari menyuburkan tanaman tapi badai dan prahara menghancurkan apa yang telah dipelihara matahari. Hujan memberi kehidupan pada tumbuh-tumbuhan tapi matahari kemudian membunuhnya pada musim kemarau. Alam menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup, tapi penyakit, gempa bumi atau bencana alam lainnya mematikannya. Ini semua memunculkan anggapan dalam diri manusia primitif bahwa setiap bagian dari alam itu tunduk kepada kekuatan tertentu yang tidak terlihat dan saling bertarung satu sama lain.

Tidak ada kepastian. Hari ini diproteksi, besok dihancurkan.

Inilah awal politeisme yang dianut oleh manusia-manusia primitif zaman dulu. Mereka beranggapan bahwa setiap bagian dari alam diatur oleh kekuatan tertentu yang tidak kelihatan dan bertarung dengan kekuatan lain yang juga tidak kelihatan.

Keberadaan kekuatan yang tidak terlihat (invisible power) dan tidak diketahui itu (unkown power), menakutkan manusia; ia merasa tidak pasti akan hidupnya.

Politeisme ini misalnya dengan jelas terlihat dalam kebudayaan Yunani Romawi melalui dewa-dewa yang menguasai wilayah serta bidang kegiatan sendiri-sendiri, misalnya dewa perang (Mars), dewa perkawinan (Juno), dewa matahari, dewa kelahiran (Lucina), dewa penyubur ladang (Ceres), dewa ketertiban (Apollo), dewa kegilaan dan kemabukan (Dionisos), dewa perdagangan (Mercury), dan lain-lain.

Kepercayaan politeis itu bertolak dari anggapan yang melihat alam semesta sebagai sistem yang tidak teratur, melainkan sebuah alam yang kacau dan dipenuhi pertarungan antardewa-dewa. Politeisme, kata Hume, terdapat pada peradaban barbar, ketika manusia masih hidup dalam kegelapan dan ketakutan dalam berhadapan dengan peristiwa-peristiwa alam. Manusia-manusia primitif itu melihat bahwa “setiap tempat penuh dengan kerumunan dewa-dewa lokal; dan dengan demikian berhala (idolatry) berlaku, dan masih berlaku di antara sebagian besar umat manusia yang belum terdidik (uninstructed mankind).”

Penyebab-penyebab yang tidak diketahui itu (unkown causes), dengan demikian, terus menerus menjadi obyek harapan dan ketakutan umat manusia. Ritus, doa-doa, pengorbanan dan semua bentuk dari seremoni agama adalah manifestasi dari ketidakberdayaan, ketakutan dan ketidaktahuan manusia, dan hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menyenangkan dewa-dewa tersebut sehingga mereka tidak mengganggu kehidupan manusia di bumi, demikian Hume.

Semakin manusia itu primitif, maka semakin banyak pula dewa-dewa atau penyebab yang tidak diketahui (unkown causes) yang dianggap mengendalikan seluruh gerak dalam alam semesta. Kita bisa mengatakan, semakin primitif, semakin politeis, dan sebaliknya, semakin maju semakin monoteis.

”Fakta ini tidak dapat diperdebatkan, bahwa sekitar 1.700 tahun lalu semua umat manusia adalah penyembah dewa-dewa,”. Karena itu, ia menyimpulkan, bahwa “ketakutan, dan bukan akal budi, adalah sumber agama; politeisme, dan bukan monoteisme, adalah agama asli manusia.”

Di sini Hume dengan tegas menyatakan bahwa agama itu adalah takhyul (superstition).

2. Lahirnya Monoteisme

Namun, sejalan dengan evolusi rasionalitas manusia, politeisme juga berevolusi menuju monoteisme. Manusia semakin dapat memahami proses-proses alam yang menghasilkan fenomena-fenomena yang sebelumnya menakutkan. Hujan, petir dan badai serta kemarau tidak lagi dilihat sebagai hasil perbuatan dari kekuatan- kekuatan gelap yang tidak diketahui. Kehidupan semakin sekuler, dan akibatnya jumlah dewa-dewa semakin menyusut.

Selain itu, berdasarkan pengalaman empirisnya sendiri, manusia juga memiliki kecenderungan untuk mereduksi obyek-obyek ilahi itu berdasarkan model yang ditemuinya dalam kenyataan. Manusia cenderung melakukan “reduksi kompleksitas”, misalnya dengan mencari pola-pola tertentu atas segala kerumitan yang dihadapinya. Dalam kenyataan, misalnya, ada banyak orang hebat, tapi manusia selalu tergoda — sesuai dengan hakikatnya — untuk menentukan mana yang paling hebat dari antara orang-orang hebat itu.

Dewa- dewa pun demikian. Ada banyak dewa, tapi manusia berusaha untuk menentukan mana dewa yang paling berkuasa di antara dewa-dewa tersebut. Inilah yang menjadi latar belakang munculnya kemudian sebuah dewa “dewa super” (supreme deity) yang melampaui semua dewa lainnya, entah itu dengan nama Tuhan atau Dewa Zeus, sebagai dewa tertinggi dalam kebudayaan Yunani.

Reduksi kompleksitas” serupa juga dilakukan terhadap alam. Alam tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang diatur oleh dewa-dewa yang saling bertarung satu sama lain, melainkan sebagai sebuah sistem mekanis rasional dan teratur serta dapat dipahami menurut prinsip-prinsip tertentu. Manusia tidak lagi menghadapi alam sebagai kekuatan asing yang menakutkan, melainkan mulai merefleksikan alam.
Alam dilihat sebagai sebuah kesatuan rasional, dan sebagai sebuah kesatuan, maka ia juga dilihat sebagai dikendalikan atau diatur oleh ‘satu’ supreme deity atau supreme Being.

Inilah awal monoteisme, yang akhirnya menempatkan satu dewa tertinggi, yang disebut Allah atau Tuhan. Dengan kata lain, agama yang tadinya didasarkan atas hakikat manusia kini mulai didasarkan atas akal budi (reason). Di sini Allah dilihat sebagai pencipta keseluruhan kenyataan. Tapi definisi Allah pada agama monoteis dan politeis tidak jauh berbeda. Hume menulis,

“Satu-satunya inti teologi yang dapat kita temukan hampir universal pada semua manusia adalah bahwa di dunia ini terdapat kekuatan (power) yang tidak terlihat dan intelek.”

“Kekuatan” itu disebut bersifat intelek karena ia dapat menciptakan kenyataan yang teratur dan rasional.
Jadi, Hume tidak melihat agama monoteisme sebagai hasil wahyu (revelation) Allah, melainkan sebagai hasil perkembangan akal budi manusia, berdasarkan hakikat manusia itu sendiri. Inilah yang disebut dengan “agama alami” (natural religion), yakni kepercayaan yang kita miliki mengenai “sebuah Mahluk kekal yang intelek” (an eternal intellectual Being), yang diungkapkan kepada kita melalui akal budi kita, dan bukan melalui wahyu.

Artinya, bila kita merefleksikan keseluruhan alam semesta ini, maka kita akan menyadari bahwa alam semesta ini teratur dan rasional serta diatur oleh hukum-hukum yang juga dapat dipahami, dan semua itu kita tahu hanya berdasarkan akal budi kita, dan bukan berdasarkan wahyu.

Pemahaman macam ini kemudian membawa beberapa filsuf/teolog, misalnya, Thomas Aquinas untuk menarik kesimpulan mengenai adanya Sang Pencipta atau Sang Perancang Agung yang mengatur keseluruhan kenyataan ini. Pembuktian keberadaan Tuhan berdasarkan refleksi rasional atas keteraturan alam semesta ini biasa disebut dengan „argumen berdasarkan keteraturan ciptaan“ (design arguments for the existence of God). Tapi Hume tentu saja menolak penarikan kesimpulan demikian.

filsafat David Hume

Dampak buruk monoteisme bagi moralitas

Berdasarkan penelitiannya atas sejarah umat manusia, khususnya bangsa Eropa yang terlebih dahulu menganut agama monoteis, Hume tiba pada pandangan negatif pada agama monoteis. Di sini ia membedakan antara agama yang sebenarnya (true religion) dan agama populer (populer religion) atau agama yang korup (corrupt religion).

Agama populer atau agama yang buruk (korup) adalah agama sebagaimana dipraktikkan secara sosial, sebagaimana dianut oleh orang kebanyakan pada zaman Hume. Sedangkan agama yang sebenarnya adalah agama sebagaimana dipahami oleh Hume sendiri, yakni agama yang dapat mengatur dan memperbaiki hati, pikiran dan moralitas manusia, membuat perilaku mereka lebih beradab, lebih taat dan lebih mendukung keteraturan.

Dalam History of England, ia menulis,

“Tugas yang tepat bagi agama adalah untuk mereformasi kehidupan manusia, memurnikan hati mereka, mendorong mereka untuk melakukan semua kewajiban moral dan menjamin ketaatan terhadap hukum dan pemerintahan sipil.”

Tapi rupanya tugas demikian tidak dijalankan oleh agama Kristen pada zaman itu. Secara historis, kita tahu bahwa pada waktu itu (abad 17 dan 18) perang antar kelompok suku dan bangsa sering terjadi atas nama agama; penjelajahan dan kolonisasi daerah-daerah baru dilakukan tidak selalu dengan motif ekonomis, tapi juga religius (misionaris). Tidak sedikit orang yang tidak mau menerima agama Kristen yang disiksa dan dibunuh.

Hal yang sama, kata Hume, tidak terjadi ketika orang menganut politeisme. Ketika semua wilayah atau bidang kegiatan mempunyai dewanya sendiri-sendiri, dan ketika setiap orang bebas “menciptakan” dewa masing- maasing, toleransi antarpenganut kepercayaan religius yang berbeda-beda terjamin. Ini tentu kebalikan dari suasana yang diciptakan oleh monoteisme. Karena itu, Hume menyimpulkan bahwa politeisme itu jauh lebih toleran dibandingkan monoteisme; monoteisme, sebagaimana dipahami dan dipraktikkan secara sosial mengandung akibat yang merusak bagi moralitas.

Dalam NHR, Hume dengan panjang lebar melancarkan kritik dan kecaman terhadap agama monoteis ini. Dia bahkan menyebut prinsip-prinsip agama monoteis sebagai mimpi orang sakit, yang sering menimbulkan teror dan ketakutan pada orang lain.

”Teliti hampir semua bangsa dan zaman. Periksalah prinsip-prinsip agama yang berlaku di dunia ini. Anda hampir tidak bisa tidak terpengaruh bahwa prinsip-prinsip itu tidak lain dari mimpi-mimpi orang sakit,” tulis Hume.

Ia juga menyebutkan bahwa agama monoteis itu mengandung sifat mengerikan (morbid) karena tidak toleran bahkan cenderung melakukan kekerasan (cruelty) kepada orang lain, mengajarkan dan menghargai sikap yang menganggap diri sendiri tidak berdaya (self-pitying), selalu sibuk dengan dosa dan neraka, bahkan nyaris patologis, serta sering hipokrit (munafik). Monoteisme juga tidak bersahabat dengan kebahagiaan, bahkan cenderung menghargai penderitaan, mengajarkan fanatisme (bigotry), kekejaman dan kekerasan.

Inilah yang membuat mengapa Hume memandang agama monoteis merusak moralitas. Mengapa hal itu sampai terjadi?

Agama bermula dari pemujaan (atas dasar ketakutan) terhadap kekuasaan dewa-dewa yang amoral dan sewenang- wenang, dan

“ketika manusia mengagungkan gagasan mereka mengenai keilahian itu, yang meningkat hanyalah gagasan mengenai kekuasaan dan kemampuan dewa- dewa itu, dan bukan kebaikannya,” tulis Hume.

Kembali di sini Hume mendukung tesisnya yang mengatakan bahwa agama adalah masalah passions. Memang tidak sulit membuktikan berdasarkan pengalaman sehari-hari bahwa konflik yang dipicu oleh passion jauh lebih destruktif dibandingkan konflik yang dipicu oleh perbedaan pendirian rasional. Kita melihat bahwa konflik antar agama-lah yang paling berdarah di antara semua konflik yang terjadi dalam hubungan antarmanusia.

“Secara umum, kesalahan dalam agama itu sangat berbahaya (dangerous), sementara kesalahan dalam filsafat itu pandir (ridiculous). Kesalahan dalam filsafat tidak berbahaya karena tidak didukung oleh passion yang mengendalikan semua eksistensi manusia,” tulis Hume.

Tentu saja, pandangan Hume mengenai agama ini dengan mudah bisa dikritik karena tidak sesuai dengan pengalaman orang beragama. Pandangan tersebut sangat bias dan terlalu melebih-lebihan fenomena negatif yang memang tidak jarang terjadi dalam kehidupan beragama. Sekalipun demikian, tidak bisa dikatakan bahwa pendapat tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali.

embuktian Eksistensi Tuhan

Hume membahas hakikat Tuhan dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion. Struktur buku ini tidak lazim. Isinya adalah dialog antara tiga tokoh mengenai Tuhan, dan para komentator tidak pernah mencapai kata sepakat yang mana dari ketiga tokoh ini yang mewakili pandangan Hume sendiri.

Ketiga tokoh itu adalah Philo (seorang skeptis yang sembrono, the careless scepticism), Cleanthes (filsuf yang berhati-hati) dan Demea (ortodoks kaku yang keras). Ketiga tokoh ini berusaha saling menjatuhkan argumentasi mitra-debat mereka. Tema perdebatan mereka adalah pembuktian Tuhan berdasarkan keteraturan alam semesta (design arguments for the existence of God).

Perlu ditambahkan bahwa upaya untuk membuktikan Tuhan berdasarkan keteraturan alam semesta adalah sebuah tema klasik dalam filsafat. Aristoteles telah menggunakan argumentasi ini ketika ia membuktikan Tuhan sebagai “Penggerak pertama yang tidak digerakkan” dan sebagai causa finalis atau telos bagi segala sesuatu. Kant pun membahas masalah ini dan mengatakan bahwa pembuktian tersebut sama sekali tidak sah. Sebelumnya kita sudah melihat tiga argumen Descartes untuk membuktikan eksistensi Tuhan.

Thomas Aquinas juga menggunakan argumentasi yang sama untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Pada zaman Hume, inilah salah satu upaya pembuktian Tuhan yang banyak diterima para filsuf dan teolog. Namun, dalam buku ini, Hume mengkritik dan menolak semua pembuktian itu sebagai tidak sah.

Upaya pembuktian Tuhan berdasarkan fakta keberadaan alam empiris yang teratur itu disebut teologi alami (natural teologi), yakni upaya pembuktian Tuhan semata-mata berdasarkan ciptaan (alam semesta) melalui penalaran biasa/standar (akal sehat) dengan tidak melibatkan wahyu. Satu lagi pembuktian yang juga terkenal adalah teologi rasional atau filosofis (rational atau philosophical teology), yakni pembuktian Tuhan semata-mata dengan berdasarkan kategori-kategori pikiran rasional, tanpa melibatkan faktor ciptaan dan wahyu.

Contoh teologi rasional atau teologi filosofis adalah Anselmus, Leibniz dan Spinoza. Dalam buku ini, Hume menolak baik teologi alami maupun teologi rasional.

Dalam dialog tersebut, Cleanthes memulai upaya pembuktiannya mengenai Tuhan dengan merujuk pada bukti empiris — dalam filsafat ini disebut Argumentasi Kosmologis. Melalui prosedur ilmiah normal, katanya, kalau kita memperhatikan keteraturan dalam alam semesta kita dapat menyimpulkan bahwa pasti alam semesta ini diciptakan oleh sebuah makhluk agung yang intelek, yakni Tuhan.

Cleantes mengatakan,

“Lihatlah dunia sekitar: renungkanlah keseluruhan dan setiap bagian dari alam semesta ini. Engkau akan menemukan bahwa alam semesta ini adalah sebuah mesin besar, yang dibagi-bagi ke dalam mesin yang lebih kecil yang jumlahnya tidak terbatas, yang kemudian dibagi lagi hingga derajat yang melampaui kemampuan manusia untuk menjelaskan dan menelusurinya. Semua mesin yang bermacam-macam ini, dan bahkan bagian mereka yang paling kecil, sesuai satu sama lain dengan akurasi yang sangat menggairahkan kekaguman semua manusia yang pernah mengkontemplasikannya. Kesesuaian yang mengherankan antara sarana ke tujuan, dalam keseluruhan alam semesta, pasti mirip, sekalipun jauh melampaui, produksi ciptaan manusiawi — desain manusiawi, pikiran, kebijaksanaan, dan intelek. Karena kemiripan satu sama lain itu, kita dapat menyimpulkan, berdasarkan semua aturan dan analogi, bahwa penyebab itu juga mirip, dan bahwa Pencipta Alam adalah mirip dengan pikiran manusia, sekalipun memiliki kemampuan yang lebih besar, sebanding dengan kebesaran (grandeur) karya yang dikerjakannya. Melalui argumen ini a posteriori, dan hanya melalui argumentasi ini saja kita telah membuktikan sekaligus eksistensi sebuah Tuhan dan kemiripannya dengan pikiran dan intelek manusia.”

Tanpa memasuki segala kerumitan dan repetisi argumentasi masing-masing tokoh tersebut kita dapat melakukan tematisasi atas kutipan di atas, yang oleh Hume disebut dengan “teisme eksperimental” atau “hipotesis (mengenai Allah) berdasarkan rancangan”. Tema-tema itu antara lain bahwa Tuhan adalah pencipta atau penyebab (cause) alam semesta, bahwa ada kemiripan antara manusia dan Tuhan, yakni sama- sama intelek (karena mampu menciptakan “mesin” sedemikian rumit), dan juga kemiripan antara mesin buatan manusia dan alam semesta. Perdebatan ketiga orang tersebut berkisar dan berkembang dari ketiga tema ini.

Philo mengatakan, dengan mengikuti Cleanthes, bahwa segala sesuatu ada, pasti ada penyebabnya. Alam semesta ini kontingen, dan berdasarkan pengalaman, segala sesuatu yang kontingen pasti tidak dapat menyebabkan dirinya, melainkan disebabkan oleh sesuatu yang lain, yang ia sendiri (penyebab itu) bukan lagi sesuatu yang kontingen. Jika saya melihat rumah, maka saya tahu bahwa berdasarkan pengalaman, pasti ada yang menyebabkan rumah itu. Tidak mungkin rumah itu menyebabkan dirinya sendiri. Juga, jika misalnya, saya melihat jejak kaki di pantai.

Semua pengetahuan ini, kata Philo, didasarkan atas pengalaman, tidak apriori. Jadi, karena alam semesta ada, maka ia pasti disebabkan, yakni oleh Mahluk yang intelek. Hume mengatakan ini “argumentasi berdasarkan pengalaman”.

Bukan hanya Philo dan Cleanthes yang berargumentasi dengan cara demikian. Berdasarkan kekaguman atas keteraturan yang terdapat dalam alam semesta, misalnya mengenai perputaran benda-benda
langit, Galileo dan Copernicus juga mengatakan bahwa pencipta alam semesta ini pasti makhluk yang intelek.

Tapi Demea, menolak kesimpulan Philo dan Cleanthes di atas. Ia mengatakan bahwa hubungan antara ciptaan dan pencipta atau Tuhan dan alam semesta itu bukan sebuah kepastian, melainkan hanya kemungkinan (probability). Tidak bisa dipastikan bahwa penyebab alam semesta yang teratur ini adalah Tuhan, tapi mungkin juga Tuhan.

Ada banyak kemungkinan yang menghasilkan alam semesta menjadi seperti yang ada sekarang, sama halnya, ada banyak kemungkinan yang menyebabkan berdirinya sebuah rumah atau adanya jejak kaki di pantai. Memang mungkin juga rumah itu disebabkan oleh makhluk yang intelek sebagai pembangunnya, tapi mungkin juga seperti jaring laba-laba (yang juga teratur), yakni tercipta secara instingtif dari perut sebuah serangga; atau mungkin juga seperti anak sapi yang tampan, alam semesta itu muncul dari hewan; atau mungkin juga seperti lobak yang bentuknya bagus, alam semesta berkembang dari bibit tertentu berdasarkan vegetasi; atau mungkin juga seperti pasir di pantai yang membentuk pola tertentu berdasarkan kebetulan karena gelombang laut. Jadi tidak dapat dipastikan bahwa alam semesta ini disebabkan oleh penyebab yang intelek. Yang bisa dikatakan adalah hipotesa bahwa: ada kemungkinan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh individu yang intelek.

Philo kembali bergabung dengan Demea untuk menghantam Cleanthes yang religius itu. Ia mengakui bahwa Cleanthes benar ketika mengatakan bahwa ketika kita melihat sebuah rumah atau jejak kaki maka kita membandingkannya dengan jejak kaki atau rumah yang pernah kita lihat, dan kemudian menyimpulkan bahwa jejak kaki atau rumah yang kita lihat itupun pasti disebabkan oleh sesuatu yang lain.

Tapi, kata Philo, kita tidak mungkin membandingkan alam semesta ini dengan alam semesta yang lain, karena kita tidak pernah melihat dua alam semesta. Alam semesta ini adalah tunggal dan satu kesatuan. Karena itu menganalogikan alam semesta dengan rumah, mesin atau jejak kaki tidak sah — analogi yang lemah, kata Philo; ada banyak rumah dan jejak kaki yang bisa dibandingkan satu sama lain, tapi alam semesta hanya satu, sehingga tidak memiliki kemiripan dengan yang lain-lain.

Tuhan juga demikian. Kita tidak dapat membandingkan Tuhan dengan penyebab rumah atau jejak kaki, karena kita tidak pernah melihat dua Tuhan, berbeda dari penyebab rumah atau jejak kaki; Tuhan itu tunggal dan tanpa kemiripan dengan makhluk-makhluk lain. Philo dan Demea kemudian menyimpulkan bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami Tuhan sebagai penyebab alam semesta.

Analogi antara alam semesta dengan benda-benda yang teratur seperti mesin ciptaan manusia juga tidak sah karena kita belum atau tidak pernah melihat dan meneliti keseluruhan alam semesta, sehingga kita tidak tahu pasti apakah keseluruhan alam semesta ini sama seperti mesin. Yang kita tahu dari alam semesta hanyalah bagian-bagian tertentu, dan mengatasnamakan keseluruhan berdasarkan bagian-bagian adalah tidak sah. Lagipula, menganalogikan alam semesta dengan mesin mungkin sama tidak tepatnya dengan menganalogikan orang bersin dengan kapal tempur; keduanya sama-sama memuntahkan banyak materi dari “mulut” tapi keduanya sungguh tidak analog.

Philo dan Demea juga menolak pendapat Cleanthes yang mengatributkan kualitas-kualitas manusiawi kepada Tuhan. Di sini Philo secara tidak langsung menolak argumentasi analogia entis yang lazim digunakan dalam filsafat untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Kualitas-kualitas Tuhan, kata Philo, berbeda dari kualitas-kualitas yang dimiliki manusia. Antropomorfisme demikian sama dengan bentuk degradasi atas ketuhanan Tuhan. Dengan demikian pula, tidak tepat kalau kita mengatributkan “kebaikan” kepada Tuhan, dengan mengatakannya maha baik.

Analogia entis adalah argumentasi terkenal dalam diskursus mengenai Tuhan. Aquinas juga menggunakan argumentasi ini. Karena dunia diciptakan Tuhan, maka ciptaan pasti sama dengan sekaligus berbeda dari Tuhan. Karena itu kita bisa membicarakan Tuhan dengan menggunakan istilah atau kosa kata yang terdapat dalam ciptaan, misalnya bagus, intelek dst. Namun Tuhan tentu tidak sama (berbeda) dengan ciptaan. Karena itu, arti kata-kata itu tidak bisa sama kalau kita terapkan kepada Tuhan. Tuhan memang intelek, tapi intelektualitasnya Tuhan tidak sama dengan manusia; Tuhan juga baik tapi kebaikan Tuhan berbeda dari kebaikan pada manusia. Jadi kita harus selalu kembali menegasi/menyangkal bahasa yang kita gunakan untuk membicarakan Tuhan. Inilah yang disebut analogia entis, yakni menggunakan analogi-analogi yang terdapat pada ciptaan (entitas). Kadang ini juga disebut “bahasa dialektis” mengenai Tuhan.

Lagipula, demikian Philo, kalau benar Tuhan maha baik, lalu mengapa ia mengizinkan adanya penderitaan di dunia? Mengatakan Tuhan maha baik dan juga maha kuasa dan maha tahu, tapi Ia sekaligus membiarkan penderitaan terjadi, itu sama sekali tidak logis dan tidak masuk akal. Kondisi tersebut biasa disebut teodise. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani, yakni teos = Tuhan dan dike = keadilan, pembenaran. Teodise hendak berbicara mengenai fakta negatif sebagai pembenaran keadilan Tuhan.

Bagaimana dengan kasus-kasus keajaiban yang sering diajukan sebagai pembuktian eksistensi Tuhan?

Kalau kita membaca Kitab Suci, kita tahu bahwa iman (faith) sering tumbuh dari kasus-kasus keajaiban (miracle) yang dilakukan oleh para nabi atau oleh Allah sendiri, dan atas dasar keajaiban itu maka orang beriman kepada Tuhan. Dan hampir dalam setiap agama selalu terdapat cerita mengenai keajaiban, dan hal itu dianggap sebagai bentuk pewahyuan Tuhan.

Dalam Enquiries Concerning The Human Understanding, Hume mengatakan bahwa keajaiban itu bertentangan dengan kebiasaan (custom), pengetahuan (understanding) dan pengalaman. Keajaiban berarti penyimpangan dari hukum alam yang telah diketahui. Tapi peristiwa yang menyimpang dari hukum alam mengandung sekian banyak kemungkinan (possibility) penyebab, dan oleh karena itu tidak dapat dikatakan dengan pasti bahwa itu adalah bentuk pewahyuan diri Allah.

Kalau ada orang meninggal hidup kembali, itu adalah keajaiban menurut hukum alam yang telah diketahui, tapi ada banyak kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa hal itu terjadi, dan salah satu di antaranya mungkin adalah penipuan (deception), kata Hume.

Catatan kritis


Hingga sekarang, tema-tema yang diperdebatkan dalam dialog ketiga tokoh di atas (di samping banyak tema lain yang tidak saya bicarakan dalam kesempatan terbatas ini) masih tetap merupakan bahan refleksi dalam teologi dan filsafat. Argumentasi mengenai Tuhan sebagai pencipta atau “pengarah” keseluruhan proses dalam alam semesta, misalnya, telah semakin canggih karena telah didukung dengan penelitian- penelitian sains. Penelitian mengenai bagaimana sel hidup pertama berkembang dan berevolusi memperlihatkan bahwa proses-proses yang terjadi dalam alam bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil “pengarahan” tertentu. Refleksi mengenai hubungan antara fakta penderitaan dan kemahakuasaan dan kemahabaikan Allah juga tetap berlangsung di bawah tema teodise (“pembenaran Allah”).

Memang harus diakui bahwa gagasan-gagasan Hume sebagaimana terdapat terutama dalam kedua bukunya di atas cenderung timpang karena cenderung menyoroti fenomena agama dari dimensi negatif yang dilihatnya. Padahal, fenomena agama yang sama juga sering mengandung dimensi positif. Sekalipun Hume mengkritik bukti-bukti mengenai eksistensi Tuhan, menurut saya, sulit dikatakan bahwa Hume seorang ateis (walaupun tendensi ke arah itu cukup kuat), melainkan lebih tepat skeptisis. Ia tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, ia juga tidak mengatakan bahwa Tuhan ada, melainkan ia selalu menolak upaya pembuktian yang dilakukan oleh orang-orang yang berusaha mencoba membuktikan Tuhan, terutama melalui “argumentasi berdasarkan ciptaan.” Sebagian komentator bahkan menyebut Hume agnotisis, seperti Kant.

Upaya Hume, sebagaimana dicoba ditampilkan dalam tulisan ini, mungkin bisa dipahami sebagai cara untuk membuktikan kelemahan-kelemahan pembuktian mengenai Tuhan pada zamannya, yakni teologi alami tersebut. Dan kalau ia tidak secara jelas mengidentifikasi pendiriannya dalam dialog tersebut, mungkin itu harus dipahami sebagai cerminan dari posisinya selaku seorang kritikus yang tidak bermaksud membela dan memperlihatkan posisinya sendiri melainkan hanya hendak memperlihatkan bahwa pendapat orang lain tidak tahan uji. Jadi ia tidak hendak membuktikan klaimnya sendiri, melainkan memperlihatkan bahwa tidak ada klaim yang bisa dibenarkan secara rasional. Dengan kata lain, ia hendak membuktikan posisi filosofis yang dianutnya, yakni skeptisisme.

Berdasarkan hal ini kita mungkin dapat mengatakan bahwa masalah Tuhan bukanlah terutama masalah pembuktian rasional, melainkan masalah iman atau kepercayaan.

Memang “iman selalu mencari pengertian” (fides quarens intellectum), tapi kalaupun Tuhan tidak dapat dibuktikan dan dimengerti secara rasional, bukan berarti Tuhan tidak ada bagi orang-orang yang mengimaninya. Hume sendiri juga memang mengatakan bahwa iman bukanlah pertama-pertama masalah rasionalitas. Menjawab pertanyaan mengapa selalu ada orang yang tetap percaya kepada Tuhan, termasuk orang-orang yang sangat rasional, sekalipun iman itu tidak dapat dibuktikan secara rasional,
Hume memberikan jawaban yang pasti kontroversial: itu adalah masalah “kebiasaan, perubahan suasana pikiran (caprice), atau kecenderungan hati,” katanya.

“Semua sistem-sistem religius, harus diakui, tunduk kepada kesulitan-kesulitan besar yang tidak dapat diatasi,” kata Hume, karena “keseluruhan itu adalah sebuah teka-teki, enigma dan misteri yang tidak dapat dipahami. Keraguan, ketidakpastian, penundaan putusan tampaknya merupakan satu-satunya hasil dari penelitian kita yang paling akurat mengenai masalah ini. Tapi itulah kerapuhan akal budi manusia….” tulisnya pada alinea terakhir Natural History of Religion.

Masih ada sejumlah tema lain yang juga dibahas Hume dalam tulisannya, misalnya mengenai filsafat politik, etika, keadilan, identitas diri, negara, dan lain-lain, namun pemikiran Hume yang paling banyak ditanggapi dan berpengaruh dalam perjalanan sejarah filsafat Barat adalah mengenai teori pengetahuan, filsafat agama dan filsafat Ketuhanan sebagaimana dibahas di atas.

Sumber : Fitzerald Kennedy sitorus, David Hume : Sang skeptis radikal, Komunitas Salihara

Referensi
  • David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Nelson Pike, Indianapolis, NY, The Bobbs-Merril Company, Inc.,1970.
  • David Hume, The Natural History of Religion, ed. A. Wayne Colver, Oxford: The Clarendon Press, 1976
  • Alois Riehl, Philosophie des Kritizismus, Band I., Leipzig, 1924.
  • David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. David F. Norton and Mary J. Norton, Oxford, Clarendon Press, 2007.
  • David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp, Oxford, Oxford University Press, 1999.
  • Rudolf Luethe, “David Hume,” dalam Handbook of Metaphysics and Ontology, eds. Hans Burkhardt and Barry Smith, München: Philosophia Verlag, 1991.
  • R.S. Woolhouse, The Empiricist, Oxford: Oxford University Press, 1988.
  • Magnis-Suseno, Franz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.